Tama cukup lama berada di kamar. Pria itu bahkan mendengar senua keluh kesah Luna tanpa dia potong. Semua yang terjadi tadi langsung wanita itu ceritakan tanpa ada yabg ditutup-tutupi. Memang apa yang ingin Luna tutupi ketika dia sudah berada di ambang ketakutan yang teramat parah. Bahkan tadi, untuk bernafas saja dia merasa takut. Takut kalau sewaktu-waktu dia mati karena sikap kasar yang ditunjukkan oleh mereka.Bagi Tama sendiri, menjadi pendengar ketika seseorang berada di situasi terlemah merupakan pikihan bijak. Mereka hanya butuh didengar karena hal itu bisa mengurangi ketegangan yang mereka rasakan sebelumnya. Itu juga yang terjadi pada Luna saat ini.Dua jam berlalu begitu cepatnya. Luna juga nampaknya sudah lelah karena kini dia tidak lagi berbicara. Perempuan itu hanya terus memandang ke depan tanpa sedikitpun berani melirik Tama.“Kamu kenapa lagi?“ tanya pria itu lembut. Tama juga meraih tangan Luna dan mengecupunya untuk membuat wanita itu tenang.“Aku cuma ngerasa bersa
“Kami juga membawa serta undangan pemanggilan secara resmi. Mohon kerja samanya, Pak,” ucap pengawal tersebut. Dia juga menyodorkan kertas yang disebut undangan dan langsung meletakannya ke atas meja. “Karena urusan kami sudah selesai di sini. Kami mohon undur diri sekarang.“Semua mata yang ada di sana terpanah melihat pria itu yang berbicara lancar tanpa tersendat. Bahkan Dinda yang dari awal mengomel langsung terdiam begitu saja.“B-bukannya nggak sopan ya kalau kita main pergi gitu aja…” gumamnya.“Urusan kami sudah selesai dan sebaiknya anda ikut pulang bersama kami.“Tapi… Bayu! Lo harus jelasin dulu kalau gue nggak terlibat!“ Dinda meronta dan berteriak untuk mendapatkan penjelasan yang malah diabaikan oleh sahabatnya itu. Bahkan, pria itu masih saja diam ketika melihat Dinda yang diseret keluar. Untuk beberapa saat, Bayu masih terdiam di tempatnya. Kilasan balik tentang kejadian hari itu langsung mendatanginya. Dia merasa ada yang tidak benar dengan apa yang sudah terjadi.“Te
Seminggu setelah mengalami hari yang tidak menyenangkan, moodku sudah kembali seperti semula. Aku sudah bisa menikmati banyak hal tanpa takut dan gemetar lagi. Tama juga mengajakku menemui psikiater agar aku tidak jatuh ke dalam trauma yang berkepanjangan. Suamiku yang satu ini memang sangat luar biasa. Hanya saja, dia itu tipikal manusia mendadak. Itu satu-satunya hal yang tidak aku sukai.Beberapa bulan terakhir ini, dia selalu mengabariku atau mengajakku pergi diwaktu mepet. Sama seperti sekarang. Dia mengajakku menghadiri pesta yang mana pesta itu akan dilangsungkan dalam dua jam kedepan, tapi dia baru memberitahuku dua menit yang lalu. Meski aku bukan tipikal wanita yang heboh, tetap saja aku membutuhkan persiapan agar tidak berpenampilan terlalu sederhana. Aku tidak akan mencoreng nama baik suami. Tidak lagi.“Kamu butuh apa? Bilang sama aku nanti biar aku siapkan langsung.“Aku mendesis kesal sambil menatap tajam ke arahnya. Bukankah dia terlalu santai untuk ukuran orang yang b
Setelah urusan penculikan itu selesai, Dinda diperbolehkan kembali bekerja setelah tahu kalau dia tidak bersalah. Dia bahkan sampai menangis sesenggukan karena diperbolehkan kembali bekerja denganku. Awalnya dia pasrah kalau memang akan dituntut dan dia juga mengatakan kalau dia juga bersalah karena mau-mau saja mempercayai temannya itu.Lalu yang membuat aku tidak habis fikir adalah, orang-orang yang menjaga Dinda. Mereka bahkan mengucapkan terima kasih berkali-kali karena akhirnya mereka dapat lepas dari Dinda.“Selama seminggu ini saya disuruh buat tulis kronologi tentang kedekatan saya sama teman saya. Saya sendiri hampir gila karena hal itu, Ibu,” jelasnya sambil menangis. Begitu diperbolehkan bekerja, Dinda tidak menunggu-nunggu untuk mengambil cuti setengah hari. Dia langsung datang ke rumah untuk bertemu dengan kami.“Padahal saya kenal sama dia karena dia anaknya teman ayah,” jelasnya masih sambil menangis. “Harusnya saya lebih waspada lagi. Maaf, Ibu.“Aku masih saja diam sa
