***
"Kenapa dia di bawa ke sini sih, Bu?! Bikin sakit mata aja."
"Bukan hanya sakit mata, Kak, sakit kepala juga dan ngga lama bakalan sakit hati."
Dina Amalia dan Dira Amalia, kakak beradik itu menatap tidak suka pada gadis ayu bernama Putri yang duduk menunduk di sisi Amalia, Ibunya.
Putri, 18 tahun yang memutuskan bekerja dari pada melanjutkan kuliah. Bukan karena biaya, lebih kepada tidak enak hati terlalu membebani keluarga tirinya.
Walaupun anak tiri, Amalia sangat menyayangi Putri. Pikiran wanita paruh baya itu sangat bijak membuatnya tidak pilih kasih. Namun, kedua anaknya tidak memiliki pemikiran yang sama. Mereka hanya tahu, Putri adalah anak haram dan pembawa sial karena terlahir dari perempuan selingkuhan Bapaknya.
"Din, ibu berat hati membiarkan Putri ngekos. Rumah kamu besar, pasti ada kamar kosong. Dira tinggal di sini, apa salahnya kalau Putri juga," ucap Amalia dengan lembut. Menghadapi dua anak kandungnya yang keras kepala, wanita itu harus bersikap lembut.
"Salah, Bu!" Dina berucap tegas. Ia menatap Putri yang masih menunduk, menatap tajam adik tirinya yang menunduk sembari meremas jemari.
"Salahnya di mana, Nak?" Amalia masih saja terus memelas. "Dira adikmu, Putri juga." Sambungnya.
Dina menghela napas. Sore-sore waktunya santai, malah harus merasakan hampir darah tinggi karena menghadapi kemauan Ibunya.
Tadi, saat ia dan Dira duduk santai di teras sambil menunggu suami tercintanya pulang, taksi berhenti depan pagar rumah. Tersenyum lebar saat melihat Ibunya turun dari kuda besi itu. Jarang sekali wanita tersayang mau datang berkunjung. Biasanya harus ada drama rengekan atau tipuan sakit, tetapi kali ini tanpa diminta. Sayang, senyuman lebar itu harus hilang saat seorang gadis yang ia benci turun juga dan berjalan bersisian dengan Ibunya.
Semakin datar wajah Dina saat Amalia mengutarakan niatnya datang yaitu untuk menitipkan Putri.
"Putri bukan adikku, Bu. Dina ngga bisa terima orang asing tinggal di rumah ini."
"Bu, biar dia ngekos aja kenapa? Udah besar gini. Cukup kecilnya aja nyusahin, besarnya tau diri kenapa. Bu, apa Ibu ngga mikir, dengan dia tinggal di sini, keluarga bahagia Kak Dina terancam."
"Maksud kamu apa, Dir?" tanya Amalia.
"Ibu jangan pura-pura ngga ngerti. Ibu jelas tau apa maksud Dira. Harusnya kita semua ngaca dari masa lalu. Gimana Ibunya dia merebut Bapak." Dira terus menyudutkan Putri. Tersenyum miring saat melihat dia yang dianggap anak pelakor itu menyeka air matanya.
"Astagfirullah, Dira, kamu ngga boleh berpikir begitu, Nak. Putri ngga mungkin melakukan itu." Amelia menggenggam tangan Putri. Ia menatap sendu Dira yang berbicara keterlaluan. Selalu itu kata-kata yang terucap untuk memojokkan adik tirinya.
"Antisipasi boleh, kan? Walaupun Ibu rawat dia dengan baik, beri pendidikan yang bagus, tetapi Ibu harus ingat, di darahnya itu mengalir darah Ibunya yang seorang pelakor. Bisa saja dia mengikuti jejak--"
"Dira, cukup, Nak!" Amalia merasa anak keduanya itu sudah sangat keterlaluan.
