Beranda / Romansa / Mencintai Kakak Ipar / Bagian 3 : Di Rumah Sendirian

Share

Bagian 3 : Di Rumah Sendirian

Penulis: Kaka Put
last update Terakhir Diperbarui: 2021-06-17 00:39:49

***

Putri berjalan di belakang Amalia menuju ke ruang makan untuk sarapan bersama. Sebenarnya gadis itu enggan karena insiden semalam, saat Dina dan Dira menolak makan bersama dengannya, akhirnya Radit dengan tegas memarahi dua orang itu. Ia merasa tidak enak hati dan meyakini setelah ini pembalasan dendam pasti terjadi. 

"Bu, Putri, silahkan duduk," ucap Radit ramah. Bukan sok ramah, pria itu tau betul bagaimana harus bersikap dengan orang tua.

"Makasih, Nak Radit. Ayo, Put." Amalia menarik tangan Putri. Mereka pun duduk bersisian di sisi Diana, berhadapan dengan Radit, Dina dan Dira. Dua wanita dewasa itu menatap sinis pada Putri, membuat gadis itu hanya bisa menunduk, bukan takut, tetapi menghormati, biar tidak dikatai menantang masalah.

"Nanti Ibu biar Radit yang antar, ya, sekalian searah sama kantor dan sekolah Diana," ucap Radit ramah. Ia mengambil piring sodoran Istrinya yang sudah penuh nasi dan lauk pauk, mengucap terima kasih dengan senyuman dan kembali menatap Amalia.

"Makasih, Nak. Maaf, ibu merepotkan."

"Tidak sama sekali, Bu. Ya sudah, Ibu silahkan makan."

"Iya, Nak."

Sarapan pagi pun berlangsung, tanpa ada percakapan, hanya sorot mata tajam Dira dan Dina yang terus mengarah pada Putri. Membuat gadis itu tidak nyaman, tetapi tetap menikmati sarapan karena ini adalah rezeky dari Tuhan.

**

Amalia melepas pelukan. Putri menghela napas berat. Ia menarik napas, menyeka air matanya. Kemudian menatap dengan senyuman manis wajah Ibunya. Sedih sekali akan ditinggal. Namun, keputusan untuk bekerja sudah bulat. Bersabar sedikit lagi menghadapi dua kakak tirinya, setelah ia mendapat gaji dari tempat kerja, akan menyisihkan sedikit untuk membeli rumah biar secepatnya bisa pindah.

"Jaga diri baik-baik," ucap Amalia. Tidak bisa dipungkiri, ia juga sedih berjauhan dari Putri. Pada biasanya mereka akan bersama-sama terus setiap hati. Setelah ini, di rumah kampungnya sana pasti terasa sepi. Hidup sendiri tanpa siapapun menemani.

"Ibu juga jaga diri baik-baik. Jaga kesehatan. Kalau ada apa-apa, kabarin Putri." Air mata gadis itu mengalir deras. Ibu tiri rasa kandung itu sangat berarti buatnya.

"Iya." Amalia beralih menatap Dira dan Dina yang menatapnya dengan malas. Mungkin drama perpisahannya dengan Putri membuat mereka sakit mata, tetapi jujur, berat hati meninggalkan Putri diantara anak-anaknya yang punya sifat pembenci. Seketika ia merasa bersalah dengan ide konyol ini.

"Putri akan baik-baik saja di sini, Bu. Ibu tenang saja." 

Ucapan Radit membuat Amalia menatapnya. Kemudian tersenyum. Ada perasaan lega. Ia berharap kata-kata itu adalah sebuah janji.

Amalia kembali menatap Dira dan Dina. "Ibu pulang dulu. Ibu titip Putri."

Dira dan Dina tidak menjawab.

"Ibu hati-hati," ucap Dina.

"Jaga diri baik-baik," ucap Dira.

"Iya, Nak. Makasih atas perhatian kalian. Ibu pamit." Amalia memeluk Dina dan Dira bergantian. Kemudian memeluk cucunya.

"Cucu nenek sehat terus, rajin belajar dan bahagia selalu, ya."

"Baik, Nek." Diana menjawab mantap dengan senyuman lebar.

"Kita berangkat, Bu," ajak Radit.

"Ya."

