"Kamu nggak lupa sama janji kamu, kan? Kamu nggak merasa kalau kamu udah mengkhianati kepercayaan dari Papa?"Kalimat yang dilontarkan Papa masih terngiang jelas di benakku. Seminggu terakhir ini aku memang bolak-balik ke kantor Papa untuk mencari bukti yang dia sembunyikan. Semenjak tahu jika perusahaan yang seharusnya menjadi milik Aluna dipindahtangankan secara paksa, aku menolak keras, tapi terlambat karena saat kejadian itu Papa mertuaku langsung koma tidak lama setelahnya. Aku tidak tahu bagaimana Papa bisa mendapatkan cap perusahaan, yang jelas aku sangat amat marah ketika itu.Aku dan Papa membuat perjanjian, aku tidak akan ikut campur asalkan dia tidak mengganggu hubunganku dengan Aluna. Pria itu setuju karena dia sudah berhasil mendapatkan apa yang dia inginkan. Aku sendiri memang pengecut karena masih terus-terusan menutup mata soal kejahatan Papa. Aku hanya tidak mau Aluna tahu, dan terlambat karena sepertinya dia lebih peka dari dugaanku.Hubungan kami meregang dan dia me
Aku menguap dan membalikkan tubuhku untuk mencari posisi ternyaman. Mataku masih lengket meski tubuhku meronta untuk segera bangkit. Aku mengerjakan mata dan langsung terduduk karena merasa aneh. Aku menatap sekeliling. Aku sudah ada di tempat tidur, aku kira hanya mimpi dan ketika menoleh ke sofa, aku menemukan bekas selimut dan bantal yang sudah tertata rapi di sana. Apa Tama aku usir dari tempat tidur? Aku menggeleng pelan dan menoleh ke samping. Tama sudah berdiri di sana dan membuatku berteriak karena terkejut. "Kamu kenapa?" tanyanya pelan. Aku masih mengusap dadaku karena efek kejut itu masih bersarang. Kenapa dia tidak mengeluarkan suara sama sekali? "Siap-siap. Ayo kita sarapan bareng," setelah mengatakan itu dia langsung melipir duduk di sofa. Aku yang masih belum sepenuhnya sadar hanya mengangguk dan berlalu ke kamar mandi. Tama pasti akan menunggu lebih lama jika aku tidak bergegas.Kami berjalan beriringan menuju ruang makan. Bi Susan sudah menyiapkan sarapan di meja
Malam ini aku masih berkutat dengan perhitungan pengeluaran bulanan dan besok merupakan hari gajian para pekerja yang juga harus aku persiapkan. Aku masih duduk dan masih menghitung ketika tiba-tiba Tama masuk dengan langkah pelan.Waktu masih menunjukkan pukul 7 malam dan biasanya dia akan pulang ke rumah ketika jam sudah menunjukkan di angka sepuluh. Pria ini tidak biasanya pulang cepat."Kantor udah nggak sibuk?" tanyaku, begitu dia melepaskan jas dan dasinya, lalu menggantungnya di tempat khusus pakaian kotor."Tadi aku rapat di luar. Karena kantor udah dihandle sama sekertaris jadi aku putusin buat pulang. Gimana tadi pengalaman kamu ke perkebunan."Aku langsung menatapnya tidak percaya dia akan menanyakan pendapatku. Bukankah ini berarti dia sudah mulai mau berkomunikasi dua arah? Tapi sebelumnya juga dia memang selalu berkomunikasi hanya saja aku yang tidak menggubris. Maafkan aku Tama, kamu pasti frustasi berat "Aku banyak belajar di sana. Ternyata terjun langsung nggak semud
Aku tergelak mendengar alasan yang dibicarakan Tama. Jika hukumannya seperti itu jelas aku akan menerima dengan suka hati. Lagipula dimana lagi aku bisa menemukan sosok pasangan yang seperti Tama. Walaupun dia tampak dingin tapi sebenarnya dia itu orang yang sangat memikirkan tentang aku dan aku tidak akan pernah rela jika pria ini direbut oleh orang lain. Andai saja aku sudah berpikiran terbuka seperti ini sejak dulu, sudah pasti kehidupan rumah tangga kami akan berjalan baik. Sayangnya aku yang dulu sangat terobsesi dengan yang namanya permintaan maaf setelah pernah dikhianati oleh teman yang aku percaya. Kejadian dimana ketika Tama menyembunyikan kebenaran itu benar-benar menjadi pukulan telak dan membuatku berpikir jika Tama sama seperti Jess dan Papanya. Penilaian impulsif yang seperti itu malah menghancurkan diriku dan menyeretku ke dalam lubang penyesalan yang tidak pernah aku kira akan menghampiriku. "Kamu sadar nggak sih kalau yang kamu omongin tadi itu bukan hukuman," kata
