***
Putri berjalan penuh semangat ke arah pintu rumah yang terbuka. Tadi, ia dan Mita sudah menaruh berkas lamaran pekerjaan, setelahnya jalan-jalan keliling mall dan makan bakso sebelum pulang, jadi saat nanti tidak ikut makan malam, ia tetap bisa tidur tanpa ganguan kelaparan.
"Assalamualaikum," ucapnya sembari melangkah masuk. Namun, senyum dan semangatnya luntur saat melihat Dira dan Dina yang duduk si sofa, melipat tangan di dada dan menatapnya dengan tajam. Putri mematung di depan pintu. Tubuhnya seakan sulit digerakkan. Ia merasa seperti pencuri yang ketahuan.
"Assalamualaikum." Suara dari belakang Putri membuat gadis itu, bahkan Dira dan Dina menatap Radit yang memasuki rumah.
"Waalaikumsalam."
Seperti biasa, Dina berdiri, menghampiri dan menyambut kedatangan suaminya dengan aksi cium tangan.
"Udah pulang, Mas?"
Pertanyaan bodoh dari mulut Dina membuat Putri mengulum senyum. Ya, ia hanya bisa menertawakan dalam hati demi kedamaian.
Radit mengangguk. Ia mengecup kening Dina. Kemudian melihat Putri yang terlihat baru pulang dari bepergian, hanya berdiri di tempat. Bukannya masuk, segera menganti baju, malah seperti patung penunggu pintu.
"Putri kenapa, Yang?" tanya Radit.
"Itu, Mas--" Dina menatap Dira. Kedipan mata sebagai kode bahwa akan terjadi sebuah kebohongan lagi.
"Itu, itu apa?" tanya Radit sembari melonggarkan dasi. Ia hanya ingin tahu, takut ada pembully-an di sini. Riwayat hubungan Dira dan Dina dengan Putri itu buruk. Radit selalu merasa iba kalau ipar tirinya itu di benci atas kesalahan yang tidak ia buat. Dulu, saat belum tinggal bersama, rasa iba itu hanya seperti angin lalu, tetapi saat bersama seperti ini, ia yang sudah berjanji akan menjaga gadis itu merasa punya tanggung jawab untuk melindungi.
"Cuma negur Putri, Mas. Habisnya kunci rumah tadi aku temukan di depan pagar. Kalau di temu orang jahat, habis semua isi rumah kita. Teledor sekali. Bisa-bisanya menjatuhkan kunci."
Putri menautkan alis matanya. Ia menoleh, menatap Dina yang tersenyum miring padanya. Kunci jatuh, jelas-jelas ia menitipkan pada Satpam depan.
Radit menatap Putri. Raut wajah gadis itu terlihat ... mengemaskan. Bibir mungil yang terbuka sedikit itu menarik perhatian. Radit beristigfar dalam hati karena memuji adik tirinya.
"Untung jatuhnya di depan rumah. Kalau di tempat lain, aku kan ngga bisa masuk, Mas. Aku lupa bawa kunci cadangan." Dira ikut mendrama.
"Lain kali hati-hati," ucap Radit.
"Iya, Mas." Putri menatap Radit, mengangguk. Kemudian tersenyum manis. "Sudah ngga ada lagi tuduhan, kan? Kalau gitu, aku permisi ke kamar dulu." Putri pun melangkah.
"Tuduhan? Maksud elo apa? Kita ngga nuduh. Kenyataan gue nemu kunci di depan pagar. Lain kali jangan teledor. Sudah bagus diizinkan tinggal di sini," ucap Dira
"Iya, Kak." Putri menjawab sembari menatap Dira. Memberi senyuman manis untuk Kakak tirinya itu. Yang disenyumin malah terlihat kesal.
Putri masuk kamar. Menghela napas berulang-ulang. Ada-ada saja kelakuan 2 kakaknya untuk membuatnya malu dan menderita. Biarlah, toh ia masih punya banyak stok senyuman manis untuk membalasnya.
