Di dalam gubuk, Livi mencoba membuka pintu yang telah terkunci. Ia sangat ketakutan berada di dalam gubuk tua yang ruangannya hanya berukuran sempit.
“Kenapa ini bisa terkunci begini? Ya Allah, apa ada orang di luar?” Dengan suara lembutnya Livi mencoba meminta bantuan. “Tolong, buka pintunya siapapun yang ada di luar,” pintanya lagi. Namun, tidak ada sahutan. Ismi yang mengganjal pintu gubuk dengan kokoh sudah pergi dari sana. “Kak. Bantu aku buat dobrak pintunya,”ucap Livi ketika melihat Asgara diam di tempat sembari menatap sekeliling ruangan. Namun, Asgara hanya menoleh pada gadis itu tanpa mengatakan apa pun. “Ya Allah, kenapa kamu santai banget, Kak? Kita sedang terkurung!" ucap Livi. Suaranya terdengar panik. Tiba-tiba kecurigaannya tentang Asgara kembali membayangi pikirannya. Asgara menghampiri Livi, tapi ia mencoba jaga jarak supaya tidak terlalu dekat dengan santriwati yang sangat lembut itu. "Di luar hujan. Sekalipun bisa keluar, percuma. Kita tetap tidak akan bisa pergi," ucap Asgara dengan suaranya yang tenang. "Tenangkan dirimu dulu." Livi menunduk. Yang dikatakan Asgara ada benarnya juga. Namun, Livi tidak pernah satu ruangan dengan pria, apalagi hanya berdua seperti sekarang ini. Oleh karena itu, tidak bisa dicegah, Livi merasa takut dan khawatir. Gadis itu ingin cepat-cepat keluar dari sana. “Tapi tetap saja. Bukankah lebih nyaman kalau pintunya dibuka?” balas Livi lagi. “Keberadaan kita berdua di sini bisa menimbulkan fitnah, Kak.” Sekalipun Livi tidak berbuat apa-apa di sini dengan Asgara, jika orang lain melihat pastilah mereka akan berpikir macam-macam. Bayangkan saja, seorang wanita dan laki-laki dalam satu ruangan tertutup! Sekalipun Livi adalah santriwati dengan imej yang baik, tapi tetap saja. Ah, justru lebih buruk. Bagaimana jika imej baik Livi jadi buruk karena kejadian ini? Dengan pemikiran itu, Livi kembali mendesak Asgara untuk membantunya. Namun, pria asing itu tampaknya tidak memahami kekhawatiran Livi. “Kita tidak melakukan apa-apa.” Pria itu menyatakan. Asgara justru berkeliling menjauhi pintu dan memandang sekeliling. Sekalipun disebut gubuk, tampaknya bangunan ini cukup kuat dan tidak mudah rubuh, pria itu berpikir. Sementara itu, Livi terusik sekali dengan sikap santai Asgara. Gadis itu menatap Asgara tajam, tapi tidak mengatakan apa pun. Percuma saja, sepertinya. Karenanya, Livi kembali mencoba buka pintunya lagi sambil berteriak minta tolong hingga akhirnya gadis itu kelelahan sendiri. “Aku haus,” ucap Livi. Kemudian ia menjatuhkan tubuhnya ke tanah, lalu duduk setengah jongkok dengan posisi tangan memeluk kakinya sendiri. Asgara yang melihatnya pun jadi tidak tega, ia memperhatikan Livi yang kehausan. Namun, Asgara juga tidak membawa minuman apa-apa. Mereka terperangkap di gubuk tanpa sengaja. Lalu sekejap Asgara memindahkan pandangan ke sebuah botol yang ada di sudut gubuk. Ia langsung menghampiri dan ternyata ada sisa air mineral dan Asgara langsung memberikannya pada Livi. “Minumlah, untuk melegakan tenggorokan kamu,” suruh Asgara. Livi memicingkan matanya. “Nggak ah, bekas orang,” jawab Livi. “Daripada mati kehausan,” celetuk Asgara membuat mata Livi membulat. “Aku