"Masih punya muka juga ternyata lo."Aku menoleh begitu mendengar suara sinis yang sangat mengganggu. Dia Evelyn, salah satu gadis yang bertemu dengan Jess di toilet beberapa waktu yang lalu. Dan satu-satunya orang yang memprovokasi Jess di toilet hingga Jess berani mengatakan akulah dalangnya. Aku memang tidak tahu apa yang terjadi. Tapi yang aku tahu Evelyn sangat terganggu dengan kehadiran Jess sejak awal kami kuliah.Beberapa saat yang lalu..Aku melangkah ringan keluar dari apartemen. Hal yang paling kurindukan sejak aku terkurung di kamar adalah, dapat menikmati kenyamanan untuk sejenak menghirup udara bebas. Aku merasa tercekik berada di ruangan itu. Walaupun tempat kurungan itu adalah kamarku sendiri, tapi tetap saja aku merasa tidak bebas.Hembusan angin, asap kendaraan, dan bunyi klakson yang saling bersahutan menjadi hal yang sangat menarik untuk diperhatikan. Karena letak rumah papa yang masuk ke dalam area perumahan, suasana itu tidak aku dapatkan. Hanya pemandangan taman
Evelyn masih saja menghalangiku. Dia berdirisambil bersedekap dan menatapku seolah aku hama yang memang harus disingkirkan. Kenapa lagi dengan wanita ini, padahal aku tidak pernah mengusiknya dan tidak akrab dengannya."Duh... kenapa pakai melotot segala sih? Santai aja kenapa. Gue juga cuma tanya."Manusia macam Evelyn sangat amat patut untuk dihindari. Bergaul dengannya oun tidak mendatangkan manfaat. Hanya membuang-buang waktu dan itu sanhat menyebalkan.Aku segera melangkah untuk menjauh. Tidak ingin berurusan dengan wanita ini. Namun lenganku di tahan dan itu membuatku mengernyitjan dahi. Aku merasa terganggu."Lo nggak sopan juga ternyata. Mata lo buta atau gimana sih sampai berani mau ngelewatin gue gitu aja,""Kenapa?" tanyaku pelan."Pakai tanya lagi. Lo nggak dengar tadi Evelyn nanya ke lo."Aku terkekeh oelan. Masih sama. Evelyn selalu saja membawa para dayangnya untuk ikut bersamanya. Kemarin saat menemui Jess dia hanya membawa satu. Dan kini saat menemuiku dia membawa dua
Akhirnya semua urusanku berakhir. Soal Jess dan soal lukisan. Masalah kami memang belum sepenuhnya selesai dan aku mengabaikan fakta itu hanya untuk meyakinkan diriku sendiri jika aku sudah usai dengannya. Semua memang tidak berjalan baik sebagai mana mestinya. Namun bagiku itu sudah cukup. Meminta banyak penjelasan malah akan membuatku semakin terluka. Hanya aku meminta secara garis besarnya saja.Jessica pergi dari kota ini dan kembali pada keluarganya. Dari yang aku lihat dia sudah sangat menyesali kebodohannya. Berkali-kali dia juga mengirimiku pesan ungkapan permintaan maaf yang tidak aku respon satu pun. Aku hanya membaca dan itu cukup menyedihkan karena dia memohon maaf tiada henti.Dan waktu pun bergulir dengan cepat. Sudah dua bulan sejak kejadian itu berakhir. Jessica sudah tidak mengirimiku pesan permintaan maaf, mungkin dia sudah lelah karena aku sama sekali tidak merespon. Aku lulus sesuai jadwal dan beberapa kali menghadiri seminar sebagai pengisi acara. Beberapa karyaku
Masa kini.Kembali ke saat dimana aku tengah duduk di mobil dengan Tama yang sebagai supirnya. Aku melirik pria disampingku yang masih fokus dengan pikirannya sendiri.Rasa muak, marah, dan benci langsung menguasaiku. Bagaimana bisa aku sebodoh itu hingga melupakan hal penting yang seharusnya tidak boleh kulupakan. Aku tidak peduli tentang masa kecil dan masa laluku yang masih berurusan dengannya, tapi kenapa sampai sekarang pun aku masih terjebak dengan pria ini. Karena amnesia bodoh ini aku menjadi membenci diriku. Darahku mendidih hanya mengingat soal itu. Aku tertipu olehnya. Oleh janji-janji manis palsu yang selalu dia bicarakan. Dan sialnya lagi, kenapa juga aku sampai harus hamil.Sial, kenapa harus sekarang?Aku ingin berteriak dan marah. Semua ingatanku yang sudah pulih membuatku tidak sudi berada disatu tempat dengan Tama. Kebencian, amarah yang aku simpan untuk diriku sendiri hampir meluap hanya karena aku sadar dan menemukan Tama di sana.Aku tidak bisa menyalahkan diriku
