***
"Mas, besok aku bawa teman-teman sosialita aku ke sini, boleh? Mau arisan," tanya Dina. Mereka semua, termasuk Putri, sedang makan malam.
"Biasanya arisannya di luar, Yang. Kok tumben kali ini di rumah?" tanya Radit, setelahnya menyuapkan nasi bercampur opor ayam ke dalam mulutnya. Mengunyah perlahan sambil terus menatap manis wajah glowing istrinya.
"Nyari suasana baru aja. Bosen kalau selalu di luar. Pada minta di rumah kita, mau lihat keharmonisan keluarga kita," ucap Dina. Wanita itu melirik Dira dan saling bertukar senyuman.
"Boleh, tapi besok mas mau jenguk ibu. Kirain mumpung hari libur, kamu bisa ikut. Padahal ngga bisa." Suara Radit terdengar kecewa. Ia ingin sekali-sekali bertiga dengan Dina menengok Ibunya yang sudah tua dan sakit-sakitan, bukan hanya berdua terus sama Diana.
"Maaf ya, Mas. Udah janjian masalahnya. Nengoknya bisalah kapan-kapan. Ibu sehat, sehat juga, kan. Aku doakan semoga sehat selalu," ucap Dina tersenyum manis. Radit hanya bisa mengangguk.
"Aunty Putri besok ikut ke rumah nenek Diana, yuk. Enak loh, Diana dimanjain banget di sana." Diana berucap sembari menatap Putri penuh harap. Gadis kecil itu ingin memperkenalkan teman barunya pada sang Nenek.
Mulut Putri yang sudah terbuka, kembali menutup karena Dina sudah angkat suara. "Ngga bisa, Sayang. Dia harus bantu mama besok. Mama kan mau repot. Maaf ya, Sayang. Sama papa saja ke sana. Salam buat nenek ya."
"Ya udah." Diana mengangguk dan kembali menyuapkan makanannya dalam mulut.
"Kata Diana, tadi Putri yang jemput dia, emang kamu ke mana, Sayang?" tanya Radit.
"Em ... tadi lagi sibuk, jadi minta bantuan Putri. Ngga papa, kan?" tanya Dina. Ia melirik pada Dira, tetapi adeknya itu tidak membantunya mengatasi pertanyaan Radit, malah asik makan.
"Ya ngga papa. Cuma tadi Diana bilang dia nunggu lama di sekolah."
"Loh, emang kamu ke mana dulu, Put?" tanya Dina tidak berdosa. "Mas, aku udah nyuruh sebelum jam pulang Diana, loh, malahan. Ngga becus kamu, Put. Kasian anak aku." Wanita itu memejokkan Putri.
"Maaf, Kak. Habisnya--"
"Habisnya apa? Apa?" Dina menyela. Ia tidak mau sampe Putri menyebutkan alasan keterlambatan menjemput karena tidak diberi alamat sekolah Diana.
"Itu, Kak--" Putri menatap Radit yang juga menatapnya. "Maaf, Mas. Tadi itu sempat berurusan sama orang gila pas dalam perjalanan." Terpaksa Putri berbohong. Ia tidak ingin ada masalah, walaupun yang Dina perbuat padanya itu keterlaluan. Mencari sekolah Diana diantara banyaknya sekolah di kota ini cukup membuatnya pusing. Namun, ia tidak kehilangan ide. Bertanya pada tetangga dan segera menuju sekolah yang disebutkan.
Mata Dina membulat. Ia tidak menyangka jawaban Putri seperti itu. Berurusan sama orang gila? Siapa yang gadis itu maksud. Dirinya, kah?
"Ya udah, ngga papa. Lain kali tolong tepat waktu. Kasian Putri."
"Iya, Mas." Putri menjawab sembari mengangguk.