Gadis itu memutuskan mandi dan saat ia keluar kamar mandi, dikejutkan dengan Dira yang sudah duduk di tepi ranjang.
"Kak Di--"
"Gue bukan kakak elo. Stop panggil gue kakak. Sumpah, telinga gue rasanya pengen copot karena panggilan itu." Dira menatap sinis pada Putri yang sedang menggosok rambutnya yang basah dengan handuk kecil.
"Elo pakai pakaian kayak gitu di rumah ini, mau menggoda mas Radit?" tanya Dira dengan mata memicing. Putri terlihat seksi dengan kaos putih lengan pendek dan celana levis diatas lutut yang pres bodi. Hati Dira panas karena merasa kalah dari segala segi. Wajah juga bodi. Hanya status yang menguntungkannya. Terlahir dari rahim wanita baik, berbeda dengan adik tirinya itu.
Putri menatap pakaiannya. Kemudian menatap pakaian Dira. Menurutnya, yang pantas dikatakan pakaian penggoda itu adalah yang dipakai Kakaknya. Tangtop dan celana gemes lebih seksi daripada apa yang dipakainya. Sudahlah, Putri yakin Dira tidak ingin dicela.
"Nanti aku ganti, Kak." Putri berjalan ke arah meja rias. Mengambil sisir dan merapikan rambutnya. "Kak Dira ada perlu?" tanyanya, tidak biasanya kakaknya itu akan menghampirinya. Sudah terbiasa membuat Putri lebih santai menghadapi kebencian Kakak-Kakaknya. Berbeda saat masih kecil, ia akan sangat ketakutan sampai sembunyi, menangis padahal belum diapa-apakan bahkan pernah pipis di celana.
"Ya."
"Perlu apa?" tanya Putri sembari berbalik.
Dira berdiri. "Perlu buat gue nyadari elo yang ngga tau diri. Maksud elo apa tinggal di rumah ini?"
Putri menghela napas. "Aku dipaksa ibu."
"Ngarang. Gue tau betul elo pasti yang ngerengek minta ke sini, kan? Elo mau ikutin jejak ibu elo dengan menjadi pelakor di hubungan bahagia kak Dina dan mas Radit, kan?"
Putri tersenyum. Ia mengepalkan tangan di belakang tubuhnya. "Aku ngga ada niatan kayak gitu, Kak." Rasanya bosan selalu dituduh, hanya gadis itu tidak bisa menghindar karena ingin balas budi. Bukan sekali dua kali dibully dengan kata-kata mau ngambil, mau merebut, dulu saat Dira putus sama pacarnya, dirinya selalu yang disalahkan.
"Bohong! Mana ada pelakor mau ngaku."
"Serius, Kak. Aku ngga sejahat itu."
"Cih! Awas saja kalau elo macam-macam." Dira menatap semakin sinis. Berhadapan dengan Putri selalu membuatnya murka. Sekarang gadis itu sudah tidak ketakutan seperti dulu. Sikapnya tenang dan selalu berakhir dengan senyuman, bukan tangisan, hal itu sangat menyebalkan buat Dira, dan kalah seksi ... membuatnya sangat amat ingin sekali menghajar adik tirinya hingga babak belur.
Putri mengangguk, merespon ancaman Kakaknya. "Ada lagi?" tanyanya sembari tersenyum tipis. Senyum membuat gadis itu merasa kuat untuk menghadapi kehidupannya.
"Elo tinggal di sini, jangan cuma enak-enakan di kamar saja." Dira berucap sembari melipat tangan di dada.
"Kak Dina ngga ngeboleh--"
"Mulai malam ini elo boleh dan harus ngelakuin tugas-tugas di rumah ini dengan baik. Hitung-hitung sebagai biaya numpang. Elo bayangin, ngekos di luar sana dengan fasilitas seadanya saja mahal, elo tinggal di rumah ini, tidur di kamar ini dengan fasilitas bagus, elo ada niat buat bayar sewa? Jangan mikir mau tinggal gratis ya, karena tidak ada yang gratis di dunia ini."
"Aku akan bayar kalau memang harus."