Pria tua yang selama ini selalu berada di sisi papa. Orang yang aku kenal dari aku kecil. Orang yang selalu menenangkanku ketika papa sudah mulai bertingkah seolah tidak peduli padaku. Orang yang sudah aku anggap keluarga meskipun dia selalu bersikap profesional layaknya karyawan yang mengabdi oada tuannya. "Pak Hata," panggilku tanpa sadar. Aku dapat melihat bahunya menengang dan dia terdiam ditempatnya untuk sesaat sebelum membalikkan badanya untuk melihatku. Mata tuanya menatapku kaget. Dia terlihat lebih tua dari terakhir kali. Dia juga terlihat tidak percaya bisa melihatku di sini. "Nona," jawabbya dengan suara tercekat. Aku melihatnya masih sama seperti saat dia masih menjadi orang kepercayaan papa. Aku benar-benar merindukan pemandangan ini. Tatapan pak Hatta tampak tidak menyenangkan. Dia selalu memberikan tatapan itu saat dia memperingaku untuk tidak membantah kalimat papa. Masih sama. Atau ini hanya imajinasiku saja. "Nona?
Setelah berbincang ringan, Papa Irfandi memutuskan untuk langsung pergi. Dia bahkan tidak repot-repot untuk memarkirkan mobilnya masuk ke dalam rumah.Aku dan Tama mengantar kepergiannya. Untuk sesaat aku dapat menghela nafas lega. Ketika aku menoleh, Tama menatapku lekat sama seperti yang dia lakukan tadi."Kenapa?" tanyaku."Kamu tahu kan kalau aku bakalan selaku ada di pihak kamu," ucapnya. Aku mengangguk. Aku tahu itu karena dia pernah mengatakan hal yang sama sebelumnya, "jadi aku harap kamu juga bisa percaya sama aku," lanjutnya lagi."Maksud kamu?"Tama hanya tersenyum pelan dan langsung menarikku masuk. Genggaman tangannya hangat, membuat nyaman. Tapi aku sudah mewanti-wanti pada diriku sendiri untuk tidak terbuai dengan kehangatan semu yang dia salurkan. Aku harus tetap fokus pada tujuan utamaku.Rumah ini tampak terawat dengan halaman luas dan taman yang bunganya sudah mulai bermekaran. Beberapa pekerja tampak lalu-lalang dan sepertinya mereka tidak
Selama seharian ini, Tama benar-benar tidak mengindahkanku. Kan enggan untuk meliriku hanya karena aku membicarakan soal apply pekerjaan yang aku lakukan dulu sebelum aku terlibat kecelakaan. Aku tidak mengerti bagaimana cara dia berpikir. Harusnya dia lepaskan saja aku. Toh, aku sudah tidak memiliki kegunaan lagi di sini setelah semuanya diambil.Beberapa bulan terakhir sebelum kecelakaan, memang waktu tersulit untukku. Marger akusisi perusahaan, papa yang meninggal, dan fakta keterlibatan Tama. Semua hal itu membuat duniaku hancur hanya dalam sehari. Semua berubah.Dytama adalah pria yang mengenalkan ku tentang apa itu cinta. Awalnya aku memang sangat cuek, tapi aku tidak bisa memungkiri jika aku sudah jatuh cinta padanya di pertemuan ketiga kami. Melihatnya tersenyum, berbicara, dan tertawa, membuatku tidak mengalihkan pandanganku sedetik pun darinya. Aku tidak ingin kehilangan moment itu. Dan lagi, dari sekian banyak pria hanya dia yang benar-benar memperlakukanku tulus.Nama itu
