Dengan cepat Asgara masuk ke dalam mobil dan menyegerakan meninggalkan kantor mertuanya itu.
Livi sedikit heran karena gelagat Asgara sangat berbeda, tapi ia sudah bertanya saat Asgara belum masuk dan tidak dijawabnya, jadi Livi engan untuk menanyakan kembali. "Kamu lihat apa?" Seorang wanita terkejut saat ditegur suaminya. Ya, wanita itu yang tadi diperhatikan Asgara. "Aku lihat Asgara, tapi kok di mobil Pak Lutfi ya?" tanya wanita tadi, namanya Lena. "Hm, Asgara? Ini Jakarta, sayangku, kalau dia masih hidup, Asgara tidak mungkin nyasar ke sini, kita buang dia ke pelosok kampung loh," timpal suaminya Lena, Bram Permana. Lena terdiam, lalu dirangkul oleh Bram untuk masuk ke dalam. ** Sementara Asgara dan Livi, mereka tidak saling bicara, sebab Asgara tengah memikirkan orang yang dilihatnya tadi. Ia kenal betul bahwa wanita tadi adalah kakak iparnya, dan pastinya ia datang bersama kakak dari Asgara. 'Kenapa mereka ada di kantor papanya Livi?' Asgara masih kepikiran. "Kak, jangan ngelamun kalau nyupir, khawatir nggak fokus," celetuk Livi dengan lembut. "Nggak, aku nggak ngelamun," timpal Asgara. Ia ragu untuk cerita pada Livi. "Oh iya, kamu itu anak tunggal kan ya?" tanya Asgara memulai pembicaraan dengan Livi, ia ingin membuat suasana lebih nyaman saja dalam berkendara. "Kalau dari anak Papa, iya aku ini tunggal, tapi Mama ada anak sebelum nikah dengan papaku, usianya lebih tua dua tahun dariku, dia kuliah di luar negeri," jawab Livi. "Oh, aku baru tahu, cewek atau cowok?" tanya Asgara lagi. "Cewek," jawab Livi singkat. "Berarti sama, aku pun seperti itu, tapi bedanya kamu satu ibu, kalau aku satu bapak," ungkap Asgara. "Jadi Papa kamu itu nikah dua kali ya?" Dengan polosnya Livi bertanya seperti itu pada Asgara. "Ya, orang dulu kan gitu, banyak istrinya," celetuk Asgara. "Ah papaku nggak, istrinya cuma satu," timpal Livi membela. Livi terdiam, ia jadi khawatir terhadap silsilah keluarga Asgara. Livi takut kalau Asgara menuruni sifat papanya yang memiliki istri lebih dari satu. "Kamu jangan mikir yang nggak-nggak, papaku nikah lagi atas permintaan istri pertamanya, karena waktu itu istri pertamanya sakit, dan selang dua bulan papaku nikah dengan mamaku, istri pertamanya meninggal," timpal Asgara. Kini Livi bernapas lega, ia berpikir macam-macam juga karena ucapan Asgara yang sedikit nyeleneh dengan kata-kata orang dulu punya istri banyak. Padahal ternyata itu cuma candaan Asgara saja, ia memang pria yang hobinya bercanda. "Lalu kamu akur dengan kakakmu itu?" tanya Livi. "Iya, akur, sering ribut si wajar, tapi nggak besar ributnya," ungkap Asgara. Livi tersenyum tipis. Tiba-tiba ia merasa nyaman ngobrol dengan Asgara. Semua pertanyaan darinya dijawab tanpa dirahasiakan. "Kira-kira mereka nyari kamu nggak, Kak?" tanya Livi lagi. Ia seperti ketagihan bicara dengan Asgara, jadi berusaha nyari pertanyaan sekalipun itu tidak penting. "Hm, kalau tahu mereka lagi nyari aku, pasti sudah kulambaikan tangan ini, kan aku lagi bersama kamu, jadi nggak tahu sama sekali," canda Asgara lagi. Liviana membuang mukanya, ia malu karena merasa pertanyaan yang dilontarkan olehnya adalah pertanyaan bodoh. Asgara kembali menatap jalanan sambil memegang gagang setir di hadapannya. Ia terbayang wajah kakak iparnya. 