kehausan baru beberapa menit, itu juga karena teriak minta tolong,” imbuh Livi lagi. Asgara tertawa kecil. “Siapa yang suruh,” ejek Asgara yang kemudian menghampiri Livi lebih dekat lagi. Kini antara mereka sangat dekat, jaraknya bisa dibilang hanya sejengkal. “Minumlah,” suruhnya lagi singkat, tapi mampu membuat jantung Livi kembali berdenyut kencang. Apalagi ketika Asgara menatapnya dengan posisi hanya berjarak sejengkal, Livi terlihat salah tingkah. Brak! “Astaghfirullah, apa yang kalian lakukan berdua di sini!?” Liviana langsung bangkit berdiri begitu pintu gubuk menjeblak terbuka, menampakkan Ustaz bersama beberapa santri dan warga lokal. Awalnya Liviana mengira bahwa memang mereka sedang mencari dirinya yang tidak kunjung kembali ke asrama. Namun, melihat ekspresi keterkejutan yang bercampur dengan kemarahan dan kekecewaan, sepertinya bukan karena itu mereka di sini. Apalagi, sayup-sayup, Liviana bisa mendengar gumaman-gumaman para warga. “Ada santriwati sedang berduaan dengan lawan jenis di kebun.” “Ternyata kabar itu benar ya?” “Tadi aku dengar santriwati itu memang mengendap-endap ke kebun untuk bertemu dengan pria pendatang itu. Mungkin sudah beberapa kali mereka melakukannya.” “Allah menegur, mungkin ya. Membuat mereka terkunci di gubuk, hingga perbuatan mesum mereka bisa kita ketahui.” Liviana menggelengkan kepala dengan kuat. Ini tidak seperti yang mereka pikirkan! “Ustadz, ini tidak seperti yang kalian lihat,” ucap Livi. Ia melangkah mendekati kerumunan. “Tadi saya ke sini untuk mengambil sayur, lalu hujan–” “Livi,” sela Ustaz dengan helaan napas berat. Beliau menoleh ke arah Asgara yang berdiri di belakang Livi. “Nak Asgara. Mari kembali ke pondok terlebih dahulu.” Liviana menunduk, merasa malu meskipun ia tidak melakukan apa pun di dalam sana. Namun, tatapan mata orang-orang di sekitarnya membuatnya kecil hati. “Aku pikir dia alim dan salehah. Ternyata aku salah.” “Tapi, Ismi, aku—“ Liviana berusaha membela dirinya. Namun Ismi memotong pembicaraan Livi dengan menertawakannya. “Udah deh, Vi, biasanya orang yang banyak klarifikasi atau bela diri, itu artinya dia bersalah, bukan begitu?” Ismi tersenyum miring. Livi menggelengkan kepalanya. Lalu memindahkan pandangannya ke arah Asgara. “Kak, kamu bantuin aku dong, kita nggak ngapa-ngapain kan di gubug ini?” Livi masih berusaha keras untuk meluruskan dengan meminta Asgara meyakinkan. “I-iya, ustadz, Livi benar, kami tidak melakukan apa-apa,” kata Asgara tergugup. Ia tidak biasa dicecar, makanya jadi gemetar. “Alah, mana mungkin ngaku, pasti mereka berdua udah berzina, logikanya berduaan di tempat tertutup, pasti yang ketiganya setan, dan tahu kan perbuatan setan itu apa?” tambah Ismi, ia benar-benar membuat situasi jadi semakin panas. Warga mulai mempertanyakan kegaduhan yang terjadi di lingkungan luar pondok pesantren. Mereka merasa terganggu dengan suara lantang yang membela diri masing-masing. Ada beberapa warga yang sudah mengetahui duduk masalah, jadi dari mulut ke mulut mereka menganggap benar ucapan yang dilontarkan oleh Ismi. “Ustadz, ini harus diberikan sanksi tegas, bukti sudah cukup kuat, saksi juga banyak yang melihat mereka