Kejadian tadi membuatku ketakutan. Setelah Tama membantuku bebersih, dia membaringkanku ke atas tempat tidur kami. Tubuhku tidak berhenti bergetar. Aku takut. Teramat takut. Ini adalah pengalaman pertamaku memghadapi situasi yang benar-benar di luar kendali.Banyak kata andai yang melintas di benakku. Andai Tama tidak datang. Andai pria itu telat menyelamatkanku. Andai semuanya sudah terlambat. Kata itu bagai momok yang menakutkan.Hanya keheningan yang menemani kami berdua. Aku tidur membelakangi Tama. Aku tidak mau dia melihatku yang sudah berantakan karena menangis dan takut. Pria itu juga tidak mencoba membuka percakapan. Dia hanya menunggu dan diam.Perasaan tidak nyaman dan was-was itu menyelimuti relung hatiku. Aku tidak bisa tenang. Karena pikiranku berkecambuk, aku akhirnya minta Tama pergi. Aku ingin sendiri. Ingin menjernihkan otakku meski nampaknya akan sangat sulit.Selama perjalanan menuju rumah tadi, Tama mendapat laporan yang masih sempat aku curi dengar. Ternyata pria
Tama cukup lama berada di kamar. Pria itu bahkan mendengar senua keluh kesah Luna tanpa dia potong. Semua yang terjadi tadi langsung wanita itu ceritakan tanpa ada yabg ditutup-tutupi. Memang apa yang ingin Luna tutupi ketika dia sudah berada di ambang ketakutan yang teramat parah. Bahkan tadi, untuk bernafas saja dia merasa takut. Takut kalau sewaktu-waktu dia mati karena sikap kasar yang ditunjukkan oleh mereka.Bagi Tama sendiri, menjadi pendengar ketika seseorang berada di situasi terlemah merupakan pikihan bijak. Mereka hanya butuh didengar karena hal itu bisa mengurangi ketegangan yang mereka rasakan sebelumnya. Itu juga yang terjadi pada Luna saat ini.Dua jam berlalu begitu cepatnya. Luna juga nampaknya sudah lelah karena kini dia tidak lagi berbicara. Perempuan itu hanya terus memandang ke depan tanpa sedikitpun berani melirik Tama.“Kamu kenapa lagi?“ tanya pria itu lembut. Tama juga meraih tangan Luna dan mengecupunya untuk membuat wanita itu tenang.“Aku cuma ngerasa bersa
“Kami juga membawa serta undangan pemanggilan secara resmi. Mohon kerja samanya, Pak,” ucap pengawal tersebut. Dia juga menyodorkan kertas yang disebut undangan dan langsung meletakannya ke atas meja. “Karena urusan kami sudah selesai di sini. Kami mohon undur diri sekarang.“Semua mata yang ada di sana terpanah melihat pria itu yang berbicara lancar tanpa tersendat. Bahkan Dinda yang dari awal mengomel langsung terdiam begitu saja.“B-bukannya nggak sopan ya kalau kita main pergi gitu aja…” gumamnya.“Urusan kami sudah selesai dan sebaiknya anda ikut pulang bersama kami.“Tapi… Bayu! Lo harus jelasin dulu kalau gue nggak terlibat!“ Dinda meronta dan berteriak untuk mendapatkan penjelasan yang malah diabaikan oleh sahabatnya itu. Bahkan, pria itu masih saja diam ketika melihat Dinda yang diseret keluar. Untuk beberapa saat, Bayu masih terdiam di tempatnya. Kilasan balik tentang kejadian hari itu langsung mendatanginya. Dia merasa ada yang tidak benar dengan apa yang sudah terjadi.“Te
Seminggu setelah mengalami hari yang tidak menyenangkan, moodku sudah kembali seperti semula. Aku sudah bisa menikmati banyak hal tanpa takut dan gemetar lagi. Tama juga mengajakku menemui psikiater agar aku tidak jatuh ke dalam trauma yang berkepanjangan. Suamiku yang satu ini memang sangat luar biasa. Hanya saja, dia itu tipikal manusia mendadak. Itu satu-satunya hal yang tidak aku sukai.Beberapa bulan terakhir ini, dia selalu mengabariku atau mengajakku pergi diwaktu mepet. Sama seperti sekarang. Dia mengajakku menghadiri pesta yang mana pesta itu akan dilangsungkan dalam dua jam kedepan, tapi dia baru memberitahuku dua menit yang lalu. Meski aku bukan tipikal wanita yang heboh, tetap saja aku membutuhkan persiapan agar tidak berpenampilan terlalu sederhana. Aku tidak akan mencoreng nama baik suami. Tidak lagi.“Kamu butuh apa? Bilang sama aku nanti biar aku siapkan langsung.“Aku mendesis kesal sambil menatap tajam ke arahnya. Bukankah dia terlalu santai untuk ukuran orang yang b