"Bu," panggil Putri. Gadis itu mendongak, menatap Amalia dengan mata merahnya. Ia tersenyum tipis, menggeleng menandakan cukup merendah untuknya. Jangan lagi membelanya. "Putri ngekos aja. Ada Mita, kok," ucapnya dengan air mata yang menetes. Niat dari awal ke kota adalah bekerja dan tinggal bersama Mita, sahabat terbaiknya dari kampung. Mereka berdua sudah saling berjanji, tetapi harus batal karena Amalia tidak mengijinkan, Ibu terbaik itu ingin anaknya hidup dalam pengawasan keluarga. Walaupun tidak sesuai dengan hati Putri, demi membalas budi, ia setuju. Walaupun, ia tahu bahwa hidupnya nantinya akan kembali seperti di neraka-banyak siksaan(batin)- yang pasti ia rasakan.
"Ngga, Put. Ibu ngga rela. Ibu akan tenang kalau ada yang mengawasi kamu." Amalia berucap sembari menyeka air mata Putri.
"Tapi, Bu--"
"Assalamualaikum." Ucapan salam membuat semua menoleh ke arah pintu. Radit Sanjaya, suami Dina datang.
"Waalaikumsalam."
"Sudah pulang, Mas?" tanya Dina sembari berdiri. Kemudian berjalan menghampiri suaminya, mencium tangannya takjim.
"Ya." Pria itu menatap seluruh orang yang berada di ruang tamu. "Loh, ada Ibu." Radit langsung menyalami Amalia dan duduk di sisi Dina. "Kapan datang, Bu?" tanyanya ramah. Walaupun Radit terlihat cuek dan sering bersikap dingin, ia sangat ramah pada orang tuanya dan mertua.
"Baru, Nak Radit. Maaf, ibu ada maksud datang ke sini."
"Apa, Bu?" tanya Radit. Ia melirik ke sisi Amalia, melihat Putri yang menunduk dan koper di sisinya. Ia yakin maksud yang mertuanya bilang itu ada hubungannya dengan gadis itu.
"Maaf sebelumnya, Nak Radit. Kedatangan ibu ke sini ingin menitipkan Putri. Dia ingin mencari kerja. Tadinya mau tinggal di Kosan, tetapi ibu tidak memberi izin. Dia baru di kota ini. Kalau tinggal di sini ibu tenang karena ada yang bisa memantau."
Radit mengangguk paham. Ia tahu Putri. Adik tiri istrinya yang pendiam. Yang selalu tidak ada saat mereka semua kumpul keluarga.
"Jangan mau, Mas. Nanti semua orang yang ada di rumah ini kena sial," ucap Dira yang membuatnya ditatap Radit. Pria itu tidak mengerti dengan arah ucapan adik iparnya. Sial? Memangnya adik tirinya punya kutukan mengerikan, kah?
"Aku juga ngga setuju, Mas. Mau dipantau atau ngga, darah pelakor sudah mengalir dan mendarah daging, jadi ngga bisa dihilangin dengan pantauan ketat sekalipun," ucap Dina sembari menatap Putri tajam.
Putri mengigit bibir bawahnya. Sakit sekali hatinya. Namun, genggaman erat Amalia membuatnya bertahan.
"Bu, Ibu mikir ngga, sih! Dengan dia tinggal di sini, dia memang tidak mengait suami orang diluar sana, tapi mengait pria di dalam rumah ini, yaitu Mas Radit. Ibu mau Kak Dina mengalami nasib seperti Ibu?" pertanyaan Dira menyentil hati semua orang yang berada di ruang tamu itu.
Dina semakin menatap tajam Putri.
Radit pun menatap Putri dalam diam.Amalia menutup mata. Mengenggam semakin erat tangan Putri. Pedih hatinya saat anak yang tidak tau apa-apa harus mendapat hukuman atas kesalahan kedua orang tuanya. Ia tahu ini akan terjadi, tetapi niat agar Putri mendapat pantauan supaya tidak salah bergaul membuatnya egois. Dalam hati, ia terus mengucapkan kata maaf untuk anak tirinya itu. Sedangkan Putri, gadis itu berusaha mengatur napasnya. Dadanya terasa sesak."Bu," panggil Radit.
Amalia membuka mata, menatap sendu menantunya.
"Putri boleh tinggal di sini."
Amalia tersenyum. Namun, mata Dina dan Dira membulat sempurna.
"Mas, kenapa dibolehin?" tanya Dina yang tidak terima.
"Iya, Mas. Nanti kalau mas digaet dengan dia gimana?" Dina ikut berargumen.
