“Nikahkan aku sekarang dengan dia, Pah. Nikah itu ibadah, biarkan aku beribadah, toh aku juga sering merepotkan keluarga,” ucap Livi. “Bukan begitu, Mah?” Matanya berpindah ke arah sang mama.
Lutfi menyoroti Asgara. “Apa laki-laki ini memiliki identitas yang jelas, supaya saya bisa tahu alamat tinggalnya?” tanya Lutfi. “Dia dirampok, dan tidak membawa identitas, tapi saya yakin, Asgara adalah pria baik-baik,” kata ustadz. Lutfi memandang Asgara yang sedari tadi tidak menyanggah atau menyangkal apapun yang mereka bicarakan. Asgara menunduk ketika tahu bahwa ia sedang diperhatikan. “Kenapa kamu diam aja dari tadi?” tanya Lutfi. “Saya menghormati orang yang lebih tua bicara, Om,” timpal Asgara. Dari situ Lutfi sedikit kepincut dengan Asgara. “Keluarga kamu ada di mana?” tanya Lutfi. “Bandung, Om, tapi saya lupa alamatnya, karena kami baru saja pindah,” timpal Asgara. “Hm, mencurigakan sekali, bagaimana caranya kamu bisa meyakinkan saya jika kamu orang baik-baik untuk anak saya? Hah!” cecar Lutfi. Asgara terdiam kembali. “Saya tidak akan menyentuh Livi sampai ketemu dengan keluarga besar saya, Om,” timpal Asgara. Lutfi memandang istrinya seolah meminta pendapat, tapi Sandra hanya mengangkat kedua bahunya. “Baik, ustadz, malam ini saya akan nikahkan anak saya dengan orang ini, dengan syarat seperti yang tadi dia sebutkan.” Akhirnya Lutfi menyetujui setelah bermusyawarah cukup lama. Kemudian, ustadz mengundang RT setempat dan beberapa saksi untuk menepati janjinya yang akan memberikan mereka hukuman atau sanksi atas perbuatannya. Meskipun apa yang mereka lihat itu sebenarnya tidak sesuai dengan fakta. Ya, semua itu fitnah kejam yang dilontarkan oleh Ismi. Namun, dibalik itu semua, fitnah terjadi karena keteledoran yang telah dilakukan oleh Livi juga. Liviana dan Asgara bersiap untuk melaksanakan akad nikah, mereka menikah disaksikan oleh para santri dan santriwati. Juga beberapa warga setempat. “Saya nikahkan dan kawinkan ananda Asgara Putra Permana bin Aldi Permana, dengan ananda Liviana Agraningrat binti Lutfi Agraningrat, dengan mas kawin uang tunai lima puluh ribu rupiah, dibayar tunai.” Kemudian, hanya satu kali tarikan napas, Asgara berhasil mengucapkan ikrar janji suci itu di hadapan ustadz dan yang lainnya. “Saya terima nikah dan kawinnya Liviana Agraningrat binti Lutfi Agraningrat dengan mas kawin sebesar lima puluh ribu rupiah dibayar tunai,” ucap Asgara dengan lantang. “Sah, sah, sah.” Kemudian mereka berdoa. Mereka kini sudah menjadi suami istri. Tugas ustadz benar-benar diselesaikan. Ia memberikan solusi seperti ini, supaya santri lain tidak melakukan hal yang sama dengan Livi. “Anggap ini suatu pelajaran yang sangat berharga, bahwa aturan harus tetap dipakai, jangan dilanggar,” ucap ustadz ketika memberikan wejangan pada santrinya. Para santri dan warga mengangguk paham atas apa yang disampaikan ustadz barusan. Ada air mata yang menetes satu persatu dari kelopak mata Livi. Namun, ia harus tetap kuat karena ini sebuah kesalahan yang dilakukan olehnya meskipun tidak