"Loe sadar nggak ada berapa masalah yang harus loe hadapi? tanya Erina.Aku menggelenh. Jangankan soal itu saat ini saja rasanya keplaku hampir pecah karena permasalahan yang timbul tanpa kuduga. Gagasan tentang berapa masalah lagi sudah aku singkirkan jauh-jauh dari pikiraku.Aku masih mencoba bersikap tenang saat menoleh ke Sana, "Loe bilang beritanya di upload pagi, kan?"Sana mengangguk pasti, "Tapi ada hal lain yang perlu loe tahu. Gue sempat lihat-lihat komentar sebelum di hapus dan mereka nyebut soal keeluarga loe kak...""Aluna." Ketiga kepala yang ada di sana sontak menoleh ke asal suara. Aku tidak mengenal sosok yang tiba-tiba menginterupsi obrolan kami dan dia datang mengganggu tanpa rasa bersalah sambil memandangku dengan tatapan merendahkan.Erina orang pertama yang sadar. Dia menatap tajam sosok itu, "Loe bisa lihat apa nggak? Kita lagi diskusi dan kehadiran loe nggak dibutuhin di sini."Wanita itu menatap Erina dengan alis yang dinaikkan. Dia merasa kesal karena diintru
Aku seperti anak kecil yang sedang menghadapi papa. Sama persis seperti saat itu. Tidak bisa melakukan apapun dan hanya bisa memandang wajah tuanya, menatap satu-satunya orang tua yang aku punya.. "Aluna, Papa nggak ngerti... gimana bisa kamu jadi persis kayak dia?" Bagian yang paling menyedihkan adalah aku mengerti dan amat sangat mengerti apa yang dia bicarakan. Setiap katanya benar-benar menyakiti kami berdua. Aku bahkan tidak bisa menyalahkan papa karena kebodohanku yang menunda-nunda hal yang seharusnya bisa diselesaikan saat itu juga. Meski Papa kecewa dia tidak pernah membahas soal perselingkuhan Mama secara gamblang, dan aku tahu karena dia sangat mencintai mama meski akhirnya dikhianati. Membahas Mama sama saja membuka kembali luka lama yang sudah mengering. Dan bodohnya aku, Aku tidak berpikir jika masalah ini akan memicu kembali ingatan papa tentang pengkhianatan. Aku benar-benar menyesali tindakan bodoh dan keputusan impulsif yang kubuat sendiri. Aku tidak berpikir hi
Kejadian hari itu benar-benar menjadi pukulan terdahsyat bagi papa. Beliau masih tetap tersenyum dan berusaha terlihat sejak yang mungkin. Papa mencoba bertahan meski sejatinya hal itu tidak mudah. Kepercayaannya direnggut cintanya dikhianati dan itu pukulan telak untuknya.Dulu saat aku tidak berhasil menemukan mama aku pasti akan bertanya pada papa tentang di mana keberadaannya. Papa selalu menunjukkan tatapan sedih. Para pekerja di rumah pun sering menggosipkan soal mama saat mereka pikir aku tidak mendengar.Dan mungkin karena bosan sebab aku selalu memberikan pertanyaan yang sama pada akhirnya papa menjawab, "Mama pergi sayang. Sekarang cuman ada Papa dan Luna. Dan kamu tetap harus tumbuh jadi gadis yang baik, Jadi jangan tanya lagi soal dia, oke?" ucapnya saat itu.Sejak saat itu aku tidak pernah lagi menanyakan tentang keberadaan mama. Dan sejak saat itu pula papa menjadi sangat sibuk. Beliau selalu sibuk sampai tidak memiliki waktu hanya untuk bergurau bersamaku atau menemanik
Dua jam kemudian aku telah bersiap. Aku mengikuti semua kalimat dari papa. Aku mengenakan dress, merias wajahku untuk menyembunyikan betapa mengerikannya bare faceku dan aku juga harus tersenyum di depan pria yang tidak aku kenal nantinya.Tanpa berpikir panjang aku langsung mengikuti papa yang masuk ke mobil. Aku juga duduk di bagian belakang dan papa benar-benar memperlakukanku bagai makhluk tak kasat mata. Dalam kurun waktu 30 menit yang berjalan sangat lambat dan itu terasa mencekam karena kami berdua sama-sama berada dalam keheningan. Hingga akhirnya kami tiba di restoran hotel kelas atas yang menjadi tempat pertemuan kali ini. Papa memerintahkan pak Hatta untuk langsung parkir di basement, dia bahkan menolak untuk berjalan berdampingan denganku.Jangankan berjalan bersama dia bahkan melarangku untuk ikut masuk ke dalam lift yang sama dengannya. Hatiku teremat sempurna. Perasaan tertolak yang sesungguhnya benar-benar menghampiriku. Padahal selama ini dia acuh dengan semua prestas