Ini adalah pertama kalinya aku mengunjungi makam Papa setelah dia meninggal. Selama ini aku terlalu menyalahkan diri karena tidak ada di samping Papa ketika sekarat. Tapi sejujurnya yang membuatku tidak berani datang adalah, karena aku pengecut.Nisan itu tampak bersih dan sangat terawat padahal hanya aku keluarga yang dia miliki. Aku akui, memang aku tidak memiliki kenangan indah dengan Papa, tapi dia adalah orang yang selalu mendorongku untuk terus maju meskipun dengan kata-kata pedas. Papa ini Aluna. Papa gimana di sana? Bahagia kan? Kenapa Papa nggak kasih tahu Aluna kalau Papa sakit. Maaf Aluna baru bisa datang sekarang. Aluna emang pengecut.Papa tahu, hari ini Aluna ngajak Tama buat kerja sama. Aluna nggak rela perusahaan Papa jatuh ke tangan Om Irfandi. Aluna juga nggak percaya dia bisa dapat tanda tangan Papa. Kenapa Papa bisa nemuin orang kayak gitu sih?Sekarang Aluna tahu darimana sikap terlalu peduli milik Aluna berasal. Itu dari Papa kan. Menurut Papa lucu nggak sih, du
“Sayang, aku mau belanja dulu ya,” bisik Luna di depan telinga Tama. Pria itu tampak masih setengah sadar dan menjawab kalimat Luna dengan gumaman pelan. Dia terlihat amat sangat lelah, bahkan hanya untuk sekedar membuka matanya saja Tama harus mengumpulkan banyak kekuatan. Tama baru sampai di rumah sekitar pukul 3 dini hari. Karena adanya pembangunan cabang baru di luar kota, Tama terpaksa harus hadir secara langsung untuk melihat bagaimana progres bangunan lima lantai miliknya itu. Dan karena ini pertama kalinya bagi pria itu pergi tanpa berpamitan langsung dengan triplet, jadi dia memutuskan untuk langsung pulang begitu urusannya selesai. “Biar aku antar,” gumam Tama dan kembali berusaha membuka matanya yang masih terasa lengket.“Enggak usah. Kamu tidur lagi aja. Lagian aku Cuma mau pergi ke pasar di belakang komplek. Enggak terlalu jauh. Jalan kaki juga sampai. Sama Bi Susan kok.”Penjelasan Luna kembali membuat Tama berbaring. Pria itu mengangguk dan kembali tidur.“Aku pergi
"Kakak sama adek baru bangun?" Luna bertanya sambil menyerahkan segelas air pada Tama. Dia juga memberikan biskuit pada Rama dan Rajen. Biskuit yang sama seperti yang dia berikan pada Raka"Iya," jawab pria itu setelah meneguk air minumnya hingga tandas. "Tadi aku sengaja mampir ke kamar mereka dan ternyata mereka udah lada bangun. Tumben banget nggak pada nangis," lanjut Tama sambil memajukan diri untuk mencium Luna. Sayangnya ditolak oleh wanita itu."Nggak boleh! Ada anak-anak," peringat wanita itu tanpa boleh dibantah.Sayangnya Tama tetaplah pria. Dia tidak suka dilarang bahkan sampai mengernyitkan dahi karena tidak suka dengan peraturan mendadak itu. Dia masih memeluk Luna dan tetap berusaha untuk mencium Luna."Ayah!" seru Luna dengan tawa tapi tetap mencoba untuk menghindar."Abang, adek, sama kakak lihat ya. ayah mau cium Bunda."Tama berhasil mendapatkan bibir Luna. Dia mencium pendek-pendek hingga beberapa kali. Rajen dan Raka tertawa senang melihat adegan tersebut. Menurut
Luna menatap lekat ke arah ketiga anaknya dengan perasaan yang masih membuncah bahagia. Raka, Rama dan Rajen nampak tengah tertidur lelap, membuat siapa oun yang melihat adegan tersebut akan merasa jatuh hati. Luna memperbaiki letak selimut Rajen yang melorot. Dia juga ikut mengecup kening anak bungsunya dan dilanjutkan ke kening putra-putranya yang lain.Jika memutar kembali ingatannya ke kejadian dua tahun yang lalu, Luna masih saja merasa takjub. Anak yang kini sudah tumbuh besar itu pernah tinggal di rahimnya. Rasanya apa yang sudah terjadi itu bagaikan ilusi. Hanya dalam sekejap mata ketiga buah hatinya sudah berusia tiga tahun saja. Apalagi Rajen, bayi yang dulunya terlahir paling kecil di antara kakak-kakaknya juga sudah terlihat bertumbuh dengan sehat.Dulu Luna selalu merasa was-was karena saat itu Ranen harus di rawat di ruangan khusus bayi yang bermasalah. Tubuhnya yang ringkih juga sampai harus di pasangi berbagai macam kabel dan selang. Tiada hari tanpa air mata kala itu.