Setelah urusan penculikan itu selesai, Dinda diperbolehkan kembali bekerja setelah tahu kalau dia tidak bersalah. Dia bahkan sampai menangis sesenggukan karena diperbolehkan kembali bekerja denganku. Awalnya dia pasrah kalau memang akan dituntut dan dia juga mengatakan kalau dia juga bersalah karena mau-mau saja mempercayai temannya itu.Lalu yang membuat aku tidak habis fikir adalah, orang-orang yang menjaga Dinda. Mereka bahkan mengucapkan terima kasih berkali-kali karena akhirnya mereka dapat lepas dari Dinda.“Selama seminggu ini saya disuruh buat tulis kronologi tentang kedekatan saya sama teman saya. Saya sendiri hampir gila karena hal itu, Ibu,” jelasnya sambil menangis. Begitu diperbolehkan bekerja, Dinda tidak menunggu-nunggu untuk mengambil cuti setengah hari. Dia langsung datang ke rumah untuk bertemu dengan kami.“Padahal saya kenal sama dia karena dia anaknya teman ayah,” jelasnya masih sambil menangis. “Harusnya saya lebih waspada lagi. Maaf, Ibu.“Aku masih saja diam sa
Mau tidak mau aku harus mengiyakan pertemuan dengan Papa Irfandi meski sesungguhnya aku enggan. Memangnya siapa yang sudi bertemu dengan manusia bejat macam dia. Jika bukan karena aku tidak memiliki banyak bukti, pasti aku sudah melaporkan pria itu pada pihak yang berwajib. Aku dan papa duduk berhadapan. Masih belum ada yang membuka pembicaraan. Aku juga enggan karena ini bukan inisiatifku sendiri untuk bertemu dengannya.“Katanya kamu mau main ke rumah?“ tanyanya sambil menyesap teh hangat yang sudah disediakan. “Padahal Papa sama Mama cemas sama keadaan kamu. Kamu juga lagi hamil dan malah kelihatan kurus. Kamu baik-baik aja, kan? Ehm… Papa juga dapat kabar kalau ada orang yang coba-coba mau mencelakakan kamu. Butuh bantuan Papa nggak buat cari tahu siapa dalangnya?“Aku diam. Masih belum merespon. Nampaknya dia sudah menyiapkan banyak materi pembahasan sebelum datang ke sini. Pembahasan itu merupkan kasus yang baru saja aku alami. Bukan hal yang aneh kalau Papa sampai mengetahui s
Kenapa jadinya begini? Padahal aku kira kami sudah tidak akan memiliki hubungan lagi setelah dia menghilang. Tapi apa yang terjadi barusan itu? Rasanya masih sangat sulit untuk dipercaya. Ditambah, dia datang hanya untuk mengucapkan kalimat itu dan pergi setelahnya. Bukankah nampak aneh?“Mama sudah dari kapan datang ke sini? Apa Bibi juga udah siapkan kamar buat Mama?!“ tanyaku lagi. Sekarang aku harus bertanya lebih rinci karena sepertinya mama akan menetap beberapa hari di sini. Selama itu juga, aku akan mengamati apa yang dia inginkan sebenarnya. Pasti ada alasan kenapa dia kembali setelah pergi dan tidak ada kabar.“Sudah. Bu Manda juga bilang kalau dia bakal butuh bantuan saja juga untuk menghadapi kamu.““Memangnya aku kenapa?!“ ucapku lagi dengan alis mengernyit. Bibi hanya mengedikkan bahu pelan. Mungkin dia lebih memilih untuk tidak menjawab.“Pokoknya nggak usah khawatir. Bu Manda juga udah terbiasa sama kediaman ini.““Kok bisa?!“Bibi menghela nafas kasar. Dari pengelihat