"Ngga papa, Pa. Diana malah senang dijemput sama Aunty. Pulangnya dijajakan es krim." Diana tersenyum manis sembari melihat Putri. "Besok-besok Diana maunya di jemput terus sama Aunty Putri aja. Di rumah juga kita main terus loh, Pa. Kalau di butik mama, bosen. Hanya nonton tivi."
Radit tersenyum dan mengusap puncak kepala Diana. Nyaman saat melihat anaknya antusias bercerita yang membuat binar matanya berseri-seri, tampak kalau suasana hatinya sedang senang.
Dina menatap Dira. Kemudian menatap Putri. Kesal sekali rasanya dikhianati sama anak sendiri yang lebih memilih orang lain daripada ibu kandungnya.
"Besok mama yang jemput kamu," ucap Dina.
"Tapi maunya di jemput Aunty Putri."
"Mama aja. Dengarkan, biar mama aja yang jemput!"
"Tapi--"
"Diana Sayang. Dengar kata Mama." Radit kembali mengusap kepala Anaknya. Begitulah bukti cinta dan sayangnya pada Dina, selalu setuju dengan ucapan istrinya.
Ruang makan menjadi sunyi. Hanya terdengar bunyi perpaduan piring dan sendok. Makan malam pun berjalan tenang dan hikmat.
**
Radit dan Diana berangkat pagi-pagi sekali, tidak sarapan dulu karena memang berencana ingin sarapan bersama keluarganya di rumah Ibunya. Ahad, adalah hari berkumpul anak-anak Ratna, Ibu Radit.
Dira dan Dina, pun bersiap untuk menjemput para tamu. Mereka berdua mandi dan berpakaian rapi, tidak lupa berdandan menor dan glamour.
"Wow, Kakak keren banget," ucap Dira saat melihat Kakaknya keluar dari kamar dengan dandanan WOW. Dress biru selutut penuh payetan hingga terkesan bling-bling, lengan pendek, pres body, rambut yang digerai dan make up tebal, aksesoris banyak, membuat penampilan Dina terlihat Mewah.
"Ya, dong. Pake pakaian sederhana, malu sama nominal arisan kakak," ucap Dina sembari duduk di sisi Dira, di sofa, ruang tamu. Adeknya itu hanya memakai dress warna coklat dengan dandanan sebisanya. Penampilan mereka berbeda jauh.
"Emang arisan Kakak berapaan?"
"Dua puluh juta." Dina tersenyum manis. Ia menjawab, tetapi tidak sambil melihat Dira. Wanita itu sibuk memotret diri sendiri dan mengupload ke media sosial. Tidak lama, notifikasi menyerang ponselnya, tetapi membuatnya tersenyum karena isinya adalah like dan comen yang memuji penampilannya.
Dira terdiam. Ia melirik sinis. Ada rasa cemburu dengan kehidupan Kakaknya yang terlihat sangat enak.
"Putri mana?" tanya Dina.
"Ngga tau." Dira menjawab sewot.
"Cari, gih," suruh Dina. Ia sedang sibuk mengetik chat ke suaminya. Mau komplain kenapa tidak mengirim chat pujian padahal sudah melihat story akun hijau yang ia unggah.
"Iya." Walaupun kesal, Dira tetap menjalankan suruhan Dina. Ia mencari Putri ke teras dan mendapatkan gadis itu tengah menjemur pakaian di samping rumah.
"We, anak pelakor, dicari kak Dina," ucap Dira.
Putri menoleh. "Bentar ya, Kak. Nanggung, dikit lagi."
"Dicarinya sekarang. Sono temui. Babu itu jangan kurang ajar sama majikan."
Ucapan menohok itu membuat Putri tersenyum kecut. Ia menaruh jemuran dan berjalan masuk ke rumah, menghampiri Dina yang asik berfoto selfi.
"Kakak cari aku?" tanya Putri.
"Ya. Kamu buatin jus sepuluh gelas. Panasin hidangan di atas meja sama susun kue-kue dalam toples."
