Ceklek!
Saat pintu terbuka, mata Radit langsung bertatapan dengan mata Dina yang tajam. Wanita itu duduk di tepi ranjang.
"Dek, jangan begitu sama ibu." Radit langsung menegur. Sikap istrinya sangat tidak sopan. Pria itu sedikit malu karena merasa gagal mendidik.
"Mas jahat, tau ngga!" Dina mengalihkan pembicaraan, membuat Radit yang tengah membuka kancing kemejanya menghentikan aktifitas. Kemudian menatap Istrinya.
"Jahat kenapa?"
"Kenapa Putri dibolehkan--"
"Masih bahas itu. Astaga, Din. Putri adek kamu. Apa salahnya--"
"Mas tau jelas kalau dia itu bukan adik kandung aku. Aku benci dia. Dia anak pelakor, Mas! Mas sadar, dengan masuknya dia ke rumah kita, terancam sudah keluarga kita."
Radit menghela napas. Ia lelah, bertambah lelah saat istrinya marah-marah. Dina terlalu memojokkan Putri dan menurutnya itu tidak baik.
"Mana Diana?" tanya Radit. Ia mengalihkan topik. Menanyakan anaknya yang berumur 5 tahun, ingin meluangkan waktu untuk bermain.
"Jangan alihkan topik, Mas! Aku sekarang was-was tau ngga. Takut kamu diambil anak pelakor itu!"
Radit menghela napas beratnya. Walaupun Ibu kandung Putri adalah pelakor, tetapi gadis itu dibesarkan dikalangan orang-orang baik, pastilah terdidik dengan sikap dan sifat yang baik juga. Radit tau, kalaupun Putri boleh memilih, ia ingin terlahir dari anak orang baik-baik dan dari sini bisa disimpulkan yang salah bukan anaknya, melainkan peran orang tuanya, tetapi imbasnya sampai ke anak cucu.
Selain karena permintaan Ibu mertua, hatinya pun merasa iba dengan perlakuan buruk yang gadis itu dapat. Ada sedikit rasa simpati. Walaupun ia anak pelakor, ia pasti juga ingin hidup yang baik.
"Mas, malah melamun!" Dina berdiri. Ia bertambah kesal. "Mas, apa mas suka sama Putri?" Terkaan itu membuat Radit menatap datar pada Dina. Istrinya itu suka sekali menuduh. Bukan hanya ke Putri, sekertaris, klien wanita bahkan orang yang tidak di kenal, jika berkomunikasi dengannya pasti dikira ia suka atau selingkuhannya.
"Aku mau mandi." Pria itu berjalan ke kamar mandi.
"Mas, kita belum selesai bicara. Mas!" Dina berteriak, tetapi tidak dihiraukan suaminya. Ia pun mengumpat kata sial sembari menendang ranjang.
**
"Kamu baik-baik di sini, ya."
"Iya, Bu."
Putri tetap tersenyum walau menitikan air mata di pangkuan Amalia. Ibunya besok mau pulang kembali ke kampung. Gadis itu akan sendirian berada di kandang macan yang siap menerkam kapan saja. Namun, semua harus dijalani demi balas budi dan masa depan.
Ia tahu jalan cerita bagaimana ia bisa lahir dan tinggal bersama keluarga Handoyo juga kenapa para Kakaknya selalu jahat padanya, itu karena ia anak selingkuhan Bapaknya yang di taruh di depan pintu rumah saat masih bayi. Amalia sudah menceritakan semua. Wanita yang Putri tahu sebagai Ibunya itu sangat baik. Selain ucapan terima kasih, mungkin dengan ia mengabdi, bisa menebus rasa letih dalam merawatnya dan menebus kesalahan Ibu kandungnya.
"Nantinya, tolong jangan dimasukkan ke hati perlakuan dan perkataan kakak-kakakmu. Nak, ibu melalukan ini untuk kebaikanmu. Di sini kamu punya keluarga yang bisa memantau. Ibu tidak mau kamu salah bergaul." Amalia mengecuk kening Putri. "Tolong maafkan jika ibu egois." Sambungnya.