berduaan di tempat tertutup, artinya harus dihukum seberat-beratnya, kalau perlu usir aja dari pondok pesantren,” celetuk salah satu warga. Kini ustadz sangat bingung, ia merasa di posisi yang sangat serba salah. Ada perasaan iba saat menatap mata Livi yang memang terlihat kejujuran. Namun, ustadz dan yang lainnya melihat mereka berduaan di satu tempat tertutup, jelas itu tidak dibenarkan. “Baik, kami akan urus masalah ini di dalam pondok, saya ucapkan mohon maaf atas kegaduhan ini,” kata ustadz. “Maaf, ustzad, dikarenakan kejadian ini ada di tengah kampung kami, jadi saya selaku RT di sini, ingin tetap memantau kasus ini hingga selesai, dalam artian sampai santriwati yang berbuat hal tidak baik ini benar-benar angkat kaki dari sini, saya akan dampingi sebagai perwakilan warga,” ucap RT setempat membuat mata Livi berkaca-kaca. “Tapi saya tidak melakukan apa-apa dengan Asgara, saya hanya berteduh,” sanggah Livi. Kini air matanya jatuh sedikit demi sedikit. “Kak Asgara, kamu ngomong dong, jangan diam aja,” imbuh Livi. Asgara maju satu langkah. “Saya bersumpah, kami tidak melakukan apapun di dalam tadi,” tutur Asgara. “Alah, nggak mungkin!” Lagi-lagi Ismi menyambar seolah-olah memanasi semua orang. “Udah, ustadz, warga sini juga pasti setuju kok kalau Livi angkat kaki dari sini,” tambah Ismi. Ustadz terdiam. “Kalau hanya diusir, tandanya saya tidak bertanggung jawab atas dosa yang mereka lakukan, saya ini kepala yayasan di sini, jadi saya yang memutuskan hukuman apa yang pantas untuk mereka berdua,” jelas ustadz. “Jadi bagaimana, ustadz?” tanya Pak RT. “Saya akan pikirkan lagi, sekarang alangkah baiknya kita mendinginkan hati dan suasana terlebih dahulu, besok saya akan hubungi Pak RT untuk mengumumkan hukuman apa yang pantas mereka terima,” timpal ustadz. Akhirnya perdebatan tersebut selesai untuk sementara, warga yang tadi ikut menyaksikan pun diperintahkan bubar. Sementara Livi dan Asgara dibawa kembali ke asrama. Malam itu, sudah sangat sepi, usai melaksanakan salat isya berjamaah, ustadz memanggil semua guru yang bertugas di pondok pesantren. “Tolong batalkan acara penjengukan santri besok, tunda Minggu depan ya,” perintah ustadz pada semua guru yang bertanggung jawab di pondok pesantren. “Baik, ustadz,” jawab semua guru secara serempak. “Tolong, panggil Livi dan Asgara ke ruangan saya juga,” perintah ustadz. Kemudian, semua bubar, dan tidak lama dari itu, Livi datang, lalu disusul Asgara yang masih banyak luka lebam di tubuhnya. Ustadz memerintahkan keduanya duduk dengan jarak agak berjauhan. Kemudian, dengan tenang, ia memulai pembicaraan. “Livi, sebenarnya saya juga tidak mau berprasangka buruk terhadap kamu, apalagi saya kenal pribadi kamu yang sangat baik di pondok ini, tapi ... kamu harus tahu konsekuensi setiap perbuatan,” tutur ustadz dengan bijaksana. “Tapi ustadz, saya kan sudah bilang berulang kali, bahwa saya tidak melakukan apa-apa dengan Asgara, kami berdua terkunci saat berteduh,” jelas Livi. Ustadz menganggukkan kepalanya dengan tenang. “Iya, saya percaya itu, tapi dari perbuatan kamu yang bertemu dengan Asgara diam-diam di luar pondok, itu sudah salah, Livi!” timpal ustadz. “Kami bertemu