Masa kini.Kembali ke saat dimana aku tengah duduk di mobil dengan Tama yang sebagai supirnya. Aku melirik pria disampingku yang masih fokus dengan pikirannya sendiri.Rasa muak, marah, dan benci langsung menguasaiku. Bagaimana bisa aku sebodoh itu hingga melupakan hal penting yang seharusnya tidak boleh kulupakan. Aku tidak peduli tentang masa kecil dan masa laluku yang masih berurusan dengannya, tapi kenapa sampai sekarang pun aku masih terjebak dengan pria ini. Karena amnesia bodoh ini aku menjadi membenci diriku. Darahku mendidih hanya mengingat soal itu. Aku tertipu olehnya. Oleh janji-janji manis palsu yang selalu dia bicarakan. Dan sialnya lagi, kenapa juga aku sampai harus hamil.Sial, kenapa harus sekarang?Aku ingin berteriak dan marah. Semua ingatanku yang sudah pulih membuatku tidak sudi berada disatu tempat dengan Tama. Kebencian, amarah yang aku simpan untuk diriku sendiri hampir meluap hanya karena aku sadar dan menemukan Tama di sana.Aku tidak bisa menyalahkan diriku
Pria tua yang selama ini selalu berada di sisi papa. Orang yang aku kenal dari aku kecil. Orang yang selalu menenangkanku ketika papa sudah mulai bertingkah seolah tidak peduli padaku. Orang yang sudah aku anggap keluarga meskipun dia selalu bersikap profesional layaknya karyawan yang mengabdi oada tuannya. "Pak Hata," panggilku tanpa sadar. Aku dapat melihat bahunya menengang dan dia terdiam ditempatnya untuk sesaat sebelum membalikkan badanya untuk melihatku. Mata tuanya menatapku kaget. Dia terlihat lebih tua dari terakhir kali. Dia juga terlihat tidak percaya bisa melihatku di sini. "Nona," jawabbya dengan suara tercekat. Aku melihatnya masih sama seperti saat dia masih menjadi orang kepercayaan papa. Aku benar-benar merindukan pemandangan ini. Tatapan pak Hatta tampak tidak menyenangkan. Dia selalu memberikan tatapan itu saat dia memperingaku untuk tidak membantah kalimat papa. Masih sama. Atau ini hanya imajinasiku saja. "Nona?
Setelah berbincang ringan, Papa Irfandi memutuskan untuk langsung pergi. Dia bahkan tidak repot-repot untuk memarkirkan mobilnya masuk ke dalam rumah.Aku dan Tama mengantar kepergiannya. Untuk sesaat aku dapat menghela nafas lega. Ketika aku menoleh, Tama menatapku lekat sama seperti yang dia lakukan tadi."Kenapa?" tanyaku."Kamu tahu kan kalau aku bakalan selaku ada di pihak kamu," ucapnya. Aku mengangguk. Aku tahu itu karena dia pernah mengatakan hal yang sama sebelumnya, "jadi aku harap kamu juga bisa percaya sama aku," lanjutnya lagi."Maksud kamu?"Tama hanya tersenyum pelan dan langsung menarikku masuk. Genggaman tangannya hangat, membuat nyaman. Tapi aku sudah mewanti-wanti pada diriku sendiri untuk tidak terbuai dengan kehangatan semu yang dia salurkan. Aku harus tetap fokus pada tujuan utamaku.Rumah ini tampak terawat dengan halaman luas dan taman yang bunganya sudah mulai bermekaran. Beberapa pekerja tampak lalu-lalang dan sepertinya mereka tidak
Selama seharian ini, Tama benar-benar tidak mengindahkanku. Kan enggan untuk meliriku hanya karena aku membicarakan soal apply pekerjaan yang aku lakukan dulu sebelum aku terlibat kecelakaan. Aku tidak mengerti bagaimana cara dia berpikir. Harusnya dia lepaskan saja aku. Toh, aku sudah tidak memiliki kegunaan lagi di sini setelah semuanya diambil.Beberapa bulan terakhir sebelum kecelakaan, memang waktu tersulit untukku. Marger akusisi perusahaan, papa yang meninggal, dan fakta keterlibatan Tama. Semua hal itu membuat duniaku hancur hanya dalam sehari. Semua berubah.Dytama adalah pria yang mengenalkan ku tentang apa itu cinta. Awalnya aku memang sangat cuek, tapi aku tidak bisa memungkiri jika aku sudah jatuh cinta padanya di pertemuan ketiga kami. Melihatnya tersenyum, berbicara, dan tertawa, membuatku tidak mengalihkan pandanganku sedetik pun darinya. Aku tidak ingin kehilangan moment itu. Dan lagi, dari sekian banyak pria hanya dia yang benar-benar memperlakukanku tulus.Nama itu