Putri tersenyum dan menggeleng pelan. "Ibu tidak egois. Makasih atas perhatiannya."
Amalia menyeka air matanya. Ia sungguh berat jauh dari Putri, anak tiri yang sangat ia sayangi. Walaupun dulu awalnya perih menerima anak hasil perselingkuhan, tetapi paras Putri yang cantik menggemaskan mampu meluluhkan hatinya. Hingga kini, paras anaknya semakin cantik, bukan lagi menggemaskan, tetapi menawan, membuatnya was-was jika salah pergaulan. Ia harap, cukup ibunya yang salah langkah, jangan anaknya.
"Patuh sama mas Radit. Jangan buat dia kecewa karena telah mengizinkanmu tinggal di rumah ini."
"Iya, Bu."
"Sebelum dapat kerjaan, kamu bisa bantu beres-beres rumah."
"Iya." Putri menjawab sembari menatap wajah Amalia. Nantinya, ia pasti akan merindukan sosok itu. Kebawelan, perhatian dan senyumannya.
"Put."
"Ya, Bu." Putri beranjak duduk bersila di depan Amalia.
"Kamu ngga ada niatan untuk ... itu ... untuk ... anu nak Radit, kan? Em ... maaf kalau ibu nanyak kayak gini. Hanya ingin melegakan hati ibu saja." Amalia sebenarnya tidak enak hati, tetapi kalimat Dira tentang Putri yang nantinya akan mengait Radit, membuatnya banyak pikiran.
Putri tersenyum. Ia mengerti Anu yang Ibunya maksud. "Bu, Putri ngga ada niatan kayak gitu." Jangankan untuk merebut, untuk tinggal di sini saja gadis itu tidak ada niatan.
Amalia tersenyum. Ia berharap benar-benar tidak ada niatan buruk di hati Putri. Semoga didikkan baiknya selama ini terus melekat di diri anak tirinya itu.
"Ibu percaya sama kamu."
"Makasih, Bu."
Tok-tok!
Ketukan pintu membuat Amalia dan Putri menoleh. Pintu terbuat dari kayu jati itu terbuka, memunculkan sosok gadis kecil yang tersenyum lebar.
"Nenek!" serunya sembari berlari.
"Diana, cucu nenek." Amalia tersenyum. Ia mengulurkan kedua tangannya. Menjemput tangan mungil Diana. Kemudian menarik pelan, membuat Nenek dan cucu itu saling berpelukan.
"Nenek kapan datang?" tanya Diana sambil mendongak di pelukan Neneknya.
"Tadi sore. Jam 5, Sayang. Kamu ke mana? Kok tadi ngga jemput nenek." Amalia berpura-pura merajuk. Diana melepas pelukan. Anak yang berdiri di sisi ranjang itu menatap memelas.
"Maaf, Nek," ucapnya sembari mengatupkan tangan, membuat Amalia gemas. Sedangkan Putri tersenyum melihat tingkah yang lucu itu. "Diana ketiduran di kamar."
"Ngga papa, Sayang. Nenek bercanda." Amalia mengangkat Diana ke pangkuannya. "Kenalin, ini Tante Putri. Dia mau tinggal di sini."
Diana menatap Putri. Yang ditatap, pun tersenyum manis.
"Aku panggil Aunty aja ya, Nek. Teman-teman aku panggil adik mamanya pada Aunty."
"Boleh." Amalia mengangguk setuju, setelahnya mengecup pipi gembil Diana.
"Hay Aunty cantik, kenalkan, aku Diana." Diana mengulurkan tangannya pada Putri.
"Namaku ... ups! Nama Aunty, Putri. Senang berkenalan dengan gadis comel sepertimu," ucap Putri menyambut uluran tangan Diana. Mereka pun bertukar senyuman.
"Aunty cantik sekali, Nek. Mukanya beda dari mama dan Aunty Dira."
Amalia tersenyum.
"Makasih. Diana juga cantik." Putri mencubit gemas pipi keponakannya itu. Baru kali ini mereka bertemu dan dekat. Pasalnya, Putri tidak diberikan izin berbaur saat kumpul keluarga oleh Dina dan Dira.