tidak disengaja, ustadz,” timpal Asgara. “Iya, saya juga paham itu, tapi Livi tahu betul bagaimana menyikapi jika bertemu dengan lawan jenis,” ujar ustadz. “Bukan begitu, Livi? Kamu tahu kan, apa yang seharusnya kamu lakukan jika berpapasan atau ketemu lawan jenis?” tambah ustadz dengan pertanyaan yang membuat Livi menarik napasnya. “Soal itu saya minta maaf, ustadz, saya benar-benar nggak tahu bahwa kejadiannya bakal serumit ini, awalnya saya hanya ingin memetik sayuran di kebun, lalu melihat Kal Asgara tengah mencari sesuatu, saya salah karena tidak langsung pergi atau lari saat melihatnya,” ungkap Livi sambil menunduk. “Tapi, saya sungguhan tidak melakukan apa-apa, ustadz,” imbuhnya lagi. “Nah, sekarang kamu paham dan ngerti kenapa disarankan menghindar saat ketemu lawan jenis, karena fitnah itu sangat dekat, Livi,” terang ustadz. “Iya, ustadz,” jawab Livi sambil menunduk kembali. “Sekarang, teman-teman pun tidak mungkin mendengar penjelasan kamu, karena kesalahan awal yang tidak menghindar saat bertemu Asgara. Begitu juga dengan warga, mereka hanya tahu apa yang mereka lihat,” tegas ustadz. “Jadi, saya akan tetap dihukum, ustadz? Kalau memang seperti itu, kira-kira hukumannya apa, ustadz?” tanya Livi. Ustadz terdiam kembali sambil menatap keduanya. “Kamu tidak diizinkan atau tidak diperkenankan menjadi pengajar tambahan di sini setelah lulus bulan ini,” ucap ustadz. “Alhamdulillah, kalau hukumannya seperti itu, saya bersedia, ustadz,” timpal Livi. Asgara agak sedikit bernapas lega, ia juga tersenyum ketika mendengar penuturan ustadz. “Tapi, untuk rasa tanggung jawab saya sebagai guru dan pengurus yayasan di sini, kalian harus dinikahkan terlebih dahulu sebelum angkat kaki dari sini,” jelas ustadz membuat mulut Livi menganga. Begitu juga dengan Asgara, spontan ia membuka matanya lebar-lebar ketika mendengar perintah ustadz. Bersambung“Kok nikah, ustadz? Saya tidak kenal laki-laki ini,” jawab Livi. Ustadz terdiam, ia percaya Livi tidak berbuat apa-apa dengan Asgara, tapi santri lain kadung melihat kejadiannya, dan resikonya akan diadukan ke orang tua mereka, hal ini yang ditakutkan, mereka pasti akan memindahkan anaknya ke pondok pesantren lain. Ditambah lagi, warga yang ikut menyaksikan mereka kepergok berduaan di dalam satu gubuk. “Ta-tapi nggak ada jalan lain kah, ustadz?” tanya Asgara. Ustadz menggelengkan kepalanya. “Penjengukan sudah kami undur, itu saya lakukan untuk meyakinkan santri di sini, bahwa saya bertanggung jawab atas kasus ini, dengan cara tidak melepaskan kalian ke luar pondok tanpa ada ikatan suci,” jelas ustadz. Asgara menghela napas panjang. Ia tidak menyangka bahwa ini terjadi padanya. Livi terdiam sambil menyandarkan tubuhnya, ia masih merasa keberatan. “Kasih kami waktu, ustadz,” ucap Livi. “Izinkan saya keluar menemui ustadzah, saya ingin bicara dengan ustadzah,” imbuh Li