Kalau Papa nggak datang berarti...Aku menoleh sepenuhnya pada Tama. Suaraku sedikit tercekat ketika berbicara, "Gue anggap loe udah lihat artikel-artikel tentang gue sekarang. Terus kenapa loe bersikap baik ke gue padahal nggak ada orang lain yang lihat?"Keheningan menyapa kami. Pria itu tidak langsung menjawab seperti sebelumnya. Dia seperti tengah memproses pertanyaan dariku Dan hebatnya dia terlihat tidak berniat untuk menjawab. Dia membalas ku dengan tatapan penuh intimidasi yang pantang dan mengamatiku sambil bersedekap seraya bersandar di kursinya."Loe bener-bener nggak inget gue, Lun?"Bukan itu jawaban yang ingin aku dengar. Tapi melihat dia yang bersikap sok akrab membuatku sedikit terganggu.Aku mengungkapkan tubuhku. Bersikap agar terlihat seangkuh mungkin. Lenganku juga ikut bersedekap. Aku memperhatikan pandangan matanya yang terus mengikuti setiap gerakan yang aku lakukan."Aku harus ingat loe siapa? Gue nggak ngerasa pernah ketemu loe di manapun, dan terus kenapa loe
"Jess Itu teman, bisa dibilang dia sahabat gue. Tapi sekarang udah mantan atau bekas? Teman cowok di kelas gue tergila-gila sama dia dan mereka beberapa kali ngedektin Jess tapi nggak dia gubris. Puncaknya kemarin. Dia kehilangan beasiswa dan butuh uang buat melanjutkan hidup. Gue nggak tahu siapa yang ajak dia dan siapa yang punya ide. Akhirnya Jess setuju buat jadi model buat bahan lukisan telanjang. Setujunya dia karena nominal yang mereka tawarkan buat dua jam kerja aja tiga digit. Fyi, penggemarnya dia anak berduit semua. Peraturan di kampus gue itu ketat. Selama kampus berdiri nggak ada yang ngebolehin pakai model telanjang untuk model lukisan, meskipun di beberapa perguruan tinggi itu diperbolehkan. Dan jika ada yang ketahuan melanggar mereka akan langsung di destroy out."Pihak kampus tahu dan entah gimana ceritanya gue yang jadi kambing hitamnya," ceritaku usai Dan aku langsung menatap Tama menunggu reaksi apa yang akan dia berikan.Hanya menggangguk, "Terus soal Steven?""St
"Mbak! Sebentar lagi kita sampai tempat tujuan," kata supir taksi itu, sambil mengarahkan pandangannya padaku melewati kaca spion tengah.Setelah pertemuanku berakhir dengan Tama beberapa hari yang lalu. Akhirnya Papa mengizinkanku untuk kembali menjalani rutinitasku. Semua berita tentangku sudah benar-benar lenyap bagi angin lalu. Keluarga Steven pun sudah dituntut oleh pengacara keluarga. Aku tidak tahu bagaimana dan gimana kelanjutannya, karena baik papa maupun Tama masih menyembunyikan soal ini sampai sekarang.Dan sejak terkuaknya kebenaran itu, papa masih belum mengizinkanku untuk muncul di depan publik.Aku akui kekuatan papa benar-benar tidak bisa diremehkan.Tidak ada klarifikasi apapun tentang kejadian ini dari pihakku. Semua permintaan ku benar-benar dikabulkan oleh Tama. Aku cukup puas dengan hasil yang dia berikan.Aku kembali ke kampus untuk membereskan kekacauan yang aku tinggalkan beberapa waktu lalu. Karena rumah buruk yang beredar project yang aku buat bersama Erina