'Kenapa tadi aku nggak nyapa aja ya? Kali aja Kak Lena ke kantor papanya Livi karena lagi nyariin aku,' batin Asgara. ** "Oh kamu yang namanya Bram Permana, saya mau tanya, apa nama ayah kamu itu Aldi Permana?" tanya Lutfi ketika Bram berada di hadapannya. Bram tercenung, ia membalikkan pandangannya ke arah sang istri. Lalu Lena pun menyerobot bicara. "Memang ada apa ya, Pak? Kok tanya-tanya soal itu? Bukannya Pak Lutfi mengundang kami ke sini karena ingin kerjasama?" tanya Lena balik. "Saya nyari tahu soal kamu melalui orang yang cukup handal, tapi terkendala dengan nama Ibu, makanya takut salah, jadilah kamu saya undang, di samping bisnis juga sih," jelas Lutfi. Lena dan Bram saling pandang. "Hm, iya nama ayah saya Aldi Permana dan ibu saya Delima," jawab Bram. Lutfi terkejut. "Oh, bukan Harum ya nama ibumu?" imbuh Lutfi dengan menambahkan pertanyaan. "Bukan, Pak. Ada apa ya?" tanya Bram balik. Lutfi pun menggelengkan kepalanya, ia merasa salah orang, informasi yang didapat olehnya tidak berhasil menguak keberadaan keluarga Asgara. Kemudian Lutfi mengalihkan pembicaraan dengan memulai membicarakan bisnis antara keduanya. ** Sepulang dari pertemuan, Bram dan Lena buru-buru meninggalkan perusahaan yang tadi diinjak oleh keduanya. "Ah, nggak salah lagi, tadi tuh Asgara, kayaknya ditemuin Pak Lutfi deh," ucap Lena dengan rasa ketakutan. "Iya kayaknya, soalnya Pak Lutfi nanya detail tentang keluarga, untung kita pintar," timpal Bram. Helaan napas terdengar dari hidung Lena. "Artinya Asgara masih hidup, kira-kira dia tahu nggak ya tentang perampokan itu?" tanya Lena lagi. "Serasa percuma ya, ternyata tuh anak nyawanya kayak kucing, kalau Asgara tahu gimana ya?" Bram malah bertanya balik. Hening, Lena bergeming. Kemudian, selang beberapa menit, Lena mengeluarkan suaranya kembali dengan acungan jari telunjuknya. "Aku punya ide," tuturnya dengan senyuman licik. Bersambung"Kita ketemu aja deh dengan adikmu, Mas," bisik Lena."Iya, sepertinya itu yang terbaik, jadi mereka tidak menuduh kita tentang hilangnya Asgara, termasuk keluarga Pak Luthfi, kita pura-pura ke rumahnya nyari Asgara," timpal Bram.Mereka sebelas duabelas, cara pikirnya sama, liciknya pun sama, benar adanya jodoh itu cerminan pasangan.Lena mencari informasi tentang kediaman Lutfi. Mereka berdua hendak berkunjung seolah-olah mencari Asgara.Setibanya di rumah Lutfi, hari sudah mulai gelap, memang seperti itulah rencana keduanya.Lutfi dan istri pun keluar menemui Lena dan Bram."Loh, kalian kok bisa tahu rumah saya?" tanya Lutfi sambil menyodorkan tangannya untuk bersalaman."Kami mencari tahu karena penasaran Pak, soalnya dari pertanyaan bapak tadi di kantor lah yang membuat kami berdua untuk ke sini mencari keberadaan saudara saya," terang Bram tanpa basa-basi.Lutfi mengerutkan keningnya. "Jadi, kalian ini--" Lutfi menunda bicaranya."Kami ke Jakarta karena mencari saudara saya, Pa
