Suara alarm terdengar nyaring memekakkan telinga ketika subuh menjelang. Jika saja di sini adalah pedesaan, maka akan terdengar bunyi ayam jantan berkokok. Sayangnya kamar ini berada di gedung apartemen yang tinggi, sehingga tidak ada ayam jantan yang bertengger hanya sekedar untuk membangunkan penduduk.
Tangan yang cukup berotot itu bergerak meraba atas nakas, tempat ponsel berada. Sepasang netra elang berwarna hitam perlahan terbuka, mencari tahu pukul berapa sekarang. Ah, seharusnya tidak begitu juga karena dia tahu persis jam berapa alarm diterapkan.
Farzan langsung mengubah posisi menjadi duduk, karena sebentar lagi waktu subuh tiba. Dengan masih terkantuk, ia berusaha berdiri kemudian melangkah menuju kamar mandi untuk menggosok gigi.
“Kalau mau salat Subuh jangan lupa gosok gigi, Dek. Mau ketemu sama manusia aja kita nggak pede kalau belum gosok gigi, apalagi ketemu sama Allah.” Nasihat yang kerap dilontarkan Arini, selalu terpatri di dalam ingatannya. Itulah yang dilakukannya sebelum mengambil air wudu.
Pola hidup yang dijalani Farzan sekarang, tidak lepas dari ajaran kakak iparnya. Sejak kecil, ia sudah diajarkan bangun untuk salat Subuh, puasa wajib dan melakukan perintah agama lainnya. Karena itu juga, ia merasa nyaman dengan Arini karena selalu mendidik dalam kebaikan.
Selesai mengambil wudu, Farzan langsung mengganti pakaian untuk menunaikan salat Subuh. Biasanya pemuda itu ikut salat berjamaah di masjid, namun kali ini memilih salat di apartemen karena belum familiar dengan keadaan sekitar. Sebenarnya ia belum tahu di mana masjid terdekat.
“Farzan.” Tiba-tiba terdengar suara perempuan memanggil ketika ia sedang sujud pada rakaat pertama.
“Farzan,” panggil suara cempreng diiringi dengan ketukan pintu.
Pemuda itu mulai tidak konsentrasi dengan bacaan salat. Meski demikian, ia kembali fokus beribadah. Farzan masih larut dengan ibadah hingga ponselnya berdering pada tahiyat akhir.
“Astaghfirullah,” ucapnya beristighfar meminta ampun karena ibadah yang seharusnya khusuk menjadi terganggu.
Ketika nada dering berhenti, terdengar lagi suara panggilan. “Farzan.”
Kali ini suara ketukan pintu terdengar gaduh. Seharusnya perempuan yang berada di balik pintu itu, bisa memencet bel bukannya mengetuk pintu.
Selesai berdoa, Farzan langsung beranjak dari atas sajadah. Dia melangkah menuju pintu dan mengintip terlebih dahulu sebelum membukanya. Desahan pelan keluar dari sela bibir ketika tahu siapa yang berdiri di balik pintu itu.
Farzan menarik napas berat terlebih dahulu sebelum memutar gagang pintu. “Kenapa pagi-pagi bikin gaduh, Mbak?” tanyanya malas.
Raut wajah panik Nadzifa langsung berubah saat melihat Farzan berdiri dengan baju koko dan kain sarung yang melekat di tubuh. Tak lupa juga peci bulat berwarna putih menutup kepala.
Secarik senyum tergambar di paras gadis itu. “Alim banget. Salat tepat waktu.”
“Mbak mau ngapain pagi-pagi ketuk pintu flat saya? Kenapa nggak pencet bel aja sih?” sungut Farzan masih memberi tampang malas.
Wajah Nadzifa kembali panik bercampur sedih. “Sorry.Tadi itu kaget banget.”
“Kaget kenapa?” Farzan bingung sendiri.
Air muka gadis itu berubah, wajahnya mulai berkerut sebelum suara tangis keluar. “Kucing gue.” Dia menunjuk ke flat yang berada tepat di depan flat Farzan.