Dina sudah memesan makanan sejak lagi. Mengira suami dan anaknya mau sarapan bersama di rumah, ternyata menolak. Masalah cemilan, ia sudah membelinya kemarin, setelah pulang kerja.
"Baik, Kak." Putri langsung menuju dapur. Melakukan apa yang di suruh, setelahnya kembali menghampiri Dina dan melaporkan kalau tugasnya selesai.
"Bagus! Sekarang kamu ganti baju. Dira, ambilin baju buat dia," suruh Dina pada Dira. Gadis yang disuruh mendengkus, setelahnya berjalan pergi ke kamar Kakaknya, mengambil baju di atas meja rias dan segera melempar ke muka Putri.
"Cepat ganti. Teman-teman aku udah pada datang, tuh." Dina berdiri saat mendengar klakson mobil di depan rumahnya.
"Iya, Kak." Putri berjalan ke kamarnya sambil membawa baju pemberian Kakaknya. Tumben Dina memberinya baju. Namun, perasaannya tiba-tiba tidak enak. "Semoga tidak terjadi apa-apa," ucapnya sembari mengelus dada.
****
***"Putri!" Panggilan Dina membuat Putri mau tidak mau harus keluar kamar. Berjalan cepat sambil menyiapkan mental baja untuk menghadapi dua Kakaknya dan sahabat-sahabatnya karena muncul dengan pakaian tidak layak seperti ini.Pakaian yang dipakai Putri adalah pemberian Dina. Ia juga yang merancang bahkan menjahitnya. Kain-kain sisa di butik yang ia sulap menjadi daster."Putri!" Panggilan kedua membuat langkah Putri semakin lebar."Iya, Nyonya," jawabnya setelah sampai di hadapan Dina dan lainnya. Tadi, Dira telah menekankan kata Nyonya buat Dina dan Nona buatnya, membuat gadis itu merasa sepenuhnya pembantu di rumah ini, tidak ada hubungan keluarga sama sekali."Ambilin jus," suruh Dina dengan angkuh."Baik, Nyonya." Putri langsung menuju dapur. Mengambil nampan yang sudah terisi 10 gelas berisi jus warna orange yang terlihat segar. Membawa kembali ke ruang tamu. Segera
***Putri merebahkan dirinya di ranjang. Jam 5 sore barulah bisa istirahat. Itupun setelah menyapu, mengepel, buang sampah dan cuci piring.Gadis itu menyeka air matanya. Kemudian menghela napas berulang-ulang. Hari ini sungguh melelahkan, menguras kesabaran juga. Tubuhnya terasa lemas dengan hati yang sepertinya hanya tersisa sepotong saja. Sepotong lainnya telah hancur akibat bersabar dari hinaan.Tadi, Bukan hanya disuruh duduk sembari menunduk dan membantu menyiapkan makanan, gadis itu juga disuruh jalan kaki menuju mini market yang letakkan cukup jauh. Bukan hanya sekali, tetapi 5x. Membeli kacang kulit, minuman kaleng, kacang kulit lagi, minuman kaleng lagi dan terakhir membeli permen dengan harga 5000 rupiah. Harus di tempat yang ditentukan Dina, sebagai bukti, wanita itu meminta struk pembayaran.Bukan hanya malu karena bolak-balik, Putri juga malu karena menjadi pusat perhatian di jalan maupun di
***Radit membuka mata tepat jam 8 malam. Ia segera mandi dan keluar kamar. Tidak berniat membangunkan istrinya yang terlihat sangat nyenyak."Dir, ngga ada makanan?" tanya Radit setelah berkunjung ke dapur. Pria itu kembali menghampiri adik iparnya yang berada di sofa ruang tamu. Kemudian bertanya."Ngga ada, Mas. Kan biasanya kak Dina yang nyiapin semua. Ini ... aku juga udah laper banget. Kak Dina ngapain, sih?" tanyanya. Dira menaruh ponsel di pahanya dan memegang perutnya yang sebenarnya tidak lapar sama sekali. Gadis