Mau tidak mau aku harus mengiyakan pertemuan dengan Papa Irfandi meski sesungguhnya aku enggan. Memangnya siapa yang sudi bertemu dengan manusia bejat macam dia. Jika bukan karena aku tidak memiliki banyak bukti, pasti aku sudah melaporkan pria itu pada pihak yang berwajib. Aku dan papa duduk berhadapan. Masih belum ada yang membuka pembicaraan. Aku juga enggan karena ini bukan inisiatifku sendiri untuk bertemu dengannya.“Katanya kamu mau main ke rumah?“ tanyanya sambil menyesap teh hangat yang sudah disediakan. “Padahal Papa sama Mama cemas sama keadaan kamu. Kamu juga lagi hamil dan malah kelihatan kurus. Kamu baik-baik aja, kan? Ehm… Papa juga dapat kabar kalau ada orang yang coba-coba mau mencelakakan kamu. Butuh bantuan Papa nggak buat cari tahu siapa dalangnya?“Aku diam. Masih belum merespon. Nampaknya dia sudah menyiapkan banyak materi pembahasan sebelum datang ke sini. Pembahasan itu merupkan kasus yang baru saja aku alami. Bukan hal yang aneh kalau Papa sampai mengetahui s
Kenapa jadinya begini? Padahal aku kira kami sudah tidak akan memiliki hubungan lagi setelah dia menghilang. Tapi apa yang terjadi barusan itu? Rasanya masih sangat sulit untuk dipercaya. Ditambah, dia datang hanya untuk mengucapkan kalimat itu dan pergi setelahnya. Bukankah nampak aneh?“Mama sudah dari kapan datang ke sini? Apa Bibi juga udah siapkan kamar buat Mama?!“ tanyaku lagi. Sekarang aku harus bertanya lebih rinci karena sepertinya mama akan menetap beberapa hari di sini. Selama itu juga, aku akan mengamati apa yang dia inginkan sebenarnya. Pasti ada alasan kenapa dia kembali setelah pergi dan tidak ada kabar.“Sudah. Bu Manda juga bilang kalau dia bakal butuh bantuan saja juga untuk menghadapi kamu.““Memangnya aku kenapa?!“ ucapku lagi dengan alis mengernyit. Bibi hanya mengedikkan bahu pelan. Mungkin dia lebih memilih untuk tidak menjawab.“Pokoknya nggak usah khawatir. Bu Manda juga udah terbiasa sama kediaman ini.““Kok bisa?!“Bibi menghela nafas kasar. Dari pengelihat
Pembicaraan tentang anggaran dan tetek bengek lainnya berakhir dengan keputusan satu suara. Setelah itu, kami melanjutkan mengobrol santai meski suasananya masih cukup kaku. Bagaimana tidak kaku karena kami tidak ada yang memulai pembicaraan. Tama pun hanya sibuk dengan berkas-berkasnya sendiri.“Mama selalu perhatikan kamu dari jauh. Tapi baru kali ini Mama punya keberanian buat mendekat.“Aku menunduk dan masih menunggu mama melanjutkan kalimatnya.“Dikesempatan kali ini, Mama mau minta maaf. Maaf karena Mama abai dan maaf karena Mama nggak langsung cari kamu setelah tahu Papa meninggal. Mama tahu pasti sulit buat kamu maafin Mama. Tapi bisa nggak kamu kasih Mama kesempatan supaya kita bisa jadi keluarga? Mama bakal tebus semua kesalahan Mama. Mama janji.“Aku mengernyit. Padahal tidak perlu sampai seekstrem itu untuknya meminta maaf. Toh apa yang dia lakukan bukanlah kesalahan fatal karena bahkan dia itu tidak pernah menyakitiku. Kita hanya hidup seperti orang asing.“Mama nggak pe
Setelah pesta malam itu, aku jadi sering menghadiri pertemuan dalam lingkup kecil. Mungkin karena sepak terjangku yang lumayan buruk di masa lalu, beberapa orang nampak terkejut dengan kehadiranku. Orang-orang yang sebelumnya sempat menolakku juga hanya bisa diam. Ternyata kekuatan mereka tidak sedahsyat itu sampai bisa mengusikku di perkumpulan yang aku ikuti.Mayoritas orang yang ada menyambutku dengan baik karena aku hadir bersama dengan mama. Popularitas wanita itu pasti tidak hanya didapat melalui kekuasaan. Kira-kira seberapa besar usaha yang mama lakukan dulu untuk bisa menjadi seseorang yang mendominasi di perkumpulan? Pasti sangat besar dan panjang.Kesibukanku membuat waktu berkumpulku dengan Tama sedikit berkurang. Tidak bisa dipungkiri memang kalau aku juga merasa terganggu. Ditambah usia kehamilanku semakin membesar dan aku sangat membutuhkan perhatian dari pria itu. Sayangnya, Tama juga sering sibuk dengan urusannya di kantor. Kerjaanya bertambah berkali-kali lipat semen