disengaja. Ismi pun menghampiri Livi dan membisikkan sesuatu. “Selamat menempuh hidup yang baru, Livi, kamu tidak akan dipakai jadi pengabdi di sini,” ejek Ismi. “Terima kasih, Ismi, aku doakan yang baik-baik untuk kamu,” timpal Livi yang enggan menanggapi Ismi. Semuanya mengantarkan Livi ke gerbang tempat orang tuanya parkir kendaraan. Kemudian Liviana melirik ke arah Asgara dan memberikan kode untuk berpamitan pada ustadz. “Pernikahan kalian tanggung jawab saya, tolong jaga Livi dengan baik meskipun tidak ada rasa cinta di hatimu, Asgara. Saya tidak kenal dan tidak tahu siapa kamu, tapi saya yakin bahwa kamu bisa menjadi suami yang baik untuknya,” pesan ustadz di telinga Asgara. “Sa-saya akan menjadi suami yang baik untuk Livi,” timpal Asgara terbata-bata. Ustadz tersenyum meski sangat kehilangan Livi yang sebenarnya sangat pandai. Livi menyambangi semua yang tadi ikut menyaksikan pernikahan dadakannya itu. Livi tetap menyunggingkan senyuman supaya terlihat baik-baik saja. Tapi, Livi tidak lupa berpesan pada kawan yang lain, terutama adik kelas, untuk mengikuti peraturan yang ada. Usai berpamitan, kini Livi dan Asgara akan ikut bersama dengan orang tuanya Livi di Jakarta. Di mobil, Asgara sengaja disuruh duduk di depan bersama dengan Lutfi. “Mukamu banyak memar, emang dirampok di mana?” tanya Lutfi. “Di tengah jalan, Om,” jawab Asgara singkat. “Om harap, kamu tepati janji ya, jangan sentuh anak saya sebelum perkenalkan keluargamu pada saya,” pesan Lutfi. Asgara mengangguk senyum. Setibanya di rumah Livi, Asgara pun turun dan ikut bersama mereka masuk ke dalam. Ia belum bercerita siapa sebenarnya dirinya. “Sebenarnya kalian udah bisa satu kamar, karena secara agama sudah sah,” ucap Lutfi. Tapi matanya tiba-tiba melirik ke arah Asgara. “Hm, berhubung kamu belum memberikan informasi tentang identitas kamu, jadi maaf ya, Livi tidak boleh sekamar dengan kamu dulu,” imbuh Lutfi. “Iya, Om, saya paham dan janji saya juga seperti itu,” jawab Asgara dengan helaan napas lega. Ia begitu bersyukur tidak diperkenankan satu kamar dengan Livi. Livi sendiri, ia langsung masuk ke kamarnya. Sementara Asgara, diperintahkan untuk tidur di kamar tamu. Asgara duduk, ia lupa kalau tidak memiliki baju ganti. Pakaian yang dikenakan olehnya sudah sangat lepek karena keringat. Kemudian, Asgara keluar untuk mencari kamar Livi, rencananya ia ingin pinjam kaos papanya jika diperkenankan, tapi malu jika harus ngomong langsung ke Lutfi, jadi melalui Livi. “Assalamualaikum, Livi,” bisik Asgara di depan kamar yang bertuliskan Livia di pintunya. Livia yang baru saja membuka ponselnya pun mendengar panggilan itu, ia langsung membuka pintu. “Waalaikumsalam, ngapain?” ketus Livi. “Liv, aku boleh minta tolong pinjemin baju ke papa nggak?” tanya Asgara. Livi terdiam. “Nyusahin,” ketusnya lagi. Biasanya Livi lembut, tapi untuk kali ini, ia sengaja agak ketus pada Asgara. Asgara gemas mendengar jawabannya. “Kamu pikir aku bahagia nikah dengan kamu, hah? Nggak, aku masih punya cewek yang belum aku putusin tahu nggak!” Asgara