“Lo ngerokok lagi?“ Damar mengernyitkan kening begitu melihat Tama yang mulai menyesal kembali benda yang sudah dia coba jauhi. Mereka sedang berada di rooftop kantor. Tempat yang biasanya menjadi basecamp untuk para perokok. Damar memang sengaja datang ke sini karena merasa suntuk di dalam. Dia membutuhkan rokok untuk setidaknya menenangkan pikirannya.“Cuma sebatang,” jawab Tama sambil mematikan rokok yang sudah selesai dia hisap di dalam asbak.“Jadi, masalah apa yang lagi lo terima kali ini.“Damar sangat mengenal sahabatnya ini. Tama hanya akan merokok jika dia menghadapi masalah. Jika sudah kelewat pelik, Tama akan minum. Karena sekarang hanya merokok, pasti itu masalah yang seharusnya bisa dibicarakan namun harus tertunda sejenak. Pada dasarnya Tama itu bukan perokok dan peminum. Apa yang dia lakukan pasti karena ada penyebabnya.“Cuma lagi mau ngerokok doang,” jawabnya singkat.“Lo kira lo bisa bohongin gue.“ Damar kembali menepuk pelan bahu Tama. Kebiasaan yang tidak pernah b
"Benda apa yang akan lebih berguna setelah dipecahkan?" tukasku sambil menatap Tama dari buku TTS yang akhir-akhir ini menjadi sahabat setiaku untuk mengatasi jenuh. Tama yang tadinya asyik memijat kakiku mulai menghentikan gerakannya sejenak sambil menatapku. "Ada cluenya nggak?!" jawabnya singkat lalu kembali melanjutkan tugasnya untuk memijat kakiku."Hmmm, ada. Lima kotak huruf ke empatnya U.""Telur."Aku menghitung jumlah hurufnya terlebih dahulu sebelum menuliskan kata telur. Senyumku langsung mengembang saat tahu kalau jawaban yang diberitahukan Tama itu benar."Badannya lurus, matanya satu, ekornya juga satu. Apakah itu?""Benda, kan?" Tama bertanya dengan kening yang berkerut sambil menggumamkan pertanyaan itu berkali-kali dengan suara berbisik. "Senter?!" jawabnya terdengar tidak pasti."Bukan.""Kita punya nggak?" tanyanya lagi mencoba kembali memastikan."Kayaknya sih kita nggak punya.""Huruf awalnya apa?" ucapnya, kini tangannya mulai bergerak untuk mengambil minyak za
Butuh waktu tiga jam bagi Tama untuk menemukan sosis indomaret yang masih tersedia di tengah malam seperti ini. Pria itu bahkan sampai menghampiri banyak minimarket yang dia pikir masih menyediakan sosis yang di pesan Aluna. Hanya saja tidak sesuai dugaan karena ternyata menemukan barang yang nampak sepele itu menjadi kegiatan yang menyita waktu. Pada akhirnya pencarian Tama berakhir pada sebuah mini market di ujung gang. Tama juga baru tahu ada mini market di sana. Setelah mengirimkan foto pesanan Aluna dan mendapat approval dari wanita itu, trasaksi segera dilakukan secepat mungkin. Tama sudah terlalu lama meninggalkan Aluna dan dia berharap bisa segera pulang. Banyak pikiran buruk yang berkecamuk dan membuat pria itu tidak tenang."Lama banget!!!" seru Aluna dengan nada manja saat membukakan pintu. Tama terkekeh kecil untuk memberi respon. Karena tugas yang diberikan Aluna ternyata tidak semudah dugaannya."Pada udah tutup sayang. Aku juga khawatir sama kamu. Kalau bukan karena ng
"Luna," gumaman dari suara barito itu mengisi keheningan ruangan, "aku tahu kamu belum tidur."Aku masih diam mendengar suaranya dan tidak ada niatan untuk terjaga meski tahu tindakan yang kulakukan tidak sopan. Aku tetap terpejam nyaman di ranjang rumah sakit.Dia itu suamiku, itu yang suster katakan saat aku sadar dari koma karena kecelakaan. Yang meski aku coba untuk mengingat sekuat tenaga tetap saja tidak ada sedikit pun kenangan yang muncul."Kita bakal pulang besok sehabis makan siang. Tadi dokter ke sini ngasih tahu pas kamu ke toilet." Tama melanjutkan kalimatnya.Rumah? Aku mencoba mencari di dalam ingatanku tapi tidak ada yang kutemui soal rumah yang dia sebut. Tempat macam apa itu? Dan bagaimana nasibku di rumah itu esok?Mereka bilang karena aku amnesia jadi wajar jika aku tidak bisa mengingat apa pun. Sejak tersadar dua minggu yang lalu dengan pergelangan tangan kananku yang patah, aku memang melupakan semuanya. Satu pun tidak ada yang aku ingat. Mereka bahkan memberi ta
