Setelah berbincang ringan, Papa Irfandi memutuskan untuk langsung pergi. Dia bahkan tidak repot-repot untuk memarkirkan mobilnya masuk ke dalam rumah.
Aku dan Tama mengantar kepergiannya. Untuk sesaat aku dapat menghela nafas lega. Ketika aku menoleh, Tama menatapku lekat sama seperti yang dia lakukan tadi."Kenapa?" tanyaku."Kamu tahu kan kalau aku bakalan selaku ada di pihak kamu," ucapnya. Aku mengangguk. Aku tahu itu karena dia pernah mengatakan hal yang sama sebelumnya, "jadi aku harap kamu juga bisa percaya sama aku," lanjutnya lagi."Maksud kamu?"Tama hanya tersenyum pelan dan langsung menarikku masuk. Genggaman tangannya hangat, membuat nyaman. Tapi aku sudah mewanti-wanti pada diriku sendiri untuk tidak terbuai dengan kehangatan semu yang dia salurkan. Aku harus tetap fokus pada tujuan utamaku.Rumah ini tampak terawat dengan halaman luas dan taman yang bunganya sudah mulai bermekaran. Beberapa pekerja tampak lalu-lalang dan sepertinya mereka tidakSelama seharian ini, Tama benar-benar tidak mengindahkanku. Kan enggan untuk meliriku hanya karena aku membicarakan soal apply pekerjaan yang aku lakukan dulu sebelum aku terlibat kecelakaan. Aku tidak mengerti bagaimana cara dia berpikir. Harusnya dia lepaskan saja aku. Toh, aku sudah tidak memiliki kegunaan lagi di sini setelah semuanya diambil.Beberapa bulan terakhir sebelum kecelakaan, memang waktu tersulit untukku. Marger akusisi perusahaan, papa yang meninggal, dan fakta keterlibatan Tama. Semua hal itu membuat duniaku hancur hanya dalam sehari. Semua berubah.Dytama adalah pria yang mengenalkan ku tentang apa itu cinta. Awalnya aku memang sangat cuek, tapi aku tidak bisa memungkiri jika aku sudah jatuh cinta padanya di pertemuan ketiga kami. Melihatnya tersenyum, berbicara, dan tertawa, membuatku tidak mengalihkan pandanganku sedetik pun darinya. Aku tidak ingin kehilangan moment itu. Dan lagi, dari sekian banyak pria hanya dia yang benar-benar memperlakukanku tulus.Nama itu
Ini adalah pertama kalinya aku mengunjungi makam Papa setelah dia meninggal. Selama ini aku terlalu menyalahkan diri karena tidak ada di samping Papa ketika sekarat. Tapi sejujurnya yang membuatku tidak berani datang adalah, karena aku pengecut.Nisan itu tampak bersih dan sangat terawat padahal hanya aku keluarga yang dia miliki. Aku akui, memang aku tidak memiliki kenangan indah dengan Papa, tapi dia adalah orang yang selalu mendorongku untuk terus maju meskipun dengan kata-kata pedas. Papa ini Aluna. Papa gimana di sana? Bahagia kan? Kenapa Papa nggak kasih tahu Aluna kalau Papa sakit. Maaf Aluna baru bisa datang sekarang. Aluna emang pengecut.Papa tahu, hari ini Aluna ngajak Tama buat kerja sama. Aluna nggak rela perusahaan Papa jatuh ke tangan Om Irfandi. Aluna juga nggak percaya dia bisa dapat tanda tangan Papa. Kenapa Papa bisa nemuin orang kayak gitu sih?Sekarang Aluna tahu darimana sikap terlalu peduli milik Aluna berasal. Itu dari Papa kan. Menurut Papa lucu nggak sih, du
"Kamu nggak lupa sama janji kamu, kan? Kamu nggak merasa kalau kamu udah mengkhianati kepercayaan dari Papa?"Kalimat yang dilontarkan Papa masih terngiang jelas di benakku. Seminggu terakhir ini aku memang bolak-balik ke kantor Papa untuk mencari bukti yang dia sembunyikan. Semenjak tahu jika perusahaan yang seharusnya menjadi milik Aluna dipindahtangankan secara paksa, aku menolak keras, tapi terlambat karena saat kejadian itu Papa mertuaku langsung koma tidak lama setelahnya. Aku tidak tahu bagaimana Papa bisa mendapatkan cap perusahaan, yang jelas aku sangat amat marah ketika itu.Aku dan Papa membuat perjanjian, aku tidak akan ikut campur asalkan dia tidak mengganggu hubunganku dengan Aluna. Pria itu setuju karena dia sudah berhasil mendapatkan apa yang dia inginkan. Aku sendiri memang pengecut karena masih terus-terusan menutup mata soal kejahatan Papa. Aku hanya tidak mau Aluna tahu, dan terlambat karena sepertinya dia lebih peka dari dugaanku.Hubungan kami meregang dan dia me
Aku menguap dan membalikkan tubuhku untuk mencari posisi ternyaman. Mataku masih lengket meski tubuhku meronta untuk segera bangkit. Aku mengerjakan mata dan langsung terduduk karena merasa aneh. Aku menatap sekeliling. Aku sudah ada di tempat tidur, aku kira hanya mimpi dan ketika menoleh ke sofa, aku menemukan bekas selimut dan bantal yang sudah tertata rapi di sana. Apa Tama aku usir dari tempat tidur? Aku menggeleng pelan dan menoleh ke samping. Tama sudah berdiri di sana dan membuatku berteriak karena terkejut. "Kamu kenapa?" tanyanya pelan. Aku masih mengusap dadaku karena efek kejut itu masih bersarang. Kenapa dia tidak mengeluarkan suara sama sekali? "Siap-siap. Ayo kita sarapan bareng," setelah mengatakan itu dia langsung melipir duduk di sofa. Aku yang masih belum sepenuhnya sadar hanya mengangguk dan berlalu ke kamar mandi. Tama pasti akan menunggu lebih lama jika aku tidak bergegas.Kami berjalan beriringan menuju ruang makan. Bi Susan sudah menyiapkan sarapan di meja
