Setelah urusan penculikan itu selesai, Dinda diperbolehkan kembali bekerja setelah tahu kalau dia tidak bersalah. Dia bahkan sampai menangis sesenggukan karena diperbolehkan kembali bekerja denganku. Awalnya dia pasrah kalau memang akan dituntut dan dia juga mengatakan kalau dia juga bersalah karena mau-mau saja mempercayai temannya itu.Lalu yang membuat aku tidak habis fikir adalah, orang-orang yang menjaga Dinda. Mereka bahkan mengucapkan terima kasih berkali-kali karena akhirnya mereka dapat lepas dari Dinda.“Selama seminggu ini saya disuruh buat tulis kronologi tentang kedekatan saya sama teman saya. Saya sendiri hampir gila karena hal itu, Ibu,” jelasnya sambil menangis. Begitu diperbolehkan bekerja, Dinda tidak menunggu-nunggu untuk mengambil cuti setengah hari. Dia langsung datang ke rumah untuk bertemu dengan kami.“Padahal saya kenal sama dia karena dia anaknya teman ayah,” jelasnya masih sambil menangis. “Harusnya saya lebih waspada lagi. Maaf, Ibu.“Aku masih saja diam sa
Mau tidak mau aku harus mengiyakan pertemuan dengan Papa Irfandi meski sesungguhnya aku enggan. Memangnya siapa yang sudi bertemu dengan manusia bejat macam dia. Jika bukan karena aku tidak memiliki banyak bukti, pasti aku sudah melaporkan pria itu pada pihak yang berwajib. Aku dan papa duduk berhadapan. Masih belum ada yang membuka pembicaraan. Aku juga enggan karena ini bukan inisiatifku sendiri untuk bertemu dengannya.“Katanya kamu mau main ke rumah?“ tanyanya sambil menyesap teh hangat yang sudah disediakan. “Padahal Papa sama Mama cemas sama keadaan kamu. Kamu juga lagi hamil dan malah kelihatan kurus. Kamu baik-baik aja, kan? Ehm… Papa juga dapat kabar kalau ada orang yang coba-coba mau mencelakakan kamu. Butuh bantuan Papa nggak buat cari tahu siapa dalangnya?“Aku diam. Masih belum merespon. Nampaknya dia sudah menyiapkan banyak materi pembahasan sebelum datang ke sini. Pembahasan itu merupkan kasus yang baru saja aku alami. Bukan hal yang aneh kalau Papa sampai mengetahui s
Kenapa jadinya begini? Padahal aku kira kami sudah tidak akan memiliki hubungan lagi setelah dia menghilang. Tapi apa yang terjadi barusan itu? Rasanya masih sangat sulit untuk dipercaya. Ditambah, dia datang hanya untuk mengucapkan kalimat itu dan pergi setelahnya. Bukankah nampak aneh?“Mama sudah dari kapan datang ke sini? Apa Bibi juga udah siapkan kamar buat Mama?!“ tanyaku lagi. Sekarang aku harus bertanya lebih rinci karena sepertinya mama akan menetap beberapa hari di sini. Selama itu juga, aku akan mengamati apa yang dia inginkan sebenarnya. Pasti ada alasan kenapa dia kembali setelah pergi dan tidak ada kabar.“Sudah. Bu Manda juga bilang kalau dia bakal butuh bantuan saja juga untuk menghadapi kamu.““Memangnya aku kenapa?!“ ucapku lagi dengan alis mengernyit. Bibi hanya mengedikkan bahu pelan. Mungkin dia lebih memilih untuk tidak menjawab.“Pokoknya nggak usah khawatir. Bu Manda juga udah terbiasa sama kediaman ini.““Kok bisa?!“Bibi menghela nafas kasar. Dari pengelihat
Pembicaraan tentang anggaran dan tetek bengek lainnya berakhir dengan keputusan satu suara. Setelah itu, kami melanjutkan mengobrol santai meski suasananya masih cukup kaku. Bagaimana tidak kaku karena kami tidak ada yang memulai pembicaraan. Tama pun hanya sibuk dengan berkas-berkasnya sendiri.“Mama selalu perhatikan kamu dari jauh. Tapi baru kali ini Mama punya keberanian buat mendekat.“Aku menunduk dan masih menunggu mama melanjutkan kalimatnya.“Dikesempatan kali ini, Mama mau minta maaf. Maaf karena Mama abai dan maaf karena Mama nggak langsung cari kamu setelah tahu Papa meninggal. Mama tahu pasti sulit buat kamu maafin Mama. Tapi bisa nggak kamu kasih Mama kesempatan supaya kita bisa jadi keluarga? Mama bakal tebus semua kesalahan Mama. Mama janji.“Aku mengernyit. Padahal tidak perlu sampai seekstrem itu untuknya meminta maaf. Toh apa yang dia lakukan bukanlah kesalahan fatal karena bahkan dia itu tidak pernah menyakitiku. Kita hanya hidup seperti orang asing.“Mama nggak pe