Pembicaraan tentang anggaran dan tetek bengek lainnya berakhir dengan keputusan satu suara. Setelah itu, kami melanjutkan mengobrol santai meski suasananya masih cukup kaku. Bagaimana tidak kaku karena kami tidak ada yang memulai pembicaraan. Tama pun hanya sibuk dengan berkas-berkasnya sendiri.“Mama selalu perhatikan kamu dari jauh. Tapi baru kali ini Mama punya keberanian buat mendekat.“Aku menunduk dan masih menunggu mama melanjutkan kalimatnya.“Dikesempatan kali ini, Mama mau minta maaf. Maaf karena Mama abai dan maaf karena Mama nggak langsung cari kamu setelah tahu Papa meninggal. Mama tahu pasti sulit buat kamu maafin Mama. Tapi bisa nggak kamu kasih Mama kesempatan supaya kita bisa jadi keluarga? Mama bakal tebus semua kesalahan Mama. Mama janji.“Aku mengernyit. Padahal tidak perlu sampai seekstrem itu untuknya meminta maaf. Toh apa yang dia lakukan bukanlah kesalahan fatal karena bahkan dia itu tidak pernah menyakitiku. Kita hanya hidup seperti orang asing.“Mama nggak pe
“Sayang, aku mau belanja dulu ya,” bisik Luna di depan telinga Tama. Pria itu tampak masih setengah sadar dan menjawab kalimat Luna dengan gumaman pelan. Dia terlihat amat sangat lelah, bahkan hanya untuk sekedar membuka matanya saja Tama harus mengumpulkan banyak kekuatan. Tama baru sampai di rumah sekitar pukul 3 dini hari. Karena adanya pembangunan cabang baru di luar kota, Tama terpaksa harus hadir secara langsung untuk melihat bagaimana progres bangunan lima lantai miliknya itu. Dan karena ini pertama kalinya bagi pria itu pergi tanpa berpamitan langsung dengan triplet, jadi dia memutuskan untuk langsung pulang begitu urusannya selesai. “Biar aku antar,” gumam Tama dan kembali berusaha membuka matanya yang masih terasa lengket.“Enggak usah. Kamu tidur lagi aja. Lagian aku Cuma mau pergi ke pasar di belakang komplek. Enggak terlalu jauh. Jalan kaki juga sampai. Sama Bi Susan kok.”Penjelasan Luna kembali membuat Tama berbaring. Pria itu mengangguk dan kembali tidur.“Aku pergi
"Kakak sama adek baru bangun?" Luna bertanya sambil menyerahkan segelas air pada Tama. Dia juga memberikan biskuit pada Rama dan Rajen. Biskuit yang sama seperti yang dia berikan pada Raka"Iya," jawab pria itu setelah meneguk air minumnya hingga tandas. "Tadi aku sengaja mampir ke kamar mereka dan ternyata mereka udah lada bangun. Tumben banget nggak pada nangis," lanjut Tama sambil memajukan diri untuk mencium Luna. Sayangnya ditolak oleh wanita itu."Nggak boleh! Ada anak-anak," peringat wanita itu tanpa boleh dibantah.Sayangnya Tama tetaplah pria. Dia tidak suka dilarang bahkan sampai mengernyitkan dahi karena tidak suka dengan peraturan mendadak itu. Dia masih memeluk Luna dan tetap berusaha untuk mencium Luna."Ayah!" seru Luna dengan tawa tapi tetap mencoba untuk menghindar."Abang, adek, sama kakak lihat ya. ayah mau cium Bunda."Tama berhasil mendapatkan bibir Luna. Dia mencium pendek-pendek hingga beberapa kali. Rajen dan Raka tertawa senang melihat adegan tersebut. Menurut
Luna menatap lekat ke arah ketiga anaknya dengan perasaan yang masih membuncah bahagia. Raka, Rama dan Rajen nampak tengah tertidur lelap, membuat siapa oun yang melihat adegan tersebut akan merasa jatuh hati. Luna memperbaiki letak selimut Rajen yang melorot. Dia juga ikut mengecup kening anak bungsunya dan dilanjutkan ke kening putra-putranya yang lain.Jika memutar kembali ingatannya ke kejadian dua tahun yang lalu, Luna masih saja merasa takjub. Anak yang kini sudah tumbuh besar itu pernah tinggal di rahimnya. Rasanya apa yang sudah terjadi itu bagaikan ilusi. Hanya dalam sekejap mata ketiga buah hatinya sudah berusia tiga tahun saja. Apalagi Rajen, bayi yang dulunya terlahir paling kecil di antara kakak-kakaknya juga sudah terlihat bertumbuh dengan sehat.Dulu Luna selalu merasa was-was karena saat itu Ranen harus di rawat di ruangan khusus bayi yang bermasalah. Tubuhnya yang ringkih juga sampai harus di pasangi berbagai macam kabel dan selang. Tiada hari tanpa air mata kala itu.