"Dengan apa? Uang? Emang punya?"
"Ya, nanti aku kerja dulu."
"Haduh, lama. Mending bayar dengan tenaga aja." Dira berdiri. Ia berjalan dan berhenti dihadapan Putri. "Nyapu, ngepel, cuci baju, siram bunga, nyuci piring, ngikutin perintah gue dan kak Dina, hanya satu yang ngga boleh elo lakuin."
"Apa?" tanya Putri setenang mungkin.
"Masak. Elo ngga boleh masak buat makan kita sekeluarga. Gimana, setuju?"
Putri diam. Dengan mengatakan setuju, berarti ia menjadi babu di rumah ini. Tidak mempermasalahkan nyuci, ngepel-nya, hanya mengikuti perintah dua kakaknya yang membuatnya ngeri.
"Aku ngga masalah nyuci atau ngepel, Kak, tapi kenapa ada poin harus ngikuti kemauan kalian?"
"Ikutin aja. Em ... tapi kalau elo ngga mau ngelakuin poin-poin tadi, ngga masalah. Elo bisa membayar kamar ini aja. Sebulan itu, 3 juta. Ini hasil kesepakatan gue sama kak Dina, loh. Jadi, elo pilih mana?" Dira tersenyum miring. Ia suka situasi yang menyudutkan Putri.
Putri menghela napas. Ia belum kerja dan kalau sudah kerja, pasti gaji pertamanya nanti, pun tidak sampai harga sewa kamar ini. Tetiba kepalanya terasa nyeri.
"Gimana? Atau elo mau laporan ke ibu, ngerengek biar kami di marahin? Elo mau bikin hubungan anak dan ibu kandung berantakan? Sungguh amat sangat tidak tau diri." Ucapan Dira penuh penekanan. Gadis itu semakin tersenyum miring saat melihat Putri tertekan.
"Aku ngga akan bilang apa-apa ke ibu." Sudah cukup Amalia berbaik hati padanya, ia tidak mau lagi menambah budi baik wanita tua itu padanya, karena akan semakin susah untuknya membalas.
"Bagus. Kalau gitu silahkan jawab. Gue harus ngasih jawaban elo ke kak Dina," desak Dira.
"Kasih aku waktu."
"Buat apa? Buat berpikir, pikir apa, sih? Bukanya pekerjaan rumah udah biasa kamu lakukan? Gue kasih waktu dua detik. Tik, tik. Waktu habis. Sekarang jawab ya atau tidak."
"Kak, aku ngga masalah dengan melakukan pekerjaan di rumah ini, tapi tidak dengan mengikuti perintah kalian." Lebih baik diusir, ia akan senang hati pergi, tetapi tetap disuruh menetap dengan status orang yang mengikuti perintah ....
"Kenapa ngga mau kami perintah? Jangan durhaka sama kakak. Ngga boleh. Ngga baik. Gini, aku jelasin. Kamu kan melakukan semua tugas di rumah ini kecuali Masak, jadi kami para majikanmu, masa ngga boleh perintah-perintah. Kan, babu itu wajib disuruh-suruh." Dira tertawa. Sedangkan Putri menatap tajam kakak tirinya itu.
Sebenarnya, tanpa disuruh beberes, Putri pasti akan melakukan karena itu pesan Amalia. Ia sadar kalau menumpang, makanya ingin membantu merawat rumah dengan suka rela. Sayangnya Dina tidak memperbolehkan. Kali ini, Dira datang membawa kabar kalau ia boleh membantu merawat rumah, tetapi dengan statusnya sebagai pembantu. Miris.
"Mulai malam ini sampai seterusnya, kamu jadi babu kami."
"Ngga mau!" tolak Putri.
"Woe! Numpang pakek otak. Bagus dijadikan pembantu, kalau elo kita jual ke om-om, mau? Elo Kasian kalau Kak Dina yang baru pulang kerja harus beberes. Gue sibuk, ngga bisa bantu dan ngga etis juga kalau sampai mas Radit turun tangan ikut menyapu. Elo tau, kan, pembantu di rumah ini lagi cuti dan ngga mungkin cari pembantu baru. Elo ngga kita usir, tapi elo harus mengurus rumah dan kami."
