“Kenapa anda tidak jujur sejak awal pada saya?!“Ruangan pertemuan itu terasa sunyi. Irfandi dan pengacaranya kini duduk berhadapan. Kali ini bukan Irfandi yang bersikap angkuh. Peran itu sudah berkebalikan karena si pengacara merasa di rugiman di sini karena banyak miss komunikasi yang terjadi di ruang sidang tadi.“Sejak awal saya sudah mengingatkan supaya anda berkata jujur pada saya. Bukti yang di keluarkan jaksa bisa saya tepis kalau saja anda mengatakan sejak awal. Dengan kalahnya saya, kredibilitas saya jadi dipertanyakan oleh khalayak umum,” geramnya.“Anda sendiri juga tahu kalau penyidik juga ikut menggeledah semua apotek yang pernah anda kunjungi. Lalu kenapa masih diam saja?!““Saya fikir transaksi saya tidak akan bermasalah dan tidak akan memberi dampak pada persidangan ini.““Yang dikatakan suami saya itu benar. Lagi pula, siapa yang bisa mati hanya karena obat pereda rasa sakit!“Dira ikut protes. Dia nyatanya tidak merasa malu meskintadi sempat memohon pada Tama. Kini
Di hari ke empat liburan, aku merasa sangat lelah. Jadwal yang sudah di susun Dinda terasa amat sangat tidak manusiawi meski sejujurnya aku sangat menikmati kegiatan tersebut. Hampir lima hari berada di sini tapi aku tidak sempat memikirkan tentang hal lainnya.Aku bersyukur, meski tubuh ingin menjerit. Tapi aku juga sangat bahagia karena di balik agenda itu ada perhatian yang memang sengaja disiapkan untukku.Hanya saja untuk sekarang aku sangat merindukan kasurku. Apa harus aku bersikap egois untuk mengajak mereka kembali meski akhirnya akan merusak suasana?“Pemandangannya bagus, kan?“Aku hanya bisa menoleh sekilas lalu kembali menunduk. Maaf kan aku, tubuh ini sudah meronta untuk meminta jatah.Kali ini kami memang sedang berada di tengah-tengah danau. Entah dari mana pemikiran tentang naik kapal berasal karena kini kami semua sudah ada di sini. Dengan salah satu pengawal yang sudah beralih profensi menjadi tukang dayung.“Ini gimana?!“Kepalaku sontak menoleh saat mendengar suar
Perjalanan mereka benar-benar berakhir. Kini mereka sudah sampai di rumah dan sedikit heran saat menemukan kondisi tempat itu yang sangat gelap. Dari lift saja hanya terlihat lampu remang-remang yang memang biasanya digunakan jika ada pemadaman mendadak.Begitu masuk ke dalam penthouse, suasana sepi itu nampak mencekam. Dari arah samping terdengar suara langkah kaki yang tergopoh-gopoh berusaha untuj mendekat.“Sudah pulang? Kenapa nggak ngabarin Bibi!“Itu Bi Susan. Wanita paruh baya itu sepertinya sudah sempat terlelap sebelumnya karena wajahnya yang terlihan kuyu seperti menahan kantuk.“Gimana liburannya?“ tanya wanita itu lagi. Kali ini dia nampak sangat antusias. “Beberapa orang dicutikan karena memang tidak banyak yang harus dikerjakan. Tapi Bibi sengaja masih di sini karena tahu kalau Tama lagi sibuk-sibuknya di kantor.““Cuti lagi?“ Nada suara Dinda terdengar lesu. Aku tidak tahu kenapa tapi ekspresinya seolah menolak untuk cuti.“Iya. Kamu juga beres-beres dulu sana. Pasti c
Hubunganku dengan Tama sudah membaik. Tidak ada lagi perang dingin. Tidak ada lagi silent treatment. Semuanya berhasil teratasi seiring dengan berjalannya waktu. Kehadiran Tama dalam hidupku benar-benar memberikan pengaruh yang liar biasa. Aku seolah kembali hidup. Dan yang lebih membahagiakan adalah ketika aku bangun dan menemukan tubuhku berada di dalam dekapannya. Ah, jangan lupakan juga kalau sekarang aku benar-benar sudah bertindak layaknya seorang istri. Aku mempersiapkan sarapan untuk Tama, mengantarnya ke pintu saat dia akan berangkat kerja dan akan diakhiri dengan dia yang memberikan kecupan hangat di kening dan bibirku sebelum kami benar-benar berpisah.Setelah mengalami banyaknya kejadian yang tidak mengenakan, aku baru sadar kalau kehadiran Tama benar-benar memberi pengaruh hebat di dalam hidupku. Aku tidak membayangkan bagaimana aku akan melanjutkan hidup jika tidak ada Tama di sisiku. Aku akui aku sangat egois dan sangat memilih untuk menerka-nerka tanpa bertanya terleb
