***
Putri merasa dillema. Ini sudah sore, pasti sebentar lagi semua penghuni rumah akan pulang melepas lelah dan ia yang seharian berada di rumah tidak tahu harus memasak atau tidak. Mau memasak, takut ditegur karena menyentuh barang milik Kakaknya. Parahnya, kalau disangka mau menguasai rumah ini. Tidak memasak, malu rasanya jika mereka pulang dengan rasa lelah dan mungkin saja lapar, saat membuka tudung saji, nyatanya tidak berisi. Gadis itu pun mengelus perutnya yang keroncongan. Ia hanya sarapan, belum makan siang.
Putri berdiri dan berjalan ke arah pintu kamar, menempelkan telinganya di daun pintu, mendengar suara Diana berbicara. Namun, ia urung keluar.
"Mama, laper," ucap Diana merengek.
Dina yang baru saja mendaratkan bokong di sofa ruang tamu, berdiri lagi, berjalan ke arah dapur. Ruangan itu bersih dan rapi, hanya saja saat ia membuka tudung saji di atas meja makan, kosong, tidak berisi. Rasa lapar dan lelah membuatnya murka, apa lagi ia tahu di rumah ini ada orang. Kenapa sampai tidak ada makanan pas ia datang? Sungguh, adik tirinya itu tidak punya pikiran.
"Putri!" teriaknya.
Putri tersentak kaget. Ia mengelus dadanya. Kemudian keluar kamar.
"Iya, Kak?"
"Kerjaan kamu di rumah seharian ini apa, hah?! Tidur, nonton televisi, main ponsel, santai-santai ... apa, hah?!"
"It--itu, Kak--"
"Itu apa?! Kenapa ngga ada makanan? Kamu masak buat kamu makan sendiri, iya? Dasar ngga punya otak! Seenaknya sekali tinggal di rumah orang!" Dina menoyor kepala Putri. Hal ini sebenarnya sudah biasa gadis itu dapatkan dari dulu, hanya saja masih selalu terasa nyeri di dalam hati.
"Kak, kenapa?" Tanpa salam, Dira nyelonong masuk. Segera ikut menatap Putri yang hanya menunduk. Gadis itu baru pulang dari kampus.
"Ini, dia di rumah seharian, tapi ngga melakukan apapun. Ngga masak. Ngga mikir kalau orang pulang dari kerja itu lapar dan pengennya langsung makan, eh ... malah ngga ada apapun di meja makan." Dengan kesal, Dina kembali menoyor kepala Putri.
Selama pembantu rumah tangganya cuti, pada biasanya, Dina selalu membeli makanan di luar untuk makan malam saat pulang dari butik, tetapi teringat ada Putri di rumah, ia pun mengandalkan gadis itu, nyatanya ia mendapat zonk.
Putri hanya menghela napas dan menerima perlakuan buruk Kakaknya. Tidak melakukan apapun, Putri itu hanya tidak memasak, tetapi pekerjaan lainnya semua beres.
"Nah, kan! Nyusahin emang dia ini." Dira ikut menyalahkan. "Udah ngemis-ngemis tinggal di sini, malah kelakuan macam bos." Omelnya.
"Kak, Putri udah beberes rumah, kok. Hanya belum masak saja. Habisnya takut--"
"Takut apa? Takut tangan elo lecet? Sok banget jadi orang." Lagi, Putri mendapat toyoran, kali ini dari Dira.
"Bukan, Kak. Ya ... ya udah, Putri masakin dulu." Putri tidak membela diri lagi, tetapi merendah. Ia malas berdebat.
"Ngga perlu. Dir, pesan makanan online, untuk berempat. Dia ngga usah." Setelah berucap, Dina melenggang pergi. Menyisakan Dira yang menatap bahagia pada Putri.
"Emang enak. Elo malam ini puasa, ya." Tawa renyah Dira membuat Putri sakit hati, tetapi ia tersenyum. Ini sudah biasa dan cukup disenyumin saja biar masalah cepat seleasai.
**
Kruyuk-kruyuk!
Perut Putri berbunyi. Tadi, ia melewatkan makan malam dengan alasan sudah mengambil bagian dan makan duluan. Lagian, mau makan, pun tidak ada bagiannya karena Kakaknya hanya memesan porsi pas.