Radit menatap Putri yang juga menatapnya. Terlihat tatapan gadis itu seperti tidak percaya. Ya, Putri tidak percaya ia akan diperbolehkan tinggal di sini. Pasalnya dua Kakaknya menolak, tetapi Kakak iparnya malah menerima. Bingung saja.
"Mas, pokonya aku ngga setuju," ucap Dina. "Ibu, segera bawa Putri pergi dari rumahku."
"Dek, ngga boleh seperti itu." Radit menegur Dina yang kasar. "Dira boleh tinggal di sini, Putri juga adekmu, kan, biarkan dia juga tinggal di sini."
"Ngga, Mas. Nantinya pasti akan banyak masalah."
"Din, selagi kita bisa mewujudkan permintaan orang tua, kenapa ngga kita lakuin. Kamu juga jangan pernah menghakimi seseorang seperti itu, ngga baik." Radit memberi pengertian buat istrinya.
"Tapi, Mas--"
"Cukup! Mas kepala keluarga, mas yang mengambil keputusan. Putri tinggal di sini. Dia juga keluarga kita. Dia anak Ibu, adikmu, adik iparku. Biar sedikit, aku punya tanggung jawab atas dia. Putri akan mendapatkan hak sama seperti Dira."
Dina terdiam, ia menatap tajam Putri. Tangannya mengepal. Ingin sekali menjambak rambut gadis itu.
"Makasih, nak Radit. Ibu berhutang budi sama kamu, Nak."
"Bu, jangan seperti itu. Apapun yang membuat Ibu bahagia, selagi itu bisa Radit wujudkan, akan terwujud."
Amalia tersenyum lebar. Ia merangkul Putri yang menunduk lagi. Mendengar ia diterima di rumah ini, bulu kuduknya berdiri. Ia merinding. Apalagi, tatapan tajam dua kakaknya yang mematikan, membuatnya merasa berada di situasi horor.
Dina berdiri, menatap tajam pada Amalia. "Bu, kalau sampai terjadi apa-apa dengan keluargaku karena Putri, Ibu yang harus bertanggung jawab!" Setelah mengucapkan kalimat penuh penekanan itu, Dina dengan tidak sopan berjalan pergi ke kamarnya.
****
Ceklek! Saat pintu terbuka, mata Radit langsung bertatapan dengan mata Dina yang tajam. Wanita itu duduk di tepi ranjang. "Dek, jangan begitu sama ibu." Radit langsung menegur. Sikap istrinya sangat tidak sopan. Pria itu sedikit malu karena merasa gagal mendidik. "Mas jahat, tau ngga!" Dina mengalihkan pembicaraan, membuat Radit yang tengah membuka kancing kemejanya menghentikan aktifitas. Kemudian menatap Istrinya. "Jahat kenapa?" "Kenapa Putri dibolehkan--" "Masih bahas itu. Astaga, Din. Putri adek kamu. Apa salahnya--" "Mas tau jelas kalau dia itu bukan adik kandung aku. Aku benci dia. Dia anak pelakor, Mas! Mas sadar, dengan masuknya dia ke rumah kita, terancam sudah keluarga kita." Radit menghela napas. Ia lelah, bertambah lelah saat istrinya marah-marah. Dina terlalu memojokkan Putri dan menurutnya itu tidak baik.