"Masih punya muka juga ternyata lo."Aku menoleh begitu mendengar suara sinis yang sangat mengganggu. Dia Evelyn, salah satu gadis yang bertemu dengan Jess di toilet beberapa waktu yang lalu. Dan satu-satunya orang yang memprovokasi Jess di toilet hingga Jess berani mengatakan akulah dalangnya. Aku memang tidak tahu apa yang terjadi. Tapi yang aku tahu Evelyn sangat terganggu dengan kehadiran Jess sejak awal kami kuliah.Beberapa saat yang lalu..Aku melangkah ringan keluar dari apartemen. Hal yang paling kurindukan sejak aku terkurung di kamar adalah, dapat menikmati kenyamanan untuk sejenak menghirup udara bebas. Aku merasa tercekik berada di ruangan itu. Walaupun tempat kurungan itu adalah kamarku sendiri, tapi tetap saja aku merasa tidak bebas.Hembusan angin, asap kendaraan, dan bunyi klakson yang saling bersahutan menjadi hal yang sangat menarik untuk diperhatikan. Karena letak rumah papa yang masuk ke dalam area perumahan, suasana itu tidak aku dapatkan. Hanya pemandangan taman
“Sayang, aku mau belanja dulu ya,” bisik Luna di depan telinga Tama. Pria itu tampak masih setengah sadar dan menjawab kalimat Luna dengan gumaman pelan. Dia terlihat amat sangat lelah, bahkan hanya untuk sekedar membuka matanya saja Tama harus mengumpulkan banyak kekuatan. Tama baru sampai di rumah sekitar pukul 3 dini hari. Karena adanya pembangunan cabang baru di luar kota, Tama terpaksa harus hadir secara langsung untuk melihat bagaimana progres bangunan lima lantai miliknya itu. Dan karena ini pertama kalinya bagi pria itu pergi tanpa berpamitan langsung dengan triplet, jadi dia memutuskan untuk langsung pulang begitu urusannya selesai. “Biar aku antar,” gumam Tama dan kembali berusaha membuka matanya yang masih terasa lengket.“Enggak usah. Kamu tidur lagi aja. Lagian aku Cuma mau pergi ke pasar di belakang komplek. Enggak terlalu jauh. Jalan kaki juga sampai. Sama Bi Susan kok.”Penjelasan Luna kembali membuat Tama berbaring. Pria itu mengangguk dan kembali tidur.“Aku pergi
"Kakak sama adek baru bangun?" Luna bertanya sambil menyerahkan segelas air pada Tama. Dia juga memberikan biskuit pada Rama dan Rajen. Biskuit yang sama seperti yang dia berikan pada Raka"Iya," jawab pria itu setelah meneguk air minumnya hingga tandas. "Tadi aku sengaja mampir ke kamar mereka dan ternyata mereka udah lada bangun. Tumben banget nggak pada nangis," lanjut Tama sambil memajukan diri untuk mencium Luna. Sayangnya ditolak oleh wanita itu."Nggak boleh! Ada anak-anak," peringat wanita itu tanpa boleh dibantah.Sayangnya Tama tetaplah pria. Dia tidak suka dilarang bahkan sampai mengernyitkan dahi karena tidak suka dengan peraturan mendadak itu. Dia masih memeluk Luna dan tetap berusaha untuk mencium Luna."Ayah!" seru Luna dengan tawa tapi tetap mencoba untuk menghindar."Abang, adek, sama kakak lihat ya. ayah mau cium Bunda."Tama berhasil mendapatkan bibir Luna. Dia mencium pendek-pendek hingga beberapa kali. Rajen dan Raka tertawa senang melihat adegan tersebut. Menurut
Luna menatap lekat ke arah ketiga anaknya dengan perasaan yang masih membuncah bahagia. Raka, Rama dan Rajen nampak tengah tertidur lelap, membuat siapa oun yang melihat adegan tersebut akan merasa jatuh hati. Luna memperbaiki letak selimut Rajen yang melorot. Dia juga ikut mengecup kening anak bungsunya dan dilanjutkan ke kening putra-putranya yang lain.Jika memutar kembali ingatannya ke kejadian dua tahun yang lalu, Luna masih saja merasa takjub. Anak yang kini sudah tumbuh besar itu pernah tinggal di rahimnya. Rasanya apa yang sudah terjadi itu bagaikan ilusi. Hanya dalam sekejap mata ketiga buah hatinya sudah berusia tiga tahun saja. Apalagi Rajen, bayi yang dulunya terlahir paling kecil di antara kakak-kakaknya juga sudah terlihat bertumbuh dengan sehat.Dulu Luna selalu merasa was-was karena saat itu Ranen harus di rawat di ruangan khusus bayi yang bermasalah. Tubuhnya yang ringkih juga sampai harus di pasangi berbagai macam kabel dan selang. Tiada hari tanpa air mata kala itu.
