Share

Bab 4

“Nikahkan aku sekarang dengan dia, Pah. Nikah itu ibadah, biarkan aku beribadah, toh aku juga sering merepotkan keluarga,” ucap Livi. “Bukan begitu, Mah?” Matanya berpindah ke arah sang mama.

Lutfi menyoroti Asgara.

“Apa laki-laki ini memiliki identitas yang jelas, supaya saya bisa tahu alamat tinggalnya?” tanya Lutfi.

“Dia dirampok, dan tidak membawa identitas, tapi saya yakin, Asgara adalah pria baik-baik,” kata ustadz.

Lutfi memandang Asgara yang sedari tadi tidak menyanggah atau menyangkal apapun yang mereka bicarakan.

Asgara menunduk ketika tahu bahwa ia sedang diperhatikan.

“Kenapa kamu diam aja dari tadi?” tanya Lutfi.

“Saya menghormati orang yang lebih tua bicara, Om,” timpal Asgara.

Dari situ Lutfi sedikit kepincut dengan Asgara.

“Keluarga kamu ada di mana?” tanya Lutfi.

“Bandung, Om, tapi saya lupa alamatnya, karena kami baru saja pindah,” timpal Asgara.

“Hm, mencurigakan sekali, bagaimana caranya kamu bisa meyakinkan saya jika kamu orang baik-baik untuk anak saya? Hah!” cecar Lutfi.

Asgara terdiam kembali.

“Saya tidak akan menyentuh Livi sampai ketemu dengan keluarga besar saya, Om,” timpal Asgara.

Lutfi memandang istrinya seolah meminta pendapat, tapi Sandra hanya mengangkat kedua bahunya.

“Baik, ustadz, malam ini saya akan nikahkan anak saya dengan orang ini, dengan syarat seperti yang tadi dia sebutkan.”

Akhirnya Lutfi menyetujui setelah bermusyawarah cukup lama.

Kemudian, ustadz mengundang RT setempat dan beberapa saksi untuk menepati janjinya yang akan memberikan mereka hukuman atau sanksi atas perbuatannya. Meskipun apa yang mereka lihat itu sebenarnya tidak sesuai dengan fakta. Ya, semua itu fitnah kejam yang dilontarkan oleh Ismi. Namun, dibalik itu semua, fitnah terjadi karena keteledoran yang telah dilakukan oleh Livi juga.

Liviana dan Asgara bersiap untuk melaksanakan akad nikah, mereka menikah disaksikan oleh para santri dan santriwati. Juga beberapa warga setempat.

“Saya nikahkan dan kawinkan ananda Asgara Putra Permana, dengan ananda Liviana Agraningrat binti Lutfi Agraningrat, dengan mas kawin uang tunai lima puluh ribu rupiah, dibayar tunai.”

Kemudian, hanya satu kali tarikan napas, Asgara berhasil mengucapkan ikrar janji suci itu di

Hadapan ustadz dan yang lainnya. “Saya terima nikah dan kawinnya Liviana Agraningrat binti Lutfi Agraningrat dengan mas kawin sebesar lima puluh ribu rupiah dibayar tunai,” ucap Asgara dengan lantang.

“Sah, sah, sah.” Kemudian mereka berdoa.

Mereka kini sudah menjadi suami istri. Tugas ustadz benar-benar diselesaikan. Ia memberikan solusi seperti ini, supaya santri lain tidak melakukan hal yang sama dengan Livi.

“Anggap ini suatu pelajaran yang sangat berharga, bahwa aturan harus tetap dipakai, jangan dilanggar,” ucap ustadz ketika memberikan wejangan pada santrinya.

Para santri dan warga mengangguk paham atas apa yang disampaikan ustadz barusan.

Ada air mata yang menetes satu persatu dari kelopak mata Livi. Namun, ia harus tetap kuat karena ini sebuah kesalahan yang dilakukan olehnya meskipun tidak disengaja.

Ismi pun menghampiri Livi dan membisikkan sesuatu.

“Selamat menempuh hidup yang baru, Livi, kamu tidak akan dipakai jadi pengabdi di sini,” ejek Ismi.

“Terima kasih, Ismi, aku doakan yang baik-baik untuk kamu,” timpal Livi yang enggan menanggapi Ismi.

Semuanya mengantarkan Livi ke gerbang tempat orang tuanya parkir kendaraan. Kemudian Liviana melirik ke arah Asgara dan memberikan kode untuk berpamitan pada ustadz.

“Pernikahan kalian tanggung jawab saya, tolong jaga Livi dengan baik meskipun tidak ada rasa cinta di hatimu, Asgara. Saya tidak kenal dan tidak tahu siapa kamu, tapi saya yakin bahwa kamu bisa menjadi suami yang baik untuknya,” pesan ustadz di telinga Asgara.