*** Putri berjalan di belakang Amalia menuju ke ruang makan untuk sarapan bersama. Sebenarnya gadis itu enggan karena insiden semalam, saat Dina dan Dira menolak makan bersama dengannya, akhirnya Radit dengan tegas memarahi dua orang itu. Ia merasa tidak enak hati dan meyakini setelah ini pembalasan dendam pasti terjadi. "Bu, Putri, silahkan duduk," ucap Radit ramah. Bukan sok ramah, pria itu tau betul bagaimana harus bersikap dengan orang tua. "Makasih, Nak Radit. Ayo, Put." Amalia menarik tangan Putri. Mereka pun duduk bersisian di sisi Diana, berhadapan dengan Radit, Dina dan Dira. Dua wanita dewasa itu menatap sinis pada Putri, membuat gadis itu hanya bisa menunduk, bukan takut, tetapi menghormati, biar tidak dikatai menantang masalah. "Nanti Ibu biar Radit yang antar, ya, sekalian searah sama kantor dan sekolah Diana," ucap Radit ramah. Ia mengambil piring sodoran Istrinya yang sudah penuh nasi dan lauk pauk, mengucap terima kasih dengan se
***Putri merasa dillema. Ini sudah sore, pasti sebentar lagi semua penghuni rumah akan pulang melepas lelah dan ia yang seharian berada di rumah tidak tahu harus memasak atau tidak. Mau memasak, takut ditegur karena menyentuh barang milik Kakaknya. Parahnya, kalau disangka mau menguasai rumah ini. Tidak memasak, malu rasanya jika mereka pulang dengan rasa lelah dan mungkin saja lapar, saat membuka tudung saji, nyatanya tidak berisi. Gadis itu pun mengelus perutnya yang keroncongan. Ia hanya sarapan, belum makan siang.Putri berdiri dan berjalan ke arah pintu kamar, menempelkan telinganya di daun pintu, mendengar suara Diana berbicara. Namun, ia urung keluar."Mama, laper," ucap Diana merengek.Dina yang baru saja mendaratkan bokong di sofa ruang tamu, berdiri lagi, berjalan ke arah dapur. Ruangan itu bersih dan rapi, hanya saja saat ia membuka tudung saji di atas meja makan, kosong, tidak berisi. Rasa lap
***"Sayang, bukannya tadi ada yang masak, baunya wangi sekali, kok kita sarapan pakek roti?" tanya Radit. Ia merasa heran."Oh, itu ... anu ... kata Dira, masakan yang tadinya buat sarapan dijatuhi cicak, jadi dibuang." Dengan gagap, Dina mampu menyelesaikan kalimat kebohongan. Dia segera mengoles selai Kacang di atas roti, menumpuk dengan satu roti lagi, setelahnya menyerahkan pada suaminya."Makasih, Sayang." Radit mengigit rotinya. "Emang tadi pagi kamu masak apa, Dir?" tanya Radit sembari menatap Dira yang sedang mengoles selai stroberi ke rotinya."Em ... itu ... Mas, anu ....""Ya ampun, saking mikir keras tentang pelajaran kuliah, sampe jadi pelupa gitu. Tadi kamu masak ayam kecap, kan?" Dina mengedipkan sebelah matanya untuk kode."Oh, iya Mas. Aku masak ayam kecap. Karena cicak, jadi dibuang." Dira tersenyum paksa. Kakaknya itu menjengkelkan, masa mengajak membuat kebohongan tanpa kompromi dulu."Oh. Padahal dari
*** Putri berjalan penuh semangat ke arah pintu rumah yang terbuka. Tadi, ia dan Mita sudah menaruh berkas lamaran pekerjaan, setelahnya jalan-jalan keliling mall dan makan bakso sebelum pulang, jadi saat nanti tidak ikut makan malam, ia tetap bisa tidur tanpa ganguan kelaparan. "Assalamualaikum," ucapnya sembari melangkah masuk. Namun, senyum dan semangatnya luntur saat melihat Dira dan Dina yang duduk si sofa, melipat tangan di dada dan menatapnya dengan tajam. Putri mematung di depan pintu. Tubuhnya seakan sulit digerakkan. Ia merasa seperti pencuri yang ketahuan. "Assalamualaikum." Suara dari belakang Putri membuat gadis itu, bahkan Dira dan Dina menatap Radit yang memasuki rumah. "Waalaikumsalam." Seperti biasa, Dina berdiri, menghampiri dan menyambut kedatangan suaminya dengan aksi cium tangan. "Udah pulang, Mas?" Pertanyaan bodoh dari mulut D
***Pagi ini Putri menjalani perannya sebagai pembantu. Ia bangun subuh, setelah menjalankan dua rakaat, langsung beberes. Mencuci piring, menyapu, ngepel, siram bunga. Kemudian ia mencuci baju. Sudah ada 2 keranjang penuh cucian kotor di depan mesin cuci. Perpaduan baju Dira, Dina, Radit dan Diana."Sabar, Put," ucapnya menguatkan. Ia