Ini adalah pertama kalinya aku mengunjungi makam Papa setelah dia meninggal. Selama ini aku terlalu menyalahkan diri karena tidak ada di samping Papa ketika sekarat. Tapi sejujurnya yang membuatku tidak berani datang adalah, karena aku pengecut.Nisan itu tampak bersih dan sangat terawat padahal hanya aku keluarga yang dia miliki. Aku akui, memang aku tidak memiliki kenangan indah dengan Papa, tapi dia adalah orang yang selalu mendorongku untuk terus maju meskipun dengan kata-kata pedas. Papa ini Aluna. Papa gimana di sana? Bahagia kan? Kenapa Papa nggak kasih tahu Aluna kalau Papa sakit. Maaf Aluna baru bisa datang sekarang. Aluna emang pengecut.Papa tahu, hari ini Aluna ngajak Tama buat kerja sama. Aluna nggak rela perusahaan Papa jatuh ke tangan Om Irfandi. Aluna juga nggak percaya dia bisa dapat tanda tangan Papa. Kenapa Papa bisa nemuin orang kayak gitu sih?Sekarang Aluna tahu darimana sikap terlalu peduli milik Aluna berasal. Itu dari Papa kan. Menurut Papa lucu nggak sih, du
"Kamu nggak lupa sama janji kamu, kan? Kamu nggak merasa kalau kamu udah mengkhianati kepercayaan dari Papa?"Kalimat yang dilontarkan Papa masih terngiang jelas di benakku. Seminggu terakhir ini aku memang bolak-balik ke kantor Papa untuk mencari bukti yang dia sembunyikan. Semenjak tahu jika perusahaan yang seharusnya menjadi milik Aluna dipindahtangankan secara paksa, aku menolak keras, tapi terlambat karena saat kejadian itu Papa mertuaku langsung koma tidak lama setelahnya. Aku tidak tahu bagaimana Papa bisa mendapatkan cap perusahaan, yang jelas aku sangat amat marah ketika itu.Aku dan Papa membuat perjanjian, aku tidak akan ikut campur asalkan dia tidak mengganggu hubunganku dengan Aluna. Pria itu setuju karena dia sudah berhasil mendapatkan apa yang dia inginkan. Aku sendiri memang pengecut karena masih terus-terusan menutup mata soal kejahatan Papa. Aku hanya tidak mau Aluna tahu, dan terlambat karena sepertinya dia lebih peka dari dugaanku.Hubungan kami meregang dan dia me
Aku menguap dan membalikkan tubuhku untuk mencari posisi ternyaman. Mataku masih lengket meski tubuhku meronta untuk segera bangkit. Aku mengerjakan mata dan langsung terduduk karena merasa aneh. Aku menatap sekeliling. Aku sudah ada di tempat tidur, aku kira hanya mimpi dan ketika menoleh ke sofa, aku menemukan bekas selimut dan bantal yang sudah tertata rapi di sana. Apa Tama aku usir dari tempat tidur? Aku menggeleng pelan dan menoleh ke samping. Tama sudah berdiri di sana dan membuatku berteriak karena terkejut. "Kamu kenapa?" tanyanya pelan. Aku masih mengusap dadaku karena efek kejut itu masih bersarang. Kenapa dia tidak mengeluarkan suara sama sekali? "Siap-siap. Ayo kita sarapan bareng," setelah mengatakan itu dia langsung melipir duduk di sofa. Aku yang masih belum sepenuhnya sadar hanya mengangguk dan berlalu ke kamar mandi. Tama pasti akan menunggu lebih lama jika aku tidak bergegas.Kami berjalan beriringan menuju ruang makan. Bi Susan sudah menyiapkan sarapan di meja
Malam ini aku masih berkutat dengan perhitungan pengeluaran bulanan dan besok merupakan hari gajian para pekerja yang juga harus aku persiapkan. Aku masih duduk dan masih menghitung ketika tiba-tiba Tama masuk dengan langkah pelan.Waktu masih menunjukkan pukul 7 malam dan biasanya dia akan pulang ke rumah ketika jam sudah menunjukkan di angka sepuluh. Pria ini tidak biasanya pulang cepat."Kantor udah nggak sibuk?" tanyaku, begitu dia melepaskan jas dan dasinya, lalu menggantungnya di tempat khusus pakaian kotor."Tadi aku rapat di luar. Karena kantor udah dihandle sama sekertaris jadi aku putusin buat pulang. Gimana tadi pengalaman kamu ke perkebunan."Aku langsung menatapnya tidak percaya dia akan menanyakan pendapatku. Bukankah ini berarti dia sudah mulai mau berkomunikasi dua arah? Tapi sebelumnya juga dia memang selalu berkomunikasi hanya saja aku yang tidak menggubris. Maafkan aku Tama, kamu pasti frustasi berat "Aku banyak belajar di sana. Ternyata terjun langsung nggak semud