Dia belum tampak mau menyerah meski usahanya masih berakhir sia-sia."Stev, udah ... kamu harus ... ""Kamu bakal kena hipotermia kalau kamu terlalu lama berada di luar? Kamu nggak sadar udah sepucat apa wajah kamu? Badan kamu udah menggigil, Lun.""Aku tahu."Nafas kami sampai mengeluarkan kabut dan bukan hanya itu saja, pakaianku sudah tidak berbentuk lagi. Matanya berkobar syarat akan frustasi karena kondisi ini."Kamu bisa aja mati kalau aku tinggalin kamu sekarang. Kamu sadar nggak?" Dia menghela nafasnya kasar, "kita udah bicara soal kematian Lun, bukan hal main-main lagi."Aku juga tahu itu, tapi enggan untuk menjawab. Dan akhirnya kesunyian kembali merayap di antara kami.Mulutku akhirnya terbuka, aku berhasil menemukan suaraku lagi, "Ini semua salah aku. Harusnya a-aku nggak menijah sama dia.""Stop it! Ini bukan saatnya bahas soal dia di antara kita." Steven juga tampak lelah dan berantakan tapi tetap setia berada di sampingku.Aku menoleh untuk menatapnya, "K-kamu yang pali
Dan saat ingatan itu kembali menyatu, duniaku terasa runtuh seketika.Apa yang akan kamu lakukan sekarang, Luna?Raut khawatir dari mata cokelat jernih itu malah membebankanku. Aku seperti tersudut dengan kesalahan fatal yang sudah tidak bisa aku sanggah. Tangannya yang berada dipundakku terasa menekanku kuat dan membuatku sulit bergerak.Aku menggeleng cepat dan mencoba menguasai diri kembali kemudian menatap balik Tama yang masih setia menungguku di sini.Kenapa? Apa ada alasan lain dibalik sikapnya yang begitu perhatian padaku?Dulu, sebelum ingatanku kembali aku tidak merasakan keberatan dengan tatapannya yang seperti ini tapi kenapa sekarang semua berubah? Aku merasa tatapannya berubah mengerikan ... seperti banyak menyimpan banyak rahasia dibaliknya.Aku melirik tangannya yang masih tersampir di pundakku, dengan cepat aku refleks mundur dan membuat lengannya terjatuh tepat di samping tubuhku. Punggungku membentur dashboard tempat tidur cukup kencang karena gerakanku yang terlalu
Tama masih diam di tempatnya dia terlihat kacau, atau jangan-jangan dia juga tidak tahu soal ini? "Apa ... kamu yakin, kalau anak yang aku kandung ini anak kamu?" Suaraku berhasil membuatnya menoleh. Tama beranjak dari tempatnya menuju ke arah kursi pasien, dia menarik kursi tersebut hingga berderit, kemudian diangkatnya dan berakhir dengan bantingan kencang yang memekakkan telinga. Dia melemparkan kursi itu sekuat tenaganya. Aku tersentak, setelah itu keheningan menyekingkupi kami berdua. Tidak ada satupun yang memulai pembicaraan, dia juga berpaling dariku dengan nafas yang terengah-engah. Aku menatapnya masih dengan mata yang terbelalak dan tubuh yang bergetar, sampai dia membalikkan tubuhnya sendiri dan menatapku tajam. Matanya tiba-tiba memerah dan suaranya berubah menjadi serak, "Gimana bisa kamu berpikir seperti itu?" Dia sama sekali tidak menutupi rasa kecewa dan sakit hatinya. Matanya menatapku tajam menandakan apa yang aku tanyakan merupakan hal yang bodoh, "anak itu pun
"Aku bingung. Apa yang harus aku lakukan?" ujarku masih dengan isak tangis yang harusnya sudah usai. "Aku tahu," gumamnya menenangkansambil mengusap punggungku, lalu dia lalu berhenti sejenak untuk menatapku, "tapi aku udah pernah bilang sebelumnya ke kamu, kamu punya aku dan kamu nggak harus nyelesaikan teka-teki ini sendiri." Aku membenamkan wajahku ke bahunya dan dari posisiku yang sekarang, aku dapat menghindu aromanya. "Terus apa yang harus kita lakukan? Aku nggak tahu gimana caranya buat ngatasi ini." "Aku udah mikir soak ini sebelumnya dan itu tergantung sama kamu." "Tam, gue udah bilang kalau ini bahaya, kita nggak bisa memprediksi apa yang bakal terjadi selanjutnya," seru Lisa keras. "Lebih baik kita mencoba yang terbaik dari pada ngebuat semuanya semakin rumit. Dia udah terlalu menderita. Dan gue ... nggak bisa lihat dia kaesakitan kayak gini terus." "Tapi tetap aja." Aku melirik mereka berdua, "Apa yang kalian bicarakan?" Tama meremas bahuku, "Hal yang pernah kamu o