“Kucing kesayangan gue mati,” sambungnya sebelum tangis pecah.
“Astaghfirullah, saya pikir ngapain, Mbak. Ya tinggal dikubur aja kalau meninggal,” tanggap Farzan dingin.
“Masa harus gue yang kuburin sih? Pagi-pagi lagi, masih gelap ‘kan di luar.”
Pemuda itu mendesah lagi. “Trus siapa lagi? Pemilik kucingnya siapa? Mbak ‘kan?”
Nadzifa terdiam sebentar masih melihat Farzan dengan raut memelas.
“Maaf, Mbak. Saya harus beres-beres dulu, biar nggak telat kerja.” Farzan bersiap menutup pintu, namun ditahan oleh Nadzifa.
“Tolongin dong. Gue nggak kenal siapa-siapa di gedung ini. Cuma kenal lo doang,” pintanya mengedipkan mata pelan.
Farzan menggeleng cepat. “Saya banyak kerjaan. Mbak aja yang urus.”
“Tega banget sih,” decit Nadzifa masih mengiba, “lo mau lihat gue ke luar kuburin kucing sendirian? Masih jauh tempatnya di belakang sana.”
Pemuda itu bergeming menatap datar Nadzifa.
“Kamu harus bisa menghormati wanita, Dek. Perlakukan mereka dengan baik, jangan pernah sakiti mereka.” Lagi-lagi penggalan nasihat yang diberikan Arini berputar di pikirannya.
Kenapa sang Kakak Ipar begitu sering memberikan petuah kepadanya? Sehingga ia tidak bisa lagi menutup mata dengan keberadaan gadis yang mengharapkan uluran tangannya.
“Ya udah saya ganti baju dulu. Mbak tunggu aja di sini.” Farzan memutar balik tubuh bersiap memasuki flat. Ternyata Nadzifa ikut masuk ke dalam flat miliknya.
“Mbak tunggu di sana dulu. Setelah ganti baju saya keluar.” Farzan mendelik melihat gadis itu.
“Nggak boleh masuk nih?” tanya Nadzifa pura-pura bego.
“Flat saya tipe studio, jadi nggak bisa terima tamu perempuan,” tolak Farzan keberatan.
“Gue bisa tunggu di sofa kok,” kata gadis itu melirik ke arah sofa yang bersebelahan dengan tempat tidur, “tutup aja tirainya kalau mau ganti baju. Nggak bakalan gue intip kok.”
Bibir Farzan bergerak kecil saat ingin merespons perkataan Nadzifa. “Maaf, Mbak. Sesuai dengan perintah agama, laki-laki dan perempuan yang bukan mahrom nggak boleh berada di dalam satu ruangan tertutup berdua saja.”
Pemuda itu tidak menyerah memberikan alasan agar bisa menolak kehadiran Nadzifa di dalam flat.
“Waktu di Zürich lo bawa gue ke apartemen.”
“Itu kondisi urgent, Mbak.”
“Sekarang juga urgent,” balas gadis itu pantang menyerah.
Farzan merapatkan gigi, sehingga rahangnya tampak tegas. Dia mulai terganggu dengan kehadiran wanita ini. Rasanya seperti game yang sering ia mainkan berjudul Neighbour From Hell.
“Mbak, please! Bisa nggak sih tunggu di luar aja? Atau saya nggak jadi bantuin Mbak nih,” tegas Farzan mulai naik pitam.
Nadzifa mengangguk sambil mengangkat kedua telapak tangan sejajar bahu. Dia mundur pelan ke belakang, sehingga keluar lagi dari flat Farzan.
“Oke. Gue tunggu lo di sini. Cepetan, jangan lama-lama. Kasihan kucing gue,” tutur gadis itu setelah bersandar di pintu flat miliknya.
Farzan mengangguk singkat, kemudian menutup pintu. Dia langsung berganti pakaian agar tidak membuang waktu. Pagi ini ia telah menyusun jadwal sedemikian rupa, karena barang-barang yang dibawa kemarin belum ditata.
