Beberapa hari kemudian, para pekerja yang dicutikan telah kembali. Seperti sebuah ritual yang tidak tertuli, aku menanyakan pada mereka bagaimana kondisi setelah mendapatkan liburan. Semua orang bersuka cita. Tidak ada lagi pandangan kesal yang mereka layangkan padaku. "Berarti sekarang udah siap untuk bekerja, kan?" tanyaku. Meski mereka tidak siap, tetap saja tanggung jawab itu harus mereka jalankan. "Kalau sudah kalian bisa langsung menuju bagian kalian masing-masing." Semua mengangguk dan langsung melipir pergi. Staf untuk tinggal di rumah ini hanya 3 termasuk bi Susan, selebihnya adalah staf yang bekerja di rumah utama milik Tama. Beberapa dari mereka memang sering datang ke sini sekarang untuk melapor atau hanya sekedar bertukar posisi jika staf yang bekerja di sini tidak bisa datang. "Ibu kenapa? Suntuk banget mukanya." Dia Dinda yang memang ditugaskan Tama untuk menjadi asistenku meski sebenarnya aku tidak membutuhkannya. Dia di sini malah seperti teman mengobrol karena para
Aku langsung menoleh untuk melihatPerasaanku semakin membaik ketika langkah ringanku membawaku mengelilingi alun-alun. Banyak orang yang datang dan tempat ini penuh sesak, tapi euforia kebahagiaan itu tidak melunturkan semangat semua orang yang datang. Mataku meniti seluruh tempat, berbagai macam makanan dan pernak-pernik yang ada hampir membuatku kalap. Selesai menghabiskan satu porsi waffle, aku bergegas menarik Dinda. Wanita itu aku ajak menelusuri semua jalanan dan mataku semakin takjub melihat benda-benda lucu yang terpajang. Sebuah topi hitam membuat pandanganku tertegun. Itu mengingatkanku akan Tama. Pria itu pasti akan bertambah tampan jika mengenakan topi itu. Aku kembali menarik Dinda untuk melihat-lihat."Mau beli apa, Bu?" tanyanya. Aku menoleh dan tersenyum sambil mengangkat topi tersebut ke hadapannya. "Buat siapa?""Bapak bagus nggak ya pakai ini?" "Ah, buat Bapak to. Bagus kok Bu." Senyumku semakin lebar dan dengan cepat langsung melakukan transaksi untuk sebuh top
Aku semakin gemetar di tempatku. Mulutku yang dibekap membuatku tidak bisa banyak berbicara. Setidaknya, kalau ikatan di mulutku dilepas, aku bisa bernegoisasi dengan mereka. Memang apa untungnya bagi pria itu untuk menculikku. Toh, aku tidak mengenalnya dan juga, kami hanya berinteraksi sangat minim malam itu."Lo harus kasih gue imbalan yang besar setelah urusan ink selesai," ujar salah seorang dari mereka. Aku tidak tahu itu siapa karena bahkan untuk mendongak saja aku tidak berani. Aju kelewat takut dan kelewat pasrah. Banyak kemungkinan-kemungkinan buruk yang berputar di kepalaku. Otakku sudah tidak bisa mendoktrin segala sesuatu yang bersifat positif karena suasana dan keadaan di sini sangat mendukung untuk berpikiran buruk.Bagaimanapun juga, jika aku berteriak, pasti tidak akan ada orang yang mendengar. Tidak akan ada orang juga yang berani mendekati tempat ini. Tempat yahg terbilang kumu dan terpencil. Tempat-tempat yang sangat dihindari para manusia normal karena mereka tahu.