Dreet!
Ponselnya di atas nakas bergetar, pertanda panggilan masuk.
Wajah Putri seketika berbinar saat tau jika Ibunya yang menelepon.
"Hallo, Bu. Assalamualaikum," ucapnya.
"Waalaikumsalam. Kamu sudah makan?" Pertanyaan itu langsung membuat Putri tersenyum tipis. Ia memegang perutnya yang keroncongan.
"Sudah, Bu."
"Kalian makan pakek apa? Siapa yang masak?" tanyanya lagi.
"Em ... makan pakek ayam goreng sama capcai. Kak Dina yang masak." Putri meremas kulit perutnya yang mulai terasa melilit.
"Oh, baguslah. Kamu lagi apa, Put?"
"Lagi baring-baring, Bu. Kekenyangan." Putri yang tadinya duduk di tepi kasur, kini beranjak, berbaring.
"Ibu kangen kamu, Nak. Sepi rasanya."
Putri tersenyum. Ia menyeka air mata yang lolos mengalir. Kangen? Ia pun merasakan hal itu. Lebih nyaman di kampung daripada di sini.
"Putri juga kangen. Ibu sehat-sehat."
"Kamu juga. Jangan lupa makan. Kamu punya penyakit maag, loh."
"Iya. Putri ngantuk, Bu. Tidur dulu, ya." Kebohongan demi kebohongan terus terjadi. Gadis itu mengakhiri komunikasi karena semakin lama perutnya semakin sakit.
"Iya. Assalamualikum."
"Waalaikumsalam." Putri menaruh ponsel kembali ke atas nakas. Kemudian ia memejamkan mata sembari mengigit bibir bawahnya.
Tok-tok!
Pintu kamarnya di ketuk.
"Aunty," panggil Diana.
Mata Putri terbuka. Ia menyeka air matanya. Kemudian beranjak untuk membukakan pintu.
Ceklek!
"Ya, Sayang," ucap Putri menatap Diana yang membawa piring berisi makanan.
"Suapin Diana, dong."
Alis mata Putri bertaut. Diana tahu Auntynya itu bingung.
"Mama lagi video call sama temannya. Papa pergi ke ruang kerjanya, setelah ada telepon dan aunty Dira ke kamar, katanya mau ngerjain tugas."
Putri terdiam. Orang-orang dewasa itu pergi sendiri-sendiri tanpa memikirkan perasaan anak kecil yang belum selesai makan, sungguh kisah yang memilukan.
"Aunty," panggil Diana.
"Ya. Eh! Ya udah, kita kembali ke dapur. Aunty suapin," ajak Putri.
"Ngga mau. Mau makan di kamar Aunty aja." Diana nyelonong masuk. Ia duduk di kursi meja rias.
Putri menyusul. Ia duduk melantai dihadapan Diana. Mengambil alih piring yang berisi lauk pauk yang lezat, membuatnya susah payah menelan saliva. Perutnya terasa semakin melilit.
"A ...." Putri menyuruh Diana buka mulut. Gadis kecil itu mengangguk dan menuruti. Wajahnya terlihat ceria, mungkin inseden seperti ini sudah terbiasa.
"Aunty beneran sudah makan?" tanya Diana.
"Sudah. Aunty sudah makan." Malam ini banyak sekali kebohongan yang Putri buat. Namun, menurutnya itu demi kebaikan.
"Diana senang ada Aunty di sini."
Putri tersenyum. Ia juga sedikit senang, setidaknya ada yang menerima kehadirannya dengan tulus. Ia pun terus menyuap keponakannya.
***
Hari ini, sengaja Putri bangun pagi-pagi sekali untuk melakukan kewajiban sebagai perempuan, yaitu memasak dan beres-beres rumah. Biar tidak dikatai macam bos di rumah orang.
Harum bumbu yang ditumis menusuk indra penciuman Radit. Pria itu membuka mata perlahan. Mengira bau itu dari masakan istrinya, nyatanya Dina masih terlelap di sisinya. Pria itu menerka-nerka. Mungkinkah Dira yang memasak? Atau ....
"Yang, Sayang." Radit mengusap pipi Dina. Mengusik tidur lelap wanita ayu itu.