Aku memilih blouse yang potongan dadanya sedikit aman meski tidak terlalu aman dengan paduan hotpants. Karena selain kedua outfit tersebut yang lain amat sangat tidak aman untuk digunakan. Belahan dada yang terlihat saat menggerakan tangan bahkan ada gaun pesta yang bagian punggungnya terbuka lebar.Selama perjalanan menuju rumah tidak ada yang membuka suara sama sekali. Kami berdua sama-sana terdiam dengan pikiran kami masing-masing.Aku menatap jalanan yang menuju ke pusat kota. Dan ternyata kami berhenti disalah satu kawasan apartmen mewah.Apa bangunan ini yang disebut rumah?Tempat yang sangat luar biasa dengan dinding-dinding yang terbuat dari kaca membuat sinar matahari terpantul cantik dengan sempurna sampai masuk ke dalam. Barang-barang mewah yang terkena siluet sinar matahari terlihat berkilauan sampai aku sendiri takut untuk menyentuhnya. Menghabiskan berapa uang untuk mengganti jika aku berani menghancurkan barang-barang itu?Aku segera melangkah masuk menatap ke sekelilin
Tentang aku, hubunganku, dan kehidupanku. Semuanya terlihat suram tidak ada kejelasan sama sekali. Orang yang seharusnya dapat menjelaskan banyak hal padaku hanya diam tanpa mau memulai untuk berkomunikasi.Dimana salahnya? Apa yang harus aku lakukan untuk mendapat jawaban yang pasti, jawaban yang sangat aku butuhkan agar aku bisa mengerti letak kesalahanku. Aku pun ingin diterima di dalam keluarga ini. Meski sulit untuk diungkapkan tapi jujur aku merasa bersyukur memiliki Tama di sisiku. Dia tidak memaksakan kehendaknya sama sekali. Pria dingin nan pendiam itu selalu memberikan apa yang yang aku butuhkan, untuk saat ini hidup berkecukupan sudah amat membantuku.Aku hanya terdiam. Pikiranku melayang membayangkan suatu hal buruk yang akan terjadi. Entah kenapa kalimat yang diutarakan mamanya Tama terdengar sangat realistis. Jika benar aku mencintai Tama tidak mungkin aku membiarkan diriku berpakaian terbuka yang mana mempermudah orang-orang menganggapku sebagai wanita penggoda. Belum l
Mimpi itu datang...Semerbak asap rokok, lampu disko yang berpijar dan juga suara musik di club membuatku mabuk. Dan semakin bertambah mabuk setelah aku menyesap habis empat batang rokok dengan sebotol vodka di tangan kananku. Aku bergoyang mengikuti irama musik, pinggulku kuliukan dengan sengaja untuk menggoda para pria yang ada di dalam sana. Mata-mata lapar itu menatapku penuh minat seperti binatang liar. Gairah dari pandangan mereka tidak mereka sembunyikan.Dress pass body yang kukenakan membuat bagian-bagian tubuhku menonjol dengan sempurna. Tatapan mereka membuat tubuhku semakin bertambah panas dan bergairah. Dengan sengaja aku menggigit pelan bibirku sambil memberi tatapan menggoda.Seseorang melingkarkan tangannya di pinggulku."Deftia Aluna?""Deftia Aluna Irfandi." Aku mengoreksi sambil tersenyum menunjukkan padanya cincin kawin yang terpasang indah di jari manisku, "gue udah nikah.""Menantang sekali." Dia mulai mengecup pelan punda polosku dan membuatku memberikannya ak
Suara pintu yang tertutup kencang membuatku menoleh. Aku mengernyitkan kening.Bi Susan? Kok cepat?Aku segera melangkah keluar untuk menyambutnya. Tapi ada dua suara yang kudengar. Mereka saling bersautan. Suara Tama dan seseorang yang tidak kukenal tentunya. Keduanya terlibat perdebatan.Aku merasa takut seketika. Kejadian terakhir soal perdebatan seperti ini kemarin berakhir dengan tidak baik. Apa kali ini mereka kembali memperdebatkan keberadaanku?Dengan jantung yang berdegup kencang aku segera menyembunyikan diriku di balik pintu untuk mencuri dengar percakapan mereka.Dari tempatku berdiri aku dapat melihat Tama. Dia tampak menawan dengan setelan jas biru tuanya dipadu dengan jam tangan platinum di pergelangan tangan kirinya dan tangan yang dimasukkan ke saku celana. Sepatunya terlihat mengkilap dan mahal, rambutnya sedikit tidak beraturan mungkin karena seharian dia sudah bekerja keras. Tama terlihat berbeda dengan penampilan semi rapinya. Seperti pengusaha-pengusaha yang seri