Putri menatap tidak suka pada Dira. Ingin sekali menampar, tetapi niat itu luntur ketika teringat kebaikan Amalia.
Air mata Putri mengalir. Entah sampai kapan ia akan terbebas dari penyiksaan batin ini. Ia berharap suatu saat nanti akan hidup bahagia, dikelilingi oleh orang-orang yang sayang dengannya.
"Gimana, lama banget dah jawabnya. Dah, gue anggap elo setuju. Harusnya elo makasih sama gue dan kak Dina, dengan cara mengabdi ke kita, elo bisa menebus kesalahan ibu elo ke ibu gue. Dulu ibu elo nyakiti ibu gue, sekarang gue yang nyakiti elo. Impas."
Diamnya Putri membuat Dira terlihat puas. Gadis itu berjalan ke pintu. Namun, ia menghentikan langkah dan menoleh. "Anak pelakor, masalah ini ngga boleh ditau mas Radit. Kalau dia sampai tau dan itu dari elo, elo bakalan tau akibatnya."
Putri tersenyum. Kemudian mengangguk. "Oke," ucapnya serak.
Dira keluar kamar. Meninggalkan Putri yang menitikan air mata. Ia sekarang bukan hanya bercap anak pelakor, tetapi juga pembantu. Sungguh nikmat penderitaannya.
Putri menghela napas. Ia tidak boleh larut dalam kesedihan. Ia harus menyiapkan mental dalam mengabdi pada 2 Kakaknya.
"Perbanyak stok kesabaran, Put," ucapnya menyemangati diri sendiri.
****
***Pagi ini Putri menjalani perannya sebagai pembantu. Ia bangun subuh, setelah menjalankan dua rakaat, langsung beberes. Mencuci piring, menyapu, ngepel, siram bunga. Kemudian ia mencuci baju. Sudah ada 2 keranjang penuh cucian kotor di depan mesin cuci. Perpaduan baju Dira, Dina, Radit dan Diana."Sabar, Put," ucapnya menguatkan. Ia menyeka dulu keringat di keningnya, setelahnya memasukan sebagian demi sebagian pakaian ke mesin. Mulai menggiling, membilas dan memasukkan ke mesin pengering, setelahnya menjemur di samping rumah.Selesai.Putri melakukan kerjaan itu dengan semangat, membuat tubuhnya terasa segar karena sekalian berolah raga.Gadis itu masuk ke dalam rumah, ke kamarnya, memutuskan untuk mandi. Namun, diurungkan ketika ada ketukan di pintu."Aunty."Itu suara Diana."Ya, tunggu," ucapnya sembari berjalan ke arah pintu.Ceklek!Putri melihat Diana yang masih memakai baju tidur
***"Kak, tadi si Putri ketawain aku ngga?" tanya Dira. Karena tidak ada Dosen, ia memilih ke Butik Kakaknya."Ngga tau. Males kakak liat mukanya," ucap Dina sembari sibuk dengan laptopnya. Hari ini pesanan pakaian batik couple keluarga via online sangat banyak. Ia sedang mengecek alamat pelanggannya satu persatu."Mana mas Radit ngebela. Aduh, Kak, siaga dong. Tuh, mas Radit udah mulai membela. Besok-besok apa lagi," ucap Dira.Dina menghentikan aktifitasnya, beralih menatap Adiknya yang duduk di sofa, wajah gadis itu terlihat kesal. "Mas Radit ngga mungkin berpaling. Kurang apa kakak sampai dia melakukan itu?" tanyanya.Dira mendengkus. Buatnya, Dina memang tidak ada kekurangan. Cantik, putih, pintar bisnis dan seksi. Ia lagi-lagi merasa iri."Lagian, mas Radit itu tipe suami setia dan penurut. Emang selama kamu tinggal di rumah, pernah dengar kabar huruk tentang dia den
***"Mas, besok aku bawa teman-teman sosialita aku ke sini, boleh? Mau arisan," tanya Dina. Mereka semua, termasuk Putri, sedang makan malam."Biasanya arisannya di luar, Yang. Kok tumben kali ini di rumah?" tanya Radit, setelahnya menyuapkan nasi bercampur opor ayam ke dalam mulutnya. Mengunyah perlahan