“Sorry ya ganggu pagi-pagi,” desis Nadzifa setelah Farzan kembali menemuinya di luar flat.
“Nanti gue bantuin deh beresin barang-barang lo,” sambungnya disambut dengan kernyitan di dahi Farzan.
“Eh, ini sebagai balas budi karena lo udah bantuin gue dua kali. Jangan mikir yang aneh-aneh.” Nadzifa nyengir kuda memperlihatkan dua gigi besar di bagian tengah. Dia membuka pintu flat bersiap masuk ke dalam.
“Nggak perlu. Saya bisa sendiri, Mbak,” balas Farzan sebelum melangkah mengikuti gadis itu.
“Lo kenapa sih nggak bisa lembut sama cewek? Selalu aja jutek,” celoteh Nadzifa menoleh sekilas kepada Farzan.
Pemuda itu tidak mengindahkan celotehan Nadzifa. Tilikan mata elangnya mencari keberadaan kandang kucing.
“Kucingnya di mana, Mbak?”
Pandangan Farzan masih mengitari flat milik Nadzifa. Sorot matanya berhenti saat melihat foto seorang gadis dengan anak kecil berusia sepuluh tahun, menggantung di dinding.
“Itu foto gue waktu masih kecil sama tante yang paling gue sayang,” terang Nadzifa tanpa diminta. Gadis itu mendekati foto berukuran 10R tersebut. Dia tersenyum kecut saat menoleh kepada Farzan. “Cantik ‘kan?”
Pemuda itu mengangguk singkat.
“Itu kenangan terakhir yang gue miliki dengan tante gue.”
Farzan menatap bingung Nadzifa.
“Tante gue meninggal waktu gue masih umur sepuluh tahun.” Wajah yang tadi sedih kini bertambah sedih. Hidung mancung mungil itu perlahan membersit tidak nyaman.
“Innalillahi w* inna ilaihi raaji’uun,” gumam Farzan pelan.
“Sakit atau kecelakaan, Mbak?” tanya Farzan menunjukkan rasa duka.
“Bunuh diri,” jawab Nadzifa lugas.
“Bunuh diri?”
Gadis itu mengangguk singkat. Sorot mata yang tadi sendu kini berganti tajam. Tampak kebencian menyelimuti dari caranya menatap.
“Tante gue bunuh diri, karena dicampakkan begitu saja sama cowok yang nggak bertanggung jawab,” geramnya dengan menggertakkan gigi rapat. Kedua tangan Nadzifa mengepal erat di kedua sisi tubuh.
Bersambung....
Bab ini aku tulis waktu kucingku bernama Luna mati, karena terkena virus. Selang sepuluh hari kemudian anaknya yang baru usia 4 bulan juga mati, karena virus yang sama. Padahal mereka lucu banget. Hiks. Maaf jadi curhat tentang kucing. T_T
Nadzifa dan Farzan berdiri di depan flat masing-masing sebelum berpisah. Kucing kesayangan gadis itu sudah dikuburkan di tanah kosong belakang gedung apartemen. Jangan ditanyakan lagi bagaimana sedihnya ia saat kucing jenis persia himalaya tersebut menjelang dikubur.“Thanks banget ya udah bantuin,” ucap Nadzifa tersenyum singkat, “jangan tolak bantuan gue. Habis ganti pakaian, gue ke flat lo.”Awalnya Farzan keberatan, tapi Nadzifa kekeh untuk membantu. Gadis itu merasa bersalah, karena sudah mengganggunya pagi-pagi.“Oke. Nanti pencet bel aja, jangan ketuk-ketuk. Berisik,” tanggap Farzan.Gadis berambut panjang itu tertawa singkat. “Iya, bawel.”“Astaga, lo bener-bener kayak Nyokap gue deh,” sambungnya geleng-geleng kepala.Setelah itu Farzan memasuki flat untuk berganti pakaian. Ujung kaki celana katun bermotif kotak yang dikenakan terkena tana