Rupanya niat Tama yang ingin menjadikan kekasih Jessica sebagai pengacaraku itu memang benar adanya, karena pada hari Minggu yang cerah ini dia sudah membawaku keluar rumah dengan dalih untuk menghabiskan waktu di luar berdua. Tapi kalian tahu apa yang terjadi? Dia membawaku ke sebuah kafe hukum yang ternyata selain menyediakan makanan dan minuman, kafe ini juga menyediakan konsultasi gratis.Dan tentu saja pemilik kafe ini adalah orang yang pasti kalian pikirkan. Benar, kafe ini milik kekasihnya Jessica. Manta sahabatku yang dulunya menusukku dari belakang. Ketika masuk ke dalam kami langsung di arahkan menuju ruang konsultasi. Entah kenapa aku malah kesal sendiri padahal Tama sudah memberitahuku soal ini. Aku tidak memiliki kesalahan yang mengharuskannya untuk segan padanya, tapi tetap saja perasaan canggung itu asih ada dan tidak mudah untuk dihilangkan."Dia pasti akan senang lihat kamu," ucap Tama mencoba mencairkan suasana karena aku sama sekali tampak tidak bisa menikmati suas
Ada apa dengan mereka, memangnya salah jika saya tidak tahu berapa usianya. Lagian dia terlihat lebih tua dari pada saya. Ingat! Saya baru berusia 25 tahun dan semua orang yang ada di sini sudah terlihat paruh baya.Lyana bilang ini perkumpulan yang wajib didatangi oleh anggota baru dan mau tidak mau aku harus datang karena aku harus mulai mengikuti kegiatan pergaulan sosialita. Jika saja bukan karena ingin mengubah kepemimpinan perusahaan, saya juga enggan datang. Bergaul dengan wanita-wanita dan diisi dengan gosip bukanlah hobiku."Saya udah lihat semua artikel yang isinya tentang kamu, kenapa kamu bisa seenggak tahu malu itu buat ketemu sama kami? Terus kamu juga sekarang bertingkah layaknya nyonya Irfandi di saat istri ketua Irfandi masih hidup," celetuk seseorang.Bagaimana? Bagaimana? Bertingkah?Saya ini memang nyonya Irfandi muda jadi salahnya dimana jika saya bertingkah? Aku juga tidak merugikan orang lain di sini karena aku hanya mengerjakan bagianku."Kalau kamu punya rasa
Belakangan ini kediaman di apartemen sangat sepi. Itu karena sebagian pegawai di beri izin untuk cuti tahunan dan biasanya mereka akan pergi bersama-sama dan meninggalkan Bi Susan seorang. Tama memang memberikan cuti bulanan tapi cuti tahunan itu wajib untuk dilakukan karena sebagian pekerja tidak pulang dan memilih untuk terus bekerja demi mengumpulkan pundi-pundi uang. Tama memberikan mereka cuti tahunan wajib agar mereka dapat bertemu dengan keluarga mereka secara berkala. Dia memang bukan orang baik tapi Tama memang berjanji untuk memakmurkan para pekerja di rumahnya agar mereka setia. Dan dia sudah memetik hasil yang dia tanam. Semua orang sangat loyal pada suamiku itu, bahkan mereka tidak segan memperlakukanku secara buruk ketika mereka tahu aku berselingku. Aku bersyukur pria itu hidup dengan baik meski dididik dengan orang yang bermasalah. Ini pertama kalinya aku menyaksikan mereka cuti bersama karena seperti yang kita semua tahu, hidupku selama ini dipenuhi dengan banyak m
Beberapa hari kemudian, para pekerja yang dicutikan telah kembali. Seperti sebuah ritual yang tidak tertuli, aku menanyakan pada mereka bagaimana kondisi setelah mendapatkan liburan. Semua orang bersuka cita. Tidak ada lagi pandangan kesal yang mereka layangkan padaku. "Berarti sekarang udah siap untuk bekerja, kan?" tanyaku. Meski mereka tidak siap, tetap saja tanggung jawab itu harus mereka jalankan. "Kalau sudah kalian bisa langsung menuju bagian kalian masing-masing." Semua mengangguk dan langsung melipir pergi. Staf untuk tinggal di rumah ini hanya 3 termasuk bi Susan, selebihnya adalah staf yang bekerja di rumah utama milik Tama. Beberapa dari mereka memang sering datang ke sini sekarang untuk melapor atau hanya sekedar bertukar posisi jika staf yang bekerja di sini tidak bisa datang. "Ibu kenapa? Suntuk banget mukanya." Dia Dinda yang memang ditugaskan Tama untuk menjadi asistenku meski sebenarnya aku tidak membutuhkannya. Dia di sini malah seperti teman mengobrol karena para