“Nikahkan aku sekarang dengan dia, Pah. Nikah itu ibadah, biarkan aku beribadah, toh aku juga sering merepotkan keluarga,” ucap Livi. “Bukan begitu, Mah?” Matanya berpindah ke arah sang mama. Lutfi menyoroti Asgara. “Apa laki-laki ini memiliki identitas yang jelas, supaya saya bisa tahu alamat tinggalnya?” tanya Lutfi. “Dia dirampok, dan tidak membawa identitas, tapi saya yakin, Asgara adalah pria baik-baik,” kata ustadz. Lutfi memandang Asgara yang sedari tadi tidak menyanggah atau menyangkal apapun yang mereka bicarakan. Asgara menunduk ketika tahu bahwa ia sedang diperhatikan. “Kenapa kamu diam aja dari tadi?” tanya Lutfi. “Saya menghormati orang yang lebih tua bicara, Om,” timpal Asgara. Dari situ Lutfi sedikit kepincut dengan Asgara. “Keluarga kamu ada di mana?” tanya Lutfi. “Bandung, Om, tapi saya lupa alamatnya, karena kami baru saja pindah,” timpal Asgara. “Hm, mencurigakan sekali, bagaimana caranya kamu bisa meyakinkan saya jika kamu orang baik
Asgara tersenyum. "Om, maaf, bukannya saya lancang, tapi saya sungguhan belum hafal jalan rumah saya, yang kenal Papa juga belum banyak, karena kami baru tinggal di Bandung," jawab Asgara. Lutfi memicingkan matanya sambil ikut tersenyum. Lalu menepuk bahu menantu dadakannya itu. "Asgara, kamu itu sudah jadi menantu saya, panggil Papa lah, jangan Om, canggung sekali didengarnya," ejek Lutfi yang akhirnya membuat suasana mencair. Asgara menyunggingkan senyuman bahagia sambil bicara dalam hati, 'Ternyata keluarga Livi seasik ini, apalagi papanya, aku merasakan kasih sayang yang luar biasa, padahal aku ini bukan siapa-siapa.' "Asgara, kamu melamun?" Lutfi membuyarkan lamunan Asgara. "Nggak, Om, eh Pah maksudnya, saya--" Tiba-tiba Livi datang menghampiri mereka, sehingga Asgara tidak melanjutkan ucapannya. "Saya apa, Asgara?" tanya Lutfi. "Nggak, nggak jadi, Pah." Asgara mengusap rambutnya karena grogi. Livi yang baru saja bergabung mendekati sang papa. Ia melirik ke Asgar
Dengan cepat Asgara masuk ke dalam mobil dan menyegerakan meninggalkan kantor mertuanya itu.Livi sedikit heran karena gelagat Asgara sangat berbeda, tapi ia sudah bertanya saat Asgara belum masuk dan tidak dijawabnya, jadi Livi engan untuk menanyakan kembali."Kamu lihat apa?" Seorang wanita terkejut saat ditegur suaminya. Ya, wanita itu yang tadi diperhatikan Asgara."Aku lihat Asgara, tapi kok di mobil Pak Lutfi ya?" tanya wanita tadi, namanya Lena."Hm, Asgara? Ini Jakarta, sayangku, kalau dia masih hidup, Asgara tidak mungkin nyasar ke sini, kita buang dia ke pelosok kampung loh," timpal suaminya Lena, Bram Permana.Lena terdiam, lalu dirangkul oleh Bram untuk masuk ke dalam.**Sementara Asgara dan Livi, mereka tidak saling bicara, sebab Asgara tengah memikirkan orang yang dilihatnya tadi. Ia kenal betul bahwa wanita tadi adalah kakak iparnya, dan pastinya ia datang bersama kakak dari Asgara.'Kenapa mereka ada di kantor papanya Livi?' Asgara masih kepikiran. "Kak, jangan ngela
“Tolong … siapa pun tolong saya ….” Seorang gadis berhijab biru hingga menutupi dada menghentikan langkahnya ketika mendengar suara lirih saat ia berniat mengambil sayur di area perkebunan. Tubuhnya sedikit menegang, tapi ia kemudian segera beristighfar. Ia berniat melanjutkan langkahnya kembali, tapi suara itu kembali terdengar. Lirih, tapi berat seperti suara laki-laki. Dan sepertinya tengah kesakitan. “Asalamualaikum.” Akhirnya si gadis berhijab, Livina, menanggapi. “Siapa itu?” Hening menyapa pertanyaannya sebelum tiba-tiba suara itu kembali terdengar. Kali ini lebih keras. “Tolong, siapapun itu, tolong saya!” Merasa bahwa yang meminta tolong adalah benar manusia yang sedang dalam kesulitan, Liviana bergegas menghampiri sumber suara, di balik pepohonan rimbun di area perkebunan. “Astaghfirullah!” Liviana menutup mulutnya dan sedikit mundur ketika melihat ada sesosok pria, pria itu kini tengah terkapar di tanah, dengan luka di sekujur tubuhnya. Sepasang mata di