Farzan mencari pakaian yang akan dikenakan dari lemari. Dia baru saja mandi selepas kembali dari bekerja. Hari ini ia pulang terlambat, karena ada meeting dadakan menjelang waktu kerja berakhir.Ketika akan mengenakan baju kaus, ponselnya berdering. Dengan semangat pemuda itu melangkah menuju nakas dan mengambil handphone dari sana. Senyum terurai di paras tampannya ketika melihat nama yang tertera di layar ponsel. Apalagi si penelepon menggunakan video call. Farzan segera memasang baju kaus, sehingga menutupi tubuh berototnya.“Assalamualaikum, Kakak Cantik,” sapanya setelah wajah cantik Arini terpampang di ponsel.Pemuda itu segera beranjak menuju meja makan, lalu meletakkan ponsel di sana. Dia menarik kursi dan duduk di sana.“Waalaikumsalam, Dek,” balas Arini dengan wajah mengerucut, “kamu kok jarang telepon sekarang?”Kening Farzan mengernyit saat mengingat kapan
Satu tahun kemudian“Farzan,” teriak suara nyaring dari luar flat. Tak hanya itu ketukan pintu bertubi-tubi juga terdengar membuat pekak telinga Farzan.Desahan pelan keluar dari sela hidung pria bertubuh tinggi itu. Dia melirik malas ke arah pintu yang masih tertutup rapat. Farzan menghentikan aktivitasnya menyiapkan keperluan untuk dibawa ke Menteng Dalam. Hari ini ia akan menginap di rumah keluarga Harun.Setiap kali mendengar suara itu, Farzan selalu seperti ini. Ketenangannya selama satu tahun tinggal di apartemen menjadi terusik karena kehadiran Nadzifa.Gadis itu sering bertandang ke flat hampir setiap hari. Dia juga kerap masuk tanpa izin dari Farzan. Parahnya lagi, Nadzifa menjadikan flat-nya sebagai tempat menumpahkan keluh kesah seraya meneguk bir.“Farzaaaaan,” panggilnya lagi meniru suara Tarzan.“Astaghfirullah,” bisik Farzan sambil mengelu
Sorot mata Farzan menegang seketika. Begitu juga dengan tubuhnya. Wajah pemuda itu berubah pasi, karena sang Kakak telah mengetahui apa yang terjadi antara dirinya dan Arini dua tahun yang lalu.Bayangan bagaimana panasnya mereka berciuman saat itu kembali terlintas. Farzan sangat menikmati setiap sentuhan Arini di bibirnya. Masih terasa bagaimana manis bibir wanita itu dan juga aroma segar yang terendus ketika mereka berciuman.Ketika itulah ia menyadari perasaan yang seharusnya tidak pernah ada, muncul di hatinya. Farzan mengakui bahwa ia menyayangi Arini bukan hanya sebatas Kakak, tapi sebagai seorang wanita. Jika saja wanita itu bukan istri dari Brandon, kakaknya, maka ia pasti akan merebutnya.“Apa yang kalian berdua lakukan dua tahun yang lalu?” ulang Brandon lagi menyentakkan Farzan.Suasana menjadi hening ketika Brandon menunggu jawaban Farzan. Hanya terdengar tarikan napas berat dari sela hidung mancung pemuda itu. Mata elang itu terp
Tiga hari kemudianFarzan pulang cepat hari ini. Tidak banyak pekerjaan yang dilakukan, sehingga bisa keluar dari pabrik tepat pukul empat sore.Seperti biasa, derap langkahnya begitu cepat ketika berjalan di lobi apartemen menuju lift. Tak perlu menunggu lama, kotak besi itu terbuka sehingga ia bisa memasukinya. Tubuh tinggi Farzan bersandar di dinding lift.Sorot mata elangnya menatap nanar pantulan diri di pintu lift yang kini tertutup. Tidak ada siapa-siapa di dalam, hanya dirinya yang tampak tidak bersemangat sama sekali.Semenjak mendapat ultimatum dari Brandon, Farzan tidak berhenti memikirkan solusi agar bisa mengatasi masalah yang dihadapi. Hingga saat ini ia belum menemukan jalan keluar.Begitu pintu lift terbuka, Farzan langsung melangkah ke luar. Dia berjalan dengan kepala tertunduk menuju flat. Lagi-lagi pandangannya terpaku ke arah flat Nadzifa yang masih tertutup rapat. Tiga hari ini, gadis itu tida