sambil terus menatap manis wajah glowing istrinya."Nyari suasana baru aja. Bosen kalau selalu di luar. Pada minta di rumah kita, mau lihat keharmonisan keluarga kita," ucap Dina. Wanita itu melirik Dira dan saling bertukar senyuman."Boleh, tapi besok mas mau jenguk ibu. Kirain mumpung hari libur, kamu bisa ikut. Padahal ngga bisa." Suara Radit terdengar kecewa. Ia ingin sekali-sekali bertiga dengan Dina menengok Ibunya yang sudah tua dan sakit-sakitan, bukan hanya berdua terus sama Diana."Maaf ya, Mas. Udah janjian masalahnya. Nengoknya bisalah kapan-kapan. Ibu sehat, sehat juga, kan. A
***"Putri!" Panggilan Dina membuat Putri mau tidak mau harus keluar kamar. Berjalan cepat sambil menyiapkan mental baja untuk menghadapi dua Kakaknya dan sahabat-sahabatnya karena muncul dengan pakaian tidak layak seperti ini.Pakaian yang dipakai Putri adalah pemberian Dina. Ia juga yang merancang bahkan menjahitnya. Kain-kain sisa di butik yang ia sulap menjadi daster."Putri!" Panggilan kedua membuat langkah Putri semakin lebar."Iya, Nyonya," jawabnya setelah sampai di hadapan Dina dan lainnya. Tadi, Dira telah menekankan kata Nyonya buat Dina dan Nona buatnya, membuat gadis itu merasa sepenuhnya pembantu di rumah ini, tidak ada hubungan keluarga sama sekali."Ambilin jus," suruh Dina dengan angkuh."Baik, Nyonya." Putri langsung menuju dapur. Mengambil nampan yang sudah terisi 10 gelas berisi jus warna orange yang terlihat segar. Membawa kembali ke ruang tamu. Segera
***Putri merebahkan dirinya di ranjang. Jam 5 sore barulah bisa istirahat. Itupun setelah menyapu, mengepel, buang sampah dan cuci piring.Gadis itu menyeka air matanya. Kemudian menghela napas berulang-ulang. Hari ini sungguh melelahkan, menguras kesabaran juga. Tubuhnya terasa lemas dengan hati yang sepertinya hanya tersisa sepotong saja. Sepotong lainnya telah hancur akibat bersabar dari hinaan.Tadi, Bukan hanya disuruh duduk sembari menunduk dan membantu menyiapkan makanan, gadis itu juga disuruh jalan kaki menuju mini market yang letakkan cukup jauh. Bukan hanya sekali, tetapi 5x. Membeli kacang kulit, minuman kaleng, kacang kulit lagi, minuman kaleng lagi dan terakhir membeli permen dengan harga 5000 rupiah. Harus di tempat yang ditentukan Dina, sebagai bukti, wanita itu meminta struk pembayaran.Bukan hanya malu karena bolak-balik, Putri juga malu karena menjadi pusat perhatian di jalan maupun di
***Radit membuka mata tepat jam 8 malam. Ia segera mandi dan keluar kamar. Tidak berniat membangunkan istrinya yang terlihat sangat nyenyak."Dir, ngga ada makanan?" tanya Radit setelah berkunjung ke dapur. Pria itu kembali menghampiri adik iparnya yang berada di sofa ruang tamu. Kemudian bertanya."Ngga ada, Mas. Kan biasanya kak Dina yang nyiapin semua. Ini ... aku juga udah laper banget. Kak Dina ngapain, sih?" tanyanya. Dira menaruh ponsel di pahanya dan memegang perutnya yang sebenarnya tidak lapar sama sekali. Gadis itu baru saja balik dari makan warung di depan gang. Namun, mengompori dengan maksud lain."Dina lagi tidur. Kecapean. Ya udah, mending kamu masak. Ada bahan kan di dapur?"Dira membulatkan mata. Apa? Masak? Itu adalah hal yang tidak pernah ia lakukan."Aku ngga bisa, Mas. Terlalu lemes, ngga bisa banyak gerak," ucapnya beralasan.Radit
***"Aunty senang ngga tinggal di