Farzan memandang pantulan diri di depan cermin ketika memastikan pakaian dan juga tatanan rambut sudah rapi. Hari ini ia akan pergi ke Beer Garden bertemu dengan Bramasta sesuai dengan janji sebelumnya.
Semenjak pertemuan keluarga tiga hari yang lalu, Arini dan Brandon masih berusaha membujuk Farzan untuk bekerja di The Harun Group. Pemuda itu masih bersikukuh tidak akan bekerja di sana, karena tidak memiliki minat di bidang properti dan garment.
Beruntung tadi pagi ia mendapatkan panggilan kerja di salah satu perusahaan otomotif berskala internasional di Cikarang. Farzan bisa bernapas lega, karena bisa lolos dari bujukan kedua kakaknya tersebut.
“Cie, mau ke mana malam Minggu, Dek?” tanya Arini melihat Farzan turun dari tangga.
“Ketemu sama Bram di Beer Garden, Kak,” jawab Farzan sembari mengenakan jaket kulit.
“Bram atau gebetan?” Arini mulai menggoda adik iparnya.
Farzan menyipitkan mata sambil berdecak. “Nih telepon Bram kalau Kakak nggak percaya,” tanggapnya menyodorkan ponsel.
Arini tertawa puas karena berhasil membuat Farzan kesal.
“Kenapa sih ribut-ribut?” Tiba-tiba Brandon muncul dari kamar.
“Tahu nih Kak Arini,” sungut Farzan memasang restleting jaket.
Setelahnya ia berjalan mendekati Brandon dan Arini, lantas mengecup punggung tangan mereka satu per satu.
“Pergi dulu ya, Mas, Kak,” pamitnya tak ingin menjadi bulan-bulanan ledekan sang kakak ipar.
“Jangan minum alkohol, Zan,” teriak Arini ketika Farzan menjauh.
“Aman, Kak. Tenang aja. Aku cuma minum jus atau soft drink kok,” balasnya mengacungkan ibu jari.
Dia ingin lekas pergi dari hadapan suami istri itu sebelum mereka bermesraan lagi. Sungguh hatinya merasa tidak nyaman dengan itu semua. Rayuan yang dilontarkan juga terdengar menyakitkan di telinga.
Farzan langsung memacu motor Honda CBR keluaran terbaru yang baru saja dibeli kemarin. Dia membutuhkan kendaraan sendiri, karena bisa digunakan untuk bekerja juga. Motor itu dibeli dari uang hasil tabungannya.
Tidak jauh dari rumah keluarga Harun, ia melihat seorang wanita paruh baya berambut putih mengendap-endap berdiri di dekat tiang listrik. Meski perempuan itu menutupi wajah dengan kacamata dan selendang, Farzan bisa tahu siapa sosok tersebut.
Farzan mendengkus kesal sebelum mendekati perempuan itu. Dia berhenti tepat di depannya, kemudian turun dari motor. Kaca helm dinaikkan setengah, sehingga Ayu bisa mengenali putranya.
“Farzan?” cetusnya terkejut.
Pemuda itu menarik Ayu menjauh ke balik pagar yang ada di sana. Dia tidak ingin keluarganya tahu wanita itu berkeliaran di dekat rumah.
“Ngapain Mommy di sini?” balas Farzan dingin.
“Mau ketemu sama kamu dong.”
“Kenapa Mommy nggak balik lagi ke Uluwatu?”
Ayu berusaha meraih tangan putranya, namun ditepis. “Kamu nggak mau Mommy sentuh lagi?”
“Sebaiknya Mommy pergi dari sini,” suruh Farzan menunjuk ke sisi berlawanan dengan rumah keluarga Harun.
“Kamu kenapa, Nak?” Sorot mata Ayu menajam. “Arini pasti udah cuci otak kamu biar benci sama Mommy, ‘kan? Dia juga yang suruh kamu untuk nggak ambil andil di perusahaan, ‘kan?”
Mata elang Farzan melebar mendengar tuduhan yang dilontarkan Ayu. “Mommy jangan asal tuduh. Kak Arini nggak pernah berpikiran jahat kayak gitu.”
Ayu tertawa singkat.
Rahang Farzan mengeras seiring mengetatnya pegangan di lengan Ayu. Wanita bertubuh ringkih itu meringis kesakitan.
“Sakit, Farzan!” sergahnya.