itu baru saja balik dari makan warung di depan gang. Namun, mengompori dengan maksud lain."Dina lagi tidur. Kecapean. Ya udah, mending kamu masak. Ada bahan kan di dapur?"Dira membulatkan mata. Apa? Masak? Itu adalah hal yang tidak pernah ia lakukan."Aku ngga bisa, Mas. Terlalu lemes, ngga bisa banyak gerak," ucapnya beralasan.Radit
***"Aunty senang ngga tinggal di sini?"Pertanyaan itu membuat Putri menghentikan aktifitas menyelimuti tubuh merek berdua. Gadis itu pun menatap keponakannya dengan senyum yang terpaksa. Tadi, setelah selesai makan malam, mereka sempat nonton bersama di ruang keluarga, tetapi saat Radit berpamitan masuk kamar, Diana pun meminta masuk ke kamar."Senang."Jawaban palsu Putri sukses membuat Diana tersenyum manis. Gadis kecil itu langsung memeluk Putri yang tidur terlentang. Ia bahkan tidur di lengan Auntynya."Diana juga senang ada Aunty di rumah ini.""Kenapa senang?""Ada teman main.""Emang suka main sama Aunty Putri?"Tanya jawab pun terjadi."Suka banget. Aunty itu baik, perhatian lagi. Coba Aunty itu mama aku, pasti senang banget."Baik dan perhatian, kapan? Sepertinya ia di rumah ini
***"Sudah bangun, Yang?" tanya Radit. Pria itu tengah memakai pakaian kantor.Dina beranjak duduk. Tidak menjawab pertanyaan suaminya. Ia malah membuka topik baru. Berucap sembari menatap kesal pada Radit."Mas, kenapa menu makan malam kita berbeda?"Radit menoleh, menatap wajah istrinya yang tetap cantik walau baru bangun tidur. Kemudian menjawab dengan santai, "Hanya ingin menu yang berbeda." Setelah berucap, ia kembali menatap cermin sembari mengancing kemeja warna biru navi.Hati Dina mengondok. Jawaban suaminya adalah pembelaan buat Putri. Jelas-jelas Dira bilang kalau adik tirinya yang meminta menu itu. Dengan kekesalan mendalam, wanita itu berjalan cepat ke kamar mandi.Radit mengambil sepatu di rak pojok kamar, duduk di tepi kasur dan memakai alas kaki itu.Dina keluar dari kamar mandi. Mukanya semakin masam. Ia berjalan ke lemari, mengeluarkan pa
***Putri keluar kamar setelah mendengar deru mesin mobil menjauh dari rumah. Langkahnya menuju ke dapur. Perutnya keroncongan, butuh diisi. Tadi, setelah selesai menjemur baju, ia berjalan ke kamar, Radit yang melihatnya memanggil untuk sarapan bersama, tetapi tatapan tajam Dina dan Dira membuatnya harus menggeleng dan masuk kamar tanpa menjawab.Putri menghela napas setelah melihat piring bekas sarapan masih berantakan berada di meja. Dua Kakaknya memang benar-benar tidak ingin ia tinggal dengan nyaman dan gratis di rumah ini, makanya selalu membuatnya bekerja, bekerja dan bekerja.Putri mencuci piring dulu, mengelap meja. Kemudian mencari makanan. Mengerjakan pekerjaan rumah sungguh menguras tenaga dan dengan makan tenaga itu akan pulih, sayangnya ia tidak mendapatkan menu apapun. Sepertinya makanan sisa yang Dira janjikan palsu. Gadis itu duduk di kursi. Lemas.Dreet!Ponsel dalam saku
***"Put, mbok yo sekali-sekali dilawan gitu loh. Aku dengernya aja gedek banget, masa kamu yang ngerasain 'B' aja," ucap Mita yang menasehati Putri sembari memperhatikan sahabatnya itu makan mie instan buatannya. Tadi, Putri menelepon, menyuruh menjemput di depan gang dan di sinilah gadis itu, berada di kosan. Sedikit