Share

Bab 5

Penulis: Siti_Rohmah21
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Asgara tersenyum.

"Om, maaf, bukannya saya lancang, tapi saya sungguhan belum hafal jalan rumah saya, yang kenal Papa juga belum banyak, karena kami baru tinggal di Bandung," jawab Asgara.

Lutfi memicingkan matanya sambil ikut tersenyum. Lalu menepuk bahu menantu dadakannya itu.

"Asgara, kamu itu sudah jadi menantu saya, panggil Papa lah, jangan Om, canggung sekali didengarnya," ejek Lutfi yang akhirnya membuat suasana mencair.

Asgara menyunggingkan senyuman bahagia sambil bicara dalam hati, 'Ternyata keluarga Livi seasik ini, apalagi papanya, aku merasakan kasih sayang yang luar biasa, padahal aku ini bukan siapa-siapa.'

"Asgara, kamu melamun?" Lutfi membuyarkan lamunan Asgara.

"Nggak, Om, eh Pah maksudnya, saya--" Tiba-tiba Livi datang menghampiri mereka, sehingga Asgara tidak melanjutkan ucapannya.

"Saya apa, Asgara?" tanya Lutfi.

"Nggak, nggak jadi, Pah." Asgara mengusap rambutnya karena grogi.

Livi yang baru saja bergabung mendekati sang papa. Ia melirik ke Asgara juga, sebab mereka kelihatan seperti merahasiakan sesuatu, padahal tidak ada yang dirahasiakan, hanya saja Asgara terperangkap dalam lamunan.

"Pah, gimana kalau Kak Asgara dan Livi ikut ke kantor?" Liviana memberikan ide.

"Ide bagus, kalian bisa bantu-bantu Papa ya," jawab Lutfi. "Gimana Asgara? Kantor saya sih nggak gede, tapi lumayan lah, kalian bisa belajar, atau kamu sudah biasa kerja?" tanya Lutfi mendadak membuat mata Asgara membulat.

"Hah, nggak Pah, saya bukan orang kantoran, orang tua saya bukan kalangan atas," timpal Asgara sambil membuang pandangannya dari Liviana.

"Yang sebut kamu kalangan atas siapa? Kan saya cuma tanya apa kamu sudah biasa kerja?!" Lutfi tertawa ketika mengatakan itu, sedangkan Asgara merasa malu karena terjebak dalam ucapannya sendiri.

"Ya udah, aku udah siap, sekarang aja berangkat," ajak Livi pada Lutfi saat papanya itu menyecar Asgara.

"Tunggu, Asgara harus berpakaian rapi," ucap Sandra yang tiba-tiba datang membawakan baju lengkap dengan jas juga sepatu.

Mata ketiga orang yang berdiri di hadapan Sandra pun terperangah dengan apa yang dibawa oleh Sandra. Mereka tidak menyangka bahwa ada pakaian lengkap untuk Asgara. Terutama Livi yang sangat heran dengan mamanya itu.

"Mama punya baju kantoran yang pas ukuran Asgara dari mana?" tanya Livi menyoroti sang mama.

"Udah, dipakai aja, masa kamu aja yang rapi, Asgara nggak," timpal Sandra.

Akhirnya Asgara diperintahkan Lutfi untuk mengikuti saran dari Sandra. Mereka menunggu Asgara mengganti pakaian yang sudah disuguhkan.

Setelah beberapa menit kemudian, Asgara keluar dengan pakaian yang sangat pantas dikenakan olehnya, semua mata memandang tak kedip melihat betapa gagahnya Asgara mengenakan pakaian kantoran. Apalagi Lutfi, ia menggelengkan kepalanya sambil bertepuk tangan.

"Waw, ternyata kamu tampan ya," celetuk Lutfi sambil menghampirinya.

'Masyaallah, ternyata dia ganteng juga,' batin Livi sambil membuang pandangannya seperti biasa, ia salah tingkah dibuat oleh Asgara.

Kemudian, mereka bertiga bergegas ke kantor dengan menggunakan mobil pribadi. Sopir yang masih cuti karena istrinya yang masih sakit, membuat Lutfi harus mengendarai mobilnya sendiri.