sini?"Pertanyaan itu membuat Putri menghentikan aktifitas menyelimuti tubuh merek berdua. Gadis itu pun menatap keponakannya dengan senyum yang terpaksa. Tadi, setelah selesai makan malam, mereka sempat nonton bersama di ruang keluarga, tetapi saat Radit berpamitan masuk kamar, Diana pun meminta masuk ke kamar."Senang."Jawaban palsu Putri sukses membuat Diana tersenyum manis. Gadis kecil itu langsung memeluk Putri yang tidur terlentang. Ia bahkan tidur di lengan Auntynya."Diana juga senang ada Aunty di rumah ini.""Kenapa senang?""Ada teman main.""Emang suka main sama Aunty Putri?"Tanya jawab pun terjadi."Suka banget. Aunty itu baik, perhatian lagi. Coba Aunty itu mama aku, pasti senang banget."Baik dan perhatian, kapan? Sepertinya ia di rumah ini
***"Sudah bangun, Yang?" tanya Radit. Pria itu tengah memakai pakaian kantor.Dina beranjak duduk. Tidak menjawab pertanyaan suaminya. Ia malah membuka topik baru. Berucap sembari menatap kesal pada Radit."Mas, kenapa menu makan malam kita berbeda?"Radit menoleh, menatap wajah istrinya yang tetap cantik walau baru bangun tidur. Kemudian menjawab dengan santai, "Hanya ingin menu yang berbeda." Setelah berucap, ia kembali menatap cermin sembari mengancing kemeja warna biru navi.Hati Dina mengondok. Jawaban suaminya adalah pembelaan buat Putri. Jelas-jelas Dira bilang kalau adik tirinya yang meminta menu itu. Dengan kekesalan mendalam, wanita itu berjalan cepat ke kamar mandi.Radit mengambil sepatu di rak pojok kamar, duduk di tepi kasur dan memakai alas kaki itu.Dina keluar dari kamar mandi. Mukanya semakin masam. Ia berjalan ke lemari, mengeluarkan pa
***"Ibu besok mau pulang ya Nak Radit," ucap Amalia saat mereka semua, Dina, Dira, Diana, dirinya dan Radit tengah makan malam bersama."Kok cepat, Bu? Baru juga seminggu," ucap Radit menatap mertuanya."Udah kelamaan ibu di sini. Diana udah sehat, ibu punya tanggung jawab di kampung. Jadinya harus pulang." Amalia menatap Diana yang sedang makan dalam diam."Kalau gitu besok Radit antar ke terminal," ucap Pria itu setelah minum air mineral. Dia sudah selesai makan."Iya. Makasih, Nak." Amalia tersenyum manis. Kembali melahap makanannya.Dina dan Dira, dua wanita itu tidak ada respon apapun tentang momen izin pamit ibunya. Terlalu fokus menikmati makanan lezat yang terhidang di atas meja."Diana, mau nambah, Sayang?" tawar Radit.Diana tidak menjawab. Namun, gadis kecil itu menggeleng.Radit menghela napas. Semenjak pulang
***"Pa, aunty Putri belum datang?" tanya Diana. Rasa rindu dua hari tidak bertemu sudah tidak bisa dibendung lagi."Belum, Sayang. Sebentar lagi. Mungkin masih di jalan. Sabar, ya." Radit mengusap puncak kepala anaknya. "Papa cari makan dulu, ya? Diana mau makan apa?" tanyanya."Terserah Papa aja.""Ya sudah. Papa keluar dulu. Kamu sama Mama."Diana mengangguk. Gadis yang duduk bersandar di bantal itu tersenyum manis pada Papanya.Radit membalas senyuman anaknya itu. Pria itupun berdiri dan berjalan ke pintu. Namun, menghentikan langkah dan menoleh ke arah sofa. Melihat istrinya yang sibuk dengan ponselnya."Di, titip anakku," ucap Radit yang sukses mengambil perhatian Dina wanita itu menatap ke arah suaminya yang sudah kembali melangkah keluar ruangan. Alis matanya bertaut. Titip anakku? Bukannya Diana juga anaknya? Aneh sekali suaminya.