menceritakan tentang kesialan yang dialami pagi ini, tetapi membuat banyak emosi Mita yang keluar."Mit, niat aku mau balas budi, bukan buat masalah, nambah masalah dan bermasalah." Putri menyeka keringatnya. Kuah mie yang panas, bercampur dengan rasa pedas berkat irisan cabai, makan tanpa gangguan, kenyang makan bukan tekanan, membuatnya merasa hidup kembali."Ya sekali-sekali dilawan. Aku tau kamu ngga bodoh-bodoh amat buat membalas mereka, hanya kamu terikat dengan kata balas budi. Jadinya kamu itu pasrah pada penderitaan tanpa mau memperjuangkan kebahagiaan. Tulul tau ngga." Mita berucap sambil mengambil
***"Akhirnya pulang juga." Dira langsung berdiri dari sofa teras dan menatap manis mobil yang baru datang. Ia sengaja membantu membuka pagar dan menutupnya. Kemudian menghampiri Dina yang keluar dari mobil."Tumben," ucap Dina."Hehehe, ada yang mau gue omongin sama Kakak." Sengaja ia menunggu supaya tidak didahului Putri dan Diana atau ia akan dalam masalah besar."Apa?" Dina menjawab sembari berjalan ke teras, duduk di sofa. Senderan, mencari posisi enak.Dira duduk di sisi Dina. Menarik napas dulu sebelum berbicara."Kenapa? Tegang banget tuh muka," ucap Dina sembari tersenyum tipis."Diana kenapa pulang sama Putri?" tanyanya."Karena kamu ngga mau jemput. Kakak sibuk jadi nyuruh dia," jawab Dina santai. "Emang kenapa? Apa dia melalukan kesalahan fatal pada Diana?""Bukannya Kakak semalam bilang jangan dekati anak dan suami Kakak? Kenapa sekarang malah bikin dia kembali dekat dengan Diana?" Dira merasa ke
***"Ibu besok mau pulang ya Nak Radit," ucap Amalia saat mereka semua, Dina, Dira, Diana, dirinya dan Radit tengah makan malam bersama."Kok cepat, Bu? Baru juga seminggu," ucap Radit menatap mertuanya."Udah kelamaan ibu di sini. Diana udah sehat, ibu punya tanggung jawab di kampung. Jadinya harus pulang." Amalia menatap Diana yang sedang makan dalam diam."Kalau gitu besok Radit antar ke terminal," ucap Pria itu setelah minum air mineral. Dia sudah selesai makan."Iya. Makasih, Nak." Amalia tersenyum manis. Kembali melahap makanannya.Dina dan Dira, dua wanita itu tidak ada respon apapun tentang momen izin pamit ibunya. Terlalu fokus menikmati makanan lezat yang terhidang di atas meja."Diana, mau nambah, Sayang?" tawar Radit.Diana tidak menjawab. Namun, gadis kecil itu menggeleng.Radit menghela napas. Semenjak pulang
***"Pa, aunty Putri belum datang?" tanya Diana. Rasa rindu dua hari tidak bertemu sudah tidak bisa dibendung lagi."Belum, Sayang. Sebentar lagi. Mungkin masih di jalan. Sabar, ya." Radit mengusap puncak kepala anaknya. "Papa cari makan dulu, ya? Diana mau makan apa?" tanyanya."Terserah Papa aja.""Ya sudah. Papa keluar dulu. Kamu sama Mama."Diana mengangguk. Gadis yang duduk bersandar di bantal itu tersenyum manis pada Papanya.Radit membalas senyuman anaknya itu. Pria itupun berdiri dan berjalan ke pintu. Namun, menghentikan langkah dan menoleh ke arah sofa. Melihat istrinya yang sibuk dengan ponselnya."Di, titip anakku," ucap Radit yang sukses mengambil perhatian Dina wanita itu menatap ke arah suaminya yang sudah kembali melangkah keluar ruangan. Alis matanya bertaut. Titip anakku? Bukannya Diana juga anaknya? Aneh sekali suaminya.