"Pah, biar saya aja yang nyopir, Papa di belakang sama Livi, anggap aja saya sopir," usul Asgara.

Lutfi menautkan kedua alisnya.

"Kamu bisa nyupir?" tanya Lutfi.

"Bisa, saya pernah jadi sopir angkot dulu di kampung," jawab Asgara sembarangan saja.

Lutfi membatin, ia merasa ada yang janggal, sebab setahu Lutfi di kampung yang katanya Asgara pelosok, tidak mungkin ada yang namanya angkutan umum bernama angkot.

Namun, Lutfi mengindahkan permintaan Asgara, kebetulan ia ingin tahu bagaimana rasanya mobilnya dikemudikan oleh Asgara.

Selama perjalanan, Lutfi yakin bahwa Asgara pernah mengendarai mobil mewah, sebab ia sangat piawai melajukan mobilnya. Namun, Lutfi sengaja tidak berkata apa-apa tentang ini.

Berbeda dengan Livi, diam-diam ia mencuri pandangan melalui kaca spion tengah, sesekali ia melihat betapa gagahnya Asgara mengenakan pakaian kantoran. Liviana terpesona karena penampilan Asgara sangat berbeda dari sebelumnya. Namun, ia membuang muka ketika Asgara memergokinya melalui spion tersebut.

Setelah tiba di kantor, Livi dan Lutfi turun, begitu juga dengan Asgara yang langsung menyerahkan kunci mobilnya pada salah seorang satpam untuk memarkirkan ke area parkir. Dari situ Lutfi semakin yakin kalau Asgara bukan orang dari kalangan bawah ataupun menengah seperti yang ia sebutkan tadi.

Lutfi mendadak mendapatkan telepon untuk segera meeting di dalam, sedangkan Asgara dipesan untuk menjaga Livi terlebih dahulu di ruangannya. Lutfi sudah memerintahkan orangnya untuk mengantarkan anak dan menantunya itu ke ruangannya.

Sesampainya di ruangan kerja Lutfi, Asgara duduk di sofa, sedangkan Liviana berputar mengelilingi ruangan sang papa, karena ini kali pertamanya ia menginjakkan kakinya ke kantor. Selama ini Livi hanya sekolah, ia tidak pernah tahu urusan orang tuanya.

"Kamu nggak bisa duduk gitu? Apa nggak capek keliling dan lihat-lihat seisi ruangan ini?" Akhirnya Asgara protes setelah sepuluh menit melihat Livi mondar-mandir berkeliling.

Livi menautkan kedua alisnya, ia tampak kesal diprotes Asgara seperti itu, namun Livi tipikal orang yang mampu menahan emosinya dengan cara diam dan menghela napas.

Lalu Livi hendak menghampiri Asgara untuk duduk di sampingnya, namun Asgara menahannya untuk tetap diam di tempat.

"Gimana sih, tadi nyuruh aku duduk," protes Livi akhirnya bersuara.

Lalu Asgara menghampirinya, Livi menatapnya takut, ia menelan ludah sambil terus memandang lelaki yang kini mendekatinya. Jantung Livi berdebar kencang saat Asgara benar-benar dekat di hadapannya.

Kemudian, Asgara mendadak duduk setengah jongkok, lalu mengikat tali sepatu Liviana yang lepas.

"Eh, nggak usah, biar aku aja yang ikat," ucap Livi menolak.

"Udah, biar aku aja, udah terlanjur jongkok nih," timpal Asgara. Ia melanjutkan mengikat tali sepatu Liviana.

Akhirnya Liviana pun memejamkan matanya sambil tersenyum. Ia benar-benar merasa tersanjung atas perlakuan Asgara.

"Terima kasih," ucap Liviana saat Asgara kembali berdiri.

"Sama-sama, lain kali kalau ke kantor itu jangan pakai sepatu sekolah, pakai high heels," saran Asgara.

"Aku kan baru lulus, lalu nikah, mana ada sepatu high heels, lagian di pondok kan nggak bisa neko-neko," timpal Livi.

"Iya juga sih," jawab Asgara singkat.