Tiga tahun kemudian...Tama mendesis pelan saat tangannya tidak sengaja menyentuh panci panas yang tengah digunakannya untuk memasak sup. Anak-anaknya harus sarapan sedangkan Bi Susan tidak ada di tempat karena wanita paruh baya itu tadi izin akan pergi ke pasar tradisional yang ada di belakang komplek. Sebentar lagi triplets akan bangun dan sudah lasti mereka akan merengek karena kelaparan.Belum ada lima menit dia menggumamakan soal itu di dalam hati dan tidak lama kemudia, suara berisik dari kamar ketiganya membuat fokus Tama teralihkan. Pria itu segera mengecilkan kompor sebelum bergerak untuk mencari tahu penyebab dari keributan tersebut. Meski sesungguhnya dia sudah tahu siapa biangnya.Senyum Tama terbit seketika saat dia melihat putra bungsunya, Rajen, sedang memukul-mukul pagar pembatas menggunakan mainan berbentuk boneka pisang berwarna hijau yang terpasang di setiap pintu. Tingginya sebatas pinggang orang dewasa."Anak Ayah udah bangun ternyata," seru Tama sambil meraih Raj
Luna kecil duduk manis di tengah-tengah ruangan besar nan megah. Tidak ada yang menemani. Hanya keheningan yang tersisa walau pun di dalam ruangan itu sudah dipenuhi banyak hal-hal menakjubkan.Luna kecil menundukkan kepalanya, bukan ini yang di inginkannya. Padahal Mama dan Papanya sudah berjanji kalau hari ini akan menjadi ulang tahun penuh kejutan yang tidak akan pernah mungkin Luna lupakan.Yang dia inginkan bukan barang-barang penuh gemerlapan seperti ini. Luna kecil hanya mengharapkan mereka semua berkumpul bersama dan menghabiskan waktu untuk bercanda riang layaknya keluarga pada umumnya. Tapi sayangnya hal itu sulit untuk terealisasikan karena bahkan sampai saat ini tidak ada tanda-tanda kemunculan mereka.Baginya, itu bukanlah ulang tahun tapi hari paling menyedihkan. Bahkan beberapa asisten rumah tangga yang hadir di sana juga menatap penuh iba ke arahnya. bocah kecil yang malang.Setelah mulai bersekolah, waktu untuk Luna bertemu dengan orang tuanya bahkan sampai bisa dihit
Tama Pov"Buat sekarang lebih baik kita fokusin diri kita untuk menyambut kehadiran triplets dulu. Masa depan juga masih panjang dan untuk urusan adiknya triplets masih bisa kita bahas nanti-nanti," jelasku lagi sambil mencubit pelan pipinya."Kamu nggak mau aku hamil lagi ya?" Mata Luna sudah berkilat memerah. Bahkan air muta sudah mulai menghiasi kornea indah itu."Nggak gitu sayang," ucapku sambil menangkupkan tanganku ke pipi chubby miliknya. "Aku tadi itu cuma bilang buat fokus ke triplets kan. Nggak ada penjelasan tentang aku yang nggak mau kamu hamil lagi. Yang aku maksud supaya kita bisa banyak-bayak saving kenangan sama triplets. Itu doang, nggak ada maksud lain. Kalau memang rezeki lagi kamu hamil, nanti kita pikirkan saat itu.""Tapi aku juga mau punya anak perempuan juga," tangis Luna pecah. Kehamilan memang membuat moodnya naik dan turun macam roller coster. Awalnya aku juga merasa kesulitan dengan kondisi ini, bahkan aku sampai meminta saran dari beberapa pihak hanya dem
