“Kok nikah, ustadz? Saya tidak kenal laki-laki ini,” jawab Livi.
Ustadz terdiam, ia percaya Livi tidak berbuat apa-apa dengan Asgara, tapi santri lain kadung melihat kejadiannya, dan resikonya akan diadukan ke orang tua mereka, hal ini yang ditakutkan, mereka pasti akan memindahkan anaknya ke pondok pesantren lain. Ditambah lagi, warga yang ikut menyaksikan mereka kepergok berduaan di dalam satu gubuk. “Ta-tapi nggak ada jalan lain kah, ustadz?” tanya Asgara. Ustadz menggelengkan kepalanya. “Penjengukan sudah kami undur, itu saya lakukan untuk meyakinkan santri di sini, bahwa saya bertanggung jawab atas kasus ini, dengan cara tidak melepaskan kalian ke luar pondok tanpa ada ikatan suci,” jelas ustadz. Asgara menghela napas panjang. Ia tidak menyangka bahwa ini terjadi padanya. Livi terdiam sambil menyandarkan tubuhnya, ia masih merasa keberatan. “Kasih kami waktu, ustadz,” ucap Livi. “Izinkan saya keluar menemui ustadzah, saya ingin bicara dengan ustadzah,” imbuh Livi. Ustadz pun mengizinkan, Livi langsung keluar dari ruangan untuk bertemu dengan ustadzah. Sementara Liviana, secara tidak sengaja mendengar tiga orang santriwati yang berkumpul, mereka kelas 10, dan naik ke kelas 11 tahun ini. Tapi, melihat kejadian barusan, ketiganya jadi berkompromi. “Kita ngomong aja nanti ke orang tua kita ya, biar pindah dari ponpes ini, kita ngomong juga ke yang lain biar ponpes ini sepi dan ditutup,” hasut salah seorang santriwati. Livi terdiam, tiba-tiba ia kepikiran ustzad. Namun, tiba-tiba ustadzah menghampiri ketiga santriwati yang tengah berkumpul itu. Secara tidak sengaja, ustadzah pun mendengar obrolan mereka. “Kalian tahu kan dosa ghibah? Jadi, lebih baik kalian bubar dan baca Al-Qur’an ya,” suruh ustadzah dengan bijaksana. Kemudian, ia menghampiri Livi yang tidak jauh dari tempatnya berdiri. Ustadzah sudah mengetahui apa yang telah diputuskan oleh ketua yayasan. “Kamu tidak bisa memilih takdir, Livi, jadi terima dengan lapang, dan insyaallah dibalik ini semua akan ada hikmahnya,” ungkap ustazah membuat Livi menoleh ke arahnya. “Kenapa harus Livi, ustadzah?” tanya Livi. Ia kelihatan sedih ketika ustadzahnya memberikan solusi yang sama dengan ustzad. “Percayalah, Allah berikan ujian untuk hambanya yang mampu melewatinya, dan kamu orang terpilih,” timpal ustadzah. “Tapi ustadzah percaya kan kalau Livi nggak melakukan apa-apa dengan Kak Asgara?” tanya Livi. “Wallahu, ustadzah tidak mau memfitnah, tapi ustadzah juga tidak membenarkan apa yang kamu lakukan, yaitu bertemu dengan lawan jenis,” jelas ustadzah, lalu ia meraih punggung tangan Livi. “Vi, ambil hikmahnya, bahwa apa yang dilarang di sini memang untuk kebaikan para santri, mungkin Livi dalam kondisi panik karena hujan, tapi ya itu tadi, tetap salah karena Livi lebih memilih menghindar dari hujan, bukan memilih menghindari laki-laki,” imbuh ustadzah. Livi semakin paham, ia tidak bisa berbuat apa-apa sekarang. Memang awalnya ia salah karena sudah menyalahi aturan pondok pesantren, yang memang melarang keras berjumpa dengan santri laki-laki. Hingga akhirnya timbul fitnah yang tidak bisa dielakkan. “Ya udah, ustadzah, terima kasih banyak,” jawab