"Oh ya, kamu sungguhan udah punya pacar? Maksudku, kalau udah punya pacar, pasti ingat nomor handphonenya dong, boleh minta nomornya? Biar bisa minta alamat kamu." Pertanyaan Liviana barusan berhasil membuat Asgara mati kutu, sebab kemarin ia berbohong padanya mengenai pacar, padahal Asgara tidak memiliki teman dekat wanita satu pun, kalau yang mengincar, tentu banyak, hanya saja Asgara tidak pernah menggubrisnya.

"Hm, aku lupa nomornya, nomor orang tuaku aja nggak ingat, apalagi pacar," jawab Asgara.

"Oh gitu ya." Livi mengangguk kemudian menunduk, ia meraih ponsel yang disimpan di tasnya.

Setelah dua jam ditinggalkan oleh Lutfi, mereka mulai bosan, dan hendak keluar dari ruangan sang papa, itupun atas izin Lutfi terlebih dahulu. Dikarenakan banyak urusan yang harus diselesaikan oleh Lutfi di kantor, akhirnya mereka diperintahkan untuk pulang kembali. Asgara lah yang dipercaya oleh Lutfi untuk mengantarkan anaknya pulang.

"Kamu duduk di sebelah aku aja," pinta Asgara.

Livi terdiam, tapi dalam hati sangat senang mendapatkan tawaran seperti itu. "Tapi jangan macam-macam ya, ingat, kamu ada janji untuk kenalkan aku dengan keluargamu terlebih dahulu," ancam Livi.

Asgara hanya terkekeh sambil menggelengkan kepalanya. Lalu membukakan pintu mobil untuk Livi. Namun, setelah mempersilakan Livi masuk ke mobil, mata Asgara tertuju ke satu mobil yang sangat tidak asing. Asgara membuka kedua matanya lebar-lebar dan memperhatikan mobil tersebut.

Lalu orang yang berada dalam mobil tersebut pun keluar dan tidak sengaja melihat Asgara yang tengah memperhatikan mobilnya. Mereka saling beradu pandang karena memang saling kenal.

"Kak, lihatin siapa sih?" Livi menegurnya dari balik kaca mobil hingga Asgara terkejut.

Bersambung

Bab terkait

  • Mendadak Akad dengan Suami Konglomerat   Bab 6

    Dengan cepat Asgara masuk ke dalam mobil dan menyegerakan meninggalkan kantor mertuanya itu.Livi sedikit heran karena gelagat Asgara sangat berbeda, tapi ia sudah bertanya saat Asgara belum masuk dan tidak dijawabnya, jadi Livi engan untuk menanyakan kembali."Kamu lihat apa?" Seorang wanita terkejut saat ditegur suaminya. Ya, wanita itu yang tadi diperhatikan Asgara."Aku lihat Asgara, tapi kok di mobil Pak Lutfi ya?" tanya wanita tadi, namanya Lena."Hm, Asgara? Ini Jakarta, sayangku, kalau dia masih hidup, Asgara tidak mungkin nyasar ke sini, kita buang dia ke pelosok kampung loh," timpal suaminya Lena, Bram Permana.Lena terdiam, lalu dirangkul oleh Bram untuk masuk ke dalam.**Sementara Asgara dan Livi, mereka tidak saling bicara, sebab Asgara tengah memikirkan orang yang dilihatnya tadi. Ia kenal betul bahwa wanita tadi adalah kakak iparnya, dan pastinya ia datang bersama kakak dari Asgara.'Kenapa mereka ada di kantor papanya Livi?' Asgara masih kepikiran. "Kak, jangan ngela

  • Mendadak Akad dengan Suami Konglomerat   Bab 1

    “Tolong … siapa pun tolong saya ….” Seorang gadis berhijab biru hingga menutupi dada menghentikan langkahnya ketika mendengar suara lirih saat ia berniat mengambil sayur di area perkebunan. Tubuhnya sedikit menegang, tapi ia kemudian segera beristighfar. Ia berniat melanjutkan langkahnya kembali, tapi suara itu kembali terdengar. Lirih, tapi berat seperti suara laki-laki. Dan sepertinya tengah kesakitan. “Asalamualaikum.” Akhirnya si gadis berhijab, Livina, menanggapi. “Siapa itu?” Hening menyapa pertanyaannya sebelum tiba-tiba suara itu kembali terdengar. Kali ini lebih keras. “Tolong, siapapun itu, tolong saya!” Merasa bahwa yang meminta tolong adalah benar manusia yang sedang dalam kesulitan, Liviana bergegas menghampiri sumber suara, di balik pepohonan rimbun di area perkebunan. “Astaghfirullah!” Liviana menutup mulutnya dan sedikit mundur ketika melihat ada sesosok pria, pria itu kini tengah terkapar di tanah, dengan luka di sekujur tubuhnya. Sepasang mata di