Setelah pesta malam itu, aku jadi sering menghadiri pertemuan dalam lingkup kecil. Mungkin karena sepak terjangku yang lumayan buruk di masa lalu, beberapa orang nampak terkejut dengan kehadiranku. Orang-orang yang sebelumnya sempat menolakku juga hanya bisa diam. Ternyata kekuatan mereka tidak sedahsyat itu sampai bisa mengusikku di perkumpulan yang aku ikuti.Mayoritas orang yang ada menyambutku dengan baik karena aku hadir bersama dengan mama. Popularitas wanita itu pasti tidak hanya didapat melalui kekuasaan. Kira-kira seberapa besar usaha yang mama lakukan dulu untuk bisa menjadi seseorang yang mendominasi di perkumpulan? Pasti sangat besar dan panjang.Kesibukanku membuat waktu berkumpulku dengan Tama sedikit berkurang. Tidak bisa dipungkiri memang kalau aku juga merasa terganggu. Ditambah usia kehamilanku semakin membesar dan aku sangat membutuhkan perhatian dari pria itu. Sayangnya, Tama juga sering sibuk dengan urusannya di kantor. Kerjaanya bertambah berkali-kali lipat semen
Semalam, Tama tidak kembali ke kamar. Dia juga tidak datang untuk sarapan. Aku rasa dia memikirkan tentang apa yang aku katakan. Padahal niat aku mengatakan itu karena aku hanya ingin memberitahu mereka. Bukan karena aku ingin membuat Tama kepikiran. Harusnya aku memang tidak mengatakan apa-apa padanya.Aku kembali mencoba memfokuskan diri pada laporan keuangan. Ah, rasanya kepalaku hampir pecah hanya karena melihat angka-angka yang berjejer rapi di sini. Mereka seolah sedang melambai dan mengejekku.“Ibu, Bapak ada di luar.“Aku menoleh dan melihat Dinda yang berdiri di dekat pintu. Siluet Tama terlihat di sana. Aku langsung saja beranjak dan menariknya masuk ke dalam. Setelah memberikan instruksi pada Dinda, kami ditinggalkan berdua di dalam sini.Suasana di antara kami terasa canggung. Dia bahkan tidak seceria biasanya. Terlihat ada beban berat yang tertahan di pundaknya. Bagaimana bisa pria sebaik ini terlahir di dalam keluarga problematik seperti itu. Aku merasa kasihan dengan Ta
“Tadi gue ketemu sama Pak Iman.“Itu adalah kalimat pembuka yang diucapkan Damar begitu mereka memulai pembicaraan. Tidak ada basa-basi, tidak ada pemanasan. Intinya hanya langsung menjurus pada obrolan yang ingin disampaikan.“Jangan salahin dia karena gue emang minta ke Pak Iman buat nggak kasih tahu lo soal ini. Gue sama dia ketemu sama salah satu sekertaris bokap lo yang udah resign. Entah lo tahu soal dia atau nggak, yang pasti dia sengaja minta ketemu karena dia udah ditahap bingung harus cerita ke siapa lagi. Dia juga orang yang ada di samping bokap lo waktu beliau kritis. Setiap kali ketemu sama Pak Iman, dia selalu melarikan diri. Berusaha untuk tidak menarik perhatian karena tidak ingin bertemu dengan pria tua yang udah lo anggap seperti keluarga. Orang itu juga pernah memohon sama Pak Iman buat nggak cari-cari dia lagi. Karena memang Pak Iman tidak tahu permasalahan apa yang tengah terjadi di dalam perusahaan, dia menyetujui perkataan dari pria itu.Sejak itu kabar tentang
Author POVTernyata kabar tentang Papa Irfandi yang ditangkap pihak berwajib menjadi beruta yang menggemparkan banyak orang. Beberapa pihak yang awalnya menjalin kerjasama erat dengan dia pun perlahan mundur teratur dan bertingkah seolah kalau mereka tidak pernah saling mengenal. Manusia setingkat Irfandi seharusnya akan mudah untuk melobby pihak kepolisian. Namun nyatanya yang terjadi malah sebaliknya. Bukti yang sangat jelas itu membuat semua orang enggan untuk menerima suap darinya.Hingga akhirnya sidang pertama berhasil diselenggarakan. Skala persidangan ini sangat besar karena kasus yang itu termasuk kasus pembunuhan berencana. Berita ini menjadi santapan yang sangat lezat bagai para rival perusahaan. Orang-orang pasti ingin mengetahui bagaimana kelanjutan hubungan antara mertua dan mantu yang saling merebutkan harta warisan. “Saya nggak nyangka kalau menantu saya bisa bersikap kasar seperti ini. Harusnya kan dia berterima kasih pada suami saya. Kalau tidak ada suami saya, peru