"Sudah, kita tidak bisa memikirkan terlalu jauh tentang ini, sebaiknya dipercepat bertemu dengan Asgara, nanti tahu semuanya dari mulut anak kita, Mas," pinta Harum.Perkataan Harum barusan mengusik hati Bram, anak pertama dari keluarga Aldi. Selama ini, Bram lah dalang dari hilangnya Asgara, tapi dia mencoba mencari kambing hitam, yaitu dengan membawa nama keluarga Lutfi sebagai penyebabnya. "Kita jadi ke rumah sakit?" tanya Aldi."Nggak usah, Mas, aku istirahat aja di kamar," timpal Harum sambil berdiri. Lalu Aldi pun menuntunnya ke kamar.Bram dan Lena saling beradu pandang. Mereka tersenyum licik karena merasa hampir berhasil menghasut kedua orang tuanya.***Bram duduk di ruang kerja papanya, Aldi, yang kini semakin kurus dengan penampilannya yang kian tak terurus karena stres dengan segala urusan bisnis yang menumpuk. Namun, Bram tahu bahwa bukan hanya masalah bisnis yang menjadi beban pikiran papanya. Ada sesuatu yang lebih besar, yang lebih dipikirkan oleh sang papa. Sesuatu
"Pokoknya kalau bisa, jangan sampai tuh anak kenapa-kenapa, kita bukan orang jahat, niat kita hanya ingin menggagalkan rencana busuk Lutfi untuk menikahkan Asgara dengan anaknya secara resmi," pinta Aldi."Tenang, Pah, aku juga nggak mau bermasalah dengan hukum, yang kita hadapi juga bukan orang sembarangan," jawab Bram.Kemudian, Bram merogoh kantong untuk menghubungi orang suruhannya yang tidak lain adalah orang kepercayaannya Aldi juga."Kasih obat tidur aja dulu, kalau sadar, kasih minum lalu lakukan hal yang sama, jangan sampai lepas, jangan sampai sakit ataupun diperlakukan kasar!" perintah Bram."Baik, Pak." Orang suruhan Bram sangat patuh atas perintah bosnya.***Hari itu, Asgara yang baru saja tiba di kantor duduk sendirian. Angin yang bertiup lembut membawa rasa tidak nyaman yang menyelinap ke dalam hatinya. Sesekali matanya memandang layar ponsel yang tergeletak di atas meja, mencoba menghubungi seseorang yang kini menjadi istrinya—Livi. Namun, tak ada balasan.Asgara menc
Asgara cemas, tapi dia harus menyembunyikan perasaannya. Terlebih dia tahu bahwa yang menculik Livi adalah Bram.Balasan pesan dari Bram pun terus ditunggu oleh Asgara.[Ya. Tapi, tidak semudah itu!] Balasan singkat membuat mata Asgara terbelalak.Lutfi terlihat gelisah, matanya menyala dengan amarah yang tak terkatakan. Sejak melihat rekaman cctv, kegelisahan di hatinya semakin membengkak. Keberadaan anaknya, Livi, yang mendadak menghilang, kini menjadi obsesi terbesar dalam hidupnya. Lutfi tak peduli dengan apa pun, bahkan jika harus menghancurkan semua orang yang berani menculik anaknya pun akan dia lakukan.“Siapkan semuanya,” perintah Lutfi, suaranya keras dan penuh tekanan meskipun melalui sambungan telepon. “Kalian akan ikut serta dalam pencarian ini. Cari anak saya, Livi. Temukan dia, dan bawa dia kembali ke hadapan saya, apapun caranya!”Orang suruhannya yang telah terbiasa dengan perintah-perintah keras Lutfi, langsung bergerak. Mereka tahu ini bukanlah pencarian biasa. Jika