Tiga tahun kemudian...Tama mendesis pelan saat tangannya tidak sengaja menyentuh panci panas yang tengah digunakannya untuk memasak sup. Anak-anaknya harus sarapan sedangkan Bi Susan tidak ada di tempat karena wanita paruh baya itu tadi izin akan pergi ke pasar tradisional yang ada di belakang komplek. Sebentar lagi triplets akan bangun dan sudah lasti mereka akan merengek karena kelaparan.Belum ada lima menit dia menggumamakan soal itu di dalam hati dan tidak lama kemudia, suara berisik dari kamar ketiganya membuat fokus Tama teralihkan. Pria itu segera mengecilkan kompor sebelum bergerak untuk mencari tahu penyebab dari keributan tersebut. Meski sesungguhnya dia sudah tahu siapa biangnya.Senyum Tama terbit seketika saat dia melihat putra bungsunya, Rajen, sedang memukul-mukul pagar pembatas menggunakan mainan berbentuk boneka pisang berwarna hijau yang terpasang di setiap pintu. Tingginya sebatas pinggang orang dewasa."Anak Ayah udah bangun ternyata," seru Tama sambil meraih Raj
Luna kecil duduk manis di tengah-tengah ruangan besar nan megah. Tidak ada yang menemani. Hanya keheningan yang tersisa walau pun di dalam ruangan itu sudah dipenuhi banyak hal-hal menakjubkan.Luna kecil menundukkan kepalanya, bukan ini yang di inginkannya. Padahal Mama dan Papanya sudah berjanji kalau hari ini akan menjadi ulang tahun penuh kejutan yang tidak akan pernah mungkin Luna lupakan.Yang dia inginkan bukan barang-barang penuh gemerlapan seperti ini. Luna kecil hanya mengharapkan mereka semua berkumpul bersama dan menghabiskan waktu untuk bercanda riang layaknya keluarga pada umumnya. Tapi sayangnya hal itu sulit untuk terealisasikan karena bahkan sampai saat ini tidak ada tanda-tanda kemunculan mereka.Baginya, itu bukanlah ulang tahun tapi hari paling menyedihkan. Bahkan beberapa asisten rumah tangga yang hadir di sana juga menatap penuh iba ke arahnya. bocah kecil yang malang.Setelah mulai bersekolah, waktu untuk Luna bertemu dengan orang tuanya bahkan sampai bisa dihit
Tama Pov"Buat sekarang lebih baik kita fokusin diri kita untuk menyambut kehadiran triplets dulu. Masa depan juga masih panjang dan untuk urusan adiknya triplets masih bisa kita bahas nanti-nanti," jelasku lagi sambil mencubit pelan pipinya."Kamu nggak mau aku hamil lagi ya?" Mata Luna sudah berkilat memerah. Bahkan air muta sudah mulai menghiasi kornea indah itu."Nggak gitu sayang," ucapku sambil menangkupkan tanganku ke pipi chubby miliknya. "Aku tadi itu cuma bilang buat fokus ke triplets kan. Nggak ada penjelasan tentang aku yang nggak mau kamu hamil lagi. Yang aku maksud supaya kita bisa banyak-bayak saving kenangan sama triplets. Itu doang, nggak ada maksud lain. Kalau memang rezeki lagi kamu hamil, nanti kita pikirkan saat itu.""Tapi aku juga mau punya anak perempuan juga," tangis Luna pecah. Kehamilan memang membuat moodnya naik dan turun macam roller coster. Awalnya aku juga merasa kesulitan dengan kondisi ini, bahkan aku sampai meminta saran dari beberapa pihak hanya dem