Aku kembali ke ruangan yang membuatku sesak. Tubuh yang saling berdesakan, asap dan lampu disko yang berpijar. Bau keringat, parfum, dan alkohol bercampur menjadi bau yang memuakkan namun juga sangat akrab di indera penciumanku. Dan saat itu aku mabuk di tengah-tengah orang itu. Aku terhuyung-huyung begitu keluar dari bilik kamar mandi, dan saat menatap wajahku di cermin... aku selerti melihat orang asing, tapi aku tahu jika sosok itu adalah diriku. Pemandangan itu masih sangat asing untukku dan ketika aku sadar jika itu bukan pertama kalinya, aku langsung bertanya-tanya, apa yang sebenarnya aku lakukan. Perasaanku kacau. Hal ini sudah berlangsung selama setahu, tapi kenapa hari ini aku marasa tidak berdaya. Aku terus mencari alasan apa yang membuat aku harus bersikap seperti ini. Mata cokelat itu membuatku kembali dipenuhi emosi. Aku terlalu pengecut sampai tidak berani menghadapinya langsung dan malah lebih memilih untuk menghancurkannya dari belakang. Aluna yang bodoh. Menyedi
Tama bersandar ke dinding keramik di kamar mandi kami. Lengannya semakin erat memelukku. Aku masih gemetar. Ingatan-ingatan itu membuatku semakin merasa bersalah. Mereka tidak mau berhenti untuk tidak memutar kembali memori-memori lancang yang sudah kucoba untuk tidak kuhiraukan.Aku masih bisa mendengar suara itu, masih bisa mencium aroma campuran yang menjijikkan itu, masih bisa melihat pria-pria itu... yang sengaja mendekatiku, dan juga Steven.Dan dari semua hal yang aku rasakan, rasahya aku malah semakin membuat diriku sendiri diliputi kesalahan yang tidak akan pernah usai. Yang buruk semakin menjadi buruk dan aku merasa seperti aku dikekang oleh rasa bersalah itu dan hal itu melarangku untuk bersikap lemah.Tanganku secara ottomatis mencengkram dada saat merasakan sesak. Kekhawatiranku semakin meningkat dan membuatku hampir saja kehilangan kendali atas diriku karena ingatan-ingatan yang datang secara rancu.Usapan dan gumaman Tama terdengar sia-sia karena hal itu tidak membantus
Sesuatu tentang kalimat terakhir yang Tama ucapkan membuat kepalaku berkedut. Dan sebelum aku menyadari apa arti dari kalimat itu sebuah ingatan mulai berputar.Mata cokelat terang yang sama, tapi kali ini milik seorang anak kecil laki-laki. Dia tersenyum lebar sampai menbuat matanya menyipit karenanya. Dia mengulurkan tangannya padaku."Jadi gimana? Aku bakal bantu kamu nyelesain PR kamu tapi kamu harus gambarin aku sesuatu."Aku menatap uluran tangannya dengan kepala miring, tidak mengerti apa yang dia inginkan. Aku tidak cukup mengenalnya, dan aku hampir tidak menyukainya karena dia bisa berada di kantor papa sedangkan aku tidak. Apalagi saat mengingat bagaimana papa memuji anak ini karena nilainya yang sempurna membuayku bertambah kesal. Aku iri.Aku kembali menatap wajahnya, "Tapi Papa aku nyita semua alat lukis punyaku. Aku nggak dikasih izin buat ngelukis lagi, karena aku disuruh belajar."Tama kecil mengangguk dengan paham, "Makannya tadi aku bilang kalau aku bakal bantu kamu,
Aku awalnya terkejut saat Tama mengatakan akan membawaku melihat rumah tempat kami tinggal dulu. Dan aku pikir kegiatan itu tidak akan dilaksanakan dalam waktu dekat ini juga."Maksud aku kita nggak usah terlalu terburu-buru buat ngelihat rumah yang kamu maksud itu," ucapku sedikit panik saat dia melajukan mobilnya menuju tempat yang akan menjadi awal penjelajahan kami. Aku gugup dan mengharapkan bisa menemukan hal yang baik dan bisa memicu ingatanku. Aku sangat berharap.Sebelumnya sesaat setelah aku menyetujui ajakannya, Tama langsung menghubungi seseorang lewat handponenya. Dia membatalkan semua meeting perusahaan dan lebih memilih untuk membawaku pergi melihat tempat yang dia sebut rumah kami sebelumnya.Aku bisa mendengar protesan dari seseorang di ujung telfon sana, tapi dia tidak perduli dan tetap mematikan sambungan telfonnya secara sepihak.Tama kembali melepaskan kancing kemeja yang sebelumnya sudah dia kenakan. Aku tidak tahu jika siang ini dia berencana untuk pergi ke kant