"Sepertinya Livi masih ada pengaruh obat tidur," tutur dokter yang hendak pamit."Hm, ya udah, jadi biarkan dia istirahat dulu, ayo kita semua keluar," ajak Lutfi.Asgara bernapas lega, ia berharap Livi tidak menyebutkan nama kakaknya kembali. Sebab, itu dapat merusak hubungan antara kedua belah pihak, yaitu keluarga Asgara dan keluarga Livi.Lalu Asgara berpamitan untuk pulang ke Bandung menyusul sang kakak yang belum juga ada kabarnya."Sepertinya aku harus pulang ke Bandung. Khawatir papa dan mama tidak menerima penjelasan Mas Bram," ucap Asgara."Apa tidak bisa melalui sambungan telepon?" tanya Lutfi."Aku harus bicara serius pada mereka. Masalahnya aku dan Livi sudah nikah, khawatir Mas Bram sulit mengatakan ini, makanya sampai detik ini belum ada kabar," timpal Asgara."Oke, kamu hati-hati, dan saya berharap besok atau lusa sudah ada persiapan untuk pernikahan kalian secara resmi," kata Lutfi penuh harap.Asgara pun meninggalkan rumah Lutfi secara baik-baik.**Asgara duduk di k
Bab 12"Setelah kami melakukan penyelidikan, ternyata ada indikasi bahwa itu adalah rekayasa. Dan yang lebih mengejutkan lagi, ada bukti yang menunjukkan bahwa keluarga Asgara terlibat dalam merancang kejadian tersebut."Lutfi terdiam sejenak. Hatinya mulai berdetak lebih kencang. "Keluarga Asgara? Apa maksudmu?""Menurut informasi yang kami dapatkan, Livi seharusnya tidak menjadi korban penculikan. Itu semua bagian dari rencana untuk menekan Asgara agar tidak melanjutkan pernikahannya dengan putri Pak Lutfi."Lutfi merasa dunia seakan runtuh di hadapannya. Ia tidak bisa membayangkan keluarga Asgara melakukan hal seperti itu. Asgara yang selama ini ia anggap sebagai anak baik-baik, ternyata terlibat dalam sebuah konspirasi yang sangat besar. Lutfi merasa kecewa dan marah."Apa ucapanmu bisa dipercaya dan dipertanggungjawabkan?" tanya Lutfi."Bukankah saya dibayar oleh Pak Lutfi untuk mengungkap ini semua? Lantas apa untungnya saya membohongi Pak Lutfi, justru itu hanya merusak keperca
Bram melirik ke arah sang papa. Pikirannya dipenuhi dengan berbagai rencana yang harus segera terlaksana. Livi, yang sudah dianggap musuh, kini berada di tengah-tengah dilema besar. Bram takut kebusukannya terbongkar pelan-pelan, sebab Aldi terus membahas mengenai hilangnya Asgara yang diduga oleh Aldi adalah ulah Lutfi.Aldi, dengan keteguhan hatinya, masih belum bisa menerima kenyataan bahwa Livi harus menikah dengan Asgara. "Udah lah Pah, setuju aja, daripada masalahnya jadi panjang," bujuk Bram."Livi masih terlalu kecil, Bram," timpal Aldi. "Asgara juga harus memimpin perusahaan," tambahnya."Kan ada aku," jawab Bram."Papa tidak percaya dengan kamu," ujar Aldi membuat Bram semakin malu dan sakit hati.Bram memandangnya tajam, tampak marah. Dia tampaknya masih kesal, meskipun sudah lama sering mendengar kata-kata tersebut. "Aku memang belum sehebat Asgara, tapi aku bisa lebih dari Asgara," celetuk Bram."Buktikan!" Aldi mengakhiri pembicaraan. "Baiklah, saya setuju, sebulan lagi
“Tolong … siapa pun tolong saya ….” Seorang gadis berhijab biru hingga menutupi dada menghentikan langkahnya ketika mendengar suara lirih saat ia berniat mengambil sayur di area perkebunan. Tubuhnya sedikit menegang, tapi ia kemudian segera beristighfar. Ia berniat melanjutkan langkahnya kembali, tapi suara itu kembali terdengar. Lirih, tapi berat seperti suara laki-laki. Dan sepertinya tengah kesakitan. “Asalamualaikum.” Akhirnya si gadis berhijab, Livina, menanggapi. “Siapa