bicara pelan tapi ditekan. Livi mulai emosi, kini posisinya berdiri tegak dengan disertai tangan dilipat di atas dada. “Heh!” Livi hanya bisa bicara singkat, ia paling tidak bisa marah-marah, tapi rasanya kali ini ingin melampiaskan kemarahannya pada Asgara. “Tolong ya, pinjemin kaos,” pinta Asgara. Livi terdiam, Asgara pun sama. Hingga akhirnya Sandra melewati kamar Livi karena melihat Asgara berada di depan kamar putrinya. “Bukannya kalian belum boleh satu kamar ya?” tanya Sandra. “Iya, Mah, dia mau pinjam kaos Papa,” timpal Livi. “Oh, sebentar, Mama ada kaos untuk seumuran dia,” timpal Sandra membuat Livi menautkan kedua alisnya. Tapi Livi berusaha untuk tidak berpikir negatif lagi terhadap sang mama, diizinkan tinggal bersama suami dadakannya di rumah orang tua pun, itu sudah membuat Livi sangat lega. Setelah Sandra bergegas mengambil baju untuk Asgara, Livi pun menyuruhnya untuk segera pergi meninggalkan kamarnya. ** Ini hari kedua Asgara tinggal bersama keluarga Livi, dan rencananya Lutfi ingin mengajak Asgara untuk menunjukkan jalan ke arah rumahnya yang katanya bertempat di Bandung. “Bandung itu luas, tapi masa iya nggak ketemu, atau orang tuamu nggak nyariin gitu, misalnya dengan bertanya nama Aldi Permana?” tanya Lutfi dengan menyebutkan nama papanya Asgara yang disebutkan ketika menikah. BersambungAsgara tersenyum. "Om, maaf, bukannya saya lancang, tapi saya sungguhan belum hafal jalan rumah saya, yang kenal Papa juga belum banyak, karena kami baru tinggal di Bandung," jawab Asgara. Lutfi memicingkan matanya sambil ikut tersenyum. Lalu menepuk bahu menantu dadakannya itu. "Asgara, kamu itu sudah jadi menantu saya, panggil Papa lah, jangan Om, canggung sekali didengarnya," ejek Lutfi yang akhirnya membuat suasana mencair. Asgara menyunggingkan senyuman bahagia sambil bicara dalam hati, 'Ternyata keluarga Livi seasik ini, apalagi papanya, aku merasakan kasih sayang yang luar biasa, padahal aku ini bukan siapa-siapa.' "Asgara, kamu melamun?" Lutfi membuyarkan lamunan Asgara. "Nggak, Om, eh Pah maksudnya, saya--" Tiba-tiba Livi datang menghampiri mereka, sehingga Asgara tidak melanjutkan ucapannya. "Saya apa, Asgara?" tanya Lutfi. "Nggak, nggak jadi, Pah." Asgara mengusap rambutnya karena grogi. Livi yang baru saja bergabung mendekati sang papa. Ia melirik ke Asgar
Dengan cepat Asgara masuk ke dalam mobil dan menyegerakan meninggalkan kantor mertuanya itu.Livi sedikit heran karena gelagat Asgara sangat berbeda, tapi ia sudah bertanya saat Asgara belum masuk dan tidak dijawabnya, jadi Livi engan untuk menanyakan kembali."Kamu lihat apa?" Seorang wanita terkejut saat ditegur suaminya. Ya, wanita itu yang tadi diperhatikan Asgara."Aku lihat Asgara, tapi kok di mobil Pak Lutfi ya?" tanya wanita tadi, namanya Lena."Hm, Asgara? Ini Jakarta, sayangku, kalau dia masih hidup, Asgara tidak mungkin nyasar ke sini, kita buang dia ke pelosok kampung loh," timpal suaminya Lena, Bram Permana.Lena terdiam, lalu dirangkul oleh Bram untuk masuk ke dalam.**Sementara Asgara dan Livi, mereka tidak saling bicara, sebab Asgara tengah memikirkan orang yang dilihatnya tadi. Ia kenal betul bahwa wanita tadi adalah kakak iparnya, dan pastinya ia datang bersama kakak dari Asgara.'Kenapa mereka ada di kantor papanya Livi?' Asgara masih kepikiran. "Kak, jangan ngela