menyeka dulu keringat di keningnya, setelahnya memasukan sebagian demi sebagian pakaian ke mesin. Mulai menggiling, membilas dan memasukkan ke mesin pengering, setelahnya menjemur di samping rumah.Selesai.Putri melakukan kerjaan itu dengan semangat, membuat tubuhnya terasa segar karena sekalian berolah raga.Gadis itu masuk ke dalam rumah, ke kamarnya, memutuskan untuk mandi. Namun, diurungkan ketika ada ketukan di pintu."Aunty."Itu suara Diana."Ya, tunggu," ucapnya sembari berjalan ke arah pintu.Ceklek!Putri melihat Diana yang masih memakai baju tidur
***"Kak, tadi si Putri ketawain aku ngga?" tanya Dira. Karena tidak ada Dosen, ia memilih ke Butik Kakaknya."Ngga tau. Males kakak liat mukanya," ucap Dina sembari sibuk dengan laptopnya. Hari ini pesanan pakaian batik couple keluarga via online sangat banyak. Ia sedang mengecek alamat pelanggannya satu persatu."Mana mas Radit ngebela. Aduh, Kak, siaga dong. Tuh, mas Radit udah mulai membela. Besok-besok apa lagi," ucap Dira.Dina menghentikan aktifitasnya, beralih menatap Adiknya yang duduk di sofa, wajah gadis itu terlihat kesal. "Mas Radit ngga mungkin berpaling. Kurang apa kakak sampai dia melakukan itu?" tanyanya.Dira mendengkus. Buatnya, Dina memang tidak ada kekurangan. Cantik, putih, pintar bisnis dan seksi. Ia lagi-lagi merasa iri."Lagian, mas Radit itu tipe suami setia dan penurut. Emang selama kamu tinggal di rumah, pernah dengar kabar huruk tentang dia den
***"Mas, besok aku bawa teman-teman sosialita aku ke sini, boleh? Mau arisan," tanya Dina. Mereka semua, termasuk Putri, sedang makan malam."Biasanya arisannya di luar, Yang. Kok tumben kali ini di rumah?" tanya Radit, setelahnya menyuapkan nasi bercampur opor ayam ke dalam mulutnya. Mengunyah perlahan sambil terus menatap manis wajah glowing istrinya."Nyari suasana baru aja. Bosen kalau selalu di luar. Pada minta di rumah kita, mau lihat keharmonisan keluarga kita," ucap Dina. Wanita itu melirik Dira dan saling bertukar senyuman."Boleh, tapi besok mas mau jenguk ibu. Kirain mumpung hari libur, kamu bisa ikut. Padahal ngga bisa." Suara Radit terdengar kecewa. Ia ingin sekali-sekali bertiga dengan Dina menengok Ibunya yang sudah tua dan sakit-sakitan, bukan hanya berdua terus sama Diana."Maaf ya, Mas. Udah janjian masalahnya. Nengoknya bisalah kapan-kapan. Ibu sehat, sehat juga, kan. A
***"Ibu besok mau pulang ya Nak Radit," ucap Amalia saat mereka semua, Dina, Dira, Diana, dirinya dan Radit tengah makan malam bersama."Kok cepat, Bu? Baru juga seminggu," ucap Radit menatap mertuanya."Udah kelamaan ibu di sini. Diana udah sehat, ibu punya tanggung jawab di kampung. Jadinya harus pulang." Amalia menatap Diana yang sedang makan dalam diam."Kalau gitu besok Radit antar ke terminal," ucap Pria itu setelah minum air mineral. Dia sudah selesai makan."Iya. Makasih, Nak." Amalia tersenyum manis. Kembali melahap makanannya.Dina dan Dira, dua wanita itu tidak ada respon apapun tentang momen izin pamit ibunya. Terlalu fokus menikmati makanan lezat yang terhidang di atas meja."Diana, mau nambah, Sayang?" tawar Radit.Diana tidak menjawab. Namun, gadis kecil itu menggeleng.Radit menghela napas. Semenjak pulang
***"Pa, aunty Putri belum datang?" tanya Diana. Rasa rindu dua hari tidak bertemu sudah tidak bisa dibendung lagi."Belum, Sayang. Sebentar lagi. Mungkin masih di jalan. Sabar, ya." Radit mengusap puncak kepala anaknya. "Papa cari makan dulu, ya? Diana mau makan apa?" tanyanya."Terserah Papa aja.""Ya sudah. Papa keluar dulu. Kamu sama Mama."Diana mengangguk. Gadis yang duduk bersandar di bantal itu tersenyum manis pada Papanya.Radit membalas senyuman anaknya itu. Pria itupun berdiri dan berjalan ke pintu. Namun, menghentikan langkah dan menoleh ke arah sofa. Melihat istrinya yang sibuk dengan ponselnya."Di, titip anakku," ucap Radit yang sukses mengambil perhatian Dina wanita itu menatap ke arah suaminya yang sudah kembali melangkah keluar ruangan. Alis matanya bertaut. Titip anakku? Bukannya Diana juga anaknya? Aneh sekali suaminya.