itu?” Hening menyapa pertanyaannya sebelum tiba-tiba suara itu kembali terdengar. Kali ini lebih keras. “Tolong, siapapun itu, tolong saya!” Merasa bahwa yang meminta tolong adalah benar manusia yang sedang dalam kesulitan, Liviana bergegas menghampiri sumber suara, di balik pepohonan rimbun di area perkebunan. “Astaghfirullah!” Liviana menutup mulutnya dan sedikit mundur ketika melihat ada sesosok pria, pria itu kini tengah terkapar di tanah, dengan luka di sekujur tubuhnya. Sepasang mata di
Bram melirik ke arah sang papa. Pikirannya dipenuhi dengan berbagai rencana yang harus segera terlaksana. Livi, yang sudah dianggap musuh, kini berada di tengah-tengah dilema besar. Bram takut kebusukannya terbongkar pelan-pelan, sebab Aldi terus membahas mengenai hilangnya Asgara yang diduga oleh Aldi adalah ulah Lutfi.Aldi, dengan keteguhan hatinya, masih belum bisa menerima kenyataan bahwa Livi harus menikah dengan Asgara. "Udah lah Pah, setuju aja, daripada masalahnya jadi panjang," bujuk Bram."Livi masih terlalu kecil, Bram," timpal Aldi. "Asgara juga harus memimpin perusahaan," tambahnya."Kan ada aku," jawab Bram."Papa tidak percaya dengan kamu," ujar Aldi membuat Bram semakin malu dan sakit hati.Bram memandangnya tajam, tampak marah. Dia tampaknya masih kesal, meskipun sudah lama sering mendengar kata-kata tersebut. "Aku memang belum sehebat Asgara, tapi aku bisa lebih dari Asgara," celetuk Bram."Buktikan!" Aldi mengakhiri pembicaraan. "Baiklah, saya setuju, sebulan lagi
Bab 12"Setelah kami melakukan penyelidikan, ternyata ada indikasi bahwa itu adalah rekayasa. Dan yang lebih mengejutkan lagi, ada bukti yang menunjukkan bahwa keluarga Asgara terlibat dalam merancang kejadian tersebut."Lutfi terdiam sejenak. Hatinya mulai berdetak lebih kencang. "Keluarga Asgara? Apa maksudmu?""Menurut informasi yang kami dapatkan, Livi seharusnya tidak menjadi korban penculikan. Itu semua bagian dari rencana untuk menekan Asgara agar tidak melanjutkan pernikahannya dengan putri Pak Lutfi."Lutfi merasa dunia seakan runtuh di hadapannya. Ia tidak bisa membayangkan keluarga Asgara melakukan hal seperti itu. Asgara yang selama ini ia anggap sebagai anak baik-baik, ternyata terlibat dalam sebuah konspirasi yang sangat besar. Lutfi merasa kecewa dan marah."Apa ucapanmu bisa dipercaya dan dipertanggungjawabkan?" tanya Lutfi."Bukankah saya dibayar oleh Pak Lutfi untuk mengungkap ini semua? Lantas apa untungnya saya membohongi Pak Lutfi, justru itu hanya merusak keperca
"Sepertinya Livi masih ada pengaruh obat tidur," tutur dokter yang hendak pamit."Hm, ya udah, jadi biarkan dia istirahat dulu, ayo kita semua keluar," ajak Lutfi.Asgara bernapas lega, ia berharap Livi tidak menyebutkan nama kakaknya kembali. Sebab, itu dapat merusak hubungan antara kedua belah pihak, yaitu keluarga Asgara dan keluarga Livi.Lalu Asgara berpamitan untuk pulang ke Bandung menyusul sang kakak yang belum juga ada kabarnya."Sepertinya aku harus pulang ke Bandung. Khawatir papa dan mama tidak menerima penjelasan Mas Bram," ucap Asgara."Apa tidak bisa melalui sambungan telepon?" tanya Lutfi."Aku harus bicara serius pada mereka. Masalahnya aku dan Livi sudah nikah, khawatir Mas Bram sulit mengatakan ini, makanya sampai detik ini belum ada kabar," timpal Asgara."Oke, kamu hati-hati, dan saya berharap besok atau lusa sudah ada persiapan untuk pernikahan kalian secara resmi," kata Lutfi penuh harap.Asgara pun meninggalkan rumah Lutfi secara baik-baik.**Asgara duduk di k
