“Pak, bisa tunggu di sini sebentar? saya cuma sebentar kok, nanti sama bapak lagi pulangnya,” ucap Rian setelah turun dari ojek. Mereka baru sampai ke rumah sakit pondok indah. “Oh iya bisa. Saya tunggu di sini ya.” “Oke Pak. Sebentar ya.” Rian memasang tudung jaketnya lalu bergegas memasuki area rumah sakit. Rian berlalu lalang di sekitaran IGD dan tak sengaja melihat Reva baru saja keluar dari IGD sambil dipapah dengan seorang pria yang Rian yakin itu adalah suaminya Reva. Ia juga bisa melihat ada dua wanita paruh baya yang salah satunya Rian ketahui adalah mamanya Reva. Ia sontak bersembunyi ke balik tembok ketika mereka melewati area tersebut. ‘Aku harus mengikuti mereka,’ batin Rian lalu mengikuti mereka diam-diam dengan jarak aman. Setelah Reva dan yang lainnya masuk ke mobil Zidan, Rian bergegas menemui ojeknya. “Pak, tolong ikuti mobil itu ya,” ucapnya seraya menunjuk mobil sedan hitam yang mulai bergerak meninggalkan area rumah sakit. “Oke Bang.” Setibanya
Keesokan paginya.Reva sudah bersiap-siap untuk pergi ke kampus, sudah menenteng kunci motornya keluar rumah.“Eh, kamu mau ke mana?” tegur Zidan ketika melihat Reva sudah di atas motor. Zidan tengah mengunci pintu sekarang.“Mau ke kampus lah, Om. Mau ke mana lagi kamu pikir.”“Turun dari situ. Hari ini kamu pergi sama aku.”“Hah? kenapa?” Reva turun dari motornya, menatap Zidan dengan dahi berkerut.“Enggak apa-apa. Kamu ‘kan habis dari rumah sakit kemarin, jadi takut kamu kenapa-kenapa. Lagipula Mama yang menyuruhku untuk mengantarkanmu.”“Ohh jadi karena disuruh? kalau enggak disuruh, pasti kamu enggak bakal mau ngantarin aku ‘kan?”“Udah lah enggak usah banyak ngomong. Cepat masuk.” Zidan lebih dulu masuk ke dalam mobil. Selama perjalanan mereka hanya diam, Zidan fokus menyetir sementara Reva melirik ke kanan dan ke kiri, sesekali mengembungkan pipinya, merasa bosan.“Ehem!” Zidan sengaja berdehem, membuat Reva mengalihkan pandangan padanya. “Kalau ada merasa pusing, mual atau
Selama perjalanan pulang hingga sampai ke rumah, Zidan hanya diam. Walaupun diajak ngobrol, ia hanya merespon dengan anggukan, gelengan atau deheman saja. Itu membuat Reva malas mengajaknya ngobrol.“Kamu enggak turun?” tanya Reva setelah sampai rumah.“Aku mau balik ke perusahaan,” jawab Zidan tanpa mengalihkan pandangan.“Loh katanya kamu tadi udah pulang kerja,” Reva ingat saat di chat tadi, Zidan mengatakan kalau dia sudah mau pulang kerja.“Ada urusan mendadak.”“Tiba-tiba?”Zidan mengangguk. “Hm.”“Oh, ya udah. Makasih ya udah anterin aku pulang.” Lagi-lagi Zidan hanya mengangguk.Setelah Reva turun, mobil Zidan bergerak meninggalkan rumah. Reva terus memandanginya dengan dahi berkerut sampai hilang dari pandangan.‘Aneh banget Om Zidan. Tiba-tiba berubah gitu, kayak baru pertama kali ketemu aja. Canggung banget," batin Reva sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.Ia pun tak ambil pusing, kembali melangkah ke depan pintu namun saat membuka pintu, ternya pintu terkunci. Ia baru sa
