Dua puluh menit kemudian
Zea dan Natan sudah berada di dalam perjalanan menuju rumah sakit. Demam Natan yang semakin tinggi membuat Natan tidak bisa membawa mobil sendiri sehingga mereka harus diantar supir.“Masih dingin?” Zea membenarkan jaket yang Natan pakai.Zea juga sudah meminta supir untuk mematikan AC agar rasa dingin yang Natan rasakan bisa berkurang.“Ini kenapa malah semakin dingin?” lirih Natan, “peluk aku dong, Sayang. Siapa tau saja setelah kamu peluk rasa dinginnya akan berkurang?” pinta Natan.Dari suara Natan yang selemah itu, Zea merasa iba dan tidak tega untuk menolak. Alhasil, sekarang Zea memeluk Natan dari samping.Natan merebahkan kepalanya di atas bahu Zea. Natan memejamkan mata berharap rasa pusing yang ia rasakan bisa berkurang kalau dia tidur sejenak.“Makannya kalau kerja itu tau waktu dikit, kalau udah waktunya makan, ya makan. Kalau udah waktunya istirahat, maka harus istirahat. Kerjaan ngSetelah menempuh perjuangan membujuk Natan yang begitu sulit. Akhirnya, Zea mendapat izin untuk menebus obat, sekalian menjenguk Maizura.“Dasar orang aneh, diri sendiri udah kayak orang mau mati masih ada ngotot mau nemenin gue.”Sepanjang jalan melewati koridor rumah sakit, Zea terus meracau mengomeli Natan yang sempat membuat drama ingin ikut dengan dirinya.“Zea!”“Astaga!” Zea yang sedang musuh-musuh dibuat kaget ketika ada seseorang yang menyapanya.“Ternyata bener-bener elo, lo ngapain di rumah sakit sendirian? Mana sambil ngomong sendiri lagi.”“Ngagetin aja deh lo, gue mau nebus obatnya Mas Natan,” jawab Zea apa adanya, “lo sendiri ngapain di sini? Lagi jenguk seseorang juga?” tanya Zea pada seseorang yang baru saja menyapanya.“Gue abis nganter Oma gue kontrol jantungnya, sekarang gue juga mau nebus obat. Gimana kalau kita bareng aja?” tawar Vetri sambil tersenyum.Orang yang baru saja menyapa Zea adal
“Cuma demam biasa karena kelelahan kok, Pa. Dia itu maksain diri kerja semaleman sampai ketiduran di ruangan kerja, pas Zea bangunin malah mimisan saking panasnya demamnya.” Zea menceritakan keadaan Natan.Terlihat kekesalan di mata Zea saat menceritakan itu semua.“Kamu kesal karena harus merawat dia, atau kesal karena dia yang bekerja sampai lupa waktu?” pancung Abraham disaat Zea serang menggebu-gebu menceritakan Natan.“Zea mah nggak masalah kalau harus ngerawat dia, Pa. Tapi Zea tuh nggak suka dia yang kerja sampai lupa istirahat, lebih parahnya lagi dia sering banget lupa makan kalau nggak diingetin.”Abraham tersenyum mendengar cerita Zea, Monic pun diam-diam tersenyum tipis. Monic tidak bicara sepatah kata pun karena takut Zea tidak nyaman, tapi jika mendengar dari cerita Zea. Sepertinya Zea tidak sebenci itu terhadap Natan.“Kalau seperti itu, cepatlah kembali ke suami kamu. Kasian dia menunggu kamu terlalu lama,” titah Abraham s
Zea merasa sedih.Apakah dengan itu Zea sudah ada rasa terhadap Natan?Entahlah, Zea sendiri pun masih tidak tau tentang perasaannya sendiri.Zea memilih berselancar di sosial media daripada membayangkan hal-hal yang akan membuat otaknya sumpek.Hingga setengah jam berlalu, dahi Zea berkerut mendengar rintihan kecil dari bibir Natan.Zea menyimpan ponselnya lalu menatap Natan yang ternyata sudah terjaga.“Mas udah bangun? Mana yang sakit?” Zea mendekat.Tanpa sadar, Zea menggenggam tangan Natan begitu perhatian.“Tidak pa-pa, mungkin cuma pusing karena bangun tidur. Infusnya sudah habis?”“Dikit lagi, Mas. Abis itu kita pulang.” Zea salah tingkah sendiri sambil melepas tangan Natan.Padahal Natan tidak menyadari Zea menggenggam tangannya barusan.“Kamu kembali sejak kapan?” Natan menatap Zea dengan sorot mata sendu saking pusingnya Natan saat ini.Natan pun bern
Sejak tadi Zea selalu memikirkan pembicaraannya dengan Natan beberapa jam yang lalu, Zea benar-benar tidak menyangka tempat tinggal mewah yang ia tinggali saat ini ternyata sudah berpindah kepemilikan atas namanya. ‘Apa dia nggak takut ya kalau sewaktu-waktu gue ninggalin dia terus dia gue usir dari mansion ini?’Banyak sekali pertanyaan yang bercokol di benak Zea. Ia yang awalnya berniat akan menguras habis harta Natan dalam bentuk balas dendam, jadi tidak perlu repot-repot berusaha karena nyatanya Natan telah memberikan semuanya padanya. ‘Kalau gini caranya gue jadi nggak bisa morotin dia lagi dong?’ batin Zea lesu.Zea memang berniat ingin membalas Natan yang menikahinya secara mendadak dengan cara mengurus saldo ATM Natan dan membuat Natan ilfil dengan cara bersikap matrek.Tapi, belum sempat Zea melakukan semua itu. Natan justru sudah menghujami dirinya dengan kehidupan mewah yang tidak pernah Zea duga sebelumnya.“Lo mik