"Ya, Mas." Dina beranjak duduk. Menguap, setelahnya menggosok mata.
Radit pun beranjak duduk. "Siapa yang masak? Baunya harum. Mas jadi lapar."
Dina terdiam. Ia sedang membaui bau yang kata suaminya harum dan membuat lapar. Benar adanya, bau harum bumbu yang di tumis itu juga membuatnya lapar. Namun, ucapan langka suaminya membuatnya geram. Wanita itu tahu siapa yang memasak dan membenci kenapa gadis itu harus membuat suaminya mengatakan hal yang merujuk pada pujian.
'Gadis sialan!'
Dina segera menyibak selimut, berdiri. Kemudian berjalan cepat ke luar kamar. Tangannya yang mengepal itu ingin cepat menemukan sasaran.
Langkahnya terhenti di depan pintu dapur. Benar, Putri yang memasak. Gadis itu terlihat menikmati proses memasaknya, terlihat dari senyumnya yang mengembang.
Dengan langkah lebar, Dina mendekati adik tirinya itu. Mengambil kasar spatula dari tangan Putri. Kemudian membuangnya ke lantai. Ia mendorong tubuh Putri, membuat gadis itu mundur 2 langkah.
"Kak--"
Ucapan protes Putri harus terhenti saat Dina menatapnya tajam. Sorot penuh kebencian terlihat jelas. Lagi, bukan Putri takut--ini sudah biasa--hanya saja diamnya gadis itu supaya masalah cepat selesai.
Dina mematikan kompor. Ia melihat di atas wajan terisi daging ayam yang bercampur dengan bumbu kecap, terlihat lezat. Namun, ia mengambil lap, memegang telinga wajan, berjalan ke arah tempat sampah, menumpahkan masakan Putri ke dalam tong pembuangan itu.
Mata Putri membulat sempurna.
Dina tersenyum miring. "Jangan lancang menyentuh barang-barang di rumah ini dan jangan pernah cari perhatian sama mas Radit."
Klontang!
Dina menjatuhkan wajan ke lantai. Ia pun berjalan pergi dengan senyuman puas setelah melihat mata Putri berkaca-kaca.
Putri menghela napas. Merasa serba salah seperti ini sudah ia alami sedari kecil. Cukup disenyumin dan berharap suatu saat apa yang ia lakukan akan dihargai. Gadis itu pun pergi meninggalkan dapur.
****
***"Sayang, bukannya tadi ada yang masak, baunya wangi sekali, kok kita sarapan pakek roti?" tanya Radit. Ia merasa heran."Oh, itu ... anu ... kata Dira, masakan yang tadinya buat sarapan dijatuhi cicak, jadi dibuang." Dengan gagap, Dina mampu menyelesaikan kalimat kebohongan. Dia segera mengoles selai Kacang di atas roti, menumpuk dengan satu roti lagi, setelahnya menyerahkan pada suaminya."Makasih, Sayang." Radit mengigit rotinya. "Emang tadi pagi kamu masak apa, Dir?" tanya Radit sembari menatap Dira yang sedang mengoles selai stroberi ke rotinya."Em ... itu ... Mas, anu ....""Ya ampun, saking mikir keras tentang pelajaran kuliah, sampe jadi pelupa gitu. Tadi kamu masak ayam kecap, kan?" Dina mengedipkan sebelah matanya untuk kode."Oh, iya Mas. Aku masak ayam kecap. Karena cicak, jadi dibuang." Dira tersenyum paksa. Kakaknya itu menjengkelkan, masa mengajak membuat kebohongan tanpa kompromi dulu."Oh. Padahal dari
*** Putri berjalan penuh semangat ke arah pintu rumah yang terbuka. Tadi, ia dan Mita sudah menaruh berkas lamaran pekerjaan, setelahnya jalan-jalan keliling mall dan makan bakso sebelum pulang, jadi saat nanti tidak ikut makan malam, ia tetap bisa tidur tanpa ganguan kelaparan. "Assalamualaikum," ucapnya sembari melangkah masuk. Namun, senyum dan semangatnya luntur saat melihat Dira dan Dina yang duduk si sofa, melipat tangan di dada dan menatapnya dengan tajam. Putri mematung di depan pintu. Tubuhnya seakan sulit digerakkan. Ia merasa seperti pencuri yang ketahuan. "Assalamualaikum." Suara dari belakang Putri membuat gadis itu, bahkan Dira dan Dina menatap Radit yang memasuki rumah. "Waalaikumsalam." Seperti