"Mas berangkat, Sayang," ucap Radit pada Dina. Pria itu mengulurkan tangan. Sang istri menyalami dengan takjim, memberi senyuman. Kemudian kecupan di pipi sang suami.

"Hati-hati, Mas. Jaga mata juga hati," ucapnya manja.

"Iya." Radit tersenyum. Ia mengecup kening istrinya. Kemudian berjalan ke arah mobil bersama Amalia dan Diana yang sekalian mau berangkat sekolah.

"Dadah!" Dina melambai saat mobil keluar dari garasi, setelahnya berbalik menatap Putri yang sejak tadi juga memperhatikan kuda besi yang membawa ibunya. Tangannya ingin melambai, tetapi diurungkan, takut kalau Kakaknya salah paham.

"Lihat keharmonisan hubungan kami, kan? Ngga ada celah buat pelakor!" Dina berucap sembari mendorong dada Putri mengunakan jari telunjuk, setelahnya ia dan Dira masuk ke dalam rumah. 

Putri diam mematung. Ia tidak mengerti apa maksud ucapan Kakaknya. Pelakor? Ia bukan pelakor, hanya anak seorang pelakor.

***

Rasa sepi membuat Putri ingin menangis. Dira sudah berangkat ke kampus. Sedangkan Dina, Kakaknya itu sudah berangkat ke Butik.

Gadis itu sudah memasukkan pakaiannya ke lemari. Entah, apa yang harus dilakukan lagi untuk membunuh kejenuhan.

Dreet!

Ponselnya bergetar. Ia segera mengambil dan menerima telepon dari Mita, sahabatnya.

"Hallo, Assalamualaikum," ucapnya membuka obrolan.

"Waalaikumsalam. Kamu baik-baik saja, kan?" 

Pertanyaan Mita membuat Putri tersenyum. Perhatian sahabatnya itu tidak berkurang sedikitpun.

"Baik. Kamu?"

"Ngga. Aku kepikiran kamu terus. Janjian mau sama-sama, kok malah pisah."

"Kemauan ibu aku. Ngga bisa nolak." Putri beranjak berdiri. Berjalan ke arah jendela, melihat keluar. Tidak ada pemandangan bagus, hanya tembok pagar yang menjulang tinggi.

"Karena mau balas budi? Ya Allah, kamu kok yo bisa setabah itu, Put." Mereka berangkat satu angkot dan berpisah setelah sampai di terminal. 

"Ya harus. Ibu aja tabah ngurus aku dari kecil, padahal aku anak selingkuhan suaminya." 

"Ya udah, mau cari kerja kapan?" tanya Mita.

"Besok aja. Hari ini mau istirahat dulu."

"Hati kamu sakit, kan?"

Putri tersenyum. Mita sahabatnya, tidak kaget kalau dia tahu seluk beluk kehidupannya.

"Put, Put, padahal udah dua tahun hati dan telinga kamu aman. Malah sekarang mau-maunya kembali ke momen penderitaan." 

Selama 2 tahun, saat Dira lulus dan memutuskan kuliah di kota, hari-hari Putri sangat baik. Telinga dan hatinya aman dari sindiran pedas bahkan bullyan kakak tirinya itu.

"Mau di apa, Mit. Semoga kita cepat dapat kerja, aku bisa nyisikan uang buat beli rumah."

"Aamiin. Put, mumpung di kota, kenapa ngga sekalian nyari ibu kandungmu?" tanya Mita.

Putri terdiam. Sejak bayi bersama Amalia, ia tidak tau seperti apa wajah Ibu kandungnya. Tidak ada jejak yang ditinggalkan pula. Mustahil untuk mencarinya.

"Mita, ibu aku ... ibu Amalia. Ya sudah, sepertinya aku mau jalan-jalan ke dapur. Mau cari kerjaan. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

Komunikasi berakhir. Putri menghela napas. Ada rasa ingin bertemu dengan Ibu kandung, tetapi kemustahilan mereka akan bertemu membuat gadis itu enggan memikirkan. Lagian, ia cukup dengan Ibu Amalia, tidak ingin Ibu yang lainnya.