Livi yang kemudian memeluk ustadzah dengan penuh haru. Akhirnya Livi menyetujui apa yang jadi keputusan ustadz. “Kalau tadi Livi meminta saran dari ustadzah, lantas kamu gimana, Asgara? Apa ada nomor telepon yang bisa saya hubungi untuk membicarakan masalah ini?” tanya ustadz pada Asgara. Asgara terdiam, ia tidak ingat sama sekali nomor telepon orang tuanya, Asgara kehilangan ponsel yang seharusnya ada di saku celananya. “Saya tidak ingat kontak mereka, saya juga bingung ponsel yang saya kantongi tidak ada, tadi itu saya sedang mencari ponsel, tapi nggak ketemu,” terang Asgara. “Bohong, kamu pasti tadi sengaja buntuti saya ya, ini semua gara-gara kamu,” cetus Livi. “Sa-saya,” timpal Asgara menggantung ucapannya, ia tidak jadi melanjutkan bicara karena melihat Livi yang memang tertekan. Siapapun yang mengalami hal serupa, pasti akan bereaksi sama seperti Livi. “Sudah, saya akan nikahkan kalian besok malam, tolong ingat-ingat lagi, Asgara, apa ada nomor telepon yang harus dihubungi? Ini supaya meyakinkan keluarga Livi juga bahwa anaknya dinikahkan dengan pria baik-baik,” jelas ustadz. “Iya, nanti saya coba ingat-ingat,” kata Asgara. Mereka berdua diizinkan ke kamarnya masing-masing. Namun, Livi jalan lebih dulu dari Asgara. *** Pagi ini sangat cerah, tapi tidak dengan Livi, hatinya sangat hancur karena masa depan yang ia idamkan ternyata tidak akan pernah terjadi. Justru, ia mengalami satu hal yang membuatnya benar-benar sangat menyesal karena tidak mengingat pesan ustadz dan ustadzahnya. “Mama udah dengar dari ustadz, bener-bener memalukan kamu, Livi,” cetus sang mama, namanya Sandra. Livi terdiam, ia tidak membantah apapun. Sebab, awal mula fitnah terjadi memang atas kesalahannya sendiri. “Jadi gimana ustadz? Anak saya mesum dengan orang ini?” tanya sang papa. Wajahnya sudah seperti orang ingin menerkam mangsanya. “Tenang dulu, Pak. Sebenarnya kami juga tidak tahu betul apa yang mereka lakukan, tapi dari awal mereka sudah salah, yaitu bertemu dengan lawan jenis, yang memang menjadi peraturan keras tidak boleh melakukan hal tersebut,” tegas ustadz. “Nggak bisa begitu dong, ustadz, masa gara-gara satu gubuk, anak saya langsung dipinta untuk menikah, saya harus kenal dengan laki-laki ini,” timpal ayahanda Livi, namanya Lutfi Agraningrat. “Lagian harus ada bukti kuat dulu dong, misalnya cctv gitu,” imbuh Lutfi berusaha membela anaknya. “Maaf, Pak, ini daerah perkampungan, dan kondisi mereka kepergok juga di luar pondok, itu sudah salah,” timpal ustadz dengan bijak. “Jadi, kalian itu belum lihat langsung anak saya berzina, tapi sudah menuduh yang nggak-nggak?” Lutfi emosi. “Tenang, Pak. Kita kan panggil bapak untuk cari solusi,” timpal ustadz. “Ini sih bukan cari solusi, menjelaskan solusi ya kan?” Lutfi masih marah. Wajahnya terlihat merah padam. “Pah, maafin Livi, tadi nggak sengaja ketemu Kak Asgara, dan tiba-tiba hujan, jadi neduh, salah Livi juga, seharusnya nggak usah takut dengan air, tapi takut dengan lawan jenis karena akan timbul fitnah, itu benar-benar kejadian,” terang Livi yang sudah mulai menerima kenyataan. Sebenarnya yang diajarkan pondok pesantren sudah benar, kekhawatiran pun terjadi jika melanggar aturan yang sudah dibuat. “Emang aja gatal kamu, Vi, bikin malu Mama,” celetuk Sandra. Livi tertunduk, ia tidak berani membantah saat orang tuanya bicara. Lutfi terdiam memandang anaknya. “Jadi kamu setuju dengan permintaan ustadz untuk menikah dengan pria ini?” tanya sang papa. Livi tertunduk lagi. “Kan dia gatal, Pah. Makanya setuju aja Livinya,” celetuk Sandra. “Mah, bisa diam nggak, kita harus dengarkan anak kita bicara!” tegas Lutfi. Kemudian, mereka fokus bicara kembali. “Saya hanya ingin bertanggung jawab atas apa yang terjadi, RT setempat pun sudah menunggu keputusan saya ini, Pak, Bu,” ungkap ustadz. “Sebenarnya kami bawa Livi pulang kan beres, ustadz, kenapa harus dinikahkan segala sih?” tanya Lutfi ada benarnya juga. Namun, ustadz punya pemikiran yang sangat panjang dan itu semua juga demi kebaikan Livi. “Ya, memang beres, tapi jika terjadi sesuatu hal yang bersangkutan dengan di gubuk tadi, nanti yang dicari pasti orang pondok pesantren sini, maaf, bukan saya tidak percaya dengan Livi, tapi ini untuk berjaga-jaga saja, dan saya yakin ini untuk kebaikan bersama,” terang ustadz. “Livi lulus loh, seharusnya nggak ada pengaruhnya,” bantah Lutfi lagi. “Tapi, warga sekitar pun melihat kejadian, mereka menunggu keputusan dari saya atas gosip yang sudah menyebar ini, konsekuensinya nama pondok pesantren pun akan jelek jika saya tidak melakukan apa-apa,” tutur ustadz. Lutfi berdecak kesal, jarinya mengelus kening yang kini terasa berat. “Jadi gimana, Pah? Menurut Mama sih yang dikatakan ustadz ada benarnya juga, mendingan Livi dikawinin aja, biar kita juga lepas tanggung jawab,” cetus sang mama membuat Livi menoleh ke arahnya, mata Livi berkaca-kaca ketika mendengar penuturan mamanya, ia tidak menyangka bahwa orang tuanya sampai sebenci itu terhadapnya. Bersambung“Nikahkan aku sekarang dengan dia, Pah. Nikah itu ibadah, biarkan aku beribadah, toh aku juga sering merepotkan keluarga,” ucap Livi. “Bukan begitu, Mah?” Matanya berpindah ke arah sang mama. Lutfi menyoroti Asgara. “Apa laki-laki ini memiliki identitas yang jelas, supaya saya bisa tahu alamat tinggalnya?” tanya Lutfi. “Dia dirampok, dan tidak membawa identitas, tapi saya yakin, Asgara adalah pria baik-baik,” kata ustadz. Lutfi memandang Asgara yang sedari tadi tidak menyanggah atau menyangkal apapun yang mereka bicarakan. Asgara menunduk ketika tahu bahwa ia sedang diperhatikan. “Kenapa kamu diam aja dari tadi?” tanya Lutfi. “Saya menghormati orang yang lebih tua bicara, Om,” timpal Asgara. Dari situ Lutfi sedikit kepincut dengan Asgara. “Keluarga kamu ada di mana?” tanya Lutfi. “Bandung, Om, tapi saya lupa alamatnya, karena kami baru saja pindah,” timpal Asgara. “Hm, mencurigakan sekali, bagaimana caranya kamu bisa meyakinkan saya jika kamu orang baik
Asgara tersenyum. "Om, maaf, bukannya saya lancang, tapi saya sungguhan belum hafal jalan rumah saya, yang kenal Papa juga belum banyak, karena kami baru tinggal di Bandung," jawab Asgara. Lutfi memicingkan matanya sambil ikut tersenyum. Lalu menepuk bahu menantu dadakannya itu. "Asgara, kamu itu sudah jadi menantu saya, panggil Papa lah, jangan Om, canggung sekali didengarnya," ejek Lutfi yang akhirnya membuat suasana mencair. Asgara menyunggingkan senyuman bahagia sambil bicara dalam hati, 'Ternyata keluarga Livi seasik ini, apalagi papanya, aku merasakan kasih sayang yang luar biasa, padahal aku ini bukan siapa-siapa.' "Asgara, kamu melamun?" Lutfi membuyarkan lamunan Asgara. "Nggak, Om, eh Pah maksudnya, saya--" Tiba-tiba Livi datang menghampiri mereka, sehingga Asgara tidak melanjutkan ucapannya. "Saya apa, Asgara?" tanya Lutfi. "Nggak, nggak jadi, Pah." Asgara mengusap rambutnya karena grogi. Livi yang baru saja bergabung mendekati sang papa. Ia melirik ke Asgar
Dengan cepat Asgara masuk ke dalam mobil dan menyegerakan meninggalkan kantor mertuanya itu.Livi sedikit heran karena gelagat Asgara sangat berbeda, tapi ia sudah bertanya saat Asgara belum masuk dan tidak dijawabnya, jadi Livi engan untuk menanyakan kembali."Kamu lihat apa?" Seorang wanita terkejut saat ditegur suaminya. Ya, wanita itu yang tadi diperhatikan Asgara."Aku lihat Asgara, tapi kok di mobil Pak Lutfi ya?" tanya wanita tadi, namanya Lena."Hm, Asgara? Ini Jakarta, sayangku, kalau dia masih hidup, Asgara tidak mungkin nyasar ke sini, kita buang dia ke pelosok kampung loh," timpal suaminya Lena, Bram Permana.Lena terdiam, lalu dirangkul oleh Bram untuk masuk ke dalam.**Sementara Asgara dan Livi, mereka tidak saling bicara, sebab Asgara tengah memikirkan orang yang dilihatnya tadi. Ia kenal betul bahwa wanita tadi adalah kakak iparnya, dan pastinya ia datang bersama kakak dari Asgara.'Kenapa mereka ada di kantor papanya Livi?' Asgara masih kepikiran. "Kak, jangan ngela
“Tolong … siapa pun tolong saya ….” Seorang gadis berhijab biru hingga menutupi dada menghentikan langkahnya ketika mendengar suara lirih saat ia berniat mengambil sayur di area perkebunan. Tubuhnya sedikit menegang, tapi ia kemudian segera beristighfar. Ia berniat melanjutkan langkahnya kembali, tapi suara itu kembali terdengar. Lirih, tapi berat seperti suara laki-laki. Dan sepertinya tengah kesakitan. “Asalamualaikum.” Akhirnya si gadis berhijab, Livina, menanggapi. “Siapa itu?” Hening menyapa pertanyaannya sebelum tiba-tiba suara itu kembali terdengar. Kali ini lebih keras. “Tolong, siapapun itu, tolong saya!” Merasa bahwa yang meminta tolong adalah benar manusia yang sedang dalam kesulitan, Liviana bergegas menghampiri sumber suara, di balik pepohonan rimbun di area perkebunan. “Astaghfirullah!” Liviana menutup mulutnya dan sedikit mundur ketika melihat ada sesosok pria, pria itu kini tengah terkapar di tanah, dengan luka di sekujur tubuhnya. Sepasang mata di
Di dalam gubuk, Livi mencoba membuka pintu yang telah terkunci. Ia sangat ketakutan berada di dalam gubuk tua yang ruangannya hanya berukuran sempit. “Kenapa ini bisa terkunci begini? Ya Allah, apa ada orang di luar?” Dengan suara lembutnya Livi mencoba meminta bantuan. “Tolong, buka pintunya siapapun yang ada di luar,” pintanya lagi. Namun, tidak ada sahutan. Ismi yang mengganjal pintu gubuk dengan kokoh sudah pergi dari sana. “Kak. Bantu aku buat dobrak pintunya,”ucap Livi ketika melihat Asgara diam di tempat sembari menatap sekeliling ruangan. Namun, Asgara hanya menoleh pada gadis itu tanpa mengatakan apa pun. “Ya Allah, kenapa kamu santai banget, Kak? Kita sedang terkurung!" ucap Livi. Suaranya terdengar panik. Tiba-tiba kecurigaannya tentang Asgara kembali membayangi pikirannya. Asgara menghampiri Livi, tapi ia mencoba jaga jarak supaya tidak terlalu dekat dengan santriwati yang sangat lembut itu. "Di luar hujan. Sekalipun bisa keluar, percuma. Kita tetap tida
Dengan cepat Asgara masuk ke dalam mobil dan menyegerakan meninggalkan kantor mertuanya itu.Livi sedikit heran karena gelagat Asgara sangat berbeda, tapi ia sudah bertanya saat Asgara belum masuk dan tidak dijawabnya, jadi Livi engan untuk menanyakan kembali."Kamu lihat apa?" Seorang wanita terkejut saat ditegur suaminya. Ya, wanita itu yang tadi diperhatikan Asgara."Aku lihat Asgara, tapi kok di mobil Pak Lutfi ya?" tanya wanita tadi, namanya Lena."Hm, Asgara? Ini Jakarta, sayangku, kalau dia masih hidup, Asgara tidak mungkin nyasar ke sini, kita buang dia ke pelosok kampung loh," timpal suaminya Lena, Bram Permana.Lena terdiam, lalu dirangkul oleh Bram untuk masuk ke dalam.**Sementara Asgara dan Livi, mereka tidak saling bicara, sebab Asgara tengah memikirkan orang yang dilihatnya tadi. Ia kenal betul bahwa wanita tadi adalah kakak iparnya, dan pastinya ia datang bersama kakak dari Asgara.'Kenapa mereka ada di kantor papanya Livi?' Asgara masih kepikiran. "Kak, jangan ngela
Asgara tersenyum. "Om, maaf, bukannya saya lancang, tapi saya sungguhan belum hafal jalan rumah saya, yang kenal Papa juga belum banyak, karena kami baru tinggal di Bandung," jawab Asgara. Lutfi memicingkan matanya sambil ikut tersenyum. Lalu menepuk bahu menantu dadakannya itu. "Asgara, kamu itu sudah jadi menantu saya, panggil Papa lah, jangan Om, canggung sekali didengarnya," ejek Lutfi yang akhirnya membuat suasana mencair. Asgara menyunggingkan senyuman bahagia sambil bicara dalam hati, 'Ternyata keluarga Livi seasik ini, apalagi papanya, aku merasakan kasih sayang yang luar biasa, padahal aku ini bukan siapa-siapa.' "Asgara, kamu melamun?" Lutfi membuyarkan lamunan Asgara. "Nggak, Om, eh Pah maksudnya, saya--" Tiba-tiba Livi datang menghampiri mereka, sehingga Asgara tidak melanjutkan ucapannya. "Saya apa, Asgara?" tanya Lutfi. "Nggak, nggak jadi, Pah." Asgara mengusap rambutnya karena grogi. Livi yang baru saja bergabung mendekati sang papa. Ia melirik ke Asgar
“Nikahkan aku sekarang dengan dia, Pah. Nikah itu ibadah, biarkan aku beribadah, toh aku juga sering merepotkan keluarga,” ucap Livi. “Bukan begitu, Mah?” Matanya berpindah ke arah sang mama. Lutfi menyoroti Asgara. “Apa laki-laki ini memiliki identitas yang jelas, supaya saya bisa tahu alamat tinggalnya?” tanya Lutfi. “Dia dirampok, dan tidak membawa identitas, tapi saya yakin, Asgara adalah pria baik-baik,” kata ustadz. Lutfi memandang Asgara yang sedari tadi tidak menyanggah atau menyangkal apapun yang mereka bicarakan. Asgara menunduk ketika tahu bahwa ia sedang diperhatikan. “Kenapa kamu diam aja dari tadi?” tanya Lutfi. “Saya menghormati orang yang lebih tua bicara, Om,” timpal Asgara. Dari situ Lutfi sedikit kepincut dengan Asgara. “Keluarga kamu ada di mana?” tanya Lutfi. “Bandung, Om, tapi saya lupa alamatnya, karena kami baru saja pindah,” timpal Asgara. “Hm, mencurigakan sekali, bagaimana caranya kamu bisa meyakinkan saya jika kamu orang baik
“Kok nikah, ustadz? Saya tidak kenal laki-laki ini,” jawab Livi. Ustadz terdiam, ia percaya Livi tidak berbuat apa-apa dengan Asgara, tapi santri lain kadung melihat kejadiannya, dan resikonya akan diadukan ke orang tua mereka, hal ini yang ditakutkan, mereka pasti akan memindahkan anaknya ke pondok pesantren lain. Ditambah lagi, warga yang ikut menyaksikan mereka kepergok berduaan di dalam satu gubuk. “Ta-tapi nggak ada jalan lain kah, ustadz?” tanya Asgara. Ustadz menggelengkan kepalanya. “Penjengukan sudah kami undur, itu saya lakukan untuk meyakinkan santri di sini, bahwa saya bertanggung jawab atas kasus ini, dengan cara tidak melepaskan kalian ke luar pondok tanpa ada ikatan suci,” jelas ustadz. Asgara menghela napas panjang. Ia tidak menyangka bahwa ini terjadi padanya. Livi terdiam sambil menyandarkan tubuhnya, ia masih merasa keberatan. “Kasih kami waktu, ustadz,” ucap Livi. “Izinkan saya keluar menemui ustadzah, saya ingin bicara dengan ustadzah,” imbuh Li
Di dalam gubuk, Livi mencoba membuka pintu yang telah terkunci. Ia sangat ketakutan berada di dalam gubuk tua yang ruangannya hanya berukuran sempit. “Kenapa ini bisa terkunci begini? Ya Allah, apa ada orang di luar?” Dengan suara lembutnya Livi mencoba meminta bantuan. “Tolong, buka pintunya siapapun yang ada di luar,” pintanya lagi. Namun, tidak ada sahutan. Ismi yang mengganjal pintu gubuk dengan kokoh sudah pergi dari sana. “Kak. Bantu aku buat dobrak pintunya,”ucap Livi ketika melihat Asgara diam di tempat sembari menatap sekeliling ruangan. Namun, Asgara hanya menoleh pada gadis itu tanpa mengatakan apa pun. “Ya Allah, kenapa kamu santai banget, Kak? Kita sedang terkurung!" ucap Livi. Suaranya terdengar panik. Tiba-tiba kecurigaannya tentang Asgara kembali membayangi pikirannya. Asgara menghampiri Livi, tapi ia mencoba jaga jarak supaya tidak terlalu dekat dengan santriwati yang sangat lembut itu. "Di luar hujan. Sekalipun bisa keluar, percuma. Kita tetap tida
“Tolong … siapa pun tolong saya ….” Seorang gadis berhijab biru hingga menutupi dada menghentikan langkahnya ketika mendengar suara lirih saat ia berniat mengambil sayur di area perkebunan. Tubuhnya sedikit menegang, tapi ia kemudian segera beristighfar. Ia berniat melanjutkan langkahnya kembali, tapi suara itu kembali terdengar. Lirih, tapi berat seperti suara laki-laki. Dan sepertinya tengah kesakitan. “Asalamualaikum.” Akhirnya si gadis berhijab, Livina, menanggapi. “Siapa itu?” Hening menyapa pertanyaannya sebelum tiba-tiba suara itu kembali terdengar. Kali ini lebih keras. “Tolong, siapapun itu, tolong saya!” Merasa bahwa yang meminta tolong adalah benar manusia yang sedang dalam kesulitan, Liviana bergegas menghampiri sumber suara, di balik pepohonan rimbun di area perkebunan. “Astaghfirullah!” Liviana menutup mulutnya dan sedikit mundur ketika melihat ada sesosok pria, pria itu kini tengah terkapar di tanah, dengan luka di sekujur tubuhnya. Sepasang mata di