“Lebih sakit hatiku, Mom,” desis Farzan berusaha menahan amarah yang mulai meluap.
Dia melepaskan genggaman, kemudian mengacungkan jari telunjuk tepat di depan wajah Ayu. “Jangan pernah tuduh Kak Arini kayak tadi lagi!”
Farzan menurunkan lagi tangan ke bawah, lalu menggenggamnya erat. “Harusnya Mommy bersyukur udah diperhatikan sama Kak Arini selama ini. Siapa yang biayai Mommy setelah keluar dari penjara? Siapa juga yang kasih informasi kalau aku pulang ke Indonesia?” cecarnya dengan napas mulai memburu.
“Sekarang Mommy cepat pergi dari Jakarta. Jangan pernah ganggu keluargaku lagi! Kalau saja Mommy masih recokin Papa dan Mama, aku nggak akan tinggal diam. Aku nggak akan segan-segan lapor polisi atas tuduhan mengganggu ketenangan orang lain,” ancam Farzan sebelum pergi meninggalkan ibunya.
Pemuda itu pergi bersama dengan hati yang tercabik. Tidak ada yang tahu bagaimana luluh lantaknya hati itu sekarang, sehingga Farzan merasa malu karena telah lahir dari rahim wanita seperti Ayu. Bahkan hukuman penjara tidak membuatnya berubah menjadi baik.
***
Alunan musik terdengar memanjakan telinga di kawasan Beer Garden SCBD, Jakarta. Embusan angin malam turut memberi kesejukan di tengah hangatnya kota metropolitan tersebut. Kerlap-kerlip lampu gedung menambah keelokan panorama malam di daerah yang dikelilingi gedung tinggi.
Farzan memejamkan mata ketika menyesap minuman soda berwarna putih. Dia membiarkan kandungan soft drink tersebut menggigit lidah dan rongga dalam mulut, hingga akhirnya menghilang ditelan. Sepiring nasi goreng kambing telah tandas berpindah ke perut ratanya.
“Serius nggak mau kerja di perusahaan bokap lo, Zan?” tanya Bram sambil memutar gelas bir yang dipesan.
Pemuda bertubuh tinggi itu mengangguk tanpa ragu.
Bramasta berdecak pelan sambil geleng-geleng kepala. “Heran deh sama lo. Udah enak kerja di perusahaan keluarga, tinggal kelola doang. Nggak perlu capek-capek rintis dari awal, apalagi sampai jadi bawahan orang.”
Farzan tersenyum tipis mengalihkan pandangan melihat band yang mengisi malam minggu di Beer Garden.
“Gue lebih suka kerja berdasarkan passion, Bram.” Tilikan mata elangnya berpindah kepada Bramasta yang meneguk sedikit bir di gelas besar tersebut. “Bidang otomotif kesukaan gue, makanya ambil teknik mesin. Ngapain kerja di bidang properti dan garment yang nggak ada kaitannya dengan otomotif?!”
Dia memberikan alasan seragam kepada Bram, agar tidak menimbulkan kecurigaan.
“Ada, Zan. Lo aja nggak tahu,” kata Bramasta berpendapat.
“Nggak ada!”
“Ada! Garment ‘kan ada mesinnya, Zan. Lo bisa jadi teknisi gitu,” canda Bramasta terkikik.
“Sialan lo!” sungut Farzan menepuk bahu kurus Bram.
Bram melepas kacamata, lantas menyeka air mata yang keluar akibat tertawa. Dia kembali memasangnya lagi dan melihat kepada Farzan.
“Emang faktanya pabrik garment punya mesin, Zan. Nggak salah ‘kan?”
“Ya tapi bukan mesin mobil. Gue ‘kan senang sama otomotif,” balas Farzan menyipitkan mata.
“Hidup lo itu ya lurus terus, Zan. Nggak bisa diajak bercanda,” ledek Bramasta.
“Gue lagi serius, Bram.”
“Ya sorry,” ucap Bramasta mengatupkan kedua tangan di depan wajah.
Mereka hening beberapa saat. Keduanya kembali menikmati live music yang begitu enak didengar.
Farzan menyesap lagi soft drink hingga tersisa setengah. Pikirannya masih kalut ketika ingat pertemuannya dengan Ayu tadi sore.
Gimana caranya biar Mommy nggak ganggu lagi? Ini nggak bisa dibiarkan, kasihan Mama kalau dia sampai bertemu Papa lagi, bisik Farzan dalam hati.