Putri menaruh ponsel di atas kasur. Ia pun berjalan ke luar kamar, menuju dapur. Pertama, ia mencuci piring bekas sarapan, setelahnya menyapu dapur, ruang tamu, kamarnya dan teras. Kemudian dilanjutkan ngepel. Terakhir, menyiram bunga di teras yang hampir layu. Setelah selesai, ia mandi dan memutuskan rebahan di kamar. 

Gadis itu ingin menonton televisi, seperti saat di rumah kampung, selalu membunuh kejenuhan dengan nonton film kartun, sayangnya ia tidak berani memakai fasilitas elektronik di rumah ini. Tahu diri kalau statusnya hanya menumpang, tidak ingin pula dibilang lancang.

Putri menghela napas. Ia merasa kesepian. Ya, kesepian, disaat rumah sebesar ini hanya ada dirinya seorang. Huft!

****

Bab terkait

  • Mencintai Kakak Ipar   Bagian 4 : Serba Salah

    ***Putri merasa dillema. Ini sudah sore, pasti sebentar lagi semua penghuni rumah akan pulang melepas lelah dan ia yang seharian berada di rumah tidak tahu harus memasak atau tidak. Mau memasak, takut ditegur karena menyentuh barang milik Kakaknya. Parahnya, kalau disangka mau menguasai rumah ini. Tidak memasak, malu rasanya jika mereka pulang dengan rasa lelah dan mungkin saja lapar, saat membuka tudung saji, nyatanya tidak berisi. Gadis itu pun mengelus perutnya yang keroncongan. Ia hanya sarapan, belum makan siang.Putri berdiri dan berjalan ke arah pintu kamar, menempelkan telinganya di daun pintu, mendengar suara Diana berbicara. Namun, ia urung keluar."Mama, laper," ucap Diana merengek.Dina yang baru saja mendaratkan bokong di sofa ruang tamu, berdiri lagi, berjalan ke arah dapur. Ruangan itu bersih dan rapi, hanya saja saat ia membuka tudung saji di atas meja makan, kosong, tidak berisi. Rasa lap

    Terakhir Diperbarui : 2021-06-17
  • Mencintai Kakak Ipar   Bagian 5 : Ide Buruk

    ***"Sayang, bukannya tadi ada yang masak, baunya wangi sekali, kok kita sarapan pakek roti?" tanya Radit. Ia merasa heran."Oh, itu ... anu ... kata Dira, masakan yang tadinya buat sarapan dijatuhi cicak, jadi dibuang." Dengan gagap, Dina mampu menyelesaikan kalimat kebohongan. Dia segera mengoles selai Kacang di atas roti, menumpuk dengan satu roti lagi, setelahnya menyerahkan pada suaminya."Makasih, Sayang." Radit mengigit rotinya. "Emang tadi pagi kamu masak apa, Dir?" tanya Radit sembari menatap Dira yang sedang mengoles selai stroberi ke rotinya."Em ... itu ... Mas, anu ....""Ya ampun, saking mikir keras tentang pelajaran kuliah, sampe jadi pelupa gitu. Tadi kamu masak ayam kecap, kan?" Dina mengedipkan sebelah matanya untuk kode."Oh, iya Mas. Aku masak ayam kecap. Karena cicak, jadi dibuang." Dira tersenyum paksa. Kakaknya itu menjengkelkan, masa mengajak membuat kebohongan tanpa kompromi dulu."Oh. Padahal dari

    Terakhir Diperbarui : 2021-06-19
  • Mencintai Kakak Ipar   Bagian 6 : Jadi Pembantu

    *** Putri berjalan penuh semangat ke arah pintu rumah yang terbuka. Tadi, ia dan Mita sudah menaruh berkas lamaran pekerjaan, setelahnya jalan-jalan keliling mall dan makan bakso sebelum pulang, jadi saat nanti tidak ikut makan malam, ia tetap bisa tidur tanpa ganguan kelaparan. "Assalamualaikum," ucapnya sembari melangkah masuk. Namun, senyum dan semangatnya luntur saat melihat Dira dan Dina yang duduk si sofa, melipat tangan di dada dan menatapnya dengan tajam. Putri mematung di depan pintu. Tubuhnya seakan sulit digerakkan. Ia merasa seperti pencuri yang ketahuan. "Assalamualaikum." Suara dari belakang Putri membuat gadis itu, bahkan Dira dan Dina menatap Radit yang memasuki rumah. "Waalaikumsalam." Seperti biasa, Dina berdiri, menghampiri dan menyambut kedatangan suaminya dengan aksi cium tangan. "Udah pulang, Mas?" Pertanyaan bodoh dari mulut D