  • Mendadak Akad dengan Suami Konglomerat   Bab 2

    Di dalam gubuk, Livi mencoba membuka pintu yang telah terkunci. Ia sangat ketakutan berada di dalam gubuk tua yang ruangannya hanya berukuran sempit. “Kenapa ini bisa terkunci begini? Ya Allah, apa ada orang di luar?” Dengan suara lembutnya Livi mencoba meminta bantuan. “Tolong, buka pintunya siapapun yang ada di luar,” pintanya lagi. Namun, tidak ada sahutan. Ismi yang mengganjal pintu gubuk dengan kokoh sudah pergi dari sana. “Kak. Bantu aku buat dobrak pintunya,”ucap Livi ketika melihat Asgara diam di tempat sembari menatap sekeliling ruangan. Namun, Asgara hanya menoleh pada gadis itu tanpa mengatakan apa pun. “Ya Allah, kenapa kamu santai banget, Kak? Kita sedang terkurung!" ucap Livi. Suaranya terdengar panik. Tiba-tiba kecurigaannya tentang Asgara kembali membayangi pikirannya. Asgara menghampiri Livi, tapi ia mencoba jaga jarak supaya tidak terlalu dekat dengan santriwati yang sangat lembut itu. "Di luar hujan. Sekalipun bisa keluar, percuma. Kita tetap tida

  • Mendadak Akad dengan Suami Konglomerat   Bab 3

    “Kok nikah, ustadz? Saya tidak kenal laki-laki ini,” jawab Livi. Ustadz terdiam, ia percaya Livi tidak berbuat apa-apa dengan Asgara, tapi santri lain kadung melihat kejadiannya, dan resikonya akan diadukan ke orang tua mereka, hal ini yang ditakutkan, mereka pasti akan memindahkan anaknya ke pondok pesantren lain. Ditambah lagi, warga yang ikut menyaksikan mereka kepergok berduaan di dalam satu gubuk. “Ta-tapi nggak ada jalan lain kah, ustadz?” tanya Asgara. Ustadz menggelengkan kepalanya. “Penjengukan sudah kami undur, itu saya lakukan untuk meyakinkan santri di sini, bahwa saya bertanggung jawab atas kasus ini, dengan cara tidak melepaskan kalian ke luar pondok tanpa ada ikatan suci,” jelas ustadz. Asgara menghela napas panjang. Ia tidak menyangka bahwa ini terjadi padanya. Livi terdiam sambil menyandarkan tubuhnya, ia masih merasa keberatan. “Kasih kami waktu, ustadz,” ucap Livi. “Izinkan saya keluar menemui ustadzah, saya ingin bicara dengan ustadzah,” imbuh Li

  • Mendadak Akad dengan Suami Konglomerat   Bab 4

    “Nikahkan aku sekarang dengan dia, Pah. Nikah itu ibadah, biarkan aku beribadah, toh aku juga sering merepotkan keluarga,” ucap Livi. “Bukan begitu, Mah?” Matanya berpindah ke arah sang mama. Lutfi menyoroti Asgara. “Apa laki-laki ini memiliki identitas yang jelas, supaya saya bisa tahu alamat tinggalnya?” tanya Lutfi. “Dia dirampok, dan tidak membawa identitas, tapi saya yakin, Asgara adalah pria baik-baik,” kata ustadz. Lutfi memandang Asgara yang sedari tadi tidak menyanggah atau menyangkal apapun yang mereka bicarakan. Asgara menunduk ketika tahu bahwa ia sedang diperhatikan. “Kenapa kamu diam aja dari tadi?” tanya Lutfi. “Saya menghormati orang yang lebih tua bicara, Om,” timpal Asgara. Dari situ Lutfi sedikit kepincut dengan Asgara. “Keluarga kamu ada di mana?” tanya Lutfi. “Bandung, Om, tapi saya lupa alamatnya, karena kami baru saja pindah,” timpal Asgara. “Hm, mencurigakan sekali, bagaimana caranya kamu bisa meyakinkan saya jika kamu orang baik