Dengan cepat Asgara masuk ke dalam mobil dan menyegerakan meninggalkan kantor mertuanya itu.Livi sedikit heran karena gelagat Asgara sangat berbeda, tapi ia sudah bertanya saat Asgara belum masuk dan tidak dijawabnya, jadi Livi engan untuk menanyakan kembali."Kamu lihat apa?" Seorang wanita terkejut saat ditegur suaminya. Ya, wanita itu yang tadi diperhatikan Asgara."Aku lihat Asgara, tapi kok di mobil Pak Lutfi ya?" tanya wanita tadi, namanya Lena."Hm, Asgara? Ini Jakarta, sayangku, kalau dia masih hidup, Asgara tidak mungkin nyasar ke sini, kita buang dia ke pelosok kampung loh," timpal suaminya Lena, Bram Permana.Lena terdiam, lalu dirangkul oleh Bram untuk masuk ke dalam.**Sementara Asgara dan Livi, mereka tidak saling bicara, sebab Asgara tengah memikirkan orang yang dilihatnya tadi. Ia kenal betul bahwa wanita tadi adalah kakak iparnya, dan pastinya ia datang bersama kakak dari Asgara.'Kenapa mereka ada di kantor papanya Livi?' Asgara masih kepikiran. "Kak, jangan ngela
Asgara tersenyum. "Om, maaf, bukannya saya lancang, tapi saya sungguhan belum hafal jalan rumah saya, yang kenal Papa juga belum banyak, karena kami baru tinggal di Bandung," jawab Asgara. Lutfi memicingkan matanya sambil ikut tersenyum. Lalu menepuk bahu menantu dadakannya itu. "Asgara, kamu itu sudah jadi menantu saya, panggil Papa lah, jangan Om, canggung sekali didengarnya," ejek Lutfi yang akhirnya membuat suasana mencair. Asgara menyunggingkan senyuman bahagia sambil bicara dalam hati, 'Ternyata keluarga Livi seasik ini, apalagi papanya, aku merasakan kasih sayang yang luar biasa, padahal aku ini bukan siapa-siapa.' "Asgara, kamu melamun?" Lutfi membuyarkan lamunan Asgara. "Nggak, Om, eh Pah maksudnya, saya--" Tiba-tiba Livi datang menghampiri mereka, sehingga Asgara tidak melanjutkan ucapannya. "Saya apa, Asgara?" tanya Lutfi. "Nggak, nggak jadi, Pah." Asgara mengusap rambutnya karena grogi. Livi yang baru saja bergabung mendekati sang papa. Ia melirik ke Asgar
“Nikahkan aku sekarang dengan dia, Pah. Nikah itu ibadah, biarkan aku beribadah, toh aku juga sering merepotkan keluarga,” ucap Livi. “Bukan begitu, Mah?” Matanya berpindah ke arah sang mama. Lutfi menyoroti Asgara. “Apa laki-laki ini memiliki identitas yang jelas, supaya saya bisa tahu alamat tinggalnya?” tanya Lutfi. “Dia dirampok, dan tidak membawa identitas, tapi saya yakin, Asgara adalah pria baik-baik,” kata ustadz. Lutfi memandang Asgara yang sedari tadi tidak menyanggah atau menyangkal apapun yang mereka bicarakan. Asgara menunduk ketika tahu bahwa ia sedang diperhatikan. “Kenapa kamu diam aja dari tadi?” tanya Lutfi. “Saya menghormati orang yang lebih tua bicara, Om,” timpal Asgara. Dari situ Lutfi sedikit kepincut dengan Asgara. “Keluarga kamu ada di mana?” tanya Lutfi. “Bandung, Om, tapi saya lupa alamatnya, karena kami baru saja pindah,” timpal Asgara. “Hm, mencurigakan sekali, bagaimana caranya kamu bisa meyakinkan saya jika kamu orang baik
