Aku seperti anak kecil yang sedang menghadapi papa. Sama persis seperti saat itu. Tidak bisa melakukan apapun dan hanya bisa memandang wajah tuanya, menatap satu-satunya orang tua yang aku punya.. "Aluna, Papa nggak ngerti... gimana bisa kamu jadi persis kayak dia?" Bagian yang paling menyedihkan adalah aku mengerti dan amat sangat mengerti apa yang dia bicarakan. Setiap katanya benar-benar menyakiti kami berdua. Aku bahkan tidak bisa menyalahkan papa karena kebodohanku yang menunda-nunda hal yang seharusnya bisa diselesaikan saat itu juga. Meski Papa kecewa dia tidak pernah membahas soal perselingkuhan Mama secara gamblang, dan aku tahu karena dia sangat mencintai mama meski akhirnya dikhianati. Membahas Mama sama saja membuka kembali luka lama yang sudah mengering. Dan bodohnya aku, Aku tidak berpikir jika masalah ini akan memicu kembali ingatan papa tentang pengkhianatan. Aku benar-benar menyesali tindakan bodoh dan keputusan impulsif yang kubuat sendiri. Aku tidak berpikir hi
Kejadian hari itu benar-benar menjadi pukulan terdahsyat bagi papa. Beliau masih tetap tersenyum dan berusaha terlihat sejak yang mungkin. Papa mencoba bertahan meski sejatinya hal itu tidak mudah. Kepercayaannya direnggut cintanya dikhianati dan itu pukulan telak untuknya.Dulu saat aku tidak berhasil menemukan mama aku pasti akan bertanya pada papa tentang di mana keberadaannya. Papa selalu menunjukkan tatapan sedih. Para pekerja di rumah pun sering menggosipkan soal mama saat mereka pikir aku tidak mendengar.Dan mungkin karena bosan sebab aku selalu memberikan pertanyaan yang sama pada akhirnya papa menjawab, "Mama pergi sayang. Sekarang cuman ada Papa dan Luna. Dan kamu tetap harus tumbuh jadi gadis yang baik, Jadi jangan tanya lagi soal dia, oke?" ucapnya saat itu.Sejak saat itu aku tidak pernah lagi menanyakan tentang keberadaan mama. Dan sejak saat itu pula papa menjadi sangat sibuk. Beliau selalu sibuk sampai tidak memiliki waktu hanya untuk bergurau bersamaku atau menemanik
Dua jam kemudian aku telah bersiap. Aku mengikuti semua kalimat dari papa. Aku mengenakan dress, merias wajahku untuk menyembunyikan betapa mengerikannya bare faceku dan aku juga harus tersenyum di depan pria yang tidak aku kenal nantinya.Tanpa berpikir panjang aku langsung mengikuti papa yang masuk ke mobil. Aku juga duduk di bagian belakang dan papa benar-benar memperlakukanku bagai makhluk tak kasat mata. Dalam kurun waktu 30 menit yang berjalan sangat lambat dan itu terasa mencekam karena kami berdua sama-sama berada dalam keheningan. Hingga akhirnya kami tiba di restoran hotel kelas atas yang menjadi tempat pertemuan kali ini. Papa memerintahkan pak Hatta untuk langsung parkir di basement, dia bahkan menolak untuk berjalan berdampingan denganku.Jangankan berjalan bersama dia bahkan melarangku untuk ikut masuk ke dalam lift yang sama dengannya. Hatiku teremat sempurna. Perasaan tertolak yang sesungguhnya benar-benar menghampiriku. Padahal selama ini dia acuh dengan semua prestas
Kalau Papa nggak datang berarti...Aku menoleh sepenuhnya pada Tama. Suaraku sedikit tercekat ketika berbicara, "Gue anggap loe udah lihat artikel-artikel tentang gue sekarang. Terus kenapa loe bersikap baik ke gue padahal nggak ada orang lain yang lihat?"Keheningan menyapa kami. Pria itu tidak langsung menjawab seperti sebelumnya. Dia seperti tengah memproses pertanyaan dariku Dan hebatnya dia terlihat tidak berniat untuk menjawab. Dia membalas ku dengan tatapan penuh intimidasi yang pantang dan mengamatiku sambil bersedekap seraya bersandar di kursinya."Loe bener-bener nggak inget gue, Lun?"Bukan itu jawaban yang ingin aku dengar. Tapi melihat dia yang bersikap sok akrab membuatku sedikit terganggu.Aku mengungkapkan tubuhku. Bersikap agar terlihat seangkuh mungkin. Lenganku juga ikut bersedekap. Aku memperhatikan pandangan matanya yang terus mengikuti setiap gerakan yang aku lakukan."Aku harus ingat loe siapa? Gue nggak ngerasa pernah ketemu loe di manapun, dan terus kenapa loe