biasa, Dina berdiri, menghampiri dan menyambut kedatangan suaminya dengan aksi cium tangan. "Udah pulang, Mas?" Pertanyaan bodoh dari mulut D
***Pagi ini Putri menjalani perannya sebagai pembantu. Ia bangun subuh, setelah menjalankan dua rakaat, langsung beberes. Mencuci piring, menyapu, ngepel, siram bunga. Kemudian ia mencuci baju. Sudah ada 2 keranjang penuh cucian kotor di depan mesin cuci. Perpaduan baju Dira, Dina, Radit dan Diana."Sabar, Put," ucapnya menguatkan. Ia menyeka dulu keringat di keningnya, setelahnya memasukan sebagian demi sebagian pakaian ke mesin. Mulai menggiling, membilas dan memasukkan ke mesin pengering, setelahnya menjemur di samping rumah.Selesai.Putri melakukan kerjaan itu dengan semangat, membuat tubuhnya terasa segar karena sekalian berolah raga.Gadis itu masuk ke dalam rumah, ke kamarnya, memutuskan untuk mandi. Namun, diurungkan ketika ada ketukan di pintu."Aunty."Itu suara Diana."Ya, tunggu," ucapnya sembari berjalan ke arah pintu.Ceklek!Putri melihat Diana yang masih memakai baju tidur
***"Kak, tadi si Putri ketawain aku ngga?" tanya Dira. Karena tidak ada Dosen, ia memilih ke Butik Kakaknya."Ngga tau. Males kakak liat mukanya," ucap Dina sembari sibuk dengan laptopnya. Hari ini pesanan pakaian batik couple keluarga via online sangat banyak. Ia sedang mengecek alamat pelanggannya satu persatu."Mana mas Radit ngebela. Aduh, Kak, siaga dong. Tuh, mas Radit udah mulai membela. Besok-besok apa lagi," ucap Dira.Dina menghentikan aktifitasnya, beralih menatap Adiknya yang duduk di sofa, wajah gadis itu terlihat kesal. "Mas Radit ngga mungkin berpaling. Kurang apa kakak sampai dia melakukan itu?" tanyanya.Dira mendengkus. Buatnya, Dina memang tidak ada kekurangan. Cantik, putih, pintar bisnis dan seksi. Ia lagi-lagi merasa iri."Lagian, mas Radit itu tipe suami setia dan penurut. Emang selama kamu tinggal di rumah, pernah dengar kabar huruk tentang dia den
***"Mas, besok aku bawa teman-teman sosialita aku ke sini, boleh? Mau arisan," tanya Dina. Mereka semua, termasuk Putri, sedang makan malam."Biasanya arisannya di luar, Yang. Kok tumben kali ini di rumah?" tanya Radit, setelahnya menyuapkan nasi bercampur opor ayam ke dalam mulutnya. Mengunyah perlahan sambil terus menatap manis wajah glowing istrinya."Nyari suasana baru aja. Bosen kalau selalu di luar. Pada minta di rumah kita, mau lihat keharmonisan keluarga kita," ucap Dina. Wanita itu melirik Dira dan saling bertukar senyuman."Boleh, tapi besok mas mau jenguk ibu. Kirain mumpung hari libur, kamu bisa ikut. Padahal ngga bisa." Suara Radit terdengar kecewa. Ia ingin sekali-sekali bertiga dengan Dina menengok Ibunya yang sudah tua dan sakit-sakitan, bukan hanya berdua terus sama Diana."Maaf ya, Mas. Udah janjian masalahnya. Nengoknya bisalah kapan-kapan. Ibu sehat, sehat juga, kan. A
***"Putri!" Panggilan Dina membuat Putri mau tidak mau harus keluar kamar. Berjalan cepat sambil menyiapkan mental baja untuk menghadapi dua Kakaknya dan sahabat-sahabatnya karena muncul dengan pakaian tidak layak seperti ini.Pakaian yang dipakai Putri adalah pemberian Dina. Ia juga yang merancang bahkan menjahitnya. Kain-kain sisa di butik yang ia sulap menjadi daster."Putri!" Panggilan kedua membuat langkah Putri semakin lebar."Iya, Nyonya," jawabnya setelah sampai di hadapan Dina dan lainnya. Tadi, Dira telah menekankan kata Nyonya buat Dina dan Nona buatnya, membuat gadis itu merasa sepenuhnya pembantu di rumah ini, tidak ada hubungan keluarga sama sekali."Ambilin jus," suruh Dina dengan angkuh."Baik, Nyonya." Putri langsung menuju