Aku mengitari pandanganku ditengah hiruk-pikuk manusia yang sedang menikmati suasana festival. Bukan pertama kalinya bagiku mendatangi tempat-tempat ramai seperti ini. Hanya saja rasanya masih asing setelah sekian lama aku tidak pernah menginjakkan kakiku ke acara-acara seperti ini.Kepalaku kupitar untuk mencari keberadaan Luna. Aku sengaja datang kemari karena aku memang ingin berkeliling bersama dengan wanita itu. Tidak dipungkiri ada perasaan membuncah yang bersarang di dadaku sekarang.Keningku berkerut saat melihat orang-orang yang aku tugaskan untuk menjaga Luna ada di sini. Padahal aku belum memberi mereka kabar."Kenapa kalian ada di sini?"Mereka menatapku bingung. Lalu saling berpandangan sebelum kembali menatapku."Bukannya Bapak yang manggil kita buat ke sini, ya?""Apa?!" Hening sejenak. Mataku langsung terbelalak kaget dan tanpa menunggu penjelasan, aku langsung berlari. Orang-orang itu memanggilku tapi tidak aku gubris. Sekarang yang ada di fikiranku hanya Luna.Ada y
Kejadian tadi membuatku ketakutan. Setelah Tama membantuku bebersih, dia membaringkanku ke atas tempat tidur kami. Tubuhku tidak berhenti bergetar. Aku takut. Teramat takut. Ini adalah pengalaman pertamaku memghadapi situasi yang benar-benar di luar kendali.Banyak kata andai yang melintas di benakku. Andai Tama tidak datang. Andai pria itu telat menyelamatkanku. Andai semuanya sudah terlambat. Kata itu bagai momok yang menakutkan.Hanya keheningan yang menemani kami berdua. Aku tidur membelakangi Tama. Aku tidak mau dia melihatku yang sudah berantakan karena menangis dan takut. Pria itu juga tidak mencoba membuka percakapan. Dia hanya menunggu dan diam.Perasaan tidak nyaman dan was-was itu menyelimuti relung hatiku. Aku tidak bisa tenang. Karena pikiranku berkecambuk, aku akhirnya minta Tama pergi. Aku ingin sendiri. Ingin menjernihkan otakku meski nampaknya akan sangat sulit.Selama perjalanan menuju rumah tadi, Tama mendapat laporan yang masih sempat aku curi dengar. Ternyata pria
Tama cukup lama berada di kamar. Pria itu bahkan mendengar senua keluh kesah Luna tanpa dia potong. Semua yang terjadi tadi langsung wanita itu ceritakan tanpa ada yabg ditutup-tutupi. Memang apa yang ingin Luna tutupi ketika dia sudah berada di ambang ketakutan yang teramat parah. Bahkan tadi, untuk bernafas saja dia merasa takut. Takut kalau sewaktu-waktu dia mati karena sikap kasar yang ditunjukkan oleh mereka.Bagi Tama sendiri, menjadi pendengar ketika seseorang berada di situasi terlemah merupakan pikihan bijak. Mereka hanya butuh didengar karena hal itu bisa mengurangi ketegangan yang mereka rasakan sebelumnya. Itu juga yang terjadi pada Luna saat ini.Dua jam berlalu begitu cepatnya. Luna juga nampaknya sudah lelah karena kini dia tidak lagi berbicara. Perempuan itu hanya terus memandang ke depan tanpa sedikitpun berani melirik Tama.“Kamu kenapa lagi?“ tanya pria itu lembut. Tama juga meraih tangan Luna dan mengecupunya untuk membuat wanita itu tenang.“Aku cuma ngerasa bersa
“Kami juga membawa serta undangan pemanggilan secara resmi. Mohon kerja samanya, Pak,” ucap pengawal tersebut. Dia juga menyodorkan kertas yang disebut undangan dan langsung meletakannya ke atas meja. “Karena urusan kami sudah selesai di sini. Kami mohon undur diri sekarang.“Semua mata yang ada di sana terpanah melihat pria itu yang berbicara lancar tanpa tersendat. Bahkan Dinda yang dari awal mengomel langsung terdiam begitu saja.“B-bukannya nggak sopan ya kalau kita main pergi gitu aja…” gumamnya.“Urusan kami sudah selesai dan sebaiknya anda ikut pulang bersama kami.“Tapi… Bayu! Lo harus jelasin dulu kalau gue nggak terlibat!“ Dinda meronta dan berteriak untuk mendapatkan penjelasan yang malah diabaikan oleh sahabatnya itu. Bahkan, pria itu masih saja diam ketika melihat Dinda yang diseret keluar. Untuk beberapa saat, Bayu masih terdiam di tempatnya. Kilasan balik tentang kejadian hari itu langsung mendatanginya. Dia merasa ada yang tidak benar dengan apa yang sudah terjadi.“Te
Seminggu setelah mengalami hari yang tidak menyenangkan, moodku sudah kembali seperti semula. Aku sudah bisa menikmati banyak hal tanpa takut dan gemetar lagi. Tama juga mengajakku menemui psikiater agar aku tidak jatuh ke dalam trauma yang berkepanjangan. Suamiku yang satu ini memang sangat luar biasa. Hanya saja, dia itu tipikal manusia mendadak. Itu satu-satunya hal yang tidak aku sukai.Beberapa bulan terakhir ini, dia selalu mengabariku atau mengajakku pergi diwaktu mepet. Sama seperti sekarang. Dia mengajakku menghadiri pesta yang mana pesta itu akan dilangsungkan dalam dua jam kedepan, tapi dia baru memberitahuku dua menit yang lalu. Meski aku bukan tipikal wanita yang heboh, tetap saja aku membutuhkan persiapan agar tidak berpenampilan terlalu sederhana. Aku tidak akan mencoreng nama baik suami. Tidak lagi.“Kamu butuh apa? Bilang sama aku nanti biar aku siapkan langsung.“Aku mendesis kesal sambil menatap tajam ke arahnya. Bukankah dia terlalu santai untuk ukuran orang yang b