Diana tersenyum lebar. "Aunty, kita berteman, ya," ucapnya
"Boleh."
Amalia tersenyum lebar. Ia senang Putri diterima Diana. Setidaknya ada teman main anaknya selepas ia mendapat tekanan batin.
"Bu, Ayo makan," panggil Dira di depan pintu membuat Amalia, Diana dan Putri menoleh. "Diana, di sini rupanya. Aunty cariin di kamar tadi, tapi ngga ada. Ayo kita makan sama-sama." Dira menatap Putri sinis. "Elo, Put, kalau tau diri, jangan makan!" sambungnya dengan nada ketus, setelahnya berjalan pergi.
"Nek, kok aunty Dira galak sama Aunty Putri?" tanya Diana.
Amalia tersenyum. "Selama Aunty Putri di sini, Diana harus temani, ya." Bukannya menjawab, nenek Diana itu malah memberi pesan.
"Iya." Diana yang penurut, pun mengangguk.
"Makasih, Sayang." Amalia tersenyum lebar. Ia menatap Putri, mengelus surai hitam panjangnya. "Berteman baik sama Diana, ya."
"Iya, Bu." Putri mengangguk.
"Ya sudah, ayo kita keluar dari kamar ini. Kita makan malam bersama," ucap wanita berumur 58 tahun itu.
Putri dan Diana mengangguk setuju. Mereka pun berjalan beriringan keluar kamar. Bukannya tidak tahu diri, hanya saja Putri merasa lapar.
****
*** Putri berjalan di belakang Amalia menuju ke ruang makan untuk sarapan bersama. Sebenarnya gadis itu enggan karena insiden semalam, saat Dina dan Dira menolak makan bersama dengannya, akhirnya Radit dengan tegas memarahi dua orang itu. Ia merasa tidak enak hati dan meyakini setelah ini pembalasan dendam pasti terjadi. "Bu, Putri, silahkan duduk," ucap Radit ramah. Bukan sok ramah, pria itu tau betul bagaimana harus bersikap dengan orang tua. "Makasih, Nak Radit. Ayo, Put." Amalia menarik tangan Putri. Mereka pun duduk bersisian di sisi Diana, berhadapan dengan Radit, Dina dan Dira. Dua wanita dewasa itu menatap sinis pada Putri, membuat gadis itu hanya bisa menunduk, bukan takut, tetapi menghormati, biar tidak dikatai menantang masalah. "Nanti Ibu biar Radit yang antar, ya, sekalian searah sama kantor dan sekolah Diana," ucap Radit ramah. Ia mengambil piring sodoran Istrinya yang sudah penuh nasi dan lauk pauk, mengucap terima kasih dengan se
***Putri merasa dillema. Ini sudah sore, pasti sebentar lagi semua penghuni rumah akan pulang melepas lelah dan ia yang seharian berada di rumah tidak tahu harus memasak atau tidak. Mau memasak, takut ditegur karena menyentuh barang milik Kakaknya. Parahnya, kalau disangka mau menguasai rumah ini. Tidak memasak, malu rasanya jika mereka pulang dengan rasa lelah dan mungkin saja lapar, saat membuka tudung saji, nyatanya tidak berisi. Gadis itu pun mengelus perutnya yang keroncongan. Ia hanya sarapan, belum makan siang.Putri berdiri dan berjalan ke arah pintu kamar, menempelkan telinganya di daun pintu, mendengar suara Diana berbicara. Namun, ia urung keluar."Mama, laper," ucap Diana merengek.Dina yang baru saja mendaratkan bokong di sofa ruang tamu, berdiri lagi, berjalan ke arah dapur. Ruangan itu bersih dan rapi, hanya saja saat ia membuka tudung saji di atas meja makan, kosong, tidak berisi. Rasa lap
***"Sayang, bukannya tadi ada yang masak, baunya wangi sekali, kok kita sarapan pakek roti?" tanya Radit. Ia merasa heran."Oh, itu ... anu ... kata Dira, masakan yang tadinya buat sarapan dijatuhi cicak, jadi dibuang." Dengan gagap, Dina mampu menyelesaikan kalimat kebohongan. Dia segera mengoles selai Kacang di atas roti, menumpuk