“Tadi gue ketemu sama Pak Iman.“Itu adalah kalimat pembuka yang diucapkan Damar begitu mereka memulai pembicaraan. Tidak ada basa-basi, tidak ada pemanasan. Intinya hanya langsung menjurus pada obrolan yang ingin disampaikan.“Jangan salahin dia karena gue emang minta ke Pak Iman buat nggak kasih tahu lo soal ini. Gue sama dia ketemu sama salah satu sekertaris bokap lo yang udah resign. Entah lo tahu soal dia atau nggak, yang pasti dia sengaja minta ketemu karena dia udah ditahap bingung harus cerita ke siapa lagi. Dia juga orang yang ada di samping bokap lo waktu beliau kritis. Setiap kali ketemu sama Pak Iman, dia selalu melarikan diri. Berusaha untuk tidak menarik perhatian karena tidak ingin bertemu dengan pria tua yang udah lo anggap seperti keluarga. Orang itu juga pernah memohon sama Pak Iman buat nggak cari-cari dia lagi. Karena memang Pak Iman tidak tahu permasalahan apa yang tengah terjadi di dalam perusahaan, dia menyetujui perkataan dari pria itu.Sejak itu kabar tentang
Author POVTernyata kabar tentang Papa Irfandi yang ditangkap pihak berwajib menjadi beruta yang menggemparkan banyak orang. Beberapa pihak yang awalnya menjalin kerjasama erat dengan dia pun perlahan mundur teratur dan bertingkah seolah kalau mereka tidak pernah saling mengenal. Manusia setingkat Irfandi seharusnya akan mudah untuk melobby pihak kepolisian. Namun nyatanya yang terjadi malah sebaliknya. Bukti yang sangat jelas itu membuat semua orang enggan untuk menerima suap darinya.Hingga akhirnya sidang pertama berhasil diselenggarakan. Skala persidangan ini sangat besar karena kasus yang itu termasuk kasus pembunuhan berencana. Berita ini menjadi santapan yang sangat lezat bagai para rival perusahaan. Orang-orang pasti ingin mengetahui bagaimana kelanjutan hubungan antara mertua dan mantu yang saling merebutkan harta warisan. “Saya nggak nyangka kalau menantu saya bisa bersikap kasar seperti ini. Harusnya kan dia berterima kasih pada suami saya. Kalau tidak ada suami saya, peru
“Sebenarnya obat itu bisa saja saya yang membeli. Tapi seperti yang kita ketahui, terdakwa selalu bolak-balik ke kantor dan karena ingin menghemat waktu, terdakwa menawarkan diri untuk membelikan obat tersebut. Sebagai dokter yang memang ditugaskan untuk memantau kondisi pasien, saya memang ditugaskan untuk selalu waspada. Ditambah kondisi pasien saat itu benar-benar tidak dalam kondisi bagus dan mengharuskan saya untuk selalu berada di sampingnya. Dan apotek tempat pengambilan obat itu adalah apotek yang saya rekomendasikan pada terdakwa.“Hening sejenak. Suasana di ruang sidang terlihat semakin memanas. Tidak ada satupun yang membuka mulutnya, bahkan suara sekecil apapun bisa terdengar karena kondisi tersebut.“Kalian pasti tidak akan membayangkan betapa sulitnya mengurus orang sakit. Terdakwa sudah pasti juga butuh waktu untuk beristirahat. Menurut saya, membeli obat juga termasuk waktu istirahat bagi terdakwa setelah beliau seharian berkutat dengan dokumen-dokumen. Itu hal yang ti
“Kenapa anda tidak jujur sejak awal pada saya?!“Ruangan pertemuan itu terasa sunyi. Irfandi dan pengacaranya kini duduk berhadapan. Kali ini bukan Irfandi yang bersikap angkuh. Peran itu sudah berkebalikan karena si pengacara merasa di rugiman di sini karena banyak miss komunikasi yang terjadi di ruang sidang tadi.“Sejak awal saya sudah mengingatkan supaya anda berkata jujur pada saya. Bukti yang di keluarkan jaksa bisa saya tepis kalau saja anda mengatakan sejak awal. Dengan kalahnya saya, kredibilitas saya jadi dipertanyakan oleh khalayak umum,” geramnya.“Anda sendiri juga tahu kalau penyidik juga ikut menggeledah semua apotek yang pernah anda kunjungi. Lalu kenapa masih diam saja?!““Saya fikir transaksi saya tidak akan bermasalah dan tidak akan memberi dampak pada persidangan ini.““Yang dikatakan suami saya itu benar. Lagi pula, siapa yang bisa mati hanya karena obat pereda rasa sakit!“Dira ikut protes. Dia nyatanya tidak merasa malu meskintadi sempat memohon pada Tama. Kini