Tama Pov Seperti biasanya meski aku mengatakan kalau aku akan lebih memilih bekerja di rumah, tapi kenyataanya tidak berjalan semulus itu. Ada saja kerjaan yang tidak bisa di wakilkan dan membuatku harus turun tangan langsung. Kali ini adalah pembahasan soal kerjasama dengan beberapa rumah sakit. Perkebunan milikku yang sudah beratas namakan Luna semakin membesar dan hasil produksinya juga bertambah. Dengan ide absurd yang awalnya hanya terlontar sekilas dari mulut Bi Susan, kini aku malah benar-benar merealisasikan karena produksi benar-benar sudah tidak bisa ditampung oleh para petani. Pembicaraanya berjalan sangat lancar. Bahkan ahli gizi yang ikut memeriksa sayuran milik perkebunan tersenyum lega karena sesuai dengan apa yang mereka inginkan. Setelah berhasil menyelesaikan pekerjaan, aku memilih untuk menemui Mela. Suasana di sana tidak ramai tapi juga tidak bisa dibilang sepi. Di hadapanku ada sepasang suami istri yang menunggu dengan tangan bertautan. Sang suami mencoba
Tama PovMalam itu, untuk pertama kalinya aku bisa merasakan gerakan lembut yang berasa dari triplets. Itu adalah moment paling emosional sepanjang kehidupanku sebagai seorang Dytama dan aku jadi yakin jika semuanya akan berjalan baik-baik saja. Luna dan triplets akan sehat sampai jadwal operasi mendatang.Berbeda dengan harapanku kala itu, kini keadaan Luna malah terlihat semakin tidak baik. Keyakinan yang berhasil aku tanamkan hampir sirna semua karena kondisi itu.Luna kini sering mual muntah, pingsan, dan yang paling membuatku hampir kacau adalah, dia juga harus diberikan suntikan untuk pengencer darah setiap dua belas jam sekali. Bukan hanya itu saja, ada kalanya Luna sampai harus di bawa ke UGD karena bekas suntikannya itu terus-menerus mengeluarkan darah tanpa henti. Itu efek dari darah yang ada di tubuhnya terlalu encer.Rasanya, jiwaku seperti ditarik keluar paksa ketika melihat dress favoritnya sudah dipenuhi oleh darahnya. Kala itu aku berserah pada Tuhan.
"Aku tambah berisi banget ya," ucap Luna lagi. Kini dia bahkan sampai membalikkan tubuhnya supaya bisa bertatapan dengan Tama. Momok yang paling menakutkan bagi wanita adalah perubahan bentuk tubuh yang langsung drastis. Aluna hanya wanita biasa yang bisa merasakan takut kehilangan. Apalagi sekarang hubungannya dengan Tama sedang dalam mode yang amat membahagiakan dan benar-benar takut untuk kehilangan."It's okay. I still love you," Tama mulai mendekatkan wajah mereka dan mulai saling menggesekkan kedua ujung hidung mereka berdua karena gemas."Tapi kan nanti badan aku bakal melar habis-habisan?" tanyanya memastikan lagi. Tama membalasnya dengan cara mengecup sudut bibir Luna. "Terus nanti juga perut sama badan aku bakal penuh sama stretchmark," lanjutnya kembali memperjelas. Dia hanya ingin memastikan kalau Tama tidak akan meninggalkan dia saat kondisinya sedang tidak menarik seperti sekarang."Aku nggak pernah mempermasalahkan soal bentuk badan kamu. Aku memilih