Tarikan napas berat terdengar dari hidungnya. Pandangan netra hitam milik Farzan berpindah ke meja lain di restoran yang memiliki konsep outdoor tersebut. Dia terpaku melihat seorang gadis berambut hitam panjang dan tebal sedang duduk sendirian menikmati tequila.
“Lagi lihat siapa sih?” Rupanya Bramasta tahu ke mana arah pandangan Farzan.
“Eh?” Farzan terkesiap.
“Lagi lihatin siapa?” Bram melirik ke tempat yang tadi dilihat Farzan. Senyum usil mengembang di wajahnya. “Oh, lagi lihatin cewek toh.”
“Samperin gih sana. Kali aja bisa bikin lo move on dari pujaan hati yang nggak bakalan bisa lo dapatkan,” sambung pemuda tersebut menyenggol lengan Farzan.
Mata elang Farzan melebar mendengar ucapan Bram. Dia langsung menggeleng cepat tidak ingin sahabatnya salah paham.
“Bukan itu, Bram.” Farzan kembali mengerling kepada perempuan tadi. “Kayaknya gue pernah lihat tuh cewek, tapi di mana ya?”
Bramasta tersenyum jail. “Dalam mimpi lo kali, Zan. Udah sana, bisa jadi jodoh.”
Farzan kembali menggeleng cepat sambil mengibaskan tangan.
Ketika ingin mengalihkan pandangan ke tempat lain, perempuan tersebut melihat kepadanya. Manik hitam milik perempuan itu menyipit sebelum mengerjap pelan. Tangannya menyelusup masuk ke belakang tengkuk. Bibir terisi penuh yang menghiasi wajah tirus itu sedikit terbuka. Jari telunjuknya bergerak ke arah Farzan.
“Astaga gue baru ingat,” seru Farzan setelah memperhatikan perempuan yang duduk sekitar lima meter darinya.
“Ingat apanya?” Bram bingung sendiri.
“Dia cewek yang waktu itu nginap di flat gue. Lo ingat nggak?”
“Yang cantik itu? Siapa namanya? Na-na—”
“Nadzifa,” sela suara lembut dari samping kanan Farzan duduk, “ternyata beneran lo ya?”
Perempuan bernama Nadzifa itu mengangkat tangan singkat, sebelum berkata, “Nggak nyangka bisa ketemu lo lagi di Jakarta.”
Untuk kedua kalinya Farzan berjumpa dengan wanita asing yang pernah ditemui di Zürich.
Bersambung....
Mata hitam lebar Nadzifa melihat Farzan dan Bramasta bergantian. Tanpa diminta, gadis itu sudah duduk di kursi yang masih kosong di meja kedua pemuda itu berada. Dia mengibaskan rambut panjang yang terurai di depan bahu ke belakang.“Nggak nyangka loh bisa ketemu lo lagi di sini,” ujar Nadzifa semringah.Farzan tak menyangka gadis yang pernah ditolong dulu masih ingat dengan dirinya. Apalagi saat itu Nadzifa sedang mabuk berat. Ketika pulang pun ia masih hangover.“Mbak tinggal di Jakarta?” tanya Farzan kemudian.“Iya. Keluarga gue tinggal di sini, tapi gue sih tinggal di daerah Cikarang.” Nadzifa melambaikan tangan memanggil pelayan. Dia menambah lagi minuman beralkohol sama seperti sebelumnya.“Eh, lo yang waktu pagi itu, ‘kan?” Pandangan Nadzifa beralih kepada Bramasta.“Iya, Mbak.” Bram mengulurkan tangan memperkenalkan diri. “Bramasta, panggil aja Bram. Sah
Tiga bulan kemudianFarzan menyusun kardus berisikan barang-barangnya di dekat dinding. Dia menghitung jumlah, memastikan tidak ada yang tertinggal ketika dibawa nanti. Sebenarnya tidak banyak yang ia bawa dari rumah, hanya tiga kardus besar dan dua kardus kecil. Tak lupa juga satu koper berukuran besar berisikan pakaian.“Yakin mau pindah, Dek?” tanya Arini duduk di pinggir tempat tidur Farzan.“Iya, Kak. Capek kalau bolak balik Jakarta-Cikarang setiap hari. Apalagi kalau harus masuk hari Sabtu. Nggak ada waktu istirahat,” jawab Farzan seraya memasukkan peritilan barang yang akan diangkut ke dalam ransel.Benarkah itu yang menjadi alasan sebenarnya Farzan memutuskan pindah ke Cikarang dan tinggal di apartemen? Tentu tidak pemirsa. Pemuda itu tidak ingin terus-terusan bertemu dengan Arini, takut khilaf. Ditambah lagi tidak kuat melihatnya bermesraan dengan Brandon. (Duh, sabar yaa, Zan.)“Trus siapa ya