“Om Zidan,” gumamnya tanpa sadar sampai membuat Rian mengernyitkan dahinya.“Kamu ngapain di sini? katanya mau pulang,” tanya Zidan tapi matanya melirik Rian yang kini sedang menundukkan kepalanya.Reva sontak berdiri, mendekati Zidan. “Tadinya aku memang mau pulang tapi—““Hm, Reva. Aku pulang duluan ya, ada urusan mendadak. Sampai jumpa lain waktu.” Rian berdiri, memotong perkataan Reva sebelum akhirnya pergi meninggalkan sepasang suami istri itu tanpa menunggu respon dari keduanya.“Dia siapa?” tanya Zidan dengan mata memicing pada Reva. Zidan memang tidak mengenal Rian karena mereka memang tidak pernah bertemu sebelumnya. Ia bahkan baru tahu bila Risa memiliki kekasih di saat hari pernikahannya dan ia sama sekali tidak tahu bila kekasih Risa adalah Rian.“Aku jelasin nanti ya. Sekarang kamu mau ngapain?”“Tadi awalnya mau beli minum tapi kayaknya enggak jadi.”“Ya udah kalau gitu kita pulang aja. Nanti aku ceritakan di rumah.” Zidan mengangguk, menuruti perkataan Reva. Sebelum pul
“Siapa Ibu itu?” gumam Reva pelan saat mengintip dari balik gorden. Ia bisa melihat seorang wanita gemuk paruh baya dengan rambut disanggul berdiri di depan teras sambil menenteng sebuah tas besar.Tok tok tok! Wanita itu masih bersikeras untuk mengetuk pintu. “Assalamualaikum!”Dengan keberanian tinggi, Reva akhirnya membukakan pintu untuk wanita tersebut.“Waalaikumussaalam. Maaf cari siapa ya Bu?” tanya Reva sopan.“Maaf mengganggu malam-malam, perkenalkan saya Bi Juleha, saya ditugaskan sama Mamanya Den Zidan untuk bekerja di sini mulai malam ini.”“Ohh benarkah? tapi saya—“Tringg! (tiba-tiba ponsel Reva berbunyi)Ponsel di tangannya berbunyi menandakan ada sebuah panggilan masuk. “Hm, sebentar ya Bu.” Reva mengangkat telepon dari mertuanya lebih dulu, agak menjauh dari pintu.“Halo assalamualaikum Ma."“Waalaikumussaalam Reva. Reva, Mama mau tanya apa Bi Juleha sudah sampai di rumah kalian? Mama sengaja nyuruh Bi Juleha ke sana sekarang supaya bisa nemenin kamu, kasihan kamu s
“Halo Pak Agus, saya ada tugas buat kamu.” Sejenak setelah Zidan sampai di perusahaan, ia langsung menghubungi asisten pribadinya, memberikan tugas kepada Agus mengenai Risa.“Oke, segera kabari saya ya, terima kasih.” Trelelet (bunyi telepon kantor)Baru saja memutuskan sambungan dengan Pak Agus, telepon kantor berbunyi.“Halo.”“Halo Pak, selamat siang ini Bianca dari resepsionis. Saya mau memberi tahu kalau ada seorang wanita yang ingin bertemu Bapak di bawah.”“Siapa?”“Namanya Bella Pak.”‘Bella, Bella siapa? apakah mungkin?’ batin Zidan.“Bagaimana Pak? apa Bapak bersedia menemuinya. Mbak Bella bilang dia hanya ingin bertemu sebentar.”“Saya akan ke bawah sebentar lagi.”“Baik Pak, terima kasih akan saya sampaikan. Selamat siang.”“Hm, iya siang.”Sementara itu di bawah“So, gimana?” seorang wanita cantik seperti bule dengan tubuh tinggi langsing bak model, berambut panjang curly bertanya pada sang resepsionis.“Pak Zidan akan turun ke bawah sebentar lagi.”“Oh, okay. Thank
“Dari mana saja kamu? aku teleponin kamu berpuluh kali enggak diangkat-angkat. Aku kirimin pesan juga enggak kamu baca. Kamu udah enggak sayang sama aku?!”Sedari tadi hanya suara Risa saja yang terdengar, sementara Rian hanya diam menunduk. Pagi ini mereka sedang berada di depan kost-an putri. Bukannya disambut dengan hangat ketika Rian datang melainkan disambut dengan beribu-ribu pertanyaan dari kekasihnya.“Kenapa diam aja?! ayo jawab!” Risa menarik kerah jaket Rian, ia terbawa emosi karena sedari tadi Rian hanya diam seribu bahasa.Rian mengatupkan tangannya, “Maaf, maafkan aku.”“Jangan minta maaf. Aku butuh penjelasan.”“A-aku ... Aku ....” Rian membasahi bibirnya, ia bingung harus menjawab apa, ia tidak mungkin jujur. “Aku ke Jakarta.”“Ngapain kamu ke Jakarta?”“A-aku ketemu temanku. Aku mau pinjam uang sama dia karena kamu tahu ‘kan kita udah kekurangan biaya untuk hidup sehari-hari. Gaji kita yang sedikit itu enggak cukup buat menghidupi kita berdua. Jadi kita harus usaha le