    Terakhir Diperbarui : 2021-06-19
  • Mencintai Kakak Ipar   Bagian 7 : Momen Kesiangan

    ***Pagi ini Putri menjalani perannya sebagai pembantu. Ia bangun subuh, setelah menjalankan dua rakaat, langsung beberes. Mencuci piring, menyapu, ngepel, siram bunga. Kemudian ia mencuci baju. Sudah ada 2 keranjang penuh cucian kotor di depan mesin cuci. Perpaduan baju Dira, Dina, Radit dan Diana."Sabar, Put," ucapnya menguatkan. Ia menyeka dulu keringat di keningnya, setelahnya memasukan sebagian demi sebagian pakaian ke mesin. Mulai menggiling, membilas dan memasukkan ke mesin pengering, setelahnya menjemur di samping rumah.Selesai.Putri melakukan kerjaan itu dengan semangat, membuat tubuhnya terasa segar karena sekalian berolah raga.Gadis itu masuk ke dalam rumah, ke kamarnya, memutuskan untuk mandi. Namun, diurungkan ketika ada ketukan di pintu."Aunty."Itu suara Diana."Ya, tunggu," ucapnya sembari berjalan ke arah pintu.Ceklek!Putri melihat Diana yang masih memakai baju tidur

    Terakhir Diperbarui : 2021-06-20
  • Mencintai Kakak Ipar   Bagian 8 : Ide Buruk Lagi

    ***"Kak, tadi si Putri ketawain aku ngga?" tanya Dira. Karena tidak ada Dosen, ia memilih ke Butik Kakaknya."Ngga tau. Males kakak liat mukanya," ucap Dina sembari sibuk dengan laptopnya. Hari ini pesanan pakaian batik couple keluarga via online sangat banyak. Ia sedang mengecek alamat pelanggannya satu persatu."Mana mas Radit ngebela. Aduh, Kak, siaga dong. Tuh, mas Radit udah mulai membela. Besok-besok apa lagi," ucap Dira.Dina menghentikan aktifitasnya, beralih menatap Adiknya yang duduk di sofa, wajah gadis itu terlihat kesal. "Mas Radit ngga mungkin berpaling. Kurang apa kakak sampai dia melakukan itu?" tanyanya.Dira mendengkus. Buatnya, Dina memang tidak ada kekurangan. Cantik, putih, pintar bisnis dan seksi. Ia lagi-lagi merasa iri."Lagian, mas Radit itu tipe suami setia dan penurut. Emang selama kamu tinggal di rumah, pernah dengar kabar huruk tentang dia den

    Terakhir Diperbarui : 2021-06-21
  • Mencintai Kakak Ipar   Bagian 9 : Persiapan Arisan

    ***"Mas, besok aku bawa teman-teman sosialita aku ke sini, boleh? Mau arisan," tanya Dina. Mereka semua, termasuk Putri, sedang makan malam."Biasanya arisannya di luar, Yang. Kok tumben kali ini di rumah?" tanya Radit, setelahnya menyuapkan nasi bercampur opor ayam ke dalam mulutnya. Mengunyah perlahan sambil terus menatap manis wajah glowing istrinya."Nyari suasana baru aja. Bosen kalau selalu di luar. Pada minta di rumah kita, mau lihat keharmonisan keluarga kita," ucap Dina. Wanita itu melirik Dira dan saling bertukar senyuman."Boleh, tapi besok mas mau jenguk ibu. Kirain mumpung hari libur, kamu bisa ikut. Padahal ngga bisa." Suara Radit terdengar kecewa. Ia ingin sekali-sekali bertiga dengan Dina menengok Ibunya yang sudah tua dan sakit-sakitan, bukan hanya berdua terus sama Diana."Maaf ya, Mas. Udah janjian masalahnya. Nengoknya bisalah kapan-kapan. Ibu sehat, sehat juga, kan. A

    Terakhir Diperbarui : 2021-06-23
  • Mencintai Kakak Ipar   Bagian 10 : Insiden Saat Arisan