"Jess Itu teman, bisa dibilang dia sahabat gue. Tapi sekarang udah mantan atau bekas? Teman cowok di kelas gue tergila-gila sama dia dan mereka beberapa kali ngedektin Jess tapi nggak dia gubris. Puncaknya kemarin. Dia kehilangan beasiswa dan butuh uang buat melanjutkan hidup. Gue nggak tahu siapa yang ajak dia dan siapa yang punya ide. Akhirnya Jess setuju buat jadi model buat bahan lukisan telanjang. Setujunya dia karena nominal yang mereka tawarkan buat dua jam kerja aja tiga digit. Fyi, penggemarnya dia anak berduit semua. Peraturan di kampus gue itu ketat. Selama kampus berdiri nggak ada yang ngebolehin pakai model telanjang untuk model lukisan, meskipun di beberapa perguruan tinggi itu diperbolehkan. Dan jika ada yang ketahuan melanggar mereka akan langsung di destroy out."Pihak kampus tahu dan entah gimana ceritanya gue yang jadi kambing hitamnya," ceritaku usai Dan aku langsung menatap Tama menunggu reaksi apa yang akan dia berikan.Hanya menggangguk, "Terus soal Steven?""St
"Mbak! Sebentar lagi kita sampai tempat tujuan," kata supir taksi itu, sambil mengarahkan pandangannya padaku melewati kaca spion tengah.Setelah pertemuanku berakhir dengan Tama beberapa hari yang lalu. Akhirnya Papa mengizinkanku untuk kembali menjalani rutinitasku. Semua berita tentangku sudah benar-benar lenyap bagi angin lalu. Keluarga Steven pun sudah dituntut oleh pengacara keluarga. Aku tidak tahu bagaimana dan gimana kelanjutannya, karena baik papa maupun Tama masih menyembunyikan soal ini sampai sekarang.Dan sejak terkuaknya kebenaran itu, papa masih belum mengizinkanku untuk muncul di depan publik.Aku akui kekuatan papa benar-benar tidak bisa diremehkan.Tidak ada klarifikasi apapun tentang kejadian ini dari pihakku. Semua permintaan ku benar-benar dikabulkan oleh Tama. Aku cukup puas dengan hasil yang dia berikan.Aku kembali ke kampus untuk membereskan kekacauan yang aku tinggalkan beberapa waktu lalu. Karena rumah buruk yang beredar project yang aku buat bersama Erina
"Masih punya muka juga ternyata lo."Aku menoleh begitu mendengar suara sinis yang sangat mengganggu. Dia Evelyn, salah satu gadis yang bertemu dengan Jess di toilet beberapa waktu yang lalu. Dan satu-satunya orang yang memprovokasi Jess di toilet hingga Jess berani mengatakan akulah dalangnya. Aku memang tidak tahu apa yang terjadi. Tapi yang aku tahu Evelyn sangat terganggu dengan kehadiran Jess sejak awal kami kuliah.Beberapa saat yang lalu..Aku melangkah ringan keluar dari apartemen. Hal yang paling kurindukan sejak aku terkurung di kamar adalah, dapat menikmati kenyamanan untuk sejenak menghirup udara bebas. Aku merasa tercekik berada di ruangan itu. Walaupun tempat kurungan itu adalah kamarku sendiri, tapi tetap saja aku merasa tidak bebas.Hembusan angin, asap kendaraan, dan bunyi klakson yang saling bersahutan menjadi hal yang sangat menarik untuk diperhatikan. Karena letak rumah papa yang masuk ke dalam area perumahan, suasana itu tidak aku dapatkan. Hanya pemandangan taman
Evelyn masih saja menghalangiku. Dia berdirisambil bersedekap dan menatapku seolah aku hama yang memang harus disingkirkan. Kenapa lagi dengan wanita ini, padahal aku tidak pernah mengusiknya dan tidak akrab dengannya."Duh... kenapa pakai melotot segala sih? Santai aja kenapa. Gue juga cuma tanya."Manusia macam Evelyn sangat amat patut untuk dihindari. Bergaul dengannya oun tidak mendatangkan manfaat. Hanya membuang-buang waktu dan itu sanhat menyebalkan.Aku segera melangkah untuk menjauh. Tidak ingin berurusan dengan wanita ini. Namun lenganku di tahan dan itu membuatku mengernyitjan dahi. Aku merasa terganggu."Lo nggak sopan juga ternyata. Mata lo buta atau gimana sih sampai berani mau ngelewatin gue gitu aja,""Kenapa?" tanyaku pelan."Pakai tanya lagi. Lo nggak dengar tadi Evelyn nanya ke lo."Aku terkekeh oelan. Masih sama. Evelyn selalu saja membawa para dayangnya untuk ikut bersamanya. Kemarin saat menemui Jess dia hanya membawa satu. Dan kini saat menemuiku dia membawa dua