dapur. Mengambil nampan yang sudah terisi 10 gelas berisi jus warna orange yang terlihat segar. Membawa kembali ke ruang tamu. Segera
***Putri merebahkan dirinya di ranjang. Jam 5 sore barulah bisa istirahat. Itupun setelah menyapu, mengepel, buang sampah dan cuci piring.Gadis itu menyeka air matanya. Kemudian menghela napas berulang-ulang. Hari ini sungguh melelahkan, menguras kesabaran juga. Tubuhnya terasa lemas dengan hati yang sepertinya hanya tersisa sepotong saja. Sepotong lainnya telah hancur akibat bersabar dari hinaan.Tadi, Bukan hanya disuruh duduk sembari menunduk dan membantu menyiapkan makanan, gadis itu juga disuruh jalan kaki menuju mini market yang letakkan cukup jauh. Bukan hanya sekali, tetapi 5x. Membeli kacang kulit, minuman kaleng, kacang kulit lagi, minuman kaleng lagi dan terakhir membeli permen dengan harga 5000 rupiah. Harus di tempat yang ditentukan Dina, sebagai bukti, wanita itu meminta struk pembayaran.Bukan hanya malu karena bolak-balik, Putri juga malu karena menjadi pusat perhatian di jalan maupun di
***Radit membuka mata tepat jam 8 malam. Ia segera mandi dan keluar kamar. Tidak berniat membangunkan istrinya yang terlihat sangat nyenyak."Dir, ngga ada makanan?" tanya Radit setelah berkunjung ke dapur. Pria itu kembali menghampiri adik iparnya yang berada di sofa ruang tamu. Kemudian bertanya."Ngga ada, Mas. Kan biasanya kak Dina yang nyiapin semua. Ini ... aku juga udah laper banget. Kak Dina ngapain, sih?" tanyanya. Dira menaruh ponsel di pahanya dan memegang perutnya yang sebenarnya tidak lapar sama sekali. Gadis itu baru saja balik dari makan warung di depan gang. Namun, mengompori dengan maksud lain."Dina lagi tidur. Kecapean. Ya udah, mending kamu masak. Ada bahan kan di dapur?"Dira membulatkan mata. Apa? Masak? Itu adalah hal yang tidak pernah ia lakukan."Aku ngga bisa, Mas. Terlalu lemes, ngga bisa banyak gerak," ucapnya beralasan.Radit
***"Ibu besok mau pulang ya Nak Radit," ucap Amalia saat mereka semua, Dina, Dira, Diana, dirinya dan Radit tengah makan malam bersama."Kok cepat, Bu? Baru juga seminggu," ucap Radit menatap mertuanya."Udah kelamaan ibu di sini. Diana udah sehat, ibu punya tanggung jawab di kampung. Jadinya harus pulang." Amalia menatap Diana yang sedang makan dalam diam."Kalau gitu besok Radit antar ke terminal," ucap Pria itu setelah minum air mineral. Dia sudah selesai makan."Iya. Makasih, Nak." Amalia tersenyum manis. Kembali melahap makanannya.Dina dan Dira, dua wanita itu tidak ada respon apapun tentang momen izin pamit ibunya. Terlalu fokus menikmati makanan lezat yang terhidang di atas meja."Diana, mau nambah, Sayang?" tawar Radit.Diana tidak menjawab. Namun, gadis kecil itu menggeleng.Radit menghela napas. Semenjak pulang
***"Pa, aunty Putri belum datang?" tanya Diana. Rasa rindu dua hari tidak bertemu sudah tidak bisa dibendung lagi."Belum, Sayang. Sebentar lagi. Mungkin masih di jalan. Sabar, ya." Radit mengusap puncak kepala anaknya. "Papa cari makan dulu, ya? Diana mau makan apa?" tanyanya."Terserah Papa aja.""Ya sudah. Papa keluar dulu. Kamu sama Mama."Diana mengangguk. Gadis yang duduk bersandar di bantal itu tersenyum manis pada Papanya.Radit membalas senyuman anaknya itu. Pria itupun berdiri dan berjalan ke pintu. Namun, menghentikan langkah dan menoleh ke arah sofa. Melihat istrinya yang sibuk dengan ponselnya."Di, titip anakku," ucap Radit yang sukses mengambil perhatian Dina wanita itu menatap ke arah suaminya yang sudah kembali melangkah keluar ruangan. Alis matanya bertaut. Titip anakku? Bukannya Diana juga anaknya? Aneh sekali suaminya.