“Kok nikah, ustadz? Saya tidak kenal laki-laki ini,” jawab Livi. Ustadz terdiam, ia percaya Livi tidak berbuat apa-apa dengan Asgara, tapi santri lain kadung melihat kejadiannya, dan resikonya akan diadukan ke orang tua mereka, hal ini yang ditakutkan, mereka pasti akan memindahkan anaknya ke pondok pesantren lain. Ditambah lagi, warga yang ikut menyaksikan mereka kepergok berduaan di dalam satu gubuk. “Ta-tapi nggak ada jalan lain kah, ustadz?” tanya Asgara. Ustadz menggelengkan kepalanya. “Penjengukan sudah kami undur, itu saya lakukan untuk meyakinkan santri di sini, bahwa saya bertanggung jawab atas kasus ini, dengan cara tidak melepaskan kalian ke luar pondok tanpa ada ikatan suci,” jelas ustadz. Asgara menghela napas panjang. Ia tidak menyangka bahwa ini terjadi padanya. Livi terdiam sambil menyandarkan tubuhnya, ia masih merasa keberatan. “Kasih kami waktu, ustadz,” ucap Livi. “Izinkan saya keluar menemui ustadzah, saya ingin bicara dengan ustadzah,” imbuh Li
Di dalam gubuk, Livi mencoba membuka pintu yang telah terkunci. Ia sangat ketakutan berada di dalam gubuk tua yang ruangannya hanya berukuran sempit. “Kenapa ini bisa terkunci begini? Ya Allah, apa ada orang di luar?” Dengan suara lembutnya Livi mencoba meminta bantuan. “Tolong, buka pintunya siapapun yang ada di luar,” pintanya lagi. Namun, tidak ada sahutan. Ismi yang mengganjal pintu gubuk dengan kokoh sudah pergi dari sana. “Kak. Bantu aku buat dobrak pintunya,”ucap Livi ketika melihat Asgara diam di tempat sembari menatap sekeliling ruangan. Namun, Asgara hanya menoleh pada gadis itu tanpa mengatakan apa pun. “Ya Allah, kenapa kamu santai banget, Kak? Kita sedang terkurung!" ucap Livi. Suaranya terdengar panik. Tiba-tiba kecurigaannya tentang Asgara kembali membayangi pikirannya. Asgara menghampiri Livi, tapi ia mencoba jaga jarak supaya tidak terlalu dekat dengan santriwati yang sangat lembut itu. "Di luar hujan. Sekalipun bisa keluar, percuma. Kita tetap tida
“Tolong … siapa pun tolong saya ….” Seorang gadis berhijab biru hingga menutupi dada menghentikan langkahnya ketika mendengar suara lirih saat ia berniat mengambil sayur di area perkebunan. Tubuhnya sedikit menegang, tapi ia kemudian segera beristighfar. Ia berniat melanjutkan langkahnya kembali, tapi suara itu kembali terdengar. Lirih, tapi berat seperti suara laki-laki. Dan sepertinya tengah kesakitan. “Asalamualaikum.” Akhirnya si gadis berhijab, Livina, menanggapi. “Siapa itu?” Hening menyapa pertanyaannya sebelum tiba-tiba suara itu kembali terdengar. Kali ini lebih keras. “Tolong, siapapun itu, tolong saya!” Merasa bahwa yang meminta tolong adalah benar manusia yang sedang dalam kesulitan, Liviana bergegas menghampiri sumber suara, di balik pepohonan rimbun di area perkebunan. “Astaghfirullah!” Liviana menutup mulutnya dan sedikit mundur ketika melihat ada sesosok pria, pria itu kini tengah terkapar di tanah, dengan luka di sekujur tubuhnya. Sepasang mata di