Malam ini aku masih berkutat dengan perhitungan pengeluaran bulanan dan besok merupakan hari gajian para pekerja yang juga harus aku persiapkan. Aku masih duduk dan masih menghitung ketika tiba-tiba Tama masuk dengan langkah pelan.Waktu masih menunjukkan pukul 7 malam dan biasanya dia akan pulang ke rumah ketika jam sudah menunjukkan di angka sepuluh. Pria ini tidak biasanya pulang cepat."Kantor udah nggak sibuk?" tanyaku, begitu dia melepaskan jas dan dasinya, lalu menggantungnya di tempat khusus pakaian kotor."Tadi aku rapat di luar. Karena kantor udah dihandle sama sekertaris jadi aku putusin buat pulang. Gimana tadi pengalaman kamu ke perkebunan."Aku langsung menatapnya tidak percaya dia akan menanyakan pendapatku. Bukankah ini berarti dia sudah mulai mau berkomunikasi dua arah? Tapi sebelumnya juga dia memang selalu berkomunikasi hanya saja aku yang tidak menggubris. Maafkan aku Tama, kamu pasti frustasi berat "Aku banyak belajar di sana. Ternyata terjun langsung nggak semud
Aku tergelak mendengar alasan yang dibicarakan Tama. Jika hukumannya seperti itu jelas aku akan menerima dengan suka hati. Lagipula dimana lagi aku bisa menemukan sosok pasangan yang seperti Tama. Walaupun dia tampak dingin tapi sebenarnya dia itu orang yang sangat memikirkan tentang aku dan aku tidak akan pernah rela jika pria ini direbut oleh orang lain. Andai saja aku sudah berpikiran terbuka seperti ini sejak dulu, sudah pasti kehidupan rumah tangga kami akan berjalan baik. Sayangnya aku yang dulu sangat terobsesi dengan yang namanya permintaan maaf setelah pernah dikhianati oleh teman yang aku percaya. Kejadian dimana ketika Tama menyembunyikan kebenaran itu benar-benar menjadi pukulan telak dan membuatku berpikir jika Tama sama seperti Jess dan Papanya. Penilaian impulsif yang seperti itu malah menghancurkan diriku dan menyeretku ke dalam lubang penyesalan yang tidak pernah aku kira akan menghampiriku. "Kamu sadar nggak sih kalau yang kamu omongin tadi itu bukan hukuman," kata
Rupanya niat Tama yang ingin menjadikan kekasih Jessica sebagai pengacaraku itu memang benar adanya, karena pada hari Minggu yang cerah ini dia sudah membawaku keluar rumah dengan dalih untuk menghabiskan waktu di luar berdua. Tapi kalian tahu apa yang terjadi? Dia membawaku ke sebuah kafe hukum yang ternyata selain menyediakan makanan dan minuman, kafe ini juga menyediakan konsultasi gratis.Dan tentu saja pemilik kafe ini adalah orang yang pasti kalian pikirkan. Benar, kafe ini milik kekasihnya Jessica. Manta sahabatku yang dulunya menusukku dari belakang. Ketika masuk ke dalam kami langsung di arahkan menuju ruang konsultasi. Entah kenapa aku malah kesal sendiri padahal Tama sudah memberitahuku soal ini. Aku tidak memiliki kesalahan yang mengharuskannya untuk segan padanya, tapi tetap saja perasaan canggung itu asih ada dan tidak mudah untuk dihilangkan."Dia pasti akan senang lihat kamu," ucap Tama mencoba mencairkan suasana karena aku sama sekali tampak tidak bisa menikmati suas
Ada apa dengan mereka, memangnya salah jika saya tidak tahu berapa usianya. Lagian dia terlihat lebih tua dari pada saya. Ingat! Saya baru berusia 25 tahun dan semua orang yang ada di sini sudah terlihat paruh baya.Lyana bilang ini perkumpulan yang wajib didatangi oleh anggota baru dan mau tidak mau aku harus datang karena aku harus mulai mengikuti kegiatan pergaulan sosialita. Jika saja bukan karena ingin mengubah kepemimpinan perusahaan, saya juga enggan datang. Bergaul dengan wanita-wanita dan diisi dengan gosip bukanlah hobiku."Saya udah lihat semua artikel yang isinya tentang kamu, kenapa kamu bisa seenggak tahu malu itu buat ketemu sama kami? Terus kamu juga sekarang bertingkah layaknya nyonya Irfandi di saat istri ketua Irfandi masih hidup," celetuk seseorang.Bagaimana? Bagaimana? Bertingkah?Saya ini memang nyonya Irfandi muda jadi salahnya dimana jika saya bertingkah? Aku juga tidak merugikan orang lain di sini karena aku hanya mengerjakan bagianku."Kalau kamu punya rasa