***Putri mengajak Tama ke rumah sakit lagi. Kali ini dia ingin melihat sendiri alias mengintip, memastikan kalau keponakannya itu baik-baik saja."Kita ngga bawa buah tangan?" tanya Tama. Mereka baru saja sampai di parkiran."Ngga usah, Mas. Cuma pengen liat aja. Habis itu pulang." Setelah berbicara, Putri keluar dari mobil, begitu juga Tama."Elo sayang banget sama dia, ya."Putri mengangguk setuju. "Diana itu adalah teman pertamaku di kota ini, Mas.""Kalau gue yang keberapa?" tanya Tama iseng.Putri menoleh. Kemudian tersenyum lebar. "Mas yang ke tiga. Pertama, Diana. Kedua itu mas Radit."Tama mengangguk. "Oke. Ya udah, ayo kita masuk," ajaknya."Ayo, Mas." Putri mengangguk dan mereka berdua pun beriringan berjalan masuk ke bangunan rumah sakit."Kalau elo ketahuan?" tanya Tama.Putri
***Tama menjemput Putri setelah menelepon. Sesuai janji semalam, mereka menuju ke toko pakaian bayi. Masuk beriringan dan kini berhadapan dengan berbagai pakaian bayi yang terlihat imut tersusun rapi di rak."Kalau adik Mas Tama beneran perempuan, pakaiannya yang ini aja, imut." Putri menunjuk setelan baju tidur bergambar panda."Boleh." Tama mengambil dua lembar. "Yang mana lagi yang bagus?" tanyanya."Ini juga bagus." Putri kembali menunjuk. Namun, kali ini jaket bulu warna pink. "Ini, ini dan ini." Gadis itu sekarang bukan hanya menunjuk, tetapi sudah mengambil topi, sepatu, kaos kaki yang menurutnya imut dan itu mengundang senyum Tama."Aku ambil troli dulu," ucap Tama dan Putri mengangguk. Gadis yang ditinggal itu kembali mengambil satu jaket lagi dan beberapa topi dan kaos kaki."Put," panggil Tama. Pria itu sungguh cepat. Kini sudah berada di belakang Putri bersama
***Radit mengecup kening Dina yang cemberut, setelahnya pria itu keluar dari ruangan anaknya, pulang ke rumah untuk bersiap berangkat kerja. Ada meeting penting yang harus dihadiri dan berjanji setelah selesai, akan langsung menemui Diana lagi."Ma, mau pipis." Diana berkata pada Dina yang berada di depan pintu. Walaupun kesal, wanita itu tetap mengantar kepergian suaminya dan mengiyakan saat pria tercinta mengatakan untuk baik-baik menjaga anak mereka."Mama mau cari makan. Kamu pipis sendiri saja." Dina masuk kembali ke ruangan hanya untuk mengambil ponsel dan tas selempang, setelahnya berjalan keluar. Kekesalan tadi malam masih berefek sampai pagi ini dan melihat Diana, membuatnya teringat Bagas, ayah biologisnya yang seenaknya meninggalkannya saat sedang mengandung dan sekarang datang disaat dia sudah move on juga bahagia. Menurutnya, sifat anak dan bapak itu sama aja. Sama-sama menyebalkan.***
***"Kak Dina belum masuk ruangan?" tanya Putri saat dia kembali dari toilet."Belum? Emang dia ngga ada di dalam?" tanya Mita yang heran dengan pertanyaan Putri."Tadi hampir ketemu di toilet. Untung cepat sembunyi," ucap Putri."Kenapa harus sembunyi?" tanya Tama. "Hadapi aja. Kalau perlu bantuan, gue bantu."Putri tersenyum. Entah dengan cara apa berterima kasih dengan pria tampan ini. "Bukan sekarang. Keadaan masih panas. Sekarang Mas Tama masuk dan serahin boneka serta makanan itu. Aku sama Mita tunggu di mobil.""Ya udah." Tama mengangguk. Kemudian segera berjalan ke ruangan Diana. Sedangkan Putri menarik tangan Mita menuju parkiran.