***Putri mengajak Tama ke rumah sakit lagi. Kali ini dia ingin melihat sendiri alias mengintip, memastikan kalau keponakannya itu baik-baik saja."Kita ngga bawa buah tangan?" tanya Tama. Mereka baru saja sampai di parkiran."Ngga usah, Mas. Cuma pengen liat aja. Habis itu pulang." Setelah berbicara, Putri keluar dari mobil, begitu juga Tama."Elo sayang banget sama dia, ya."Putri mengangguk setuju. "Diana itu adalah teman pertamaku di kota ini, Mas.""Kalau gue yang keberapa?" tanya Tama iseng.Putri menoleh. Kemudian tersenyum lebar. "Mas yang ke tiga. Pertama, Diana. Kedua itu mas Radit."Tama mengangguk. "Oke. Ya udah, ayo kita masuk," ajaknya."Ayo, Mas." Putri mengangguk dan mereka berdua pun beriringan berjalan masuk ke bangunan rumah sakit."Kalau elo ketahuan?" tanya Tama.Putri
***Tama menjemput Putri setelah menelepon. Sesuai janji semalam, mereka menuju ke toko pakaian bayi. Masuk beriringan dan kini berhadapan dengan berbagai pakaian bayi yang terlihat imut tersusun rapi di rak."Kalau adik Mas Tama beneran perempuan, pakaiannya yang ini aja, imut." Putri menunjuk setelan baju tidur bergambar panda."Boleh." Tama mengambil dua lembar. "Yang mana lagi yang bagus?" tanyanya."Ini juga bagus." Putri kembali menunjuk. Namun, kali ini jaket bulu warna pink. "Ini, ini dan ini." Gadis itu sekarang bukan hanya menunjuk, tetapi sudah mengambil topi, sepatu, kaos kaki yang menurutnya imut dan itu mengundang senyum Tama."Aku ambil troli dulu," ucap Tama dan Putri mengangguk. Gadis yang ditinggal itu kembali mengambil satu jaket lagi dan beberapa topi dan kaos kaki."Put," panggil Tama. Pria itu sungguh cepat. Kini sudah berada di belakang Putri bersama
***Radit mengecup kening Dina yang cemberut, setelahnya pria itu keluar dari ruangan anaknya, pulang ke rumah untuk bersiap berangkat kerja. Ada meeting penting yang harus dihadiri dan berjanji setelah selesai, akan langsung menemui Diana lagi."Ma, mau pipis." Diana berkata pada Dina yang berada di depan pintu. Walaupun kesal, wanita itu tetap mengantar kepergian suaminya dan mengiyakan saat pria tercinta mengatakan untuk baik-baik menjaga anak mereka."Mama mau cari makan. Kamu pipis sendiri saja." Dina masuk kembali ke ruangan hanya untuk mengambil ponsel dan tas selempang, setelahnya berjalan keluar. Kekesalan tadi malam masih berefek sampai pagi ini dan melihat Diana, membuatnya teringat Bagas, ayah biologisnya yang seenaknya meninggalkannya saat sedang mengandung dan sekarang datang disaat dia sudah move on juga bahagia. Menurutnya, sifat anak dan bapak itu sama aja. Sama-sama menyebalkan.***
***"Kak Dina belum masuk ruangan?" tanya Putri saat dia kembali dari toilet."Belum? Emang dia ngga ada di dalam?" tanya Mita yang heran dengan pertanyaan Putri."Tadi hampir ketemu di toilet. Untung cepat sembunyi," ucap Putri."Kenapa harus sembunyi?" tanya Tama. "Hadapi aja. Kalau perlu bantuan, gue bantu."Putri tersenyum. Entah dengan cara apa berterima kasih dengan pria tampan ini. "Bukan sekarang. Keadaan masih panas. Sekarang Mas Tama masuk dan serahin boneka serta makanan itu. Aku sama Mita tunggu di mobil.""Ya udah." Tama mengangguk. Kemudian segera berjalan ke ruangan Diana. Sedangkan Putri menarik tangan Mita menuju parkiran.