    ***"Putri!" Panggilan Dina membuat Putri mau tidak mau harus keluar kamar. Berjalan cepat sambil menyiapkan mental baja untuk menghadapi dua Kakaknya dan sahabat-sahabatnya karena muncul dengan pakaian tidak layak seperti ini.Pakaian yang dipakai Putri adalah pemberian Dina. Ia juga yang merancang bahkan menjahitnya. Kain-kain sisa di butik yang ia sulap menjadi daster."Putri!" Panggilan kedua membuat langkah Putri semakin lebar."Iya, Nyonya," jawabnya setelah sampai di hadapan Dina dan lainnya. Tadi, Dira telah menekankan kata Nyonya buat Dina dan Nona buatnya, membuat gadis itu merasa sepenuhnya pembantu di rumah ini, tidak ada hubungan keluarga sama sekali."Ambilin jus," suruh Dina dengan angkuh."Baik, Nyonya." Putri langsung menuju dapur. Mengambil nampan yang sudah terisi 10 gelas berisi jus warna orange yang terlihat segar. Membawa kembali ke ruang tamu. Segera

    Terakhir Diperbarui : 2021-06-24
  • Mencintai Kakak Ipar   Bagian 11 : Kesabaran

    ***Putri merebahkan dirinya di ranjang. Jam 5 sore barulah bisa istirahat. Itupun setelah menyapu, mengepel, buang sampah dan cuci piring.Gadis itu menyeka air matanya. Kemudian menghela napas berulang-ulang. Hari ini sungguh melelahkan, menguras kesabaran juga. Tubuhnya terasa lemas dengan hati yang sepertinya hanya tersisa sepotong saja. Sepotong lainnya telah hancur akibat bersabar dari hinaan.Tadi, Bukan hanya disuruh duduk sembari menunduk dan membantu menyiapkan makanan, gadis itu juga disuruh jalan kaki menuju mini market yang letakkan cukup jauh. Bukan hanya sekali, tetapi 5x. Membeli kacang kulit, minuman kaleng, kacang kulit lagi, minuman kaleng lagi dan terakhir membeli permen dengan harga 5000 rupiah. Harus di tempat yang ditentukan Dina, sebagai bukti, wanita itu meminta struk pembayaran.Bukan hanya malu karena bolak-balik, Putri juga malu karena menjadi pusat perhatian di jalan maupun di

    Terakhir Diperbarui : 2021-06-25

Bab terbaru

  • Mencintai Kakak Ipar   Insiden Makan Bersama

    ***"Ibu besok mau pulang ya Nak Radit," ucap Amalia saat mereka semua, Dina, Dira, Diana, dirinya dan Radit tengah makan malam bersama."Kok cepat, Bu? Baru juga seminggu," ucap Radit menatap mertuanya."Udah kelamaan ibu di sini. Diana udah sehat, ibu punya tanggung jawab di kampung. Jadinya harus pulang." Amalia menatap Diana yang sedang makan dalam diam."Kalau gitu besok Radit antar ke terminal," ucap Pria itu setelah minum air mineral. Dia sudah selesai makan."Iya. Makasih, Nak." Amalia tersenyum manis. Kembali melahap makanannya.Dina dan Dira, dua wanita itu tidak ada respon apapun tentang momen izin pamit ibunya. Terlalu fokus menikmati makanan lezat yang terhidang di atas meja."Diana, mau nambah, Sayang?" tawar Radit.Diana tidak menjawab. Namun, gadis kecil itu menggeleng.Radit menghela napas. Semenjak pulang

  • Mencintai Kakak Ipar   Membahas Putri

    ***"Pa, aunty Putri belum datang?" tanya Diana. Rasa rindu dua hari tidak bertemu sudah tidak bisa dibendung lagi."Belum, Sayang. Sebentar lagi. Mungkin masih di jalan. Sabar, ya." Radit mengusap puncak kepala anaknya. "Papa cari makan dulu, ya? Diana mau makan apa?" tanyanya."Terserah Papa aja.""Ya sudah. Papa keluar dulu. Kamu sama Mama."Diana mengangguk. Gadis yang duduk bersandar di bantal itu tersenyum manis pada Papanya.Radit membalas senyuman anaknya itu. Pria itupun berdiri dan berjalan ke pintu. Namun, menghentikan langkah dan menoleh ke arah sofa. Melihat istrinya yang sibuk dengan ponselnya."Di, titip anakku," ucap Radit yang sukses mengambil perhatian Dina wanita itu menatap ke arah suaminya yang sudah kembali melangkah keluar ruangan. Alis matanya bertaut. Titip anakku? Bukannya Diana juga anaknya? Aneh sekali suaminya.