dengan satu roti lagi, setelahnya menyerahkan pada suaminya."Makasih, Sayang." Radit mengigit rotinya. "Emang tadi pagi kamu masak apa, Dir?" tanya Radit sembari menatap Dira yang sedang mengoles selai stroberi ke rotinya."Em ... itu ... Mas, anu ....""Ya ampun, saking mikir keras tentang pelajaran kuliah, sampe jadi pelupa gitu. Tadi kamu masak ayam kecap, kan?" Dina mengedipkan sebelah matanya untuk kode."Oh, iya Mas. Aku masak ayam kecap. Karena cicak, jadi dibuang." Dira tersenyum paksa. Kakaknya itu menjengkelkan, masa mengajak membuat kebohongan tanpa kompromi dulu."Oh. Padahal dari
*** Putri berjalan penuh semangat ke arah pintu rumah yang terbuka. Tadi, ia dan Mita sudah menaruh berkas lamaran pekerjaan, setelahnya jalan-jalan keliling mall dan makan bakso sebelum pulang, jadi saat nanti tidak ikut makan malam, ia tetap bisa tidur tanpa ganguan kelaparan. "Assalamualaikum," ucapnya sembari melangkah masuk. Namun, senyum dan semangatnya luntur saat melihat Dira dan Dina yang duduk si sofa, melipat tangan di dada dan menatapnya dengan tajam. Putri mematung di depan pintu. Tubuhnya seakan sulit digerakkan. Ia merasa seperti pencuri yang ketahuan. "Assalamualaikum." Suara dari belakang Putri membuat gadis itu, bahkan Dira dan Dina menatap Radit yang memasuki rumah. "Waalaikumsalam." Seperti biasa, Dina berdiri, menghampiri dan menyambut kedatangan suaminya dengan aksi cium tangan. "Udah pulang, Mas?" Pertanyaan bodoh dari mulut D
***Pagi ini Putri menjalani perannya sebagai pembantu. Ia bangun subuh, setelah menjalankan dua rakaat, langsung beberes. Mencuci piring, menyapu, ngepel, siram bunga. Kemudian ia mencuci baju. Sudah ada 2 keranjang penuh cucian kotor di depan mesin cuci. Perpaduan baju Dira, Dina, Radit dan Diana."Sabar, Put," ucapnya menguatkan. Ia menyeka dulu keringat di keningnya, setelahnya memasukan sebagian demi sebagian pakaian ke mesin. Mulai menggiling, membilas dan memasukkan ke mesin pengering, setelahnya menjemur di samping rumah.Selesai.Putri melakukan kerjaan itu dengan semangat, membuat tubuhnya terasa segar karena sekalian berolah raga.Gadis itu masuk ke dalam rumah, ke kamarnya, memutuskan untuk mandi. Namun, diurungkan ketika ada ketukan di pintu."Aunty."Itu suara Diana."Ya, tunggu," ucapnya sembari berjalan ke arah pintu.Ceklek!Putri melihat Diana yang masih memakai baju tidur
***"Kak, tadi si Putri ketawain aku ngga?" tanya Dira. Karena tidak ada Dosen, ia memilih ke Butik Kakaknya."Ngga tau. Males kakak liat mukanya," ucap Dina sembari sibuk dengan laptopnya. Hari ini pesanan pakaian batik couple keluarga via online sangat banyak. Ia sedang mengecek alamat pelanggannya satu persatu."Mana mas Radit ngebela. Aduh, Kak, siaga dong. Tuh, mas Radit udah mulai membela. Besok-besok apa lagi," ucap Dira.Dina menghentikan aktifitasnya, beralih menatap Adiknya yang duduk di sofa, wajah gadis itu terlihat kesal. "Mas Radit ngga mungkin berpaling. Kurang apa kakak sampai dia melakukan itu?" tanyanya.Dira mendengkus. Buatnya, Dina memang tidak ada kekurangan. Cantik, putih, pintar bisnis dan seksi. Ia lagi-lagi merasa iri."Lagian, mas Radit itu tipe suami setia dan penurut. Emang selama kamu tinggal di rumah, pernah dengar kabar huruk tentang dia den
***"Mas, besok aku bawa teman-teman sosialita aku ke sini, boleh? Mau arisan," tanya Dina. Mereka semua, termasuk