Malam ini aku masih berkutat dengan perhitungan pengeluaran bulanan dan besok merupakan hari gajian para pekerja yang juga harus aku persiapkan. Aku masih duduk dan masih menghitung ketika tiba-tiba Tama masuk dengan langkah pelan.Waktu masih menunjukkan pukul 7 malam dan biasanya dia akan pulang ke rumah ketika jam sudah menunjukkan di angka sepuluh. Pria ini tidak biasanya pulang cepat."Kantor udah nggak sibuk?" tanyaku, begitu dia melepaskan jas dan dasinya, lalu menggantungnya di tempat khusus pakaian kotor."Tadi aku rapat di luar. Karena kantor udah dihandle sama sekertaris jadi aku putusin buat pulang. Gimana tadi pengalaman kamu ke perkebunan."Aku langsung menatapnya tidak percaya dia akan menanyakan pendapatku. Bukankah ini berarti dia sudah mulai mau berkomunikasi dua arah? Tapi sebelumnya juga dia memang selalu berkomunikasi hanya saja aku yang tidak menggubris. Maafkan aku Tama, kamu pasti frustasi berat "Aku banyak belajar di sana. Ternyata terjun langsung nggak semud
Aku tergelak mendengar alasan yang dibicarakan Tama. Jika hukumannya seperti itu jelas aku akan menerima dengan suka hati. Lagipula dimana lagi aku bisa menemukan sosok pasangan yang seperti Tama. Walaupun dia tampak dingin tapi sebenarnya dia itu orang yang sangat memikirkan tentang aku dan aku tidak akan pernah rela jika pria ini direbut oleh orang lain. Andai saja aku sudah berpikiran terbuka seperti ini sejak dulu, sudah pasti kehidupan rumah tangga kami akan berjalan baik. Sayangnya aku yang dulu sangat terobsesi dengan yang namanya permintaan maaf setelah pernah dikhianati oleh teman yang aku percaya. Kejadian dimana ketika Tama menyembunyikan kebenaran itu benar-benar menjadi pukulan telak dan membuatku berpikir jika Tama sama seperti Jess dan Papanya. Penilaian impulsif yang seperti itu malah menghancurkan diriku dan menyeretku ke dalam lubang penyesalan yang tidak pernah aku kira akan menghampiriku. "Kamu sadar nggak sih kalau yang kamu omongin tadi itu bukan hukuman," kata
Rupanya niat Tama yang ingin menjadikan kekasih Jessica sebagai pengacaraku itu memang benar adanya, karena pada hari Minggu yang cerah ini dia sudah membawaku keluar rumah dengan dalih untuk menghabiskan waktu di luar berdua. Tapi kalian tahu apa yang terjadi? Dia membawaku ke sebuah kafe hukum yang ternyata selain menyediakan makanan dan minuman, kafe ini juga menyediakan konsultasi gratis.Dan tentu saja pemilik kafe ini adalah orang yang pasti kalian pikirkan. Benar, kafe ini milik kekasihnya Jessica. Manta sahabatku yang dulunya menusukku dari belakang. Ketika masuk ke dalam kami langsung di arahkan menuju ruang konsultasi. Entah kenapa aku malah kesal sendiri padahal Tama sudah memberitahuku soal ini. Aku tidak memiliki kesalahan yang mengharuskannya untuk segan padanya, tapi tetap saja perasaan canggung itu asih ada dan tidak mudah untuk dihilangkan."Dia pasti akan senang lihat kamu," ucap Tama mencoba mencairkan suasana karena aku sama sekali tampak tidak bisa menikmati suas
Ada apa dengan mereka, memangnya salah jika saya tidak tahu berapa usianya. Lagian dia terlihat lebih tua dari pada saya. Ingat! Saya baru berusia 25 tahun dan semua orang yang ada di sini sudah terlihat paruh baya.Lyana bilang ini perkumpulan yang wajib didatangi oleh anggota baru dan mau tidak mau aku harus datang karena aku harus mulai mengikuti kegiatan pergaulan sosialita. Jika saja bukan karena ingin mengubah kepemimpinan perusahaan, saya juga enggan datang. Bergaul dengan wanita-wanita dan diisi dengan gosip bukanlah hobiku."Saya udah lihat semua artikel yang isinya tentang kamu, kenapa kamu bisa seenggak tahu malu itu buat ketemu sama kami? Terus kamu juga sekarang bertingkah layaknya nyonya Irfandi di saat istri ketua Irfandi masih hidup," celetuk seseorang.Bagaimana? Bagaimana? Bertingkah?Saya ini memang nyonya Irfandi muda jadi salahnya dimana jika saya bertingkah? Aku juga tidak merugikan orang lain di sini karena aku hanya mengerjakan bagianku."Kalau kamu punya rasa