Dua bulan menjelang pernikahan AlyssaHari ini adalah acara lamaran Alyssa, keponakan Farzan yang paling kecil. Gadis itu memutuskan menikah di usia muda yaitu dua puluh tahun. Dia memiliki kisah cinta yang unik. Bayangkan Al dilamar oleh calon suaminya ketika masih kelas dua SMA.Semakin mendekati hari pernikahan Alyssa, membuat Farzan uring-uringan. Sepuluh bulan ini dilalui dengan penuh perjuangan. Berbagai cara dilakukan untuk mencari wanita yang cocok dijadikan calon istri, tapi hasilnya selalu nihil.Mengenai Nadzifa, gadis itu menghilang bagai ditelan bumi. Tidak ada kabar apa-apa darinya sejak sepuluh bulan terakhir. Dia juga tidak muncul di flat yang biasa ditempati.Farzan mulai khawatir dengan Nadzifa, karena kondisinya yang masih labil. Meski berusia lebih tua sembilan tahun darinya, pola pikir gadis itu masih belum matang. Cenderung kekanak-kanakan. Itulah yang membuatnya cemas.“Mungkin nggak sih Mbak N
Farzan membelai lembut belakang kepala Nadzifa ketika masih menumpahkan tangis dalam pelukannya. Dia bisa melihat gadis itu tidak sedang baik-baik saja. Tampak jelas dari wajah yang kusut.“Gue harus gimana, Zan? Nyokap udah pergi untuk selama-lamanya,” ungkap Nadzifa membuat Farzan terkejut.Pria itu memegang bahu Nadzifa kemudian mendorongnya sedikit ke belakang, sehingga tubuh kembali berjarak.“Maksud, Mbak?” tanya Farzan memandang wajah kuyu gadis itu.“Nyokap gue meninggal satu bulan yang lalu,” jawabnya kembali terisak.“Innalillahi wa inna ilaihi raaji’uun,” ucap Farzan.Tilikan mata elangnya melihat ke lorong apartemen. “Sekarang Mbak tenang dulu, sebaiknya kita ngobrol di dalam.”Dengan patuh Nadzifa ikut memasuki flat yang ditempati Farzan.Farzan tidak lagi mempermasalahkan kejadian tahun lalu. Menurutnya sekarang Nadzifa butuh tempa
Mata hitam lebar Nadzifa berkedip pelan. Perlahan bibir berisi penuh itu terbuka. Kening yang tadi berkerut berangsur normal. Tak lama dia terbahak sekeras-kerasnya.“Lo mau nikah sama gue?” tanya Nadzifa di sela tawa yang belum reda. Saking lama tertawa, matanya mengeluarkan air.Farzan mengangguk dengan raut wajah serius. “I-iya kenapa, Mbak? Ada yang lucu?”Tawa gadis itu mereda seketika. Dia mengamati Farzan lekat. Tidak ada gelagat bercanda dari caranya berbicara sekarang. Apalagi semenjak kenal dengan pria itu, Nadzifa tidak pernah sekali pun melihatnya bercanda.Farzan yang dikenalnya adalah pria yang kaku dan jarang tertawa. Mustahil juga jika bergurau dengan hal serius seperti ini.Apa mungkin dia kasihan sama gue? duga Nadzifa dalam hati.Ah, nggak mungkin juga. Atau ini ada berkaitan dengan masalah pribadinya? sambungnya lagi masih membatin.“Sorry, habis tiba-tiba aj