Asgara cemas, tapi dia harus menyembunyikan perasaannya. Terlebih dia tahu bahwa yang menculik Livi adalah Bram.Balasan pesan dari Bram pun terus ditunggu oleh Asgara.[Ya. Tapi, tidak semudah itu!] Balasan singkat membuat mata Asgara terbelalak.Lutfi terlihat gelisah, matanya menyala dengan amarah yang tak terkatakan. Sejak melihat rekaman cctv, kegelisahan di hatinya semakin membengkak. Keberadaan anaknya, Livi, yang mendadak menghilang, kini menjadi obsesi terbesar dalam hidupnya. Lutfi tak peduli dengan apa pun, bahkan jika harus menghancurkan semua orang yang berani menculik anaknya pun akan dia lakukan.“Siapkan semuanya,” perintah Lutfi, suaranya keras dan penuh tekanan meskipun melalui sambungan telepon. “Kalian akan ikut serta dalam pencarian ini. Cari anak saya, Livi. Temukan dia, dan bawa dia kembali ke hadapan saya, apapun caranya!”Orang suruhannya yang telah terbiasa dengan perintah-perintah keras Lutfi, langsung bergerak. Mereka tahu ini bukanlah pencarian biasa. Jika
"Pokoknya kalau bisa, jangan sampai tuh anak kenapa-kenapa, kita bukan orang jahat, niat kita hanya ingin menggagalkan rencana busuk Lutfi untuk menikahkan Asgara dengan anaknya secara resmi," pinta Aldi."Tenang, Pah, aku juga nggak mau bermasalah dengan hukum, yang kita hadapi juga bukan orang sembarangan," jawab Bram.Kemudian, Bram merogoh kantong untuk menghubungi orang suruhannya yang tidak lain adalah orang kepercayaannya Aldi juga."Kasih obat tidur aja dulu, kalau sadar, kasih minum lalu lakukan hal yang sama, jangan sampai lepas, jangan sampai sakit ataupun diperlakukan kasar!" perintah Bram."Baik, Pak." Orang suruhan Bram sangat patuh atas perintah bosnya.***Hari itu, Asgara yang baru saja tiba di kantor duduk sendirian. Angin yang bertiup lembut membawa rasa tidak nyaman yang menyelinap ke dalam hatinya. Sesekali matanya memandang layar ponsel yang tergeletak di atas meja, mencoba menghubungi seseorang yang kini menjadi istrinya—Livi. Namun, tak ada balasan.Asgara menc
"Sudah, kita tidak bisa memikirkan terlalu jauh tentang ini, sebaiknya dipercepat bertemu dengan Asgara, nanti tahu semuanya dari mulut anak kita, Mas," pinta Harum.Perkataan Harum barusan mengusik hati Bram, anak pertama dari keluarga Aldi. Selama ini, Bram lah dalang dari hilangnya Asgara, tapi dia mencoba mencari kambing hitam, yaitu dengan membawa nama keluarga Lutfi sebagai penyebabnya. "Kita jadi ke rumah sakit?" tanya Aldi."Nggak usah, Mas, aku istirahat aja di kamar," timpal Harum sambil berdiri. Lalu Aldi pun menuntunnya ke kamar.Bram dan Lena saling beradu pandang. Mereka tersenyum licik karena merasa hampir berhasil menghasut kedua orang tuanya.***Bram duduk di ruang kerja papanya, Aldi, yang kini semakin kurus dengan penampilannya yang kian tak terurus karena stres dengan segala urusan bisnis yang menumpuk. Namun, Bram tahu bahwa bukan hanya masalah bisnis yang menjadi beban pikiran papanya. Ada sesuatu yang lebih besar, yang lebih dipikirkan oleh sang papa. Sesuatu