Zidan tampak sudah rapi dengan setelan jas hitam dengan dalaman kemeja putih seperti biasa. Ia sedang menyisir rambutnya di depan cermin, menata rambutnya yang masih agak basah ke atas hingga jidat lebarnya terekspos sempurna. Wajahnya masih terlihat agak pucat, faktanya ia memang belum sepenuhnya bugar. Tring Ponselnya yang berbunyi menarik perhatiannya, ia berhenti dari kegiatannya menyisir rambut lalu mengambil ponselnya yang berada di atas meja. Ia dapat melihat nama Arka tertera di layar ponselnya. “Halo." “Halo Zidan, kamu di mana sekarang?” “Aku di rumah, tapi bentar lagi mau berangkat ke perusahaan. Kenapa?” “Jangan pergi dulu, aku mau ke rumah dengan istrimu.” “Hah! Kok kamu bisa sama istriku?” “Ceritanya panjang nanti aku jelasin. Sekarang istri kamu pingsan.” “Apa?! pingsan?! Ini sebenarnya ada apa sih? kalian di mana sekarang? aku nyusul aja ya.” mulai terdengar suara panik dari Zidan. “Enggak usah, aku udah mau deket kok ini, nanti aku ceritain ya. Udah du
10 bulan kemudianWaktu berlalu begitu cepat, tidak terasa sudah hampir di penghujung tahun lagi.“Oaakk oeeekkk.”Zivana Quincy Fernando, bayi yang baru berumur 3 bulan itu menangis saat dimandikan sang Ibu. Zivana adalah putri tunggal Reva dan Zidan yang baru saja lahir 3 bulan yang lalu. Nama Ziva diambil dari gabungan nama Zidan dan Reva.“Cup cup cup, iya iya sabar ya nak. Sebentar lagi selesai mandi, dingin ya?” ucap Reva seraya membasuh badan si buah hati dengan lembut.“Sayang, ini handuknya,” Zidan datang memberikan handuk bayi sesuai permintaan istrinya.“Makasih Mas.”Setelah memandikan Ziva, Reva membawa anaknya yang sudah dibalut dengan handuk ke kamar, Ziva mulai anteng.“Anak siapa ini? lucu bangett sihh.” Reva berbicara dengan nada imut, ia bahkan memasang wajah lucu di depan anaknya sampai membuat anaknya tertawa, menampilkan gusinya yang belum tumbuh gigi. “Eh, malah ketawain mama,” Reva mencuil pelan badan Ziva sambil tersenyum manis.“Sayang kalau kamu mau
Prok prok prok!Zaki menepuk tangannya sambil berjalan ke arah orang yang baru saja tiba, membuat Zidan ikut mengalihkan pandangan.“Aku tidak menyangka kamu akan datang, Kakak ipar,” celetuknya seraya menyunggingkan smirk.Zidan ingin bersuara, namun mulutnya di lakban. Ia hanya bisa menatap mamanya dengan mata berkaca-kaca.“Aku ingin bicara dengan anakku.”“Silakan,” Zaki mempersilakan Eva menemui Zidan. Dia tidak menghalangi. Eva menatap Zaki dengan mata menyipit tajam sebelum melangkahkan kakinya mendekati anaknya. Seorang penjaga membuka lakban yang menutupi mulut Zidan.“Hah, mas Zidan,” gumam Reva di luar. Ia menutup mulutnya kaget. Ia dan Arka sedang mengintip dari luar. Mata Arka membulat, ia sama kagetnya. Reva berbalik menghadap Arka. “Kak, bagaimana ini? Bagaimana cara kita membebaskan Mas Zidan? Apa kita lapor polisi aja?”Arka diam beberapa saat, mencoba untuk berpikir. “Sepertinya begitu. Kita harus panggil polisi, tapi kita enggak boleh gegabah kalau tidak in