Di hari ke empat liburan, aku merasa sangat lelah. Jadwal yang sudah di susun Dinda terasa amat sangat tidak manusiawi meski sejujurnya aku sangat menikmati kegiatan tersebut. Hampir lima hari berada di sini tapi aku tidak sempat memikirkan tentang hal lainnya.Aku bersyukur, meski tubuh ingin menjerit. Tapi aku juga sangat bahagia karena di balik agenda itu ada perhatian yang memang sengaja disiapkan untukku.Hanya saja untuk sekarang aku sangat merindukan kasurku. Apa harus aku bersikap egois untuk mengajak mereka kembali meski akhirnya akan merusak suasana?“Pemandangannya bagus, kan?“Aku hanya bisa menoleh sekilas lalu kembali menunduk. Maaf kan aku, tubuh ini sudah meronta untuk meminta jatah.Kali ini kami memang sedang berada di tengah-tengah danau. Entah dari mana pemikiran tentang naik kapal berasal karena kini kami semua sudah ada di sini. Dengan salah satu pengawal yang sudah beralih profensi menjadi tukang dayung.“Ini gimana?!“Kepalaku sontak menoleh saat mendengar suar
Perjalanan mereka benar-benar berakhir. Kini mereka sudah sampai di rumah dan sedikit heran saat menemukan kondisi tempat itu yang sangat gelap. Dari lift saja hanya terlihat lampu remang-remang yang memang biasanya digunakan jika ada pemadaman mendadak.Begitu masuk ke dalam penthouse, suasana sepi itu nampak mencekam. Dari arah samping terdengar suara langkah kaki yang tergopoh-gopoh berusaha untuj mendekat.“Sudah pulang? Kenapa nggak ngabarin Bibi!“Itu Bi Susan. Wanita paruh baya itu sepertinya sudah sempat terlelap sebelumnya karena wajahnya yang terlihan kuyu seperti menahan kantuk.“Gimana liburannya?“ tanya wanita itu lagi. Kali ini dia nampak sangat antusias. “Beberapa orang dicutikan karena memang tidak banyak yang harus dikerjakan. Tapi Bibi sengaja masih di sini karena tahu kalau Tama lagi sibuk-sibuknya di kantor.““Cuti lagi?“ Nada suara Dinda terdengar lesu. Aku tidak tahu kenapa tapi ekspresinya seolah menolak untuk cuti.“Iya. Kamu juga beres-beres dulu sana. Pasti c
Hubunganku dengan Tama sudah membaik. Tidak ada lagi perang dingin. Tidak ada lagi silent treatment. Semuanya berhasil teratasi seiring dengan berjalannya waktu. Kehadiran Tama dalam hidupku benar-benar memberikan pengaruh yang liar biasa. Aku seolah kembali hidup. Dan yang lebih membahagiakan adalah ketika aku bangun dan menemukan tubuhku berada di dalam dekapannya. Ah, jangan lupakan juga kalau sekarang aku benar-benar sudah bertindak layaknya seorang istri. Aku mempersiapkan sarapan untuk Tama, mengantarnya ke pintu saat dia akan berangkat kerja dan akan diakhiri dengan dia yang memberikan kecupan hangat di kening dan bibirku sebelum kami benar-benar berpisah.Setelah mengalami banyaknya kejadian yang tidak mengenakan, aku baru sadar kalau kehadiran Tama benar-benar memberi pengaruh hebat di dalam hidupku. Aku tidak membayangkan bagaimana aku akan melanjutkan hidup jika tidak ada Tama di sisiku. Aku akui aku sangat egois dan sangat memilih untuk menerka-nerka tanpa bertanya terleb
Aku menguap sambil sedikit meregangkan tubuh. Bertepatan dengan itu sebuah tangan mencoba mendekapku dan membuat ruang gerakku terhalang. Aku langsung menolehkan kepalaku ke belakang. Ada Tama yang masih terlelap dan nampak sangat nyaman.Jangan berfikir kalau kami sehabis melakukan malam panah yang penuh gairah karena nyatanya kami masih tidur dalam keadaan pakaian utuh yang masih menempel erat di tubuh kami.Karena masih banyak yang harus dikerjakan, akhirnya aku memilih untuk menyegarkan diri terlebih dahulu sebelum menyiapkan sarapan untuk Tama. Saat aku keluar dari kamar mandi pun pria itu maaih tertidur dengan lelap. Sepertinya dia sangat lelah jadi aku memutuskan untuk membiarkan dia tidur lebih lama."Sayang, ayo sarapan dulu."Itu adalah suaraku yang mulai membangunkan dia empat puluh lima menit kemudian. Aku hanya menyiapkan sarapan sederhana dengan bahan-bahan yang ada di kulkas. Jangan lupakan fakta kalau sekarang aku sudah bisa masak. Untuk menu aku memilih memasak sambal