Putri, sedang makan malam."Biasanya arisannya di luar, Yang. Kok tumben kali ini di rumah?" tanya Radit, setelahnya menyuapkan nasi bercampur opor ayam ke dalam mulutnya. Mengunyah perlahan sambil terus menatap manis wajah glowing istrinya."Nyari suasana baru aja. Bosen kalau selalu di luar. Pada minta di rumah kita, mau lihat keharmonisan keluarga kita," ucap Dina. Wanita itu melirik Dira dan saling bertukar senyuman."Boleh, tapi besok mas mau jenguk ibu. Kirain mumpung hari libur, kamu bisa ikut. Padahal ngga bisa." Suara Radit terdengar kecewa. Ia ingin sekali-sekali bertiga dengan Dina menengok Ibunya yang sudah tua dan sakit-sakitan, bukan hanya berdua terus sama Diana."Maaf ya, Mas. Udah janjian masalahnya. Nengoknya bisalah kapan-kapan. Ibu sehat, sehat juga, kan. A
***"Putri!" Panggilan Dina membuat Putri mau tidak mau harus keluar kamar. Berjalan cepat sambil menyiapkan mental baja untuk menghadapi dua Kakaknya dan sahabat-sahabatnya karena muncul dengan pakaian tidak layak seperti ini.Pakaian yang dipakai Putri adalah pemberian Dina. Ia juga yang merancang bahkan menjahitnya. Kain-kain sisa di butik yang ia sulap menjadi daster."Putri!" Panggilan kedua membuat langkah Putri semakin lebar."Iya, Nyonya," jawabnya setelah sampai di hadapan Dina dan lainnya. Tadi, Dira telah menekankan kata Nyonya buat Dina dan Nona buatnya, membuat gadis itu merasa sepenuhnya pembantu di rumah ini, tidak ada hubungan keluarga sama sekali."Ambilin jus," suruh Dina dengan angkuh."Baik, Nyonya." Putri langsung menuju dapur. Mengambil nampan yang sudah terisi 10 gelas berisi jus warna orange yang terlihat segar. Membawa kembali ke ruang tamu. Segera
***"Ibu besok mau pulang ya Nak Radit," ucap Amalia saat mereka semua, Dina, Dira, Diana, dirinya dan Radit tengah makan malam bersama."Kok cepat, Bu? Baru juga seminggu," ucap Radit menatap mertuanya."Udah kelamaan ibu di sini. Diana udah sehat, ibu punya tanggung jawab di kampung. Jadinya harus pulang." Amalia menatap Diana yang sedang makan dalam diam."Kalau gitu besok Radit antar ke terminal," ucap Pria itu setelah minum air mineral. Dia sudah selesai makan."Iya. Makasih, Nak." Amalia tersenyum manis. Kembali melahap makanannya.Dina dan Dira, dua wanita itu tidak ada respon apapun tentang momen izin pamit ibunya. Terlalu fokus menikmati makanan lezat yang terhidang di atas meja."Diana, mau nambah, Sayang?" tawar Radit.Diana tidak menjawab. Namun, gadis kecil itu menggeleng.Radit menghela napas. Semenjak pulang
***"Pa, aunty Putri belum datang?" tanya Diana. Rasa rindu dua hari tidak bertemu sudah tidak bisa dibendung lagi."Belum, Sayang. Sebentar lagi. Mungkin masih di jalan. Sabar, ya." Radit mengusap puncak kepala anaknya. "Papa cari makan dulu, ya? Diana mau makan apa?" tanyanya."Terserah Papa aja.""Ya sudah. Papa keluar dulu. Kamu sama Mama."Diana mengangguk. Gadis yang duduk bersandar di bantal itu tersenyum manis pada Papanya.Radit membalas senyuman anaknya itu. Pria itupun berdiri dan berjalan ke pintu. Namun, menghentikan langkah dan menoleh ke arah sofa. Melihat istrinya yang sibuk dengan ponselnya."Di, titip anakku," ucap Radit yang sukses mengambil perhatian Dina wanita itu menatap ke arah suaminya yang sudah kembali melangkah keluar ruangan. Alis matanya bertaut. Titip anakku? Bukannya Diana juga anaknya? Aneh sekali suaminya.