“Hilang gimana maksud kamu, Rev?” tanya Risa.“Mas Zidan udah dari semalam enggak pulang. Aku bingung banget mau cari ke mana makanya aku ke sini buat minta bantuan.”Risa pindah posisi ke sebelah adiknya, mengusap pundak adiknya, ia tahu Reva sedang panik. “Kamu tenang dulu ya,” Reva menelan ludahnya, matanya mulai berkaca-kaca.“Hm, tapi Zidan belum menghubungi aku sih. Terakhir dia menghubungiku kemarin pagi.”“Ya Allah,” Reva menutup wajahnya, merasa pusing sedangkan Risa sontak memberikan death glare pada Arka. Risa berpikir omongan Arka barusan malah membuat Reva makin stres.“Kamu tenang dulu ya, jangan stres. Ingat janin dalam kandunganmu. Kalau kamu stres, janin dalam kandunganmu bisa ikut stres.”“Terus aku harus gimana Kak? Aku enggak bisa berdiam diri aja. Kalau Mas Zidan kenapa-napa gimana?”“Bagaimana kalau kita lapor polisi aja?” usul Risa seraya melirik ke Arka.“Kalau belum 24 jam, belum bisa. Jadi harus nunggu 24 jam dulu. Paling enggak besok pagi baru bisa l
Sementara itu Reva di rumah belum tidur. Ia bolak-balik ke depan pintu, menunggu suaminya yang tak kunjung pulang. Sesekali ia menatap ke jam dinding yang terus bergerak. “Mas Zidan kok belum pulang ya? enggak ngabarin juga kalau mau lembur.”Ia mengigit kuku jarinya, hatinya gelisah. Baru saja duduk, ia kembali berdiri. Ia tidak bisa santai-santai saja. Beberapa kali sudah ia mencoba menghubungi suaminya itu namun hasilnya nihil, panggilannya tak terjawab.“Aku harus hubungi siapa sekarang? Apa aku harus hubungi Mama Eva? Tapi nanti mama Eva khawatir.” Reva bermonolog.Kembali ke tempat Zidan disekap. Kepala Zidan masih ditutup. Ia masih sadar dan bernapas. Samar-samar ia mendengar suara langkah kaki mendekat sampai kain yang menutupi kepalanya diangkat. Ia melebarkan matanya ketika mengetahui orang yang tengah berdiri di hadapannya.“Om Zaki.”Zaki menyunggingkan senyum yang terlihat misterius. “Apa kamu kaget, Zidan? Tapi, tenang aku akan menjelaskan semuanya nanti. Untuk seme
2 hari kemudian, Zidan dan Reva sudah kembali dari liburannya. Zidan kembali bekerja dan Reva kembali ke rutinitasnya sebagai ibu rumah tangga.Zidan baru saja tiba di perusahaan, ia kebetulan bertemu dengan Zaki di lobi perusahaan. “Pagi Zidan!”“Pagi Om!”“Bagaimana kabarmu dan istri? Om dengar kamu habis dari liburan?”“Aku dan istri baik. Ya, aku baru pulang dari Labuan Bajo kemarin sore, Om.”“Wah pantas saja mukamu berseri-seri sekali.” Zidan menyunggingkan senyum kecil. “Hm, gimana kalau kita ngobrol sebentar di sana? Enggak enak ngobrol kayak gini.” Zaki menawarkan untuk mengobrol di kursi tunggu yang tersedia di lobi.“Boleh.” Zaki menjulurkan tangannya, mempersilakan Zidan untuk jalan duluan. Zidan mengikuti saja, tidak mau basa-basi.Mereka duduk di sebuah sofa. Zaki sesekali memandang ke sekitar. “Bagaimana liburannya Zidan? Kamu ke mana aja selama di sana? Om kamu ini ‘kan juga pengen dengar cerita liburanmu.” Zaki bersikap seolah-olah mereka dekat.“Biasalah
Mereka tiba di penginapan menjelang malam hari. Mereka sengaja pulang setelah makan malam agar bisa langsung istirahat.Reva langsung mengambil kesempatan untuk mandi duluan ketika melihat Zidan sedang duduk di depan tv.Setelah 20 menit, Reva keluar dengan wajah lebih fresh, rambutnya masih basah. Ia mengenakan kemeja putih oversize dengan bawahan celana pendek selutut warna hitam.“Mas, kamu mau mandi enggak? Aku udah selesai.”Zidan menoleh, seketika matanya terkunci pada penampilan istrinya yang terlihat fresh dan seksi. Bulir-bulir air dari rambutnya yang basah mengalir hingga ke lehernya, wajahnya putih bersih, bibirnya merah. Kaki jenjangnya yang mulus terekspos sempurna. Penampakan yang sangat indah di mata Zidan.“Ih, kenapa lihatin aku gitu banget sih Mas.” Reva reflek menutup dada dan pahanya. Ia takut sama suaminya sendiri pasalnya Zidan menatapnya liar, tanpa berkedip.Zidan berdiri, bergerak mendekati istrinya tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Mau tak mau Reva me
