Dengan cepat Asgara masuk ke dalam mobil dan menyegerakan meninggalkan kantor mertuanya itu.Livi sedikit heran karena gelagat Asgara sangat berbeda, tapi ia sudah bertanya saat Asgara belum masuk dan tidak dijawabnya, jadi Livi engan untuk menanyakan kembali."Kamu lihat apa?" Seorang wanita terkejut saat ditegur suaminya. Ya, wanita itu yang tadi diperhatikan Asgara."Aku lihat Asgara, tapi kok di mobil Pak Lutfi ya?" tanya wanita tadi, namanya Lena."Hm, Asgara? Ini Jakarta, sayangku, kalau dia masih hidup, Asgara tidak mungkin nyasar ke sini, kita buang dia ke pelosok kampung loh," timpal suaminya Lena, Bram Permana.Lena terdiam, lalu dirangkul oleh Bram untuk masuk ke dalam.**Sementara Asgara dan Livi, mereka tidak saling bicara, sebab Asgara tengah memikirkan orang yang dilihatnya tadi. Ia kenal betul bahwa wanita tadi adalah kakak iparnya, dan pastinya ia datang bersama kakak dari Asgara.'Kenapa mereka ada di kantor papanya Livi?' Asgara masih kepikiran. "Kak, jangan ngela
“Tolong … siapa pun tolong saya ….” Seorang gadis berhijab biru hingga menutupi dada menghentikan langkahnya ketika mendengar suara lirih saat ia berniat mengambil sayur di area perkebunan. Tubuhnya sedikit menegang, tapi ia kemudian segera beristighfar. Ia berniat melanjutkan langkahnya kembali, tapi suara itu kembali terdengar. Lirih, tapi berat seperti suara laki-laki. Dan sepertinya tengah kesakitan. “Asalamualaikum.” Akhirnya si gadis berhijab, Livina, menanggapi. “Siapa itu?” Hening menyapa pertanyaannya sebelum tiba-tiba suara itu kembali terdengar. Kali ini lebih keras. “Tolong, siapapun itu, tolong saya!” Merasa bahwa yang meminta tolong adalah benar manusia yang sedang dalam kesulitan, Liviana bergegas menghampiri sumber suara, di balik pepohonan rimbun di area perkebunan. “Astaghfirullah!” Liviana menutup mulutnya dan sedikit mundur ketika melihat ada sesosok pria, pria itu kini tengah terkapar di tanah, dengan luka di sekujur tubuhnya. Sepasang mata di
Di dalam gubuk, Livi mencoba membuka pintu yang telah terkunci. Ia sangat ketakutan berada di dalam gubuk tua yang ruangannya hanya berukuran sempit. “Kenapa ini bisa terkunci begini? Ya Allah, apa ada orang di luar?” Dengan suara lembutnya Livi mencoba meminta bantuan. “Tolong, buka pintunya siapapun yang ada di luar,” pintanya lagi. Namun, tidak ada sahutan. Ismi yang mengganjal pintu gubuk dengan kokoh sudah pergi dari sana. “Kak. Bantu aku buat dobrak pintunya,”ucap Livi ketika melihat Asgara diam di tempat sembari menatap sekeliling ruangan. Namun, Asgara hanya menoleh pada gadis itu tanpa mengatakan apa pun. “Ya Allah, kenapa kamu santai banget, Kak? Kita sedang terkurung!" ucap Livi. Suaranya terdengar panik. Tiba-tiba kecurigaannya tentang Asgara kembali membayangi pikirannya. Asgara menghampiri Livi, tapi ia mencoba jaga jarak supaya tidak terlalu dekat dengan santriwati yang sangat lembut itu. "Di luar hujan. Sekalipun bisa keluar, percuma. Kita tetap tida
“Kok nikah, ustadz? Saya tidak kenal laki-laki ini,” jawab Livi. Ustadz terdiam, ia percaya Livi tidak berbuat apa-apa dengan Asgara, tapi santri lain kadung melihat kejadiannya, dan resikonya akan diadukan ke orang tua mereka, hal ini yang ditakutkan, mereka pasti akan memindahkan anaknya ke pondok pesantren lain. Ditambah lagi, warga yang ikut menyaksikan mereka kepergok berduaan di dalam satu gubuk. “Ta-tapi nggak ada jalan lain kah, ustadz?” tanya Asgara. Ustadz menggelengkan kepalanya. “Penjengukan sudah kami undur, itu saya lakukan untuk meyakinkan santri di sini, bahwa saya bertanggung jawab atas kasus ini, dengan cara tidak melepaskan kalian ke luar pondok tanpa ada ikatan suci,” jelas ustadz. Asgara menghela napas panjang. Ia tidak menyangka bahwa ini terjadi padanya. Livi terdiam sambil menyandarkan tubuhnya, ia masih merasa keberatan. “Kasih kami waktu, ustadz,” ucap Livi. “Izinkan saya keluar menemui ustadzah, saya ingin bicara dengan ustadzah,” imbuh Li