***Putri mengajak Tama ke rumah sakit lagi. Kali ini dia ingin melihat sendiri alias mengintip, memastikan kalau keponakannya itu baik-baik saja."Kita ngga bawa buah tangan?" tanya Tama. Mereka baru saja sampai di parkiran."Ngga usah, Mas. Cuma pengen liat aja. Habis itu pulang." Setelah berbicara, Putri keluar dari mobil, begitu juga Tama."Elo sayang banget sama dia, ya."Putri mengangguk setuju. "Diana itu adalah teman pertamaku di kota ini, Mas.""Kalau gue yang keberapa?" tanya Tama iseng.Putri menoleh. Kemudian tersenyum lebar. "Mas yang ke tiga. Pertama, Diana. Kedua itu mas Radit."Tama mengangguk. "Oke. Ya udah, ayo kita masuk," ajaknya."Ayo, Mas." Putri mengangguk dan mereka berdua pun beriringan berjalan masuk ke bangunan rumah sakit."Kalau elo ketahuan?" tanya Tama.Putri
***Tama menjemput Putri setelah menelepon. Sesuai janji semalam, mereka menuju ke toko pakaian bayi. Masuk beriringan dan kini berhadapan dengan berbagai pakaian bayi yang terlihat imut tersusun rapi di rak."Kalau adik Mas Tama beneran perempuan, pakaiannya yang ini aja, imut." Putri menunjuk setelan baju tidur bergambar panda."Boleh." Tama mengambil dua lembar. "Yang mana lagi yang bagus?" tanyanya."Ini juga bagus." Putri kembali menunjuk. Namun, kali ini jaket bulu warna pink. "Ini, ini dan ini." Gadis itu sekarang bukan hanya menunjuk, tetapi sudah mengambil topi, sepatu, kaos kaki yang menurutnya imut dan itu mengundang senyum Tama."Aku ambil troli dulu," ucap Tama dan Putri mengangguk. Gadis yang ditinggal itu kembali mengambil satu jaket lagi dan beberapa topi dan kaos kaki."Put," panggil Tama. Pria itu sungguh cepat. Kini sudah berada di belakang Putri bersama
***Radit mengecup kening Dina yang cemberut, setelahnya pria itu keluar dari ruangan anaknya, pulang ke rumah untuk bersiap berangkat kerja. Ada meeting penting yang harus dihadiri dan berjanji setelah selesai, akan langsung menemui Diana lagi."Ma, mau pipis." Diana berkata pada Dina yang berada di depan pintu. Walaupun kesal, wanita itu tetap mengantar kepergian suaminya dan mengiyakan saat pria tercinta mengatakan untuk baik-baik menjaga anak mereka."Mama mau cari makan. Kamu pipis sendiri saja." Dina masuk kembali ke ruangan hanya untuk mengambil ponsel dan tas selempang, setelahnya berjalan keluar. Kekesalan tadi malam masih berefek sampai pagi ini dan melihat Diana, membuatnya teringat Bagas, ayah biologisnya yang seenaknya meninggalkannya saat sedang mengandung dan sekarang datang disaat dia sudah move on juga bahagia. Menurutnya, sifat anak dan bapak itu sama aja. Sama-sama menyebalkan.***
***"Kak Dina belum masuk ruangan?" tanya Putri saat dia kembali dari toilet."Belum? Emang dia ngga ada di dalam?" tanya Mita yang heran dengan pertanyaan Putri."Tadi hampir ketemu di toilet. Untung cepat sembunyi," ucap Putri."Kenapa harus sembunyi?" tanya Tama. "Hadapi aja. Kalau perlu bantuan, gue bantu."Putri tersenyum. Entah dengan cara apa berterima kasih dengan pria tampan ini. "Bukan sekarang. Keadaan masih panas. Sekarang Mas Tama masuk dan serahin boneka serta makanan itu. Aku sama Mita tunggu di mobil.""Ya udah." Tama mengangguk. Kemudian segera berjalan ke ruangan Diana. Sedangkan Putri menarik tangan Mita menuju parkiran.