Lima bulan kemudianBunyi ciuman terdengar jelas di sebuah kamar kondominium mewah yang berada di kawasan Marina, Singapura. Suara desahan menjadi penutup penyatuan sepasang suami istri yang entah berapa kali melakukannya hingga siang ini. Keduanya saling berbagi tatapan dan senyuman dalam posisi duduk berhadap-hadapan.Nadzifa segera turun dari pangkuan Farzan, kemudian masuk ke dalam selimut. Napas memburu keluar dari hidung seiringan dengan jantung yang berdebar cepat. Farzan juga ikut masuk ke balik selimut, sebelum menarik tubuh istrinya merapat.“Mentang-mentang libur, aku nggak dibolehin keluar kamar,” sungut Nadzifa mencubit hidung mancung suaminya.Farzan tersenyum lebar seraya menatap gemas wajah Nadzifa yang masih memancarkan rona merah. “Habis kamu bikin aku nagih. Top banget deh.”Nadzifa berdecak seraya menyipitkan mata. “Segitunya kamu.”Meski usia wanita itu tidak lagi muda
Farzan duduk di ruang kunjungan tahanan berhadap-hadapan dengan Ayu. Di sampingnya ada Nadzifa yang menemani pria itu menemui sang Ibu. Rahang tegasnya tampak mengeras menahan luapan amarah yang tertahan. Dia malu dengan perbuatan wanita yang telah melahirkannya itu.“Aku pikir Mommy udah berubah sejak keluar dari penjara waktu itu,” ujar Farzan memecah keheningan ruangan yang dikelilingi dinding berwarna abu-abu itu. Dia menundukkan kepala, seakan enggan melihat Ayu.“Kamu yang bikin Mommy begini, Zan,” balas wanita tua itu menyalahkan putranya.Sorot mata Farzan terlihat tajam ketika pandangannya terangkat. Sklera netra elangnya memerah digenangi air mata.“Mommy salahkan aku?” tanya Farzan dengan kedua tangan mengepal erat di atas paha.Nadzifa langsung meraih tangan suaminya, berusaha menenangkan.“Coba waktu itu kamu mau kerja di perusahaan dan jamin hidup Mommy.
Sepasang netra elang mengerjap ketika mencoba untuk terbuka. Pandangannya turun ke arah sesosok tubuh yang lelap dalam dekapan. Farzan tersenyum ketika melihat Nadzifa tidur seperti bayi. Begitu tenang dan imut dengan bibir sedikit terbuka. Beruntung tidak ada air liur yang keluar. Haha!Dia menarik napas sebentar, sebelum mengeratkan lagi pelukan. Terasa kelembutan yang baru dirasakan tadi malam. Juga kehangatan yang disalurkan oleh tubuh Nadzifa. Pagi ini Farzan merasakan perubahan dalam hidupnya.Sebuah kecupan diberikan di kening Nadzifa beberapa detik, membuat tubuh semampai itu menggeliat kecil di dalam pelukannya. Perlahan tapi pasti kepala gadis itu, ah bukan, wanita itu terangkat seiringan dengan kelopak mata yang terbuka.Nadzifa memicingkan mata ketika ingat dirinya sekarang sudah resmi menjadi istri dari Farzan Harun. Pria yang berusia sembilan tahun lebih muda darinya. Dia menenggelamkan wajah tepat di dada bidang pria itu.“Aku banguni
Seluruh keluarga Harun dibuat panik gara-gara pernikahan dadakan Farzan dan Nadzifa. Begitu juga dengan Brandon yang baru saja pulang dari rumah sakit. Beruntung menjelang sore semua berjalan sesuai dengan rencana. Tinggal menunggu akad nikah dilaksanakan.Paman Nadzifa juga bisa hadir untuk menikahkan keponakan yang jarang berjumpa. Semesta seakan memberi kelancaran baik dari segi dokumen, penghulu sampai pakaian yang akan dikenakan oleh Nadzifa dan Farzan untuk akad nikah.Jangan ditanyakan lagi bagaimana gugup Farzan sekarang. Pria itu tampak gagah mengenakan setelan beskap berwarna putih gading. Sebuah peci berwarna senada menutupi rambut model layered miliknya.“Penghulu udah datang tuh, Zan,” info Bramasta yang sejak tadi sibuk sendiri, pasca diberitahukan tentang pernikahan Farzan. Pria berkacamata itu langsung minta izin pulang dari kantor lebih awal.Farzan menganggukkan kepala, kemudian berdiri. Dia menarik napas dan mengemb