“Nikahkan aku sekarang dengan dia, Pah. Nikah itu ibadah, biarkan aku beribadah, toh aku juga sering merepotkan keluarga,” ucap Livi. “Bukan begitu, Mah?” Matanya berpindah ke arah sang mama. Lutfi menyoroti Asgara. “Apa laki-laki ini memiliki identitas yang jelas, supaya saya bisa tahu alamat tinggalnya?” tanya Lutfi. “Dia dirampok, dan tidak membawa identitas, tapi saya yakin, Asgara adalah pria baik-baik,” kata ustadz. Lutfi memandang Asgara yang sedari tadi tidak menyanggah atau menyangkal apapun yang mereka bicarakan. Asgara menunduk ketika tahu bahwa ia sedang diperhatikan. “Kenapa kamu diam aja dari tadi?” tanya Lutfi. “Saya menghormati orang yang lebih tua bicara, Om,” timpal Asgara. Dari situ Lutfi sedikit kepincut dengan Asgara. “Keluarga kamu ada di mana?” tanya Lutfi. “Bandung, Om, tapi saya lupa alamatnya, karena kami baru saja pindah,” timpal Asgara. “Hm, mencurigakan sekali, bagaimana caranya kamu bisa meyakinkan saya jika kamu orang baik
Dengan cepat Asgara masuk ke dalam mobil dan menyegerakan meninggalkan kantor mertuanya itu.Livi sedikit heran karena gelagat Asgara sangat berbeda, tapi ia sudah bertanya saat Asgara belum masuk dan tidak dijawabnya, jadi Livi engan untuk menanyakan kembali."Kamu lihat apa?" Seorang wanita terkejut saat ditegur suaminya. Ya, wanita itu yang tadi diperhatikan Asgara."Aku lihat Asgara, tapi kok di mobil Pak Lutfi ya?" tanya wanita tadi, namanya Lena."Hm, Asgara? Ini Jakarta, sayangku, kalau dia masih hidup, Asgara tidak mungkin nyasar ke sini, kita buang dia ke pelosok kampung loh," timpal suaminya Lena, Bram Permana.Lena terdiam, lalu dirangkul oleh Bram untuk masuk ke dalam.**Sementara Asgara dan Livi, mereka tidak saling bicara, sebab Asgara tengah memikirkan orang yang dilihatnya tadi. Ia kenal betul bahwa wanita tadi adalah kakak iparnya, dan pastinya ia datang bersama kakak dari Asgara.'Kenapa mereka ada di kantor papanya Livi?' Asgara masih kepikiran. "Kak, jangan ngela
Asgara tersenyum. "Om, maaf, bukannya saya lancang, tapi saya sungguhan belum hafal jalan rumah saya, yang kenal Papa juga belum banyak, karena kami baru tinggal di Bandung," jawab Asgara. Lutfi memicingkan matanya sambil ikut tersenyum. Lalu menepuk bahu menantu dadakannya itu. "Asgara, kamu itu sudah jadi menantu saya, panggil Papa lah, jangan Om, canggung sekali didengarnya," ejek Lutfi yang akhirnya membuat suasana mencair. Asgara menyunggingkan senyuman bahagia sambil bicara dalam hati, 'Ternyata keluarga Livi seasik ini, apalagi papanya, aku merasakan kasih sayang yang luar biasa, padahal aku ini bukan siapa-siapa.' "Asgara, kamu melamun?" Lutfi membuyarkan lamunan Asgara. "Nggak, Om, eh Pah maksudnya, saya--" Tiba-tiba Livi datang menghampiri mereka, sehingga Asgara tidak melanjutkan ucapannya. "Saya apa, Asgara?" tanya Lutfi. "Nggak, nggak jadi, Pah." Asgara mengusap rambutnya karena grogi. Livi yang baru saja bergabung mendekati sang papa. Ia melirik ke Asgar