**Tama mengetuk. Kemudian membuka pintu perlahan. Matanya langsung beradu dengan mata Radit, setelahnya Diana."Selamat malam, Mas, Diana," ucap Tama ramah."Om baik,"
***Putri mengajak Mita ke toko boneka. Rencananya dia mau membeli boneka panda buat keponakannya itu. Dia yang tidak bisa menemani, berharap pemberiannya bisa."Put, kamu ngga ada niat mau pindah kota, kan?" tanya Mita. Sahabatnya itu kekeh mengajaknya membeli barang kenang-kenangan."Ngga tau, Mit. Pikir nanti aja. Kita beli aja dulu boneka, habis itu antar ke rumah sakit dan pulang. Kamu pasti udah ngantuk." Putri membuka pintu Toko boneka. Langsung melihat sekeliling. Banyak sekali boneka dengan berbagai ukuran."Beli yang kecil aja. Biar bisa dibawa-bawa," ucap Mita."Iya, tapi ngga kecil-kecil banget.""Iya. Mau boneka apa?" tanya Mita."Panda aja. Gemuk tuh, ya, jadi enak di peluk.""Kayak gue dong?""Bener." Putri menyengir. Setelahnya, Gadis itu menggandeng Mita. Menariknya menuju rak pojok. Mengambil boneka panda
***Putri menarik Mita untuk bersembunyi dibalik tembok. Saat berbelok, matanya langsung melihat Dina dan Dira berdiri berhadapan, terlihat serius mengobrol di depan ruangan Diana di rawat."Kenapa?" tanya Mita yang kaget."Ada kak Dira dan Dina," ucap Putri. Gadis itu kini sedang mengintip. Jarak yag tidak jauh membuatnya bisa sedikit mendengar percakapan dua orang itu."Maksud kamu apa sok perhatian sama Diana dan mas Radit?"Alis mata Putri bertaut. Dina bertanya sinis pada Adik tersayangnya. Kok tumben?"Perhatian sama ipar dan ponakan bukannya wajar, Kak?" tanya Dira santai."Ngga wajar. Harusnya kamu abai. Perhatian buat mereka cukup kakak yang kasih. Liat, gara-gara kamu mas Radit nyinggung kakak."Dira mendengkus. "Kakak abai, sih. Masak anaknya sakit malah duduk di sofa dan main ponsel. Ya udah, gue sebagai aunty yang baik, kasih
***"Put, kamu belum tidur?" tanya Mita. Gadis gemuk itu baru saja pulang dari kerja. Wajah lelahnya nampak jelas. Langsung menuju kamar mandi tanpa mendengar jawaban dari Putri yang duduk di atas kasur sembari melihat ponsel di depannya.Putri menghela napas. Dia mengambil ponsel, menatap sendu. Kemudian meletakkan lagi benda pipih itu ke atas kasur. Dia dari tadi sedang bimbang antara mengaktifkan ponsel apa tidak. Aktif, berarti siap menghadapi apapun. Telepon dari Dina, Dira dan ibu Amalia, tetapi tidak mengaktifkan, dia ingin tau kabar tentang Diana."Put, kenapa belom tidur?" tanya Mita yang baru keluar dari kamar mandi. Gadis gemuk itu terlihat segar. Selesai mandi.Putri menghela napas. "Menurutmu, apa yang aku lakukan ini benar, Mit?" tanya gadis itu sembari menatap sahabatnya.Mita duduk bersila di depan Putri. Sambil menggosok rambut basahnya, gadis itu tersenyum. "Bener pakek b