Zea menceritakan mengenai kepemilikan mansion ini yang sudah dipindahkan atas namanya.Sepanjang Zea bercerita, Alea terlihat tak henti-hentinya terkejut. Tak terkecuali Anes, kali ini Anes paham maksud dari setiap kalimat yang dibisikkan oleh Zea.“Lo se-serius?” tanya Alea terbata.Ada rasa tak percaya di hati Alea saat mendengar cerita Zea barusan.“Nggak mungkin gue bohong soal beginian,” balas Zea merasa gemas.Di saat dirinya sedang uring-uringan memikirkan Natan yang terlalu royal padanya, eh si Alea malah meragukan kejujuran dirinya.‘Kan Zea jadi makin kesal dengan masalah yang tidak kunjung terselesaikan.“Itu mah namanya lo beruntung, Zea. Kalau gue yang jadi lo mah pastinya gue bakal jadi orang yang paling bahagia sedunia, mulai dari mahar sampai sekarang itu udah luar biasa banget, say.”Alea menahan suara agar tidak menjerit karena mengingat ada Natan yang sedang tidur di depan sana.“Au a
“Tuh ‘kan kamu khawatir, istri siapa sih ini? Gemes sekali.” Tangan kanan Natan terangkat untuk mencubit gemas pipi mulus Zea. “Jangan kepedean dulu, please. Aku cuma nggak mau makin repot aja kalau kamu sakitnya kelamaan.” Zea menyangkal setiap tuduhan Natan meskipun tak bisa dipungkiri bahwa ia memang khawatir kalau saja penyakit Natan semakin parah. “Panas banget hati gue liat beginian,” gumam Alea sambil terus memperhatikan sepasang pasutri itu tebar keromantisan. “Saya tebak kamu pasti jomblo ya?” Natan melirik Alea dengan sudut matanya. “Ho'oh, saya ini jomblo dari lahir, Abang ipar. Kalau Abang ipar punya kenalan sesama pengusaha juga, bolehlah kenalin ke saya,” pinta Alea mengiba. “Kamu juga mau?” Natan mantap Anes yang diam dan terlihat tidak berminat. “Kalau aku mah nggak perlu, aku maunya teman Abang itu loh. Siapa sih namanya, Kak Darren. Nah iya, aku mau dia aja,” celoteh Anes. “Yakin kamu mau sama dia? Dia itu makan orang loh.” Natan sengaja menakut-nakuti Anes k
“Ya salam! Ini anak berasal dari planet mana?” erang Darren frustasi.Ingin rasanya Darren melambaikan tangannya ke arah kamera sambil berkata, ‘saya menyerah’ saking frustasinya Darren menghadapi makhluk Tuhan yang diberi nama Anes ini.“Yang sabar, Kak Darren. Dia emang rada-rada lemot dan cenderung goblok.” Zea meringis malu sambil meminta maaf atas nama Anes.Sedangkan Alea, Jangan ditanya. Gadis itu sudah merebahkan diri di atas sofa sambil menutup wajahnya dengan bantal sofa.“Please, gue malu banget, Njir. Kalau aja gue ada jurus menghilang, mungkin gua udah minggat dari sini sejak tadi,” gumam Alea dari sebalik bantal.“Kok kalian gitu sih?” Anes memasang tampang sedih sambil menatap kedua sahabatnya. “Gue kan serius nanya karena gue nggak tahu.” Anes merasa dirinya benar.Tapi kenapa lagi dan lagi kedua sahabatnya itu selalu menganggapnya salah.“Iya, kamu memang benar karena kamu terlalu pintar.” Darren berucap
Dia masuk ke dalam mobil mewah Darren untuk pertama kalinya. Anes terlihat begitu bahagia karena akan diantar pulang oleh crush nya.“Di mana rumah kamu?” tanya Darren setelah mobilnya bergerak.“Di atas tanah di bawah langit, ‘A.”“Saya bertanya serius, jawab juga dengan serius! Atau Kamu mau saya tinggalkan di sini?” ancam Darren begitu tegas.Iya serasa dipermainkan oleh gadis kecil di sampingnya ini.“Jangan atuh A’a, masak A’a tega ninggalin aku di jalanan sendirian. Tadi tuh aku serius loh, ‘A. Letak rumah aku emang di atas tanah di bawah langit, mana ada rumah di atas lautan dan di awang-awang?” balas Anes dengan polosnya.“Ya Tuhan … ayolah, kenapa aku harus dipertemukan dengan orang seperti ini?” erang Darren.Darren mencengkram erat setir mobilnya saking gemesnya menghadapi kepolosan Anes.“Maksud saya itu alamat rumah kamu, gadis kecil.” Darren mencoba bersabar menghadapi kepolosan Anes yang bena