Suara alarm terdengar nyaring memekakkan telinga ketika subuh menjelang. Jika saja di sini adalah pedesaan, maka akan terdengar bunyi ayam jantan berkokok. Sayangnya kamar ini berada di gedung apartemen yang tinggi, sehingga tidak ada ayam jantan yang bertengger hanya sekedar untuk membangunkan penduduk. Tangan yang cukup berotot itu bergerak meraba atas nakas, tempat ponsel berada. Sepasang netra elang berwarna hitam perlahan terbuka, mencari tahu pukul berapa sekarang. Ah, seharusnya tidak begitu juga karena dia tahu persis jam berapa alarm diterapkan. Farzan langsung mengubah posisi menjadi duduk, karena sebentar lagi waktu subuh tiba. Dengan masih terkantuk, ia berusaha berdiri kemudian melangkah menuju kamar mandi untuk menggosok gigi. “Kalau mau salat Subuh jangan lupa gosok gigi, Dek. Mau ketemu sama manusia aja kita nggak pede kalau belum gosok gigi, apalagi ketemu sama Allah.” Nasihat yang kerap dilontarkan Arini, selalu terpatri di dalam ingatannya.
Nadzifa dan Farzan berdiri di depan flat masing-masing sebelum berpisah. Kucing kesayangan gadis itu sudah dikuburkan di tanah kosong belakang gedung apartemen. Jangan ditanyakan lagi bagaimana sedihnya ia saat kucing jenis persia himalaya tersebut menjelang dikubur.“Thanks banget ya udah bantuin,” ucap Nadzifa tersenyum singkat, “jangan tolak bantuan gue. Habis ganti pakaian, gue ke flat lo.”Awalnya Farzan keberatan, tapi Nadzifa kekeh untuk membantu. Gadis itu merasa bersalah, karena sudah mengganggunya pagi-pagi.“Oke. Nanti pencet bel aja, jangan ketuk-ketuk. Berisik,” tanggap Farzan.Gadis berambut panjang itu tertawa singkat. “Iya, bawel.”“Astaga, lo bener-bener kayak Nyokap gue deh,” sambungnya geleng-geleng kepala.Setelah itu Farzan memasuki flat untuk berganti pakaian. Ujung kaki celana katun bermotif kotak yang dikenakan terkena tana
Farzan mencari pakaian yang akan dikenakan dari lemari. Dia baru saja mandi selepas kembali dari bekerja. Hari ini ia pulang terlambat, karena ada meeting dadakan menjelang waktu kerja berakhir.Ketika akan mengenakan baju kaus, ponselnya berdering. Dengan semangat pemuda itu melangkah menuju nakas dan mengambil handphone dari sana. Senyum terurai di paras tampannya ketika melihat nama yang tertera di layar ponsel. Apalagi si penelepon menggunakan video call. Farzan segera memasang baju kaus, sehingga menutupi tubuh berototnya.“Assalamualaikum, Kakak Cantik,” sapanya setelah wajah cantik Arini terpampang di ponsel.Pemuda itu segera beranjak menuju meja makan, lalu meletakkan ponsel di sana. Dia menarik kursi dan duduk di sana.“Waalaikumsalam, Dek,” balas Arini dengan wajah mengerucut, “kamu kok jarang telepon sekarang?”Kening Farzan mengernyit saat mengingat kapan
Satu tahun kemudian“Farzan,” teriak suara nyaring dari luar flat. Tak hanya itu ketukan pintu bertubi-tubi juga terdengar membuat pekak telinga Farzan.Desahan pelan keluar dari sela hidung pria bertubuh tinggi itu. Dia melirik malas ke arah pintu yang masih tertutup rapat. Farzan menghentikan aktivitasnya menyiapkan keperluan untuk dibawa ke Menteng Dalam. Hari ini ia akan menginap di rumah keluarga Harun.Setiap kali mendengar suara itu, Farzan selalu seperti ini. Ketenangannya selama satu tahun tinggal di apartemen menjadi terusik karena kehadiran Nadzifa.Gadis itu sering bertandang ke flat hampir setiap hari. Dia juga kerap masuk tanpa izin dari Farzan. Parahnya lagi, Nadzifa menjadikan flat-nya sebagai tempat menumpahkan keluh kesah seraya meneguk bir.“Farzaaaaan,” panggilnya lagi meniru suara Tarzan.“Astaghfirullah,” bisik Farzan sambil mengelu