Tiga tahun kemudian...Tama mendesis pelan saat tangannya tidak sengaja menyentuh panci panas yang tengah digunakannya untuk memasak sup. Anak-anaknya harus sarapan sedangkan Bi Susan tidak ada di tempat karena wanita paruh baya itu tadi izin akan pergi ke pasar tradisional yang ada di belakang komplek. Sebentar lagi triplets akan bangun dan sudah lasti mereka akan merengek karena kelaparan.Belum ada lima menit dia menggumamakan soal itu di dalam hati dan tidak lama kemudia, suara berisik dari kamar ketiganya membuat fokus Tama teralihkan. Pria itu segera mengecilkan kompor sebelum bergerak untuk mencari tahu penyebab dari keributan tersebut. Meski sesungguhnya dia sudah tahu siapa biangnya.Senyum Tama terbit seketika saat dia melihat putra bungsunya, Rajen, sedang memukul-mukul pagar pembatas menggunakan mainan berbentuk boneka pisang berwarna hijau yang terpasang di setiap pintu. Tingginya sebatas pinggang orang dewasa."Anak Ayah udah bangun ternyata," seru Tama sambil meraih Raj
Luna kecil duduk manis di tengah-tengah ruangan besar nan megah. Tidak ada yang menemani. Hanya keheningan yang tersisa walau pun di dalam ruangan itu sudah dipenuhi banyak hal-hal menakjubkan.Luna kecil menundukkan kepalanya, bukan ini yang di inginkannya. Padahal Mama dan Papanya sudah berjanji kalau hari ini akan menjadi ulang tahun penuh kejutan yang tidak akan pernah mungkin Luna lupakan.Yang dia inginkan bukan barang-barang penuh gemerlapan seperti ini. Luna kecil hanya mengharapkan mereka semua berkumpul bersama dan menghabiskan waktu untuk bercanda riang layaknya keluarga pada umumnya. Tapi sayangnya hal itu sulit untuk terealisasikan karena bahkan sampai saat ini tidak ada tanda-tanda kemunculan mereka.Baginya, itu bukanlah ulang tahun tapi hari paling menyedihkan. Bahkan beberapa asisten rumah tangga yang hadir di sana juga menatap penuh iba ke arahnya. bocah kecil yang malang.Setelah mulai bersekolah, waktu untuk Luna bertemu dengan orang tuanya bahkan sampai bisa dihit
Tama Pov"Buat sekarang lebih baik kita fokusin diri kita untuk menyambut kehadiran triplets dulu. Masa depan juga masih panjang dan untuk urusan adiknya triplets masih bisa kita bahas nanti-nanti," jelasku lagi sambil mencubit pelan pipinya."Kamu nggak mau aku hamil lagi ya?" Mata Luna sudah berkilat memerah. Bahkan air muta sudah mulai menghiasi kornea indah itu."Nggak gitu sayang," ucapku sambil menangkupkan tanganku ke pipi chubby miliknya. "Aku tadi itu cuma bilang buat fokus ke triplets kan. Nggak ada penjelasan tentang aku yang nggak mau kamu hamil lagi. Yang aku maksud supaya kita bisa banyak-bayak saving kenangan sama triplets. Itu doang, nggak ada maksud lain. Kalau memang rezeki lagi kamu hamil, nanti kita pikirkan saat itu.""Tapi aku juga mau punya anak perempuan juga," tangis Luna pecah. Kehamilan memang membuat moodnya naik dan turun macam roller coster. Awalnya aku juga merasa kesulitan dengan kondisi ini, bahkan aku sampai meminta saran dari beberapa pihak hanya dem