***Putri mengajak Tama ke rumah sakit lagi. Kali ini dia ingin melihat sendiri alias mengintip, memastikan kalau keponakannya itu baik-baik saja."Kita ngga bawa buah tangan?" tanya Tama. Mereka baru saja sampai di parkiran."Ngga usah, Mas. Cuma pengen liat aja. Habis itu pulang." Setelah berbicara, Putri keluar dari mobil, begitu juga Tama."Elo sayang banget sama dia, ya."Putri mengangguk setuju. "Diana itu adalah teman pertamaku di kota ini, Mas.""Kalau gue yang keberapa?" tanya Tama iseng.Putri menoleh. Kemudian tersenyum lebar. "Mas yang ke tiga. Pertama, Diana. Kedua itu mas Radit."Tama mengangguk. "Oke. Ya udah, ayo kita masuk," ajaknya."Ayo, Mas." Putri mengangguk dan mereka berdua pun beriringan berjalan masuk ke bangunan rumah sakit."Kalau elo ketahuan?" tanya Tama.Putri
***Tama menjemput Putri setelah menelepon. Sesuai janji semalam, mereka menuju ke toko pakaian bayi. Masuk beriringan dan kini berhadapan dengan berbagai pakaian bayi yang terlihat imut tersusun rapi di rak."Kalau adik Mas Tama beneran perempuan, pakaiannya yang ini aja, imut." Putri menunjuk setelan baju tidur bergambar panda."Boleh." Tama mengambil dua lembar. "Yang mana lagi yang bagus?" tanyanya."Ini juga bagus." Putri kembali menunjuk. Namun, kali ini jaket bulu warna pink. "Ini, ini dan ini." Gadis itu sekarang bukan hanya menunjuk, tetapi sudah mengambil topi, sepatu, kaos kaki yang menurutnya imut dan itu mengundang senyum Tama."Aku ambil troli dulu," ucap Tama dan Putri mengangguk. Gadis yang ditinggal itu kembali mengambil satu jaket lagi dan beberapa topi dan kaos kaki."Put," panggil Tama. Pria itu sungguh cepat. Kini sudah berada di belakang Putri bersama
***Radit mengecup kening Dina yang cemberut, setelahnya pria itu keluar dari ruangan anaknya, pulang ke rumah untuk bersiap berangkat kerja. Ada meeting penting yang harus dihadiri dan berjanji setelah selesai, akan langsung menemui Diana lagi."Ma, mau pipis." Diana berkata pada Dina yang berada di depan pintu. Walaupun kesal, wanita itu tetap mengantar kepergian suaminya dan mengiyakan saat pria tercinta mengatakan untuk baik-baik menjaga anak mereka."Mama mau cari makan. Kamu pipis sendiri saja." Dina masuk kembali ke ruangan hanya untuk mengambil ponsel dan tas selempang, setelahnya berjalan keluar. Kekesalan tadi malam masih berefek sampai pagi ini dan melihat Diana, membuatnya teringat Bagas, ayah biologisnya yang seenaknya meninggalkannya saat sedang mengandung dan sekarang datang disaat dia sudah move on juga bahagia. Menurutnya, sifat anak dan bapak itu sama aja. Sama-sama menyebalkan.***
***"Kak Dina belum masuk ruangan?" tanya Putri saat dia kembali dari toilet."Belum? Emang dia ngga ada di dalam?" tanya Mita yang heran dengan pertanyaan Putri."Tadi hampir ketemu di toilet. Untung cepat sembunyi," ucap Putri."Kenapa harus sembunyi?" tanya Tama. "Hadapi aja. Kalau perlu bantuan, gue bantu."Putri tersenyum. Entah dengan cara apa berterima kasih dengan pria tampan ini. "Bukan sekarang. Keadaan masih panas. Sekarang Mas Tama masuk dan serahin boneka serta makanan itu. Aku sama Mita tunggu di mobil.""Ya udah." Tama mengangguk. Kemudian segera berjalan ke ruangan Diana. Sedangkan Putri menarik tangan Mita menuju parkiran.