"Kita ketemu aja deh dengan adikmu, Mas," bisik Lena."Iya, sepertinya itu yang terbaik, jadi mereka tidak menuduh kita tentang hilangnya Asgara, termasuk keluarga Pak Luthfi, kita pura-pura ke rumahnya nyari Asgara," timpal Bram.Mereka sebelas duabelas, cara pikirnya sama, liciknya pun sama, benar adanya jodoh itu cerminan pasangan.Lena mencari informasi tentang kediaman Lutfi. Mereka berdua hendak berkunjung seolah-olah mencari Asgara.Setibanya di rumah Lutfi, hari sudah mulai gelap, memang seperti itulah rencana keduanya.Lutfi dan istri pun keluar menemui Lena dan Bram."Loh, kalian kok bisa tahu rumah saya?" tanya Lutfi sambil menyodorkan tangannya untuk bersalaman."Kami mencari tahu karena penasaran Pak, soalnya dari pertanyaan bapak tadi di kantor lah yang membuat kami berdua untuk ke sini mencari keberadaan saudara saya," terang Bram tanpa basa-basi.Lutfi mengerutkan keningnya. "Jadi, kalian ini--" Lutfi menunda bicaranya."Kami ke Jakarta karena mencari saudara saya, Pa
Dengan cepat Asgara masuk ke dalam mobil dan menyegerakan meninggalkan kantor mertuanya itu.Livi sedikit heran karena gelagat Asgara sangat berbeda, tapi ia sudah bertanya saat Asgara belum masuk dan tidak dijawabnya, jadi Livi engan untuk menanyakan kembali."Kamu lihat apa?" Seorang wanita terkejut saat ditegur suaminya. Ya, wanita itu yang tadi diperhatikan Asgara."Aku lihat Asgara, tapi kok di mobil Pak Lutfi ya?" tanya wanita tadi, namanya Lena."Hm, Asgara? Ini Jakarta, sayangku, kalau dia masih hidup, Asgara tidak mungkin nyasar ke sini, kita buang dia ke pelosok kampung loh," timpal suaminya Lena, Bram Permana.Lena terdiam, lalu dirangkul oleh Bram untuk masuk ke dalam.**Sementara Asgara dan Livi, mereka tidak saling bicara, sebab Asgara tengah memikirkan orang yang dilihatnya tadi. Ia kenal betul bahwa wanita tadi adalah kakak iparnya, dan pastinya ia datang bersama kakak dari Asgara.'Kenapa mereka ada di kantor papanya Livi?' Asgara masih kepikiran. "Kak, jangan ngela
Asgara tersenyum. "Om, maaf, bukannya saya lancang, tapi saya sungguhan belum hafal jalan rumah saya, yang kenal Papa juga belum banyak, karena kami baru tinggal di Bandung," jawab Asgara. Lutfi memicingkan matanya sambil ikut tersenyum. Lalu menepuk bahu menantu dadakannya itu. "Asgara, kamu itu sudah jadi menantu saya, panggil Papa lah, jangan Om, canggung sekali didengarnya," ejek Lutfi yang akhirnya membuat suasana mencair. Asgara menyunggingkan senyuman bahagia sambil bicara dalam hati, 'Ternyata keluarga Livi seasik ini, apalagi papanya, aku merasakan kasih sayang yang luar biasa, padahal aku ini bukan siapa-siapa.' "Asgara, kamu melamun?" Lutfi membuyarkan lamunan Asgara. "Nggak, Om, eh Pah maksudnya, saya--" Tiba-tiba Livi datang menghampiri mereka, sehingga Asgara tidak melanjutkan ucapannya. "Saya apa, Asgara?" tanya Lutfi. "Nggak, nggak jadi, Pah." Asgara mengusap rambutnya karena grogi. Livi yang baru saja bergabung mendekati sang papa. Ia melirik ke Asgar