Bab terbaru

  • Mendadak Akad dengan Suami Konglomerat   Bab 6

    Dengan cepat Asgara masuk ke dalam mobil dan menyegerakan meninggalkan kantor mertuanya itu.Livi sedikit heran karena gelagat Asgara sangat berbeda, tapi ia sudah bertanya saat Asgara belum masuk dan tidak dijawabnya, jadi Livi engan untuk menanyakan kembali."Kamu lihat apa?" Seorang wanita terkejut saat ditegur suaminya. Ya, wanita itu yang tadi diperhatikan Asgara."Aku lihat Asgara, tapi kok di mobil Pak Lutfi ya?" tanya wanita tadi, namanya Lena."Hm, Asgara? Ini Jakarta, sayangku, kalau dia masih hidup, Asgara tidak mungkin nyasar ke sini, kita buang dia ke pelosok kampung loh," timpal suaminya Lena, Bram Permana.Lena terdiam, lalu dirangkul oleh Bram untuk masuk ke dalam.**Sementara Asgara dan Livi, mereka tidak saling bicara, sebab Asgara tengah memikirkan orang yang dilihatnya tadi. Ia kenal betul bahwa wanita tadi adalah kakak iparnya, dan pastinya ia datang bersama kakak dari Asgara.'Kenapa mereka ada di kantor papanya Livi?' Asgara masih kepikiran. "Kak, jangan ngela

  • Mendadak Akad dengan Suami Konglomerat   Bab 5

    Asgara tersenyum. "Om, maaf, bukannya saya lancang, tapi saya sungguhan belum hafal jalan rumah saya, yang kenal Papa juga belum banyak, karena kami baru tinggal di Bandung," jawab Asgara. Lutfi memicingkan matanya sambil ikut tersenyum. Lalu menepuk bahu menantu dadakannya itu. "Asgara, kamu itu sudah jadi menantu saya, panggil Papa lah, jangan Om, canggung sekali didengarnya," ejek Lutfi yang akhirnya membuat suasana mencair. Asgara menyunggingkan senyuman bahagia sambil bicara dalam hati, 'Ternyata keluarga Livi seasik ini, apalagi papanya, aku merasakan kasih sayang yang luar biasa, padahal aku ini bukan siapa-siapa.' "Asgara, kamu melamun?" Lutfi membuyarkan lamunan Asgara. "Nggak, Om, eh Pah maksudnya, saya--" Tiba-tiba Livi datang menghampiri mereka, sehingga Asgara tidak melanjutkan ucapannya. "Saya apa, Asgara?" tanya Lutfi. "Nggak, nggak jadi, Pah." Asgara mengusap rambutnya karena grogi. Livi yang baru saja bergabung mendekati sang papa. Ia melirik ke Asgar

  • Mendadak Akad dengan Suami Konglomerat   Bab 4

    “Nikahkan aku sekarang dengan dia, Pah. Nikah itu ibadah, biarkan aku beribadah, toh aku juga sering merepotkan keluarga,” ucap Livi. “Bukan begitu, Mah?” Matanya berpindah ke arah sang mama. Lutfi menyoroti Asgara. “Apa laki-laki ini memiliki identitas yang jelas, supaya saya bisa tahu alamat tinggalnya?” tanya Lutfi. “Dia dirampok, dan tidak membawa identitas, tapi saya yakin, Asgara adalah pria baik-baik,” kata ustadz. Lutfi memandang Asgara yang sedari tadi tidak menyanggah atau menyangkal apapun yang mereka bicarakan. Asgara menunduk ketika tahu bahwa ia sedang diperhatikan. “Kenapa kamu diam aja dari tadi?” tanya Lutfi. “Saya menghormati orang yang lebih tua bicara, Om,” timpal Asgara. Dari situ Lutfi sedikit kepincut dengan Asgara. “Keluarga kamu ada di mana?” tanya Lutfi. “Bandung, Om, tapi saya lupa alamatnya, karena kami baru saja pindah,” timpal Asgara. “Hm, mencurigakan sekali, bagaimana caranya kamu bisa meyakinkan saya jika kamu orang baik

