Ada apa dengan mereka, memangnya salah jika saya tidak tahu berapa usianya. Lagian dia terlihat lebih tua dari pada saya. Ingat! Saya baru berusia 25 tahun dan semua orang yang ada di sini sudah terlihat paruh baya.Lyana bilang ini perkumpulan yang wajib didatangi oleh anggota baru dan mau tidak mau aku harus datang karena aku harus mulai mengikuti kegiatan pergaulan sosialita. Jika saja bukan karena ingin mengubah kepemimpinan perusahaan, saya juga enggan datang. Bergaul dengan wanita-wanita dan diisi dengan gosip bukanlah hobiku."Saya udah lihat semua artikel yang isinya tentang kamu, kenapa kamu bisa seenggak tahu malu itu buat ketemu sama kami? Terus kamu juga sekarang bertingkah layaknya nyonya Irfandi di saat istri ketua Irfandi masih hidup," celetuk seseorang.Bagaimana? Bagaimana? Bertingkah?Saya ini memang nyonya Irfandi muda jadi salahnya dimana jika saya bertingkah? Aku juga tidak merugikan orang lain di sini karena aku hanya mengerjakan bagianku."Kalau kamu punya rasa
Belakangan ini kediaman di apartemen sangat sepi. Itu karena sebagian pegawai di beri izin untuk cuti tahunan dan biasanya mereka akan pergi bersama-sama dan meninggalkan Bi Susan seorang. Tama memang memberikan cuti bulanan tapi cuti tahunan itu wajib untuk dilakukan karena sebagian pekerja tidak pulang dan memilih untuk terus bekerja demi mengumpulkan pundi-pundi uang. Tama memberikan mereka cuti tahunan wajib agar mereka dapat bertemu dengan keluarga mereka secara berkala. Dia memang bukan orang baik tapi Tama memang berjanji untuk memakmurkan para pekerja di rumahnya agar mereka setia. Dan dia sudah memetik hasil yang dia tanam. Semua orang sangat loyal pada suamiku itu, bahkan mereka tidak segan memperlakukanku secara buruk ketika mereka tahu aku berselingku. Aku bersyukur pria itu hidup dengan baik meski dididik dengan orang yang bermasalah. Ini pertama kalinya aku menyaksikan mereka cuti bersama karena seperti yang kita semua tahu, hidupku selama ini dipenuhi dengan banyak m
Beberapa hari kemudian, para pekerja yang dicutikan telah kembali. Seperti sebuah ritual yang tidak tertuli, aku menanyakan pada mereka bagaimana kondisi setelah mendapatkan liburan. Semua orang bersuka cita. Tidak ada lagi pandangan kesal yang mereka layangkan padaku. "Berarti sekarang udah siap untuk bekerja, kan?" tanyaku. Meski mereka tidak siap, tetap saja tanggung jawab itu harus mereka jalankan. "Kalau sudah kalian bisa langsung menuju bagian kalian masing-masing." Semua mengangguk dan langsung melipir pergi. Staf untuk tinggal di rumah ini hanya 3 termasuk bi Susan, selebihnya adalah staf yang bekerja di rumah utama milik Tama. Beberapa dari mereka memang sering datang ke sini sekarang untuk melapor atau hanya sekedar bertukar posisi jika staf yang bekerja di sini tidak bisa datang. "Ibu kenapa? Suntuk banget mukanya." Dia Dinda yang memang ditugaskan Tama untuk menjadi asistenku meski sebenarnya aku tidak membutuhkannya. Dia di sini malah seperti teman mengobrol karena para
Aku langsung menoleh untuk melihatPerasaanku semakin membaik ketika langkah ringanku membawaku mengelilingi alun-alun. Banyak orang yang datang dan tempat ini penuh sesak, tapi euforia kebahagiaan itu tidak melunturkan semangat semua orang yang datang. Mataku meniti seluruh tempat, berbagai macam makanan dan pernak-pernik yang ada hampir membuatku kalap. Selesai menghabiskan satu porsi waffle, aku bergegas menarik Dinda. Wanita itu aku ajak menelusuri semua jalanan dan mataku semakin takjub melihat benda-benda lucu yang terpajang. Sebuah topi hitam membuat pandanganku tertegun. Itu mengingatkanku akan Tama. Pria itu pasti akan bertambah tampan jika mengenakan topi itu. Aku kembali menarik Dinda untuk melihat-lihat."Mau beli apa, Bu?" tanyanya. Aku menoleh dan tersenyum sambil mengangkat topi tersebut ke hadapannya. "Buat siapa?""Bapak bagus nggak ya pakai ini?" "Ah, buat Bapak to. Bagus kok Bu." Senyumku semakin lebar dan dengan cepat langsung melakukan transaksi untuk sebuh top
Aku semakin gemetar di tempatku. Mulutku yang dibekap membuatku tidak bisa banyak berbicara. Setidaknya, kalau ikatan di mulutku dilepas, aku bisa bernegoisasi dengan mereka. Memang apa untungnya bagi pria itu untuk menculikku. Toh, aku tidak mengenalnya dan juga, kami hanya berinteraksi sangat minim malam itu."Lo harus kasih gue imbalan yang besar setelah urusan ink selesai," ujar salah seorang dari mereka. Aku tidak tahu itu siapa karena bahkan untuk mendongak saja aku tidak berani. Aju kelewat takut dan kelewat pasrah. Banyak kemungkinan-kemungkinan buruk yang berputar di kepalaku. Otakku sudah tidak bisa mendoktrin segala sesuatu yang bersifat positif karena suasana dan keadaan di sini sangat mendukung untuk berpikiran buruk.Bagaimanapun juga, jika aku berteriak, pasti tidak akan ada orang yang mendengar. Tidak akan ada orang juga yang berani mendekati tempat ini. Tempat yahg terbilang kumu dan terpencil. Tempat-tempat yang sangat dihindari para manusia normal karena mereka tahu.