**Tama mengetuk. Kemudian membuka pintu perlahan. Matanya langsung beradu dengan mata Radit, setelahnya Diana."Selamat malam, Mas, Diana," ucap Tama ramah."Om baik,"
***Putri mengajak Mita ke toko boneka. Rencananya dia mau membeli boneka panda buat keponakannya itu. Dia yang tidak bisa menemani, berharap pemberiannya bisa."Put, kamu ngga ada niat mau pindah kota, kan?" tanya Mita. Sahabatnya itu kekeh mengajaknya membeli barang kenang-kenangan."Ngga tau, Mit. Pikir nanti aja. Kita beli aja dulu boneka, habis itu antar ke rumah sakit dan pulang. Kamu pasti udah ngantuk." Putri membuka pintu Toko boneka. Langsung melihat sekeliling. Banyak sekali boneka dengan berbagai ukuran."Beli yang kecil aja. Biar bisa dibawa-bawa," ucap Mita."Iya, tapi ngga kecil-kecil banget.""Iya. Mau boneka apa?" tanya Mita."Panda aja. Gemuk tuh, ya, jadi enak di peluk.""Kayak gue dong?""Bener." Putri menyengir. Setelahnya, Gadis itu menggandeng Mita. Menariknya menuju rak pojok. Mengambil boneka panda
***Putri menarik Mita untuk bersembunyi dibalik tembok. Saat berbelok, matanya langsung melihat Dina dan Dira berdiri berhadapan, terlihat serius mengobrol di depan ruangan Diana di rawat."Kenapa?" tanya Mita yang kaget."Ada kak Dira dan Dina," ucap Putri. Gadis itu kini sedang mengintip. Jarak yag tidak jauh membuatnya bisa sedikit mendengar percakapan dua orang itu."Maksud kamu apa sok perhatian sama Diana dan mas Radit?"Alis mata Putri bertaut. Dina bertanya sinis pada Adik tersayangnya. Kok tumben?"Perhatian sama ipar dan ponakan bukannya wajar, Kak?" tanya Dira santai."Ngga wajar. Harusnya kamu abai. Perhatian buat mereka cukup kakak yang kasih. Liat, gara-gara kamu mas Radit nyinggung kakak."Dira mendengkus. "Kakak abai, sih. Masak anaknya sakit malah duduk di sofa dan main ponsel. Ya udah, gue sebagai aunty yang baik, kasih
***"Put, kamu belum tidur?" tanya Mita. Gadis gemuk itu baru saja pulang dari kerja. Wajah lelahnya nampak jelas. Langsung menuju kamar mandi tanpa mendengar jawaban dari Putri yang duduk di atas kasur sembari melihat ponsel di depannya.Putri menghela napas. Dia mengambil ponsel, menatap sendu. Kemudian meletakkan lagi benda pipih itu ke atas kasur. Dia dari tadi sedang bimbang antara mengaktifkan ponsel apa tidak. Aktif, berarti siap menghadapi apapun. Telepon dari Dina, Dira dan ibu Amalia, tetapi tidak mengaktifkan, dia ingin tau kabar tentang Diana."Put, kenapa belom tidur?" tanya Mita yang baru keluar dari kamar mandi. Gadis gemuk itu terlihat segar. Selesai mandi.Putri menghela napas. "Menurutmu, apa yang aku lakukan ini benar, Mit?" tanya gadis itu sembari menatap sahabatnya.Mita duduk bersila di depan Putri. Sambil menggosok rambut basahnya, gadis itu tersenyum. "Bener pakek b