Tama Pov Seperti biasanya meski aku mengatakan kalau aku akan lebih memilih bekerja di rumah, tapi kenyataanya tidak berjalan semulus itu. Ada saja kerjaan yang tidak bisa di wakilkan dan membuatku harus turun tangan langsung. Kali ini adalah pembahasan soal kerjasama dengan beberapa rumah sakit. Perkebunan milikku yang sudah beratas namakan Luna semakin membesar dan hasil produksinya juga bertambah. Dengan ide absurd yang awalnya hanya terlontar sekilas dari mulut Bi Susan, kini aku malah benar-benar merealisasikan karena produksi benar-benar sudah tidak bisa ditampung oleh para petani. Pembicaraanya berjalan sangat lancar. Bahkan ahli gizi yang ikut memeriksa sayuran milik perkebunan tersenyum lega karena sesuai dengan apa yang mereka inginkan. Setelah berhasil menyelesaikan pekerjaan, aku memilih untuk menemui Mela. Suasana di sana tidak ramai tapi juga tidak bisa dibilang sepi. Di hadapanku ada sepasang suami istri yang menunggu dengan tangan bertautan. Sang suami mencoba
Tama PovMalam itu, untuk pertama kalinya aku bisa merasakan gerakan lembut yang berasa dari triplets. Itu adalah moment paling emosional sepanjang kehidupanku sebagai seorang Dytama dan aku jadi yakin jika semuanya akan berjalan baik-baik saja. Luna dan triplets akan sehat sampai jadwal operasi mendatang.Berbeda dengan harapanku kala itu, kini keadaan Luna malah terlihat semakin tidak baik. Keyakinan yang berhasil aku tanamkan hampir sirna semua karena kondisi itu.Luna kini sering mual muntah, pingsan, dan yang paling membuatku hampir kacau adalah, dia juga harus diberikan suntikan untuk pengencer darah setiap dua belas jam sekali. Bukan hanya itu saja, ada kalanya Luna sampai harus di bawa ke UGD karena bekas suntikannya itu terus-menerus mengeluarkan darah tanpa henti. Itu efek dari darah yang ada di tubuhnya terlalu encer.Rasanya, jiwaku seperti ditarik keluar paksa ketika melihat dress favoritnya sudah dipenuhi oleh darahnya. Kala itu aku berserah pada Tuhan.
"Aku tambah berisi banget ya," ucap Luna lagi. Kini dia bahkan sampai membalikkan tubuhnya supaya bisa bertatapan dengan Tama. Momok yang paling menakutkan bagi wanita adalah perubahan bentuk tubuh yang langsung drastis. Aluna hanya wanita biasa yang bisa merasakan takut kehilangan. Apalagi sekarang hubungannya dengan Tama sedang dalam mode yang amat membahagiakan dan benar-benar takut untuk kehilangan."It's okay. I still love you," Tama mulai mendekatkan wajah mereka dan mulai saling menggesekkan kedua ujung hidung mereka berdua karena gemas."Tapi kan nanti badan aku bakal melar habis-habisan?" tanyanya memastikan lagi. Tama membalasnya dengan cara mengecup sudut bibir Luna. "Terus nanti juga perut sama badan aku bakal penuh sama stretchmark," lanjutnya kembali memperjelas. Dia hanya ingin memastikan kalau Tama tidak akan meninggalkan dia saat kondisinya sedang tidak menarik seperti sekarang."Aku nggak pernah mempermasalahkan soal bentuk badan kamu. Aku memilih