Evelyn masih saja menghalangiku. Dia berdirisambil bersedekap dan menatapku seolah aku hama yang memang harus disingkirkan. Kenapa lagi dengan wanita ini, padahal aku tidak pernah mengusiknya dan tidak akrab dengannya."Duh... kenapa pakai melotot segala sih? Santai aja kenapa. Gue juga cuma tanya."Manusia macam Evelyn sangat amat patut untuk dihindari. Bergaul dengannya oun tidak mendatangkan manfaat. Hanya membuang-buang waktu dan itu sanhat menyebalkan.Aku segera melangkah untuk menjauh. Tidak ingin berurusan dengan wanita ini. Namun lenganku di tahan dan itu membuatku mengernyitjan dahi. Aku merasa terganggu."Lo nggak sopan juga ternyata. Mata lo buta atau gimana sih sampai berani mau ngelewatin gue gitu aja,""Kenapa?" tanyaku pelan."Pakai tanya lagi. Lo nggak dengar tadi Evelyn nanya ke lo."Aku terkekeh oelan. Masih sama. Evelyn selalu saja membawa para dayangnya untuk ikut bersamanya. Kemarin saat menemui Jess dia hanya membawa satu. Dan kini saat menemuiku dia membawa dua
Akhirnya semua urusanku berakhir. Soal Jess dan soal lukisan. Masalah kami memang belum sepenuhnya selesai dan aku mengabaikan fakta itu hanya untuk meyakinkan diriku sendiri jika aku sudah usai dengannya. Semua memang tidak berjalan baik sebagai mana mestinya. Namun bagiku itu sudah cukup. Meminta banyak penjelasan malah akan membuatku semakin terluka. Hanya aku meminta secara garis besarnya saja.Jessica pergi dari kota ini dan kembali pada keluarganya. Dari yang aku lihat dia sudah sangat menyesali kebodohannya. Berkali-kali dia juga mengirimiku pesan ungkapan permintaan maaf yang tidak aku respon satu pun. Aku hanya membaca dan itu cukup menyedihkan karena dia memohon maaf tiada henti.Dan waktu pun bergulir dengan cepat. Sudah dua bulan sejak kejadian itu berakhir. Jessica sudah tidak mengirimiku pesan permintaan maaf, mungkin dia sudah lelah karena aku sama sekali tidak merespon. Aku lulus sesuai jadwal dan beberapa kali menghadiri seminar sebagai pengisi acara. Beberapa karyaku
Masa kini.Kembali ke saat dimana aku tengah duduk di mobil dengan Tama yang sebagai supirnya. Aku melirik pria disampingku yang masih fokus dengan pikirannya sendiri.Rasa muak, marah, dan benci langsung menguasaiku. Bagaimana bisa aku sebodoh itu hingga melupakan hal penting yang seharusnya tidak boleh kulupakan. Aku tidak peduli tentang masa kecil dan masa laluku yang masih berurusan dengannya, tapi kenapa sampai sekarang pun aku masih terjebak dengan pria ini. Karena amnesia bodoh ini aku menjadi membenci diriku. Darahku mendidih hanya mengingat soal itu. Aku tertipu olehnya. Oleh janji-janji manis palsu yang selalu dia bicarakan. Dan sialnya lagi, kenapa juga aku sampai harus hamil.Sial, kenapa harus sekarang?Aku ingin berteriak dan marah. Semua ingatanku yang sudah pulih membuatku tidak sudi berada disatu tempat dengan Tama. Kebencian, amarah yang aku simpan untuk diriku sendiri hampir meluap hanya karena aku sadar dan menemukan Tama di sana.Aku tidak bisa menyalahkan diriku
Pria tua yang selama ini selalu berada di sisi papa. Orang yang aku kenal dari aku kecil. Orang yang selalu menenangkanku ketika papa sudah mulai bertingkah seolah tidak peduli padaku. Orang yang sudah aku anggap keluarga meskipun dia selalu bersikap profesional layaknya karyawan yang mengabdi oada tuannya. "Pak Hata," panggilku tanpa sadar. Aku dapat melihat bahunya menengang dan dia terdiam ditempatnya untuk sesaat sebelum membalikkan badanya untuk melihatku. Mata tuanya menatapku kaget. Dia terlihat lebih tua dari terakhir kali. Dia juga terlihat tidak percaya bisa melihatku di sini. "Nona," jawabbya dengan suara tercekat. Aku melihatnya masih sama seperti saat dia masih menjadi orang kepercayaan papa. Aku benar-benar merindukan pemandangan ini. Tatapan pak Hatta tampak tidak menyenangkan. Dia selalu memberikan tatapan itu saat dia memperingaku untuk tidak membantah kalimat papa. Masih sama. Atau ini hanya imajinasiku saja. "Nona?