Sorot mata Farzan menegang seketika. Begitu juga dengan tubuhnya. Wajah pemuda itu berubah pasi, karena sang Kakak telah mengetahui apa yang terjadi antara dirinya dan Arini dua tahun yang lalu.Bayangan bagaimana panasnya mereka berciuman saat itu kembali terlintas. Farzan sangat menikmati setiap sentuhan Arini di bibirnya. Masih terasa bagaimana manis bibir wanita itu dan juga aroma segar yang terendus ketika mereka berciuman.Ketika itulah ia menyadari perasaan yang seharusnya tidak pernah ada, muncul di hatinya. Farzan mengakui bahwa ia menyayangi Arini bukan hanya sebatas Kakak, tapi sebagai seorang wanita. Jika saja wanita itu bukan istri dari Brandon, kakaknya, maka ia pasti akan merebutnya.“Apa yang kalian berdua lakukan dua tahun yang lalu?” ulang Brandon lagi menyentakkan Farzan.Suasana menjadi hening ketika Brandon menunggu jawaban Farzan. Hanya terdengar tarikan napas berat dari sela hidung mancung pemuda itu. Mata elang itu terp
Tiga hari kemudianFarzan pulang cepat hari ini. Tidak banyak pekerjaan yang dilakukan, sehingga bisa keluar dari pabrik tepat pukul empat sore.Seperti biasa, derap langkahnya begitu cepat ketika berjalan di lobi apartemen menuju lift. Tak perlu menunggu lama, kotak besi itu terbuka sehingga ia bisa memasukinya. Tubuh tinggi Farzan bersandar di dinding lift.Sorot mata elangnya menatap nanar pantulan diri di pintu lift yang kini tertutup. Tidak ada siapa-siapa di dalam, hanya dirinya yang tampak tidak bersemangat sama sekali.Semenjak mendapat ultimatum dari Brandon, Farzan tidak berhenti memikirkan solusi agar bisa mengatasi masalah yang dihadapi. Hingga saat ini ia belum menemukan jalan keluar.Begitu pintu lift terbuka, Farzan langsung melangkah ke luar. Dia berjalan dengan kepala tertunduk menuju flat. Lagi-lagi pandangannya terpaku ke arah flat Nadzifa yang masih tertutup rapat. Tiga hari ini, gadis itu tida
Lima bulan kemudianBunyi ciuman terdengar jelas di sebuah kamar kondominium mewah yang berada di kawasan Marina, Singapura. Suara desahan menjadi penutup penyatuan sepasang suami istri yang entah berapa kali melakukannya hingga siang ini. Keduanya saling berbagi tatapan dan senyuman dalam posisi duduk berhadap-hadapan.Nadzifa segera turun dari pangkuan Farzan, kemudian masuk ke dalam selimut. Napas memburu keluar dari hidung seiringan dengan jantung yang berdebar cepat. Farzan juga ikut masuk ke balik selimut, sebelum menarik tubuh istrinya merapat.“Mentang-mentang libur, aku nggak dibolehin keluar kamar,” sungut Nadzifa mencubit hidung mancung suaminya.Farzan tersenyum lebar seraya menatap gemas wajah Nadzifa yang masih memancarkan rona merah. “Habis kamu bikin aku nagih. Top banget deh.”Nadzifa berdecak seraya menyipitkan mata. “Segitunya kamu.”Meski usia wanita itu tidak lagi muda
Farzan duduk di ruang kunjungan tahanan berhadap-hadapan dengan Ayu. Di sampingnya ada Nadzifa yang menemani pria itu menemui sang Ibu. Rahang tegasnya tampak mengeras menahan luapan amarah yang tertahan. Dia malu dengan perbuatan wanita yang telah melahirkannya itu.“Aku pikir Mommy udah berubah sejak keluar dari penjara waktu itu,” ujar Farzan memecah keheningan ruangan yang dikelilingi dinding berwarna abu-abu itu. Dia menundukkan kepala, seakan enggan melihat Ayu.“Kamu yang bikin Mommy begini, Zan,” balas wanita tua itu menyalahkan putranya.Sorot mata Farzan terlihat tajam ketika pandangannya terangkat. Sklera netra elangnya memerah digenangi air mata.“Mommy salahkan aku?” tanya Farzan dengan kedua tangan mengepal erat di atas paha.Nadzifa langsung meraih tangan suaminya, berusaha menenangkan.“Coba waktu itu kamu mau kerja di perusahaan dan jamin hidup Mommy.