  • Mencintai Kakak Ipar   Penganggu

    ***Putri mengajak Tama ke rumah sakit lagi. Kali ini dia ingin melihat sendiri alias mengintip, memastikan kalau keponakannya itu baik-baik saja."Kita ngga bawa buah tangan?" tanya Tama. Mereka baru saja sampai di parkiran."Ngga usah, Mas. Cuma pengen liat aja. Habis itu pulang." Setelah berbicara, Putri keluar dari mobil, begitu juga Tama."Elo sayang banget sama dia, ya."Putri mengangguk setuju. "Diana itu adalah teman pertamaku di kota ini, Mas.""Kalau gue yang keberapa?" tanya Tama iseng.Putri menoleh. Kemudian tersenyum lebar. "Mas yang ke tiga. Pertama, Diana. Kedua itu mas Radit."Tama mengangguk. "Oke. Ya udah, ayo kita masuk," ajaknya."Ayo, Mas." Putri mengangguk dan mereka berdua pun beriringan berjalan masuk ke bangunan rumah sakit."Kalau elo ketahuan?" tanya Tama.Putri

  • Mencintai Kakak Ipar   Dina Terancam

    ***Tama menjemput Putri setelah menelepon. Sesuai janji semalam, mereka menuju ke toko pakaian bayi. Masuk beriringan dan kini berhadapan dengan berbagai pakaian bayi yang terlihat imut tersusun rapi di rak."Kalau adik Mas Tama beneran perempuan, pakaiannya yang ini aja, imut." Putri menunjuk setelan baju tidur bergambar panda."Boleh." Tama mengambil dua lembar. "Yang mana lagi yang bagus?" tanyanya."Ini juga bagus." Putri kembali menunjuk. Namun, kali ini jaket bulu warna pink. "Ini, ini dan ini." Gadis itu sekarang bukan hanya menunjuk, tetapi sudah mengambil topi, sepatu, kaos kaki yang menurutnya imut dan itu mengundang senyum Tama."Aku ambil troli dulu," ucap Tama dan Putri mengangguk. Gadis yang ditinggal itu kembali mengambil satu jaket lagi dan beberapa topi dan kaos kaki."Put," panggil Tama. Pria itu sungguh cepat. Kini sudah berada di belakang Putri bersama

  • Mencintai Kakak Ipar   Kemungkinan

    ***Radit mengecup kening Dina yang cemberut, setelahnya pria itu keluar dari ruangan anaknya, pulang ke rumah untuk bersiap berangkat kerja. Ada meeting penting yang harus dihadiri dan berjanji setelah selesai, akan langsung menemui Diana lagi."Ma, mau pipis." Diana berkata pada Dina yang berada di depan pintu. Walaupun kesal, wanita itu tetap mengantar kepergian suaminya dan mengiyakan saat pria tercinta mengatakan untuk baik-baik menjaga anak mereka."Mama mau cari makan. Kamu pipis sendiri saja." Dina masuk kembali ke ruangan hanya untuk mengambil ponsel dan tas selempang, setelahnya berjalan keluar. Kekesalan tadi malam masih berefek sampai pagi ini dan melihat Diana, membuatnya teringat Bagas, ayah biologisnya yang seenaknya meninggalkannya saat sedang mengandung dan sekarang datang disaat dia sudah move on juga bahagia. Menurutnya, sifat anak dan bapak itu sama aja. Sama-sama menyebalkan.***