2 Minggu kemudian Tak terasa tahun telah berganti. Awal tahun adalah awal yang baik untuk memulai kembali apa yang sudah dilakukan di tahun sebelumnya dan berusaha untuk lebih baik lagi dari sebelumnya dalam hal apapun.Terhitung sudah 8 bulan pernikahan Zidan dan Reva berjalan, masih terbilang seumur jagung memang namun berbagai macam rintangan yang datang sudah mereka lewati dan mereka bertekad untuk selalu berpegang tangan bersama melewati segala rintangan yang mungkin akan datang di masa depan. Dari akhir tahun menjelang awal tahun biasanya orang ramai berbondong-bondong menghabiskan waktu untuk liburan sebelum kembali ke rutinitas. Tak terkecuali dengan Zidan dan Reva yang baru mau pergi berlibur ke luar kota pada awal tahun ini, cukup terlambat memang tapi tidak apa-apa. Mereka berencana akan menghabiskan waktu liburan di luar kota selama 3-4 harian saja karena Zidan juga tidak mungkin mengambil libur panjang.“Mas, apa semuanya sudah siap?” Reva datang dari belakang, memp
Zidan akhirnya berhasil membawa istrinya pulang. Ia tidak bisa menyembunyikan rasa bahagia dan syukurnya. Saat tiba di rumah, ia langsung menggendong istrinya bridal style, berputar-putar seperti drama india.“Aduh duh Mas. Kamu bersemangat banget, aku jadi pusing nih," celetuk Reva seraya menyentuh kepalanya, pura-pura merasa pusing.“Ups! maaf enggak sengaja.” Zidan malah nyengir sementara Reva menggelengkan kepalanya seraya mengerucutkan bibir. Zidan membawa istrinya masuk, mendudukkannya pelan ke sofa empuk lalu berlutut, memegang tangan istrinya. “Aku minta maaf ya. Aku enggak tahu apa kata maaf ini cukup tapi aku janji akan selalu percaya sama kamu.”Reva menyunggingkan senyum kecil, sebelah tangannya diletakkannya di atas tangan Zevano. “Aku maafin. Tapi mulai sekarang kamu harus janji kalau kita harus selalu saling percaya satu sama lain. Janji?” Reva mengangkat jari kelingkingnya.“Harus begitu?”“Iya, Mas. Kamu enggak mau janji sama aku?” Reva merengek seperti anak keci
Zidan kembali bersama orangtua Rian ke tempat di mana Rian ditawan. Ia akan lakukan apapun agar Rian buka suara, mengakui semua kesalahannya.“Rian, astaga! ke mana saja kamu selama ini nak? apa kamu enggak kasihan sama Mama, Papa?!” wanita paruh baya yang memakai hijab segi empat itu lari menghampiri anaknya, menangkup wajah anaknya dengan berlinang air mata. Rian hanya diam, menunduk, tidak berani menatap mata mamanya. Ia merasa sangat bersalah pada mamanya.“Jawab Mama, Rian hiks. Ka-kamu udah enggak sayang sama Mama, huh? Kenapa kamu enggak pernah pulang ke rumah?” Riska, mamanya Rian terisak. Ia ngomong terbata-bata, bibirnya bergetar.Walaupun Rian anak yang nakal namun jauh di dalam lubuk hatinya, ia menyayangi orangtuanya terutama Mamanya. Kristal bening lolos dari pelupuk matanya, hati kerasnya tergoyah ketika mendengar isakan pilu mamanya. “Maafkan aku Ma, hiks.” Rian ikut terisak, merutuki diri dalam-dalam.Riska menarik Rian dalam pelukannya, mengusap kepala anaknya lemb