Sepasang netra elang mengerjap ketika mencoba untuk terbuka. Pandangannya turun ke arah sesosok tubuh yang lelap dalam dekapan. Farzan tersenyum ketika melihat Nadzifa tidur seperti bayi. Begitu tenang dan imut dengan bibir sedikit terbuka. Beruntung tidak ada air liur yang keluar. Haha!Dia menarik napas sebentar, sebelum mengeratkan lagi pelukan. Terasa kelembutan yang baru dirasakan tadi malam. Juga kehangatan yang disalurkan oleh tubuh Nadzifa. Pagi ini Farzan merasakan perubahan dalam hidupnya.Sebuah kecupan diberikan di kening Nadzifa beberapa detik, membuat tubuh semampai itu menggeliat kecil di dalam pelukannya. Perlahan tapi pasti kepala gadis itu, ah bukan, wanita itu terangkat seiringan dengan kelopak mata yang terbuka.Nadzifa memicingkan mata ketika ingat dirinya sekarang sudah resmi menjadi istri dari Farzan Harun. Pria yang berusia sembilan tahun lebih muda darinya. Dia menenggelamkan wajah tepat di dada bidang pria itu.“Aku banguni
Seluruh keluarga Harun dibuat panik gara-gara pernikahan dadakan Farzan dan Nadzifa. Begitu juga dengan Brandon yang baru saja pulang dari rumah sakit. Beruntung menjelang sore semua berjalan sesuai dengan rencana. Tinggal menunggu akad nikah dilaksanakan.Paman Nadzifa juga bisa hadir untuk menikahkan keponakan yang jarang berjumpa. Semesta seakan memberi kelancaran baik dari segi dokumen, penghulu sampai pakaian yang akan dikenakan oleh Nadzifa dan Farzan untuk akad nikah.Jangan ditanyakan lagi bagaimana gugup Farzan sekarang. Pria itu tampak gagah mengenakan setelan beskap berwarna putih gading. Sebuah peci berwarna senada menutupi rambut model layered miliknya.“Penghulu udah datang tuh, Zan,” info Bramasta yang sejak tadi sibuk sendiri, pasca diberitahukan tentang pernikahan Farzan. Pria berkacamata itu langsung minta izin pulang dari kantor lebih awal.Farzan menganggukkan kepala, kemudian berdiri. Dia menarik napas dan mengemb
“Mas Brandon benar, Kak. Ada yang ingin menyingkirkan Mas Brandon. Orang itu adalah Tante Ayu.”Perkataan yang diucapkan Nadzifa barusan menyurutkan niat Farzan untuk memasuki ruang perawatan yang baru saja ditinggalkannya beberapa menit lalu. Dia baru saja mendapatkan telepon dari Pak Habib mengenai reschedule jadwal meeting dengan klien. Senyum yang terurai di wajah tampan itu hilang ketika mendengar nama ibunya disebut.“Mommy?” gumamnya dengan kening berkerut.Farzan memilih menguping pembicaraan ketiga orang yang ada di dalam ruang perawatan VIP tersebut. Semakin lama ia berdiri di sana, amarah yang dirasakan semakin memuncak. Dia tidak menyangka sang Ibu bisa melakukan tindakan rendah seperti itu, hanya demi seonggok harta.“Tolong rahasiakan ini dari Farzan ya? Dia pasti marah banget kalau tahu Ayu yang celakai Mas Brandon.” Terdengar suara Arini memohon kepada Nadzifa. “Farzan it