“Tolong … siapa pun tolong saya ….” Seorang gadis berhijab biru hingga menutupi dada menghentikan langkahnya ketika mendengar suara lirih saat ia berniat mengambil sayur di area perkebunan. Tubuhnya sedikit menegang, tapi ia kemudian segera beristighfar. Ia berniat melanjutkan langkahnya kembali, tapi suara itu kembali terdengar. Lirih, tapi berat seperti suara laki-laki. Dan sepertinya tengah kesakitan. “Asalamualaikum.” Akhirnya si gadis berhijab, Livina, menanggapi. “Siapa itu?” Hening menyapa pertanyaannya sebelum tiba-tiba suara itu kembali terdengar. Kali ini lebih keras. “Tolong, siapapun itu, tolong saya!” Merasa bahwa yang meminta tolong adalah benar manusia yang sedang dalam kesulitan, Liviana bergegas menghampiri sumber suara, di balik pepohonan rimbun di area perkebunan. “Astaghfirullah!” Liviana menutup mulutnya dan sedikit mundur ketika melihat ada sesosok pria, pria itu kini tengah terkapar di tanah, dengan luka di sekujur tubuhnya. Sepasang mata di
Di dalam gubuk, Livi mencoba membuka pintu yang telah terkunci. Ia sangat ketakutan berada di dalam gubuk tua yang ruangannya hanya berukuran sempit. “Kenapa ini bisa terkunci begini? Ya Allah, apa ada orang di luar?” Dengan suara lembutnya Livi mencoba meminta bantuan. “Tolong, buka pintunya siapapun yang ada di luar,” pintanya lagi. Namun, tidak ada sahutan. Ismi yang mengganjal pintu gubuk dengan kokoh sudah pergi dari sana. “Kak. Bantu aku buat dobrak pintunya,”ucap Livi ketika melihat Asgara diam di tempat sembari menatap sekeliling ruangan. Namun, Asgara hanya menoleh pada gadis itu tanpa mengatakan apa pun. “Ya Allah, kenapa kamu santai banget, Kak? Kita sedang terkurung!" ucap Livi. Suaranya terdengar panik. Tiba-tiba kecurigaannya tentang Asgara kembali membayangi pikirannya. Asgara menghampiri Livi, tapi ia mencoba jaga jarak supaya tidak terlalu dekat dengan santriwati yang sangat lembut itu. "Di luar hujan. Sekalipun bisa keluar, percuma. Kita tetap tida
“Kok nikah, ustadz? Saya tidak kenal laki-laki ini,” jawab Livi. Ustadz terdiam, ia percaya Livi tidak berbuat apa-apa dengan Asgara, tapi santri lain kadung melihat kejadiannya, dan resikonya akan diadukan ke orang tua mereka, hal ini yang ditakutkan, mereka pasti akan memindahkan anaknya ke pondok pesantren lain. Ditambah lagi, warga yang ikut menyaksikan mereka kepergok berduaan di dalam satu gubuk. “Ta-tapi nggak ada jalan lain kah, ustadz?” tanya Asgara. Ustadz menggelengkan kepalanya. “Penjengukan sudah kami undur, itu saya lakukan untuk meyakinkan santri di sini, bahwa saya bertanggung jawab atas kasus ini, dengan cara tidak melepaskan kalian ke luar pondok tanpa ada ikatan suci,” jelas ustadz. Asgara menghela napas panjang. Ia tidak menyangka bahwa ini terjadi padanya. Livi terdiam sambil menyandarkan tubuhnya, ia masih merasa keberatan. “Kasih kami waktu, ustadz,” ucap Livi. “Izinkan saya keluar menemui ustadzah, saya ingin bicara dengan ustadzah,” imbuh Li
