Setelah pesta malam itu, aku jadi sering menghadiri pertemuan dalam lingkup kecil. Mungkin karena sepak terjangku yang lumayan buruk di masa lalu, beberapa orang nampak terkejut dengan kehadiranku. Orang-orang yang sebelumnya sempat menolakku juga hanya bisa diam. Ternyata kekuatan mereka tidak sedahsyat itu sampai bisa mengusikku di perkumpulan yang aku ikuti.Mayoritas orang yang ada menyambutku dengan baik karena aku hadir bersama dengan mama. Popularitas wanita itu pasti tidak hanya didapat melalui kekuasaan. Kira-kira seberapa besar usaha yang mama lakukan dulu untuk bisa menjadi seseorang yang mendominasi di perkumpulan? Pasti sangat besar dan panjang.Kesibukanku membuat waktu berkumpulku dengan Tama sedikit berkurang. Tidak bisa dipungkiri memang kalau aku juga merasa terganggu. Ditambah usia kehamilanku semakin membesar dan aku sangat membutuhkan perhatian dari pria itu. Sayangnya, Tama juga sering sibuk dengan urusannya di kantor. Kerjaanya bertambah berkali-kali lipat semen
Semalam, Tama tidak kembali ke kamar. Dia juga tidak datang untuk sarapan. Aku rasa dia memikirkan tentang apa yang aku katakan. Padahal niat aku mengatakan itu karena aku hanya ingin memberitahu mereka. Bukan karena aku ingin membuat Tama kepikiran. Harusnya aku memang tidak mengatakan apa-apa padanya.Aku kembali mencoba memfokuskan diri pada laporan keuangan. Ah, rasanya kepalaku hampir pecah hanya karena melihat angka-angka yang berjejer rapi di sini. Mereka seolah sedang melambai dan mengejekku.“Ibu, Bapak ada di luar.“Aku menoleh dan melihat Dinda yang berdiri di dekat pintu. Siluet Tama terlihat di sana. Aku langsung saja beranjak dan menariknya masuk ke dalam. Setelah memberikan instruksi pada Dinda, kami ditinggalkan berdua di dalam sini.Suasana di antara kami terasa canggung. Dia bahkan tidak seceria biasanya. Terlihat ada beban berat yang tertahan di pundaknya. Bagaimana bisa pria sebaik ini terlahir di dalam keluarga problematik seperti itu. Aku merasa kasihan dengan Ta
“Tadi gue ketemu sama Pak Iman.“Itu adalah kalimat pembuka yang diucapkan Damar begitu mereka memulai pembicaraan. Tidak ada basa-basi, tidak ada pemanasan. Intinya hanya langsung menjurus pada obrolan yang ingin disampaikan.“Jangan salahin dia karena gue emang minta ke Pak Iman buat nggak kasih tahu lo soal ini. Gue sama dia ketemu sama salah satu sekertaris bokap lo yang udah resign. Entah lo tahu soal dia atau nggak, yang pasti dia sengaja minta ketemu karena dia udah ditahap bingung harus cerita ke siapa lagi. Dia juga orang yang ada di samping bokap lo waktu beliau kritis. Setiap kali ketemu sama Pak Iman, dia selalu melarikan diri. Berusaha untuk tidak menarik perhatian karena tidak ingin bertemu dengan pria tua yang udah lo anggap seperti keluarga. Orang itu juga pernah memohon sama Pak Iman buat nggak cari-cari dia lagi. Karena memang Pak Iman tidak tahu permasalahan apa yang tengah terjadi di dalam perusahaan, dia menyetujui perkataan dari pria itu.Sejak itu kabar tentang
Author POVTernyata kabar tentang Papa Irfandi yang ditangkap pihak berwajib menjadi beruta yang menggemparkan banyak orang. Beberapa pihak yang awalnya menjalin kerjasama erat dengan dia pun perlahan mundur teratur dan bertingkah seolah kalau mereka tidak pernah saling mengenal. Manusia setingkat Irfandi seharusnya akan mudah untuk melobby pihak kepolisian. Namun nyatanya yang terjadi malah sebaliknya. Bukti yang sangat jelas itu membuat semua orang enggan untuk menerima suap darinya.Hingga akhirnya sidang pertama berhasil diselenggarakan. Skala persidangan ini sangat besar karena kasus yang itu termasuk kasus pembunuhan berencana. Berita ini menjadi santapan yang sangat lezat bagai para rival perusahaan. Orang-orang pasti ingin mengetahui bagaimana kelanjutan hubungan antara mertua dan mantu yang saling merebutkan harta warisan. “Saya nggak nyangka kalau menantu saya bisa bersikap kasar seperti ini. Harusnya kan dia berterima kasih pada suami saya. Kalau tidak ada suami saya, peru