Aku menguap sambil sedikit meregangkan tubuh. Bertepatan dengan itu sebuah tangan mencoba mendekapku dan membuat ruang gerakku terhalang. Aku langsung menolehkan kepalaku ke belakang. Ada Tama yang masih terlelap dan nampak sangat nyaman.Jangan berfikir kalau kami sehabis melakukan malam panah yang penuh gairah karena nyatanya kami masih tidur dalam keadaan pakaian utuh yang masih menempel erat di tubuh kami.Karena masih banyak yang harus dikerjakan, akhirnya aku memilih untuk menyegarkan diri terlebih dahulu sebelum menyiapkan sarapan untuk Tama. Saat aku keluar dari kamar mandi pun pria itu maaih tertidur dengan lelap. Sepertinya dia sangat lelah jadi aku memutuskan untuk membiarkan dia tidur lebih lama."Sayang, ayo sarapan dulu."Itu adalah suaraku yang mulai membangunkan dia empat puluh lima menit kemudian. Aku hanya menyiapkan sarapan sederhana dengan bahan-bahan yang ada di kulkas. Jangan lupakan fakta kalau sekarang aku sudah bisa masak. Untuk menu aku memilih memasak sambal
"Udah sampai, Queen!"Tama mengecup sayang keningku dan hal itu berhasil menarik perhatianku. Sedari tadi aku memang sibuk sendiri dan memilih untuk berkutat dengan pikiranku. Bukan karena ingin, tapi itu adalah hal yang lumrah terjadi."Kok cepet?!" Aku meringis sambil menampilkan raut wajah yang dipenuhi rasa bersalah pada pria itu. Niat hati hanya ingin melamun sebentar tapi kenyataan yang terjadi malah aku lupa waktu."Soalnya kamu dari tadi melamun, Bunda. Turun sekarang, yuk. Damar barusan chat kalau Lyan lagi riweh sama anaknya. Jadi dia nyuruh kita buat langsung naik ke lantai atas."Jangan merasa bingunh dengan panggilan Tama yang seringkali berganti. Pria itu memang sering melakukannya. Mengikuti mood yang sedang dirasakan oleh pria itu.Seharusnya acara yang akan kami lakukan setelah menemani Tama meeting adalah quality time bersama. Tama memutuskan untuk mengajakku staycation di salah satu villa miliknya. Tapu semua terpaksa dibatalkan karena Damar. Dia meminta meminta Tam
Aku membanting tubuhku ke atas sofa dan merebahkan tubuhku dengan nyaman. Rasa lelah dan letih yang sebelumnya tidak terasa sama sekali mulai menghampiri tubuhku secara perlahan. Aku memejamkan mataku sejenak. Menghilangkan semua energi negatif yang menumpuk.Jam kecil yang ada di atas nakas menunjukkan pukul 10 malam. Kami berada di luar sepanjang hari dan pantas saja rasanya sangat melelahkan. Aku menoleh ke arah pintu yang mengeluarkan suara. Ada Tama di sana yang baru saja keluar dari kamar mandi. Rambutnya masih basah dengan handuk yang tersampir di lehernya. Pria ini nampak menggiurkan.Kedua tangannya bergerak mengusap rambutnya yang masih meneteskan air. Begitu tatapan kami bertemu dia langsung tersenyum dan bergerak mendekatiku.“Capek?“ tanyanya sambil menyerahkan handuk kecil yang dia bawa tadi padaku. Tanpa dia suruh aku bisa langsung tahu apa yang di inginkan oleh priaku ini. Tanganku bergerak untuk mengusap kepalanya. Harum aroma sampoo yang dia gunakan menguar bebas di
“Lo ngerokok lagi?“ Damar mengernyitkan kening begitu melihat Tama yang mulai menyesal kembali benda yang sudah dia coba jauhi. Mereka sedang berada di rooftop kantor. Tempat yang biasanya menjadi basecamp untuk para perokok. Damar memang sengaja datang ke sini karena merasa suntuk di dalam. Dia membutuhkan rokok untuk setidaknya menenangkan pikirannya.“Cuma sebatang,” jawab Tama sambil mematikan rokok yang sudah selesai dia hisap di dalam asbak.“Jadi, masalah apa yang lagi lo terima kali ini.“Damar sangat mengenal sahabatnya ini. Tama hanya akan merokok jika dia menghadapi masalah. Jika sudah kelewat pelik, Tama akan minum. Karena sekarang hanya merokok, pasti itu masalah yang seharusnya bisa dibicarakan namun harus tertunda sejenak. Pada dasarnya Tama itu bukan perokok dan peminum. Apa yang dia lakukan pasti karena ada penyebabnya.“Cuma lagi mau ngerokok doang,” jawabnya singkat.“Lo kira lo bisa bohongin gue.“ Damar kembali menepuk pelan bahu Tama. Kebiasaan yang tidak pernah b