“Sa-saya akan menjadi suami yang baik untuk Livi,” timpal Asgara terbata-bata.

Ustadz tersenyum meski sangat kehilangan Livi yang sebenarnya sangat pandai.

Livi menyambangi semua yang tadi ikut menyaksikan pernikahan dadakannya itu. Livi tetap menyunggingkan senyuman supaya terlihat baik-baik saja. Tapi, Livi tidak lupa berpesan pada kawan yang lain, terutama adik kelas, untuk mengikuti peraturan yang ada.

Usai berpamitan, kini Livi dan Asgara akan ikut bersama dengan orang tuanya Livi di Jakarta. Di mobil, Asgara sengaja disuruh duduk di depan bersama dengan Lutfi.

“Mukamu banyak memar, emang dirampok di mana?” tanya Lutfi.

“Di tengah jalan, Om,” jawab Asgara singkat.

“Om harap, kamu tepati janji ya, jangan sentuh anak saya sebelum perkenalkan keluargamu pada saya,” pesan Lutfi.

Asgara mengangguk senyum.

Setibanya di rumah Livi, Asgara pun turun dan ikut bersama mereka masuk ke dalam. Ia belum bercerita siapa sebenarnya dirinya.

“Sebenarnya kalian udah bisa satu kamar, karena secara agama sudah sah,” ucap Lutfi. Tapi matanya tiba-tiba melirik ke arah Asgara. “Hm, berhubung kamu belum memberikan informasi tentang identitas kamu, jadi maaf ya, Livi tidak boleh sekamar dengan kamu dulu,” imbuh Lutfi.

“Iya, Om, saya paham dan janji saya juga seperti itu,” jawab Asgara dengan helaan napas lega. Ia begitu bersyukur tidak diperkenankan satu kamar dengan Livi.

Livi sendiri, ia langsung masuk ke kamarnya. Sementara Asgara, diperintahkan untuk tidur di kamar tamu.

Asgara duduk, ia lupa kalau tidak memiliki baju ganti. Pakaian yang dikenakan olehnya sudah sangat lepek karena keringat. Kemudian, Asgara keluar untuk mencari kamar Livi, rencananya ia ingin pinjam kaos papanya jika diperkenankan, tapi malu jika harus ngomong langsung ke Lutfi, jadi melalui Livi.

“Assalamualaikum, Livi,” bisik Asgara di depan kamar yang bertuliskan Livia di pintunya.

Livia yang baru saja membuka ponselnya pun mendengar panggilan itu, ia langsung membuka pintu.

“Waalaikumsalam, ngapain?” ketus Livi.

“Liv, aku boleh minta tolong pinjemin baju ke papa nggak?” tanya Asgara.

Livi terdiam.

“Nyusahin,” ketusnya lagi.

Asgara gemas mendengar jawabannya.

“Kamu pikir aku bahagia nikah dengan kamu, hah? Nggak, aku masih punya cewek yang belum aku putusin tahu nggak!” Asgara bicara pelan tapi ditekan.

Livi mulai emosi, kini posisinya berdiri tegak dengan disertai tangan dilipat di atas dada.

“Heh!” Livi hanya bisa bicara singkat, ia paling tidak bisa marah-marah, tapi rasanya kali ini ingin melampiaskan kemarahannya pada Asgara.

“Tolong ya, pinjemin kaos,” pinta Asgara.

Livi terdiam, Asgara pun sama. Hingga akhirnya Sandra melewati kamar Livi karena melihat Asgara berada di depan kamar putrinya.

“Bukannya kalian belum boleh satu kamar ya?” tanya Sandra.

“Iya, Mah, dia mau pinjam kaos Papa,” timpal Livi.

“Oh, sebentar, Mama ada kaos untuk seumuran dia,” timpal Sandra membuat Livi menautkan kedua alisnya. Tapi Livi berusaha untuk tidak berpikir negatif lagi terhadap sang mama, diizinkan tinggal bersama suami dadakannya di rumah orang tua pun, itu sudah membuat Livi sangat lega.

Setelah Sandra bergegas mengambil baju untuk Asgara, Livi pun menyuruhnya untuk segera pergi meninggalkan kamarnya.

**

Ini hari kedua Asgara tinggal bersama keluarga Livi, dan rencananya Lutfi ingin mengajak Asgara untuk menunjukkan jalan ke arah rumahnya yang katanya bertempat di Bandung.

“Bandung itu luas, tapi masa iya nggak ketemu, atau orang tuamu nggak nyariin gitu?” tanya Lutfi.

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status