“Sebenarnya obat itu bisa saja saya yang membeli. Tapi seperti yang kita ketahui, terdakwa selalu bolak-balik ke kantor dan karena ingin menghemat waktu, terdakwa menawarkan diri untuk membelikan obat tersebut. Sebagai dokter yang memang ditugaskan untuk memantau kondisi pasien, saya memang ditugaskan untuk selalu waspada. Ditambah kondisi pasien saat itu benar-benar tidak dalam kondisi bagus dan mengharuskan saya untuk selalu berada di sampingnya. Dan apotek tempat pengambilan obat itu adalah apotek yang saya rekomendasikan pada terdakwa.“Hening sejenak. Suasana di ruang sidang terlihat semakin memanas. Tidak ada satupun yang membuka mulutnya, bahkan suara sekecil apapun bisa terdengar karena kondisi tersebut.“Kalian pasti tidak akan membayangkan betapa sulitnya mengurus orang sakit. Terdakwa sudah pasti juga butuh waktu untuk beristirahat. Menurut saya, membeli obat juga termasuk waktu istirahat bagi terdakwa setelah beliau seharian berkutat dengan dokumen-dokumen. Itu hal yang ti
“Kenapa anda tidak jujur sejak awal pada saya?!“Ruangan pertemuan itu terasa sunyi. Irfandi dan pengacaranya kini duduk berhadapan. Kali ini bukan Irfandi yang bersikap angkuh. Peran itu sudah berkebalikan karena si pengacara merasa di rugiman di sini karena banyak miss komunikasi yang terjadi di ruang sidang tadi.“Sejak awal saya sudah mengingatkan supaya anda berkata jujur pada saya. Bukti yang di keluarkan jaksa bisa saya tepis kalau saja anda mengatakan sejak awal. Dengan kalahnya saya, kredibilitas saya jadi dipertanyakan oleh khalayak umum,” geramnya.“Anda sendiri juga tahu kalau penyidik juga ikut menggeledah semua apotek yang pernah anda kunjungi. Lalu kenapa masih diam saja?!““Saya fikir transaksi saya tidak akan bermasalah dan tidak akan memberi dampak pada persidangan ini.““Yang dikatakan suami saya itu benar. Lagi pula, siapa yang bisa mati hanya karena obat pereda rasa sakit!“Dira ikut protes. Dia nyatanya tidak merasa malu meskintadi sempat memohon pada Tama. Kini
Di hari ke empat liburan, aku merasa sangat lelah. Jadwal yang sudah di susun Dinda terasa amat sangat tidak manusiawi meski sejujurnya aku sangat menikmati kegiatan tersebut. Hampir lima hari berada di sini tapi aku tidak sempat memikirkan tentang hal lainnya.Aku bersyukur, meski tubuh ingin menjerit. Tapi aku juga sangat bahagia karena di balik agenda itu ada perhatian yang memang sengaja disiapkan untukku.Hanya saja untuk sekarang aku sangat merindukan kasurku. Apa harus aku bersikap egois untuk mengajak mereka kembali meski akhirnya akan merusak suasana?“Pemandangannya bagus, kan?“Aku hanya bisa menoleh sekilas lalu kembali menunduk. Maaf kan aku, tubuh ini sudah meronta untuk meminta jatah.Kali ini kami memang sedang berada di tengah-tengah danau. Entah dari mana pemikiran tentang naik kapal berasal karena kini kami semua sudah ada di sini. Dengan salah satu pengawal yang sudah beralih profensi menjadi tukang dayung.“Ini gimana?!“Kepalaku sontak menoleh saat mendengar suar
Perjalanan mereka benar-benar berakhir. Kini mereka sudah sampai di rumah dan sedikit heran saat menemukan kondisi tempat itu yang sangat gelap. Dari lift saja hanya terlihat lampu remang-remang yang memang biasanya digunakan jika ada pemadaman mendadak.Begitu masuk ke dalam penthouse, suasana sepi itu nampak mencekam. Dari arah samping terdengar suara langkah kaki yang tergopoh-gopoh berusaha untuj mendekat.“Sudah pulang? Kenapa nggak ngabarin Bibi!“Itu Bi Susan. Wanita paruh baya itu sepertinya sudah sempat terlelap sebelumnya karena wajahnya yang terlihan kuyu seperti menahan kantuk.“Gimana liburannya?“ tanya wanita itu lagi. Kali ini dia nampak sangat antusias. “Beberapa orang dicutikan karena memang tidak banyak yang harus dikerjakan. Tapi Bibi sengaja masih di sini karena tahu kalau Tama lagi sibuk-sibuknya di kantor.““Cuti lagi?“ Nada suara Dinda terdengar lesu. Aku tidak tahu kenapa tapi ekspresinya seolah menolak untuk cuti.“Iya. Kamu juga beres-beres dulu sana. Pasti c