  • Mendadak Akad dengan Suami Konglomerat   Bab 3

    “Kok nikah, ustadz? Saya tidak kenal laki-laki ini,” jawab Livi. Ustadz terdiam, ia percaya Livi tidak berbuat apa-apa dengan Asgara, tapi santri lain kadung melihat kejadiannya, dan resikonya akan diadukan ke orang tua mereka, hal ini yang ditakutkan, mereka pasti akan memindahkan anaknya ke pondok pesantren lain. Ditambah lagi, warga yang ikut menyaksikan mereka kepergok berduaan di dalam satu gubuk. “Ta-tapi nggak ada jalan lain kah, ustadz?” tanya Asgara. Ustadz menggelengkan kepalanya. “Penjengukan sudah kami undur, itu saya lakukan untuk meyakinkan santri di sini, bahwa saya bertanggung jawab atas kasus ini, dengan cara tidak melepaskan kalian ke luar pondok tanpa ada ikatan suci,” jelas ustadz. Asgara menghela napas panjang. Ia tidak menyangka bahwa ini terjadi padanya. Livi terdiam sambil menyandarkan tubuhnya, ia masih merasa keberatan. “Kasih kami waktu, ustadz,” ucap Livi. “Izinkan saya keluar menemui ustadzah, saya ingin bicara dengan ustadzah,” imbuh Li

  • Mendadak Akad dengan Suami Konglomerat   Bab 2

    Di dalam gubuk, Livi mencoba membuka pintu yang telah terkunci. Ia sangat ketakutan berada di dalam gubuk tua yang ruangannya hanya berukuran sempit. “Kenapa ini bisa terkunci begini? Ya Allah, apa ada orang di luar?” Dengan suara lembutnya Livi mencoba meminta bantuan. “Tolong, buka pintunya siapapun yang ada di luar,” pintanya lagi. Namun, tidak ada sahutan. Ismi yang mengganjal pintu gubuk dengan kokoh sudah pergi dari sana. “Kak. Bantu aku buat dobrak pintunya,”ucap Livi ketika melihat Asgara diam di tempat sembari menatap sekeliling ruangan. Namun, Asgara hanya menoleh pada gadis itu tanpa mengatakan apa pun. “Ya Allah, kenapa kamu santai banget, Kak? Kita sedang terkurung!" ucap Livi. Suaranya terdengar panik. Tiba-tiba kecurigaannya tentang Asgara kembali membayangi pikirannya. Asgara menghampiri Livi, tapi ia mencoba jaga jarak supaya tidak terlalu dekat dengan santriwati yang sangat lembut itu. "Di luar hujan. Sekalipun bisa keluar, percuma. Kita tetap tida

  • Mendadak Akad dengan Suami Konglomerat   Bab 1

    “Tolong … siapa pun tolong saya ….” Seorang gadis berhijab biru hingga menutupi dada menghentikan langkahnya ketika mendengar suara lirih saat ia berniat mengambil sayur di area perkebunan. Tubuhnya sedikit menegang, tapi ia kemudian segera beristighfar. Ia berniat melanjutkan langkahnya kembali, tapi suara itu kembali terdengar. Lirih, tapi berat seperti suara laki-laki. Dan sepertinya tengah kesakitan. “Asalamualaikum.” Akhirnya si gadis berhijab, Livina, menanggapi. “Siapa itu?” Hening menyapa pertanyaannya sebelum tiba-tiba suara itu kembali terdengar. Kali ini lebih keras. “Tolong, siapapun itu, tolong saya!” Merasa bahwa yang meminta tolong adalah benar manusia yang sedang dalam kesulitan, Liviana bergegas menghampiri sumber suara, di balik pepohonan rimbun di area perkebunan. “Astaghfirullah!” Liviana menutup mulutnya dan sedikit mundur ketika melihat ada sesosok pria, pria itu kini tengah terkapar di tanah, dengan luka di sekujur tubuhnya. Sepasang mata di

DMCA.com Protection Status