“Mas Brandon benar, Kak. Ada yang ingin menyingkirkan Mas Brandon. Orang itu adalah Tante Ayu.”Perkataan yang diucapkan Nadzifa barusan menyurutkan niat Farzan untuk memasuki ruang perawatan yang baru saja ditinggalkannya beberapa menit lalu. Dia baru saja mendapatkan telepon dari Pak Habib mengenai reschedule jadwal meeting dengan klien. Senyum yang terurai di wajah tampan itu hilang ketika mendengar nama ibunya disebut.“Mommy?” gumamnya dengan kening berkerut.Farzan memilih menguping pembicaraan ketiga orang yang ada di dalam ruang perawatan VIP tersebut. Semakin lama ia berdiri di sana, amarah yang dirasakan semakin memuncak. Dia tidak menyangka sang Ibu bisa melakukan tindakan rendah seperti itu, hanya demi seonggok harta.“Tolong rahasiakan ini dari Farzan ya? Dia pasti marah banget kalau tahu Ayu yang celakai Mas Brandon.” Terdengar suara Arini memohon kepada Nadzifa. “Farzan it
“Mas Brandon benar, Kak. Ada yang ingin menyingkirkan Mas Brandon.” Nadzifa menarik napas panjang, sebelum melanjutkan perkataannya. “Orang itu adalah Tante Ayu.”Mata cokelat besar Arini melebar seketika. Bibirnya ternganga ketika mendengar nama Ayu disebut. Kepalanya langsung menggeleng cepat.“Nggak mungkin itu ulah Ayu. Dia ‘kan lagi di Uluwatu.” Arini tidak percaya begitu saja meski yang mengatakannya Nadzifa.“Ayu tinggal di Jakarta tiga bulan ini, In. Kita udah dibohongi mentah-mentah sama dia,” ujar Brandon meyakinkan.Pandangan Arini berpindah kepada suaminya. “Bran, kita yang carikan rumah buat dia di Uluwatu biar nggak ngerecokin Papa. Nggak mungkin dia ke sini.”Brandon meraih tangan Arini, lalu menggenggamnya erat. “Faktanya gitu, In. Dia ada di Jakarta.”Arini mendesah keras dengan napas terasa sesak. Dia ingat pernah mencarikan apartemen untuk Ayu di
Farzan dan Nadzifa saling berpandangan dalam waktu yang lama. Mereka menyelami perasaan masing-masing. Keduanya tidak pernah menyangka hubungan yang semula hanya pura-pura, kini menjadi serius. Bahkan benih cinta juga tumbuh mekar di hati mereka.“Aku … mau, Zan,” desis Nadzifa setelah menemukan binar cinta di mata Farzan untuknya.“Mau apa?” tanya Farzan bingung.“Masa nggak tahu sih?” sungut gadis itu dengan wajah mengerucut.“Ya aku nggak tahu maksud kamu apa?”“Mau nikah sama kamu secepatnya,” gumamnya berlalu dari hadapan Farzan, kemudian pergi menemui El dan Al yang masih berada di depan pintu.“Mau nikah secepatnya?” ulang Farzan hanya terdengar olehnya. Dia tersenyum lebar, sehingga bibir bagian atas itu nyaris tak terlihat. Kakinya melangkah ringan ke dekat Nadzifa.“Ngapain sih mojok di sana berdua? Nggak asyik banget. Untung Si Fatih nggak
Pagi-pagi sekali selesai menunaikan salat Subuh, Farzan sudah berangkat ke ruko tempat Nadzifa saat ini berada. Ternyata gadis itu lebih sering menghabiskan waktu di sana selama ini. Dia tidak mau tinggal di apartemen, khawatir akan berjumpa dengan Farzan.Seperti permintaannya kemarin, Farzan disuguhi satu porsi nasi goreng buatan Nadzifa. Entah kenapa sekarang terasa semakin lezat. Apa mungkin karena ia mulai bucin dengan gadis itu? Hanya Tuhan