“Mas Brandon benar, Kak. Ada yang ingin menyingkirkan Mas Brandon.” Nadzifa menarik napas panjang, sebelum melanjutkan perkataannya. “Orang itu adalah Tante Ayu.”Mata cokelat besar Arini melebar seketika. Bibirnya ternganga ketika mendengar nama Ayu disebut. Kepalanya langsung menggeleng cepat.“Nggak mungkin itu ulah Ayu. Dia ‘kan lagi di Uluwatu.” Arini tidak percaya begitu saja meski yang mengatakannya Nadzifa.“Ayu tinggal di Jakarta tiga bulan ini, In. Kita udah dibohongi mentah-mentah sama dia,” ujar Brandon meyakinkan.Pandangan Arini berpindah kepada suaminya. “Bran, kita yang carikan rumah buat dia di Uluwatu biar nggak ngerecokin Papa. Nggak mungkin dia ke sini.”Brandon meraih tangan Arini, lalu menggenggamnya erat. “Faktanya gitu, In. Dia ada di Jakarta.”Arini mendesah keras dengan napas terasa sesak. Dia ingat pernah mencarikan apartemen untuk Ayu di
Farzan dan Nadzifa saling berpandangan dalam waktu yang lama. Mereka menyelami perasaan masing-masing. Keduanya tidak pernah menyangka hubungan yang semula hanya pura-pura, kini menjadi serius. Bahkan benih cinta juga tumbuh mekar di hati mereka.“Aku … mau, Zan,” desis Nadzifa setelah menemukan binar cinta di mata Farzan untuknya.“Mau apa?” tanya Farzan bingung.“Masa nggak tahu sih?” sungut gadis itu dengan wajah mengerucut.“Ya aku nggak tahu maksud kamu apa?”“Mau nikah sama kamu secepatnya,” gumamnya berlalu dari hadapan Farzan, kemudian pergi menemui El dan Al yang masih berada di depan pintu.“Mau nikah secepatnya?” ulang Farzan hanya terdengar olehnya. Dia tersenyum lebar, sehingga bibir bagian atas itu nyaris tak terlihat. Kakinya melangkah ringan ke dekat Nadzifa.“Ngapain sih mojok di sana berdua? Nggak asyik banget. Untung Si Fatih nggak
Pagi-pagi sekali selesai menunaikan salat Subuh, Farzan sudah berangkat ke ruko tempat Nadzifa saat ini berada. Ternyata gadis itu lebih sering menghabiskan waktu di sana selama ini. Dia tidak mau tinggal di apartemen, khawatir akan berjumpa dengan Farzan.Seperti permintaannya kemarin, Farzan disuguhi satu porsi nasi goreng buatan Nadzifa. Entah kenapa sekarang terasa semakin lezat. Apa mungkin karena ia mulai bucin dengan gadis itu? Hanya Tuhan dan Farzan yang tahu. Haha!Tidak banyak percakapan berarti yang tercipta di antara keduanya. Hanya pembahasan seputar aktivitas Farzan selama satu bulan ini. Selesai sarapan, pria itu memutuskan untuk pergi ke rumah sakit, mengunjungi Brandon sebelum berangkat ke kantor.Alhasil di sinilah ia berada, bersama dengan Nadzifa. Ya, gadis itu juga ingin ikut mengunjungi calon kakak iparnya. Ehmmm … ehmmm ….“Loh pagi-pagi udah ada di sini,” seru Brandon terkejut melihat kedatangan Farzan dan
Nadzifa mengalihkan pandangan ke sisi kiri ruangan. Dia pura-pura tidak mendengar apa yang dikatakan Farzan barusan. Padahal hatinya sekarang meronta-ronta kegirangan. “Zi?” Farzan masih menanti jawaban darinya. Gadis itu memutar kepala ke arah Farzan dalam gerakan slow motion lagi. “Emang … harus dijawab ya?” Farzan menganggukkan kepala. “Kalau nggak mau gimana?” Dia memberi tatapan malas, bertolak belakang dengan isi hatinya. “Aku nggak mau pulang sampai kamu jawab,” ancam Farzan tersenyum manis. (Ya ampun, cowok tersenyum manis.) Mata hitam lebar Nadzifa membesar seketika. “Zan, ini udah malam. Kamu mau nginap di sini?” “Kita udah pernah tidur satu ranjang sebelumnya, Zi,” goda Farzan. Nadzifa semakin melongo mendengar perkataan Farzan. Matanya terpejam erat ketika kepala bergerak ke kiri dan kanan. “Nggak bisa! Pulang gih sana, nanti jadi gunjingan orang. Dosa loh bikin orang ghibah,” usirnya mengib