  • Mencintai Kakak Ipar   Bantuan Tama

    ***"Kak Dina belum masuk ruangan?" tanya Putri saat dia kembali dari toilet."Belum? Emang dia ngga ada di dalam?" tanya Mita yang heran dengan pertanyaan Putri."Tadi hampir ketemu di toilet. Untung cepat sembunyi," ucap Putri."Kenapa harus sembunyi?" tanya Tama. "Hadapi aja. Kalau perlu bantuan, gue bantu."Putri tersenyum. Entah dengan cara apa berterima kasih dengan pria tampan ini. "Bukan sekarang. Keadaan masih panas. Sekarang Mas Tama masuk dan serahin boneka serta makanan itu. Aku sama Mita tunggu di mobil.""Ya udah." Tama mengangguk. Kemudian segera berjalan ke ruangan Diana. Sedangkan Putri menarik tangan Mita menuju parkiran.**Tama mengetuk. Kemudian membuka pintu perlahan. Matanya langsung beradu dengan mata Radit, setelahnya Diana."Selamat malam, Mas, Diana," ucap Tama ramah."Om baik,"

  • Mencintai Kakak Ipar   Beli Boneka

    ***Putri mengajak Mita ke toko boneka. Rencananya dia mau membeli boneka panda buat keponakannya itu. Dia yang tidak bisa menemani, berharap pemberiannya bisa."Put, kamu ngga ada niat mau pindah kota, kan?" tanya Mita. Sahabatnya itu kekeh mengajaknya membeli barang kenang-kenangan."Ngga tau, Mit. Pikir nanti aja. Kita beli aja dulu boneka, habis itu antar ke rumah sakit dan pulang. Kamu pasti udah ngantuk." Putri membuka pintu Toko boneka. Langsung melihat sekeliling. Banyak sekali boneka dengan berbagai ukuran."Beli yang kecil aja. Biar bisa dibawa-bawa," ucap Mita."Iya, tapi ngga kecil-kecil banget.""Iya. Mau boneka apa?" tanya Mita."Panda aja. Gemuk tuh, ya, jadi enak di peluk.""Kayak gue dong?""Bener." Putri menyengir. Setelahnya, Gadis itu menggandeng Mita. Menariknya menuju rak pojok. Mengambil boneka panda

  • Mencintai Kakak Ipar   Chat Asing

    ***Putri menarik Mita untuk bersembunyi dibalik tembok. Saat berbelok, matanya langsung melihat Dina dan Dira berdiri berhadapan, terlihat serius mengobrol di depan ruangan Diana di rawat."Kenapa?" tanya Mita yang kaget."Ada kak Dira dan Dina," ucap Putri. Gadis itu kini sedang mengintip. Jarak yag tidak jauh membuatnya bisa sedikit mendengar percakapan dua orang itu."Maksud kamu apa sok perhatian sama Diana dan mas Radit?"Alis mata Putri bertaut. Dina bertanya sinis pada Adik tersayangnya. Kok tumben?"Perhatian sama ipar dan ponakan bukannya wajar, Kak?" tanya Dira santai."Ngga wajar. Harusnya kamu abai. Perhatian buat mereka cukup kakak yang kasih. Liat, gara-gara kamu mas Radit nyinggung kakak."Dira mendengkus. "Kakak abai, sih. Masak anaknya sakit malah duduk di sofa dan main ponsel. Ya udah, gue sebagai aunty yang baik, kasih

  • Mencintai Kakak Ipar   Perhatian Dira

    ***"Put, kamu belum tidur?" tanya Mita. Gadis gemuk itu baru saja pulang dari kerja. Wajah lelahnya nampak jelas. Langsung menuju kamar mandi tanpa mendengar jawaban dari Putri yang duduk di atas kasur sembari melihat ponsel di depannya.Putri menghela napas. Dia mengambil ponsel, menatap sendu. Kemudian meletakkan lagi benda pipih itu ke atas kasur. Dia dari tadi sedang bimbang antara mengaktifkan ponsel apa tidak. Aktif, berarti siap menghadapi apapun. Telepon dari Dina, Dira dan ibu Amalia, tetapi tidak mengaktifkan, dia ingin tau kabar tentang Diana."Put, kenapa belom tidur?" tanya Mita yang baru keluar dari kamar mandi. Gadis gemuk itu terlihat segar. Selesai mandi.Putri menghela napas. "Menurutmu, apa yang aku lakukan ini benar, Mit?" tanya gadis itu sembari menatap sahabatnya.Mita duduk bersila di depan Putri. Sambil menggosok rambut basahnya, gadis itu tersenyum. "Bener pakek b

DMCA.com Protection Status