Aku mengitari pandanganku ditengah hiruk-pikuk manusia yang sedang menikmati suasana festival. Bukan pertama kalinya bagiku mendatangi tempat-tempat ramai seperti ini. Hanya saja rasanya masih asing setelah sekian lama aku tidak pernah menginjakkan kakiku ke acara-acara seperti ini.Kepalaku kupitar untuk mencari keberadaan Luna. Aku sengaja datang kemari karena aku memang ingin berkeliling bersama dengan wanita itu. Tidak dipungkiri ada perasaan membuncah yang bersarang di dadaku sekarang.Keningku berkerut saat melihat orang-orang yang aku tugaskan untuk menjaga Luna ada di sini. Padahal aku belum memberi mereka kabar."Kenapa kalian ada di sini?"Mereka menatapku bingung. Lalu saling berpandangan sebelum kembali menatapku."Bukannya Bapak yang manggil kita buat ke sini, ya?""Apa?!" Hening sejenak. Mataku langsung terbelalak kaget dan tanpa menunggu penjelasan, aku langsung berlari. Orang-orang itu memanggilku tapi tidak aku gubris. Sekarang yang ada di fikiranku hanya Luna.Ada y
Kejadian tadi membuatku ketakutan. Setelah Tama membantuku bebersih, dia membaringkanku ke atas tempat tidur kami. Tubuhku tidak berhenti bergetar. Aku takut. Teramat takut. Ini adalah pengalaman pertamaku memghadapi situasi yang benar-benar di luar kendali.Banyak kata andai yang melintas di benakku. Andai Tama tidak datang. Andai pria itu telat menyelamatkanku. Andai semuanya sudah terlambat. Kata itu bagai momok yang menakutkan.Hanya keheningan yang menemani kami berdua. Aku tidur membelakangi Tama. Aku tidak mau dia melihatku yang sudah berantakan karena menangis dan takut. Pria itu juga tidak mencoba membuka percakapan. Dia hanya menunggu dan diam.Perasaan tidak nyaman dan was-was itu menyelimuti relung hatiku. Aku tidak bisa tenang. Karena pikiranku berkecambuk, aku akhirnya minta Tama pergi. Aku ingin sendiri. Ingin menjernihkan otakku meski nampaknya akan sangat sulit.Selama perjalanan menuju rumah tadi, Tama mendapat laporan yang masih sempat aku curi dengar. Ternyata pria
Tama cukup lama berada di kamar. Pria itu bahkan mendengar senua keluh kesah Luna tanpa dia potong. Semua yang terjadi tadi langsung wanita itu ceritakan tanpa ada yabg ditutup-tutupi. Memang apa yang ingin Luna tutupi ketika dia sudah berada di ambang ketakutan yang teramat parah. Bahkan tadi, untuk bernafas saja dia merasa takut. Takut kalau sewaktu-waktu dia mati karena sikap kasar yang ditunjukkan oleh mereka.Bagi Tama sendiri, menjadi pendengar ketika seseorang berada di situasi terlemah merupakan pikihan bijak. Mereka hanya butuh didengar karena hal itu bisa mengurangi ketegangan yang mereka rasakan sebelumnya. Itu juga yang terjadi pada Luna saat ini.Dua jam berlalu begitu cepatnya. Luna juga nampaknya sudah lelah karena kini dia tidak lagi berbicara. Perempuan itu hanya terus memandang ke depan tanpa sedikitpun berani melirik Tama.“Kamu kenapa lagi?“ tanya pria itu lembut. Tama juga meraih tangan Luna dan mengecupunya untuk membuat wanita itu tenang.“Aku cuma ngerasa bersa