Dengan cepat Asgara masuk ke dalam mobil dan menyegerakan meninggalkan kantor mertuanya itu.Livi sedikit heran karena gelagat Asgara sangat berbeda, tapi ia sudah bertanya saat Asgara belum masuk dan tidak dijawabnya, jadi Livi engan untuk menanyakan kembali."Kamu lihat apa?" Seorang wanita terkejut saat ditegur suaminya. Ya, wanita itu yang tadi diperhatikan Asgara."Aku lihat Asgara, tapi kok di mobil Pak Lutfi ya?" tanya wanita tadi, namanya Lena."Hm, Asgara? Ini Jakarta, sayangku, kalau dia masih hidup, Asgara tidak mungkin nyasar ke sini, kita buang dia ke pelosok kampung loh," timpal suaminya Lena, Bram Permana.Lena terdiam, lalu dirangkul oleh Bram untuk masuk ke dalam.**Sementara Asgara dan Livi, mereka tidak saling bicara, sebab Asgara tengah memikirkan orang yang dilihatnya tadi. Ia kenal betul bahwa wanita tadi adalah kakak iparnya, dan pastinya ia datang bersama kakak dari Asgara.'Kenapa mereka ada di kantor papanya Livi?' Asgara masih kepikiran. "Kak, jangan ngela
Asgara tersenyum. "Om, maaf, bukannya saya lancang, tapi saya sungguhan belum hafal jalan rumah saya, yang kenal Papa juga belum banyak, karena kami baru tinggal di Bandung," jawab Asgara. Lutfi memicingkan matanya sambil ikut tersenyum. Lalu menepuk bahu menantu dadakannya itu. "Asgara, kamu itu sudah jadi menantu saya, panggil Papa lah, jangan Om, canggung sekali didengarnya," ejek Lutfi yang akhirnya membuat suasana mencair. Asgara menyunggingkan senyuman bahagia sambil bicara dalam hati, 'Ternyata keluarga Livi seasik ini, apalagi papanya, aku merasakan kasih sayang yang luar biasa, padahal aku ini bukan siapa-siapa.' "Asgara, kamu melamun?" Lutfi membuyarkan lamunan Asgara. "Nggak, Om, eh Pah maksudnya, saya--" Tiba-tiba Livi datang menghampiri mereka, sehingga Asgara tidak melanjutkan ucapannya. "Saya apa, Asgara?" tanya Lutfi. "Nggak, nggak jadi, Pah." Asgara mengusap rambutnya karena grogi. Livi yang baru saja bergabung mendekati sang papa. Ia melirik ke Asgar
“Nikahkan aku sekarang dengan dia, Pah. Nikah itu ibadah, biarkan aku beribadah, toh aku juga sering merepotkan keluarga,” ucap Livi. “Bukan begitu, Mah?” Matanya berpindah ke arah sang mama. Lutfi menyoroti Asgara. “Apa laki-laki ini memiliki identitas yang jelas, supaya saya bisa tahu alamat tinggalnya?” tanya Lutfi. “Dia dirampok, dan tidak membawa identitas, tapi saya yakin, Asgara adalah pria baik-baik,” kata ustadz. Lutfi memandang Asgara yang sedari tadi tidak menyanggah atau menyangkal apapun yang mereka bicarakan. Asgara menunduk ketika tahu bahwa ia sedang diperhatikan. “Kenapa kamu diam aja dari tadi?” tanya Lutfi. “Saya menghormati orang yang lebih tua bicara, Om,” timpal Asgara. Dari situ Lutfi sedikit kepincut dengan Asgara. “Keluarga kamu ada di mana?” tanya Lutfi. “Bandung, Om, tapi saya lupa alamatnya, karena kami baru saja pindah,” timpal Asgara. “Hm, mencurigakan sekali, bagaimana caranya kamu bisa meyakinkan saya jika kamu orang baik