***Putri mengajak Tama ke rumah sakit lagi. Kali ini dia ingin melihat sendiri alias mengintip, memastikan kalau keponakannya itu baik-baik saja."Kita ngga bawa buah tangan?" tanya Tama. Mereka baru saja sampai di parkiran."Ngga usah, Mas. Cuma pengen liat aja. Habis itu pulang." Setelah berbicara, Putri keluar dari mobil, begitu juga Tama."Elo sayang banget sama dia, ya."Putri mengangguk setuju. "Diana itu adalah teman pertamaku di kota ini, Mas.""Kalau gue yang keberapa?" tanya Tama iseng.Putri menoleh. Kemudian tersenyum lebar. "Mas yang ke tiga. Pertama, Diana. Kedua itu mas Radit."Tama mengangguk. "Oke. Ya udah, ayo kita masuk," ajaknya."Ayo, Mas." Putri mengangguk dan mereka berdua pun beriringan berjalan masuk ke bangunan rumah sakit."Kalau elo ketahuan?" tanya Tama.Putri
***Tama menjemput Putri setelah menelepon. Sesuai janji semalam, mereka menuju ke toko pakaian bayi. Masuk beriringan dan kini berhadapan dengan berbagai pakaian bayi yang terlihat imut tersusun rapi di rak."Kalau adik Mas Tama beneran perempuan, pakaiannya yang ini aja, imut." Putri menunjuk setelan baju tidur bergambar panda."Boleh." Tama mengambil dua lembar. "Yang mana lagi yang bagus?" tanyanya."Ini juga bagus." Putri kembali menunjuk. Namun, kali ini jaket bulu warna pink. "Ini, ini dan ini." Gadis itu sekarang bukan hanya menunjuk, tetapi sudah mengambil topi, sepatu, kaos kaki yang menurutnya imut dan itu mengundang senyum Tama."Aku ambil troli dulu," ucap Tama dan Putri mengangguk. Gadis yang ditinggal itu kembali mengambil satu jaket lagi dan beberapa topi dan kaos kaki."Put," panggil Tama. Pria itu sungguh cepat. Kini sudah berada di belakang Putri bersama
***Radit mengecup kening Dina yang cemberut, setelahnya pria itu keluar dari ruangan anaknya, pulang ke rumah untuk bersiap berangkat kerja. Ada meeting penting yang harus dihadiri dan berjanji setelah selesai, akan langsung menemui Diana lagi."Ma, mau pipis." Diana berkata pada Dina yang berada di depan pintu. Walaupun kesal, wanita itu tetap mengantar kepergian suaminya dan mengiyakan saat pria tercinta mengatakan untuk baik-baik menjaga anak mereka."Mama mau cari makan. Kamu pipis sendiri saja." Dina masuk kembali ke ruangan hanya untuk mengambil ponsel dan tas selempang, setelahnya berjalan keluar. Kekesalan tadi malam masih berefek sampai pagi ini dan melihat Diana, membuatnya teringat Bagas, ayah biologisnya yang seenaknya meninggalkannya saat sedang mengandung dan sekarang datang disaat dia sudah move on juga bahagia. Menurutnya, sifat anak dan bapak itu sama aja. Sama-sama menyebalkan.***
***"Kak Dina belum masuk ruangan?" tanya Putri saat dia kembali dari toilet."Belum? Emang dia ngga ada di dalam?" tanya Mita yang heran dengan pertanyaan Putri."Tadi hampir ketemu di toilet. Untung cepat sembunyi," ucap Putri."Kenapa harus sembunyi?" tanya Tama. "Hadapi aja. Kalau perlu bantuan, gue bantu."Putri tersenyum. Entah dengan cara apa berterima kasih dengan pria tampan ini. "Bukan sekarang. Keadaan masih panas. Sekarang Mas Tama masuk dan serahin boneka serta makanan itu. Aku sama Mita tunggu di mobil.""Ya udah." Tama mengangguk. Kemudian segera berjalan ke ruangan Diana. Sedangkan Putri menarik tangan Mita menuju parkiran.