**Tama mengetuk. Kemudian membuka pintu perlahan. Matanya langsung beradu dengan mata Radit, setelahnya Diana."Selamat malam, Mas, Diana," ucap Tama ramah."Om baik,"
***Putri mengajak Mita ke toko boneka. Rencananya dia mau membeli boneka panda buat keponakannya itu. Dia yang tidak bisa menemani, berharap pemberiannya bisa."Put, kamu ngga ada niat mau pindah kota, kan?" tanya Mita. Sahabatnya itu kekeh mengajaknya membeli barang kenang-kenangan."Ngga tau, Mit. Pikir nanti aja. Kita beli aja dulu boneka, habis itu antar ke rumah sakit dan pulang. Kamu pasti udah ngantuk." Putri membuka pintu Toko boneka. Langsung melihat sekeliling. Banyak sekali boneka dengan berbagai ukuran."Beli yang kecil aja. Biar bisa dibawa-bawa," ucap Mita."Iya, tapi ngga kecil-kecil banget.""Iya. Mau boneka apa?" tanya Mita."Panda aja. Gemuk tuh, ya, jadi enak di peluk.""Kayak gue dong?""Bener." Putri menyengir. Setelahnya, Gadis itu menggandeng Mita. Menariknya menuju rak pojok. Mengambil boneka panda
***Putri menarik Mita untuk bersembunyi dibalik tembok. Saat berbelok, matanya langsung melihat Dina dan Dira berdiri berhadapan, terlihat serius mengobrol di depan ruangan Diana di rawat."Kenapa?" tanya Mita yang kaget."Ada kak Dira dan Dina," ucap Putri. Gadis itu kini sedang mengintip. Jarak yag tidak jauh membuatnya bisa sedikit mendengar percakapan dua orang itu."Maksud kamu apa sok perhatian sama Diana dan mas Radit?"Alis mata Putri bertaut. Dina bertanya sinis pada Adik tersayangnya. Kok tumben?"Perhatian sama ipar dan ponakan bukannya wajar, Kak?" tanya Dira santai."Ngga wajar. Harusnya kamu abai. Perhatian buat mereka cukup kakak yang kasih. Liat, gara-gara kamu mas Radit nyinggung kakak."Dira mendengkus. "Kakak abai, sih. Masak anaknya sakit malah duduk di sofa dan main ponsel. Ya udah, gue sebagai aunty yang baik, kasih
***"Put, kamu belum tidur?" tanya Mita. Gadis gemuk itu baru saja pulang dari kerja. Wajah lelahnya nampak jelas. Langsung menuju kamar mandi tanpa mendengar jawaban dari Putri yang duduk di atas kasur sembari melihat ponsel di depannya.Putri menghela napas. Dia mengambil ponsel, menatap sendu. Kemudian meletakkan lagi benda pipih itu ke atas kasur. Dia dari tadi sedang bimbang antara mengaktifkan ponsel apa tidak. Aktif, berarti siap menghadapi apapun. Telepon dari Dina, Dira dan ibu Amalia, tetapi tidak mengaktifkan, dia ingin tau kabar tentang Diana."Put, kenapa belom tidur?" tanya Mita yang baru keluar dari kamar mandi. Gadis gemuk itu terlihat segar. Selesai mandi.Putri menghela napas. "Menurutmu, apa yang aku lakukan ini benar, Mit?" tanya gadis itu sembari menatap sahabatnya.Mita duduk bersila di depan Putri. Sambil menggosok rambut basahnya, gadis itu tersenyum. "Bener pakek b