Belakangan ini kediaman di apartemen sangat sepi. Itu karena sebagian pegawai di beri izin untuk cuti tahunan dan biasanya mereka akan pergi bersama-sama dan meninggalkan Bi Susan seorang. Tama memang memberikan cuti bulanan tapi cuti tahunan itu wajib untuk dilakukan karena sebagian pekerja tidak pulang dan memilih untuk terus bekerja demi mengumpulkan pundi-pundi uang. Tama memberikan mereka cuti tahunan wajib agar mereka dapat bertemu dengan keluarga mereka secara berkala. Dia memang bukan orang baik tapi Tama memang berjanji untuk memakmurkan para pekerja di rumahnya agar mereka setia. Dan dia sudah memetik hasil yang dia tanam. Semua orang sangat loyal pada suamiku itu, bahkan mereka tidak segan memperlakukanku secara buruk ketika mereka tahu aku berselingku. Aku bersyukur pria itu hidup dengan baik meski dididik dengan orang yang bermasalah. Ini pertama kalinya aku menyaksikan mereka cuti bersama karena seperti yang kita semua tahu, hidupku selama ini dipenuhi dengan banyak m
Beberapa hari kemudian, para pekerja yang dicutikan telah kembali. Seperti sebuah ritual yang tidak tertuli, aku menanyakan pada mereka bagaimana kondisi setelah mendapatkan liburan. Semua orang bersuka cita. Tidak ada lagi pandangan kesal yang mereka layangkan padaku. "Berarti sekarang udah siap untuk bekerja, kan?" tanyaku. Meski mereka tidak siap, tetap saja tanggung jawab itu harus mereka jalankan. "Kalau sudah kalian bisa langsung menuju bagian kalian masing-masing." Semua mengangguk dan langsung melipir pergi. Staf untuk tinggal di rumah ini hanya 3 termasuk bi Susan, selebihnya adalah staf yang bekerja di rumah utama milik Tama. Beberapa dari mereka memang sering datang ke sini sekarang untuk melapor atau hanya sekedar bertukar posisi jika staf yang bekerja di sini tidak bisa datang. "Ibu kenapa? Suntuk banget mukanya." Dia Dinda yang memang ditugaskan Tama untuk menjadi asistenku meski sebenarnya aku tidak membutuhkannya. Dia di sini malah seperti teman mengobrol karena para
Aku langsung menoleh untuk melihatPerasaanku semakin membaik ketika langkah ringanku membawaku mengelilingi alun-alun. Banyak orang yang datang dan tempat ini penuh sesak, tapi euforia kebahagiaan itu tidak melunturkan semangat semua orang yang datang. Mataku meniti seluruh tempat, berbagai macam makanan dan pernak-pernik yang ada hampir membuatku kalap. Selesai menghabiskan satu porsi waffle, aku bergegas menarik Dinda. Wanita itu aku ajak menelusuri semua jalanan dan mataku semakin takjub melihat benda-benda lucu yang terpajang. Sebuah topi hitam membuat pandanganku tertegun. Itu mengingatkanku akan Tama. Pria itu pasti akan bertambah tampan jika mengenakan topi itu. Aku kembali menarik Dinda untuk melihat-lihat."Mau beli apa, Bu?" tanyanya. Aku menoleh dan tersenyum sambil mengangkat topi tersebut ke hadapannya. "Buat siapa?""Bapak bagus nggak ya pakai ini?" "Ah, buat Bapak to. Bagus kok Bu." Senyumku semakin lebar dan dengan cepat langsung melakukan transaksi untuk sebuh top
Aku semakin gemetar di tempatku. Mulutku yang dibekap membuatku tidak bisa banyak berbicara. Setidaknya, kalau ikatan di mulutku dilepas, aku bisa bernegoisasi dengan mereka. Memang apa untungnya bagi pria itu untuk menculikku. Toh, aku tidak mengenalnya dan juga, kami hanya berinteraksi sangat minim malam itu."Lo harus kasih gue imbalan yang besar setelah urusan ink selesai," ujar salah seorang dari mereka. Aku tidak tahu itu siapa karena bahkan untuk mendongak saja aku tidak berani. Aju kelewat takut dan kelewat pasrah. Banyak kemungkinan-kemungkinan buruk yang berputar di kepalaku. Otakku sudah tidak bisa mendoktrin segala sesuatu yang bersifat positif karena suasana dan keadaan di sini sangat mendukung untuk berpikiran buruk.Bagaimanapun juga, jika aku berteriak, pasti tidak akan ada orang yang mendengar. Tidak akan ada orang juga yang berani mendekati tempat ini. Tempat yahg terbilang kumu dan terpencil. Tempat-tempat yang sangat dihindari para manusia normal karena mereka tahu.