Setelah berbincang ringan, Papa Irfandi memutuskan untuk langsung pergi. Dia bahkan tidak repot-repot untuk memarkirkan mobilnya masuk ke dalam rumah.Aku dan Tama mengantar kepergiannya. Untuk sesaat aku dapat menghela nafas lega. Ketika aku menoleh, Tama menatapku lekat sama seperti yang dia lakukan tadi."Kenapa?" tanyaku."Kamu tahu kan kalau aku bakalan selaku ada di pihak kamu," ucapnya. Aku mengangguk. Aku tahu itu karena dia pernah mengatakan hal yang sama sebelumnya, "jadi aku harap kamu juga bisa percaya sama aku," lanjutnya lagi."Maksud kamu?"Tama hanya tersenyum pelan dan langsung menarikku masuk. Genggaman tangannya hangat, membuat nyaman. Tapi aku sudah mewanti-wanti pada diriku sendiri untuk tidak terbuai dengan kehangatan semu yang dia salurkan. Aku harus tetap fokus pada tujuan utamaku.Rumah ini tampak terawat dengan halaman luas dan taman yang bunganya sudah mulai bermekaran. Beberapa pekerja tampak lalu-lalang dan sepertinya mereka tidak
Selama seharian ini, Tama benar-benar tidak mengindahkanku. Kan enggan untuk meliriku hanya karena aku membicarakan soal apply pekerjaan yang aku lakukan dulu sebelum aku terlibat kecelakaan. Aku tidak mengerti bagaimana cara dia berpikir. Harusnya dia lepaskan saja aku. Toh, aku sudah tidak memiliki kegunaan lagi di sini setelah semuanya diambil.Beberapa bulan terakhir sebelum kecelakaan, memang waktu tersulit untukku. Marger akusisi perusahaan, papa yang meninggal, dan fakta keterlibatan Tama. Semua hal itu membuat duniaku hancur hanya dalam sehari. Semua berubah.Dytama adalah pria yang mengenalkan ku tentang apa itu cinta. Awalnya aku memang sangat cuek, tapi aku tidak bisa memungkiri jika aku sudah jatuh cinta padanya di pertemuan ketiga kami. Melihatnya tersenyum, berbicara, dan tertawa, membuatku tidak mengalihkan pandanganku sedetik pun darinya. Aku tidak ingin kehilangan moment itu. Dan lagi, dari sekian banyak pria hanya dia yang benar-benar memperlakukanku tulus.Nama itu
Ini adalah pertama kalinya aku mengunjungi makam Papa setelah dia meninggal. Selama ini aku terlalu menyalahkan diri karena tidak ada di samping Papa ketika sekarat. Tapi sejujurnya yang membuatku tidak berani datang adalah, karena aku pengecut.Nisan itu tampak bersih dan sangat terawat padahal hanya aku keluarga yang dia miliki. Aku akui, memang aku tidak memiliki kenangan indah dengan Papa, tapi dia adalah orang yang selalu mendorongku untuk terus maju meskipun dengan kata-kata pedas. Papa ini Aluna. Papa gimana di sana? Bahagia kan? Kenapa Papa nggak kasih tahu Aluna kalau Papa sakit. Maaf Aluna baru bisa datang sekarang. Aluna emang pengecut.Papa tahu, hari ini Aluna ngajak Tama buat kerja sama. Aluna nggak rela perusahaan Papa jatuh ke tangan Om Irfandi. Aluna juga nggak percaya dia bisa dapat tanda tangan Papa. Kenapa Papa bisa nemuin orang kayak gitu sih?Sekarang Aluna tahu darimana sikap terlalu peduli milik Aluna berasal. Itu dari Papa kan. Menurut Papa lucu nggak sih, du
"Kamu nggak lupa sama janji kamu, kan? Kamu nggak merasa kalau kamu udah mengkhianati kepercayaan dari Papa?"Kalimat yang dilontarkan Papa masih terngiang jelas di benakku. Seminggu terakhir ini aku memang bolak-balik ke kantor Papa untuk mencari bukti yang dia sembunyikan. Semenjak tahu jika perusahaan yang seharusnya menjadi milik Aluna dipindahtangankan secara paksa, aku menolak keras, tapi terlambat karena saat kejadian itu Papa mertuaku langsung koma tidak lama setelahnya. Aku tidak tahu bagaimana Papa bisa mendapatkan cap perusahaan, yang jelas aku sangat amat marah ketika itu.Aku dan Papa membuat perjanjian, aku tidak akan ikut campur asalkan dia tidak mengganggu hubunganku dengan Aluna. Pria itu setuju karena dia sudah berhasil mendapatkan apa yang dia inginkan. Aku sendiri memang pengecut karena masih terus-terusan menutup mata soal kejahatan Papa. Aku hanya tidak mau Aluna tahu, dan terlambat karena sepertinya dia lebih peka dari dugaanku.Hubungan kami meregang dan dia me