“Nikahkan aku sekarang dengan dia, Pah. Nikah itu ibadah, biarkan aku beribadah, toh aku juga sering merepotkan keluarga,” ucap Livi. “Bukan begitu, Mah?” Matanya berpindah ke arah sang mama. Lutfi menyoroti Asgara. “Apa laki-laki ini memiliki identitas yang jelas, supaya saya bisa tahu alamat tinggalnya?” tanya Lutfi. “Dia dirampok, dan tidak membawa identitas, tapi saya yakin, Asgara adalah pria baik-baik,” kata ustadz. Lutfi memandang Asgara yang sedari tadi tidak menyanggah atau menyangkal apapun yang mereka bicarakan. Asgara menunduk ketika tahu bahwa ia sedang diperhatikan. “Kenapa kamu diam aja dari tadi?” tanya Lutfi. “Saya menghormati orang yang lebih tua bicara, Om,” timpal Asgara. Dari situ Lutfi sedikit kepincut dengan Asgara. “Keluarga kamu ada di mana?” tanya Lutfi. “Bandung, Om, tapi saya lupa alamatnya, karena kami baru saja pindah,” timpal Asgara. “Hm, mencurigakan sekali, bagaimana caranya kamu bisa meyakinkan saya jika kamu orang baik
“Kok nikah, ustadz? Saya tidak kenal laki-laki ini,” jawab Livi. Ustadz terdiam, ia percaya Livi tidak berbuat apa-apa dengan Asgara, tapi santri lain kadung melihat kejadiannya, dan resikonya akan diadukan ke orang tua mereka, hal ini yang ditakutkan, mereka pasti akan memindahkan anaknya ke pondok pesantren lain. Ditambah lagi, warga yang ikut menyaksikan mereka kepergok berduaan di dalam satu gubuk. “Ta-tapi nggak ada jalan lain kah, ustadz?” tanya Asgara. Ustadz menggelengkan kepalanya. “Penjengukan sudah kami undur, itu saya lakukan untuk meyakinkan santri di sini, bahwa saya bertanggung jawab atas kasus ini, dengan cara tidak melepaskan kalian ke luar pondok tanpa ada ikatan suci,” jelas ustadz. Asgara menghela napas panjang. Ia tidak menyangka bahwa ini terjadi padanya. Livi terdiam sambil menyandarkan tubuhnya, ia masih merasa keberatan. “Kasih kami waktu, ustadz,” ucap Livi. “Izinkan saya keluar menemui ustadzah, saya ingin bicara dengan ustadzah,” imbuh Li
Di dalam gubuk, Livi mencoba membuka pintu yang telah terkunci. Ia sangat ketakutan berada di dalam gubuk tua yang ruangannya hanya berukuran sempit. “Kenapa ini bisa terkunci begini? Ya Allah, apa ada orang di luar?” Dengan suara lembutnya Livi mencoba meminta bantuan. “Tolong, buka pintunya siapapun yang ada di luar,” pintanya lagi. Namun, tidak ada sahutan. Ismi yang mengganjal pintu gubuk dengan kokoh sudah pergi dari sana. “Kak. Bantu aku buat dobrak pintunya,”ucap Livi ketika melihat Asgara diam di tempat sembari menatap sekeliling ruangan. Namun, Asgara hanya menoleh pada gadis itu tanpa mengatakan apa pun. “Ya Allah, kenapa kamu santai banget, Kak? Kita sedang terkurung!" ucap Livi. Suaranya terdengar panik. Tiba-tiba kecurigaannya tentang Asgara kembali membayangi pikirannya. Asgara menghampiri Livi, tapi ia mencoba jaga jarak supaya tidak terlalu dekat dengan santriwati yang sangat lembut itu. "Di luar hujan. Sekalipun bisa keluar, percuma. Kita tetap tida
“Tolong … siapa pun tolong saya ….” Seorang gadis berhijab biru hingga menutupi dada menghentikan langkahnya ketika mendengar suara lirih saat ia berniat mengambil sayur di area perkebunan. Tubuhnya sedikit menegang, tapi ia kemudian segera beristighfar. Ia berniat melanjutkan langkahnya kembali, tapi suara itu kembali terdengar. Lirih, tapi berat seperti suara laki-laki. Dan sepertinya tengah kesakitan. “Asalamualaikum.” Akhirnya si gadis berhijab, Livina, menanggapi. “Siapa itu?” Hening menyapa pertanyaannya sebelum tiba-tiba suara itu kembali terdengar. Kali ini lebih keras. “Tolong, siapapun itu, tolong saya!” Merasa bahwa yang meminta tolong adalah benar manusia yang sedang dalam kesulitan, Liviana bergegas menghampiri sumber suara, di balik pepohonan rimbun di area perkebunan. “Astaghfirullah!” Liviana menutup mulutnya dan sedikit mundur ketika melihat ada sesosok pria, pria itu kini tengah terkapar di tanah, dengan luka di sekujur tubuhnya. Sepasang mata di