Tama Pov Seperti biasanya meski aku mengatakan kalau aku akan lebih memilih bekerja di rumah, tapi kenyataanya tidak berjalan semulus itu. Ada saja kerjaan yang tidak bisa di wakilkan dan membuatku harus turun tangan langsung. Kali ini adalah pembahasan soal kerjasama dengan beberapa rumah sakit. Perkebunan milikku yang sudah beratas namakan Luna semakin membesar dan hasil produksinya juga bertambah. Dengan ide absurd yang awalnya hanya terlontar sekilas dari mulut Bi Susan, kini aku malah benar-benar merealisasikan karena produksi benar-benar sudah tidak bisa ditampung oleh para petani. Pembicaraanya berjalan sangat lancar. Bahkan ahli gizi yang ikut memeriksa sayuran milik perkebunan tersenyum lega karena sesuai dengan apa yang mereka inginkan. Setelah berhasil menyelesaikan pekerjaan, aku memilih untuk menemui Mela. Suasana di sana tidak ramai tapi juga tidak bisa dibilang sepi. Di hadapanku ada sepasang suami istri yang menunggu dengan tangan bertautan. Sang suami mencoba
Tama PovMalam itu, untuk pertama kalinya aku bisa merasakan gerakan lembut yang berasa dari triplets. Itu adalah moment paling emosional sepanjang kehidupanku sebagai seorang Dytama dan aku jadi yakin jika semuanya akan berjalan baik-baik saja. Luna dan triplets akan sehat sampai jadwal operasi mendatang.Berbeda dengan harapanku kala itu, kini keadaan Luna malah terlihat semakin tidak baik. Keyakinan yang berhasil aku tanamkan hampir sirna semua karena kondisi itu.Luna kini sering mual muntah, pingsan, dan yang paling membuatku hampir kacau adalah, dia juga harus diberikan suntikan untuk pengencer darah setiap dua belas jam sekali. Bukan hanya itu saja, ada kalanya Luna sampai harus di bawa ke UGD karena bekas suntikannya itu terus-menerus mengeluarkan darah tanpa henti. Itu efek dari darah yang ada di tubuhnya terlalu encer.Rasanya, jiwaku seperti ditarik keluar paksa ketika melihat dress favoritnya sudah dipenuhi oleh darahnya. Kala itu aku berserah pada Tuhan.
"Aku tambah berisi banget ya," ucap Luna lagi. Kini dia bahkan sampai membalikkan tubuhnya supaya bisa bertatapan dengan Tama. Momok yang paling menakutkan bagi wanita adalah perubahan bentuk tubuh yang langsung drastis. Aluna hanya wanita biasa yang bisa merasakan takut kehilangan. Apalagi sekarang hubungannya dengan Tama sedang dalam mode yang amat membahagiakan dan benar-benar takut untuk kehilangan."It's okay. I still love you," Tama mulai mendekatkan wajah mereka dan mulai saling menggesekkan kedua ujung hidung mereka berdua karena gemas."Tapi kan nanti badan aku bakal melar habis-habisan?" tanyanya memastikan lagi. Tama membalasnya dengan cara mengecup sudut bibir Luna. "Terus nanti juga perut sama badan aku bakal penuh sama stretchmark," lanjutnya kembali memperjelas. Dia hanya ingin memastikan kalau Tama tidak akan meninggalkan dia saat kondisinya sedang tidak menarik seperti sekarang."Aku nggak pernah mempermasalahkan soal bentuk badan kamu. Aku memilih