“Kok nikah, ustadz? Saya tidak kenal laki-laki ini,” jawab Livi. Ustadz terdiam, ia percaya Livi tidak berbuat apa-apa dengan Asgara, tapi santri lain kadung melihat kejadiannya, dan resikonya akan diadukan ke orang tua mereka, hal ini yang ditakutkan, mereka pasti akan memindahkan anaknya ke pondok pesantren lain. Ditambah lagi, warga yang ikut menyaksikan mereka kepergok berduaan di dalam satu gubuk. “Ta-tapi nggak ada jalan lain kah, ustadz?” tanya Asgara. Ustadz menggelengkan kepalanya. “Penjengukan sudah kami undur, itu saya lakukan untuk meyakinkan santri di sini, bahwa saya bertanggung jawab atas kasus ini, dengan cara tidak melepaskan kalian ke luar pondok tanpa ada ikatan suci,” jelas ustadz. Asgara menghela napas panjang. Ia tidak menyangka bahwa ini terjadi padanya. Livi terdiam sambil menyandarkan tubuhnya, ia masih merasa keberatan. “Kasih kami waktu, ustadz,” ucap Livi. “Izinkan saya keluar menemui ustadzah, saya ingin bicara dengan ustadzah,” imbuh Li
Di dalam gubuk, Livi mencoba membuka pintu yang telah terkunci. Ia sangat ketakutan berada di dalam gubuk tua yang ruangannya hanya berukuran sempit. “Kenapa ini bisa terkunci begini? Ya Allah, apa ada orang di luar?” Dengan suara lembutnya Livi mencoba meminta bantuan. “Tolong, buka pintunya siapapun yang ada di luar,” pintanya lagi. Namun, tidak ada sahutan. Ismi yang mengganjal pintu gubuk dengan kokoh sudah pergi dari sana. “Kak. Bantu aku buat dobrak pintunya,”ucap Livi ketika melihat Asgara diam di tempat sembari menatap sekeliling ruangan. Namun, Asgara hanya menoleh pada gadis itu tanpa mengatakan apa pun. “Ya Allah, kenapa kamu santai banget, Kak? Kita sedang terkurung!" ucap Livi. Suaranya terdengar panik. Tiba-tiba kecurigaannya tentang Asgara kembali membayangi pikirannya. Asgara menghampiri Livi, tapi ia mencoba jaga jarak supaya tidak terlalu dekat dengan santriwati yang sangat lembut itu. "Di luar hujan. Sekalipun bisa keluar, percuma. Kita tetap tida
“Tolong … siapa pun tolong saya ….” Seorang gadis berhijab biru hingga menutupi dada menghentikan langkahnya ketika mendengar suara lirih saat ia berniat mengambil sayur di area perkebunan. Tubuhnya sedikit menegang, tapi ia kemudian segera beristighfar. Ia berniat melanjutkan langkahnya kembali, tapi suara itu kembali terdengar. Lirih, tapi berat seperti suara laki-laki. Dan sepertinya tengah kesakitan. “Asalamualaikum.” Akhirnya si gadis berhijab, Livina, menanggapi. “Siapa itu?” Hening menyapa pertanyaannya sebelum tiba-tiba suara itu kembali terdengar. Kali ini lebih keras. “Tolong, siapapun itu, tolong saya!” Merasa bahwa yang meminta tolong adalah benar manusia yang sedang dalam kesulitan, Liviana bergegas menghampiri sumber suara, di balik pepohonan rimbun di area perkebunan. “Astaghfirullah!” Liviana menutup mulutnya dan sedikit mundur ketika melihat ada sesosok pria, pria itu kini tengah terkapar di tanah, dengan luka di sekujur tubuhnya. Sepasang mata di