**Tama mengetuk. Kemudian membuka pintu perlahan. Matanya langsung beradu dengan mata Radit, setelahnya Diana."Selamat malam, Mas, Diana," ucap Tama ramah."Om baik,"
***Putri mengajak Mita ke toko boneka. Rencananya dia mau membeli boneka panda buat keponakannya itu. Dia yang tidak bisa menemani, berharap pemberiannya bisa."Put, kamu ngga ada niat mau pindah kota, kan?" tanya Mita. Sahabatnya itu kekeh mengajaknya membeli barang kenang-kenangan."Ngga tau, Mit. Pikir nanti aja. Kita beli aja dulu boneka, habis itu antar ke rumah sakit dan pulang. Kamu pasti udah ngantuk." Putri membuka pintu Toko boneka. Langsung melihat sekeliling. Banyak sekali boneka dengan berbagai ukuran."Beli yang kecil aja. Biar bisa dibawa-bawa," ucap Mita."Iya, tapi ngga kecil-kecil banget.""Iya. Mau boneka apa?" tanya Mita."Panda aja. Gemuk tuh, ya, jadi enak di peluk.""Kayak gue dong?""Bener." Putri menyengir. Setelahnya, Gadis itu menggandeng Mita. Menariknya menuju rak pojok. Mengambil boneka panda
***Putri menarik Mita untuk bersembunyi dibalik tembok. Saat berbelok, matanya langsung melihat Dina dan Dira berdiri berhadapan, terlihat serius mengobrol di depan ruangan Diana di rawat."Kenapa?" tanya Mita yang kaget."Ada kak Dira dan Dina," ucap Putri. Gadis itu kini sedang mengintip. Jarak yag tidak jauh membuatnya bisa sedikit mendengar percakapan dua orang itu."Maksud kamu apa sok perhatian sama Diana dan mas Radit?"Alis mata Putri bertaut. Dina bertanya sinis pada Adik tersayangnya. Kok tumben?"Perhatian sama ipar dan ponakan bukannya wajar, Kak?" tanya Dira santai."Ngga wajar. Harusnya kamu abai. Perhatian buat mereka cukup kakak yang kasih. Liat, gara-gara kamu mas Radit nyinggung kakak."Dira mendengkus. "Kakak abai, sih. Masak anaknya sakit malah duduk di sofa dan main ponsel. Ya udah, gue sebagai aunty yang baik, kasih
***"Put, kamu belum tidur?" tanya Mita. Gadis gemuk itu baru saja pulang dari kerja. Wajah lelahnya nampak jelas. Langsung menuju kamar mandi tanpa mendengar jawaban dari Putri yang duduk di atas kasur sembari melihat ponsel di depannya.Putri menghela napas. Dia mengambil ponsel, menatap sendu. Kemudian meletakkan lagi benda pipih itu ke atas kasur. Dia dari tadi sedang bimbang antara mengaktifkan ponsel apa tidak. Aktif, berarti siap menghadapi apapun. Telepon dari Dina, Dira dan ibu Amalia, tetapi tidak mengaktifkan, dia ingin tau kabar tentang Diana."Put, kenapa belom tidur?" tanya Mita yang baru keluar dari kamar mandi. Gadis gemuk itu terlihat segar. Selesai mandi.Putri menghela napas. "Menurutmu, apa yang aku lakukan ini benar, Mit?" tanya gadis itu sembari menatap sahabatnya.Mita duduk bersila di depan Putri. Sambil menggosok rambut basahnya, gadis itu tersenyum. "Bener pakek b