**Tama mengetuk. Kemudian membuka pintu perlahan. Matanya langsung beradu dengan mata Radit, setelahnya Diana."Selamat malam, Mas, Diana," ucap Tama ramah."Om baik,"
***Putri mengajak Mita ke toko boneka. Rencananya dia mau membeli boneka panda buat keponakannya itu. Dia yang tidak bisa menemani, berharap pemberiannya bisa."Put, kamu ngga ada niat mau pindah kota, kan?" tanya Mita. Sahabatnya itu kekeh mengajaknya membeli barang kenang-kenangan."Ngga tau, Mit. Pikir nanti aja. Kita beli aja dulu boneka, habis itu antar ke rumah sakit dan pulang. Kamu pasti udah ngantuk." Putri membuka pintu Toko boneka. Langsung melihat sekeliling. Banyak sekali boneka dengan berbagai ukuran."Beli yang kecil aja. Biar bisa dibawa-bawa," ucap Mita."Iya, tapi ngga kecil-kecil banget.""Iya. Mau boneka apa?" tanya Mita."Panda aja. Gemuk tuh, ya, jadi enak di peluk.""Kayak gue dong?""Bener." Putri menyengir. Setelahnya, Gadis itu menggandeng Mita. Menariknya menuju rak pojok. Mengambil boneka panda
***Putri menarik Mita untuk bersembunyi dibalik tembok. Saat berbelok, matanya langsung melihat Dina dan Dira berdiri berhadapan, terlihat serius mengobrol di depan ruangan Diana di rawat."Kenapa?" tanya Mita yang kaget."Ada kak Dira dan Dina," ucap Putri. Gadis itu kini sedang mengintip. Jarak yag tidak jauh membuatnya bisa sedikit mendengar percakapan dua orang itu."Maksud kamu apa sok perhatian sama Diana dan mas Radit?"Alis mata Putri bertaut. Dina bertanya sinis pada Adik tersayangnya. Kok tumben?"Perhatian sama ipar dan ponakan bukannya wajar, Kak?" tanya Dira santai."Ngga wajar. Harusnya kamu abai. Perhatian buat mereka cukup kakak yang kasih. Liat, gara-gara kamu mas Radit nyinggung kakak."Dira mendengkus. "Kakak abai, sih. Masak anaknya sakit malah duduk di sofa dan main ponsel. Ya udah, gue sebagai aunty yang baik, kasih
***"Put, kamu belum tidur?" tanya Mita. Gadis gemuk itu baru saja pulang dari kerja. Wajah lelahnya nampak jelas. Langsung menuju kamar mandi tanpa mendengar jawaban dari Putri yang duduk di atas kasur sembari melihat ponsel di depannya.Putri menghela napas. Dia mengambil ponsel, menatap sendu. Kemudian meletakkan lagi benda pipih itu ke atas kasur. Dia dari tadi sedang bimbang antara mengaktifkan ponsel apa tidak. Aktif, berarti siap menghadapi apapun. Telepon dari Dina, Dira dan ibu Amalia, tetapi tidak mengaktifkan, dia ingin tau kabar tentang Diana."Put, kenapa belom tidur?" tanya Mita yang baru keluar dari kamar mandi. Gadis gemuk itu terlihat segar. Selesai mandi.Putri menghela napas. "Menurutmu, apa yang aku lakukan ini benar, Mit?" tanya gadis itu sembari menatap sahabatnya.Mita duduk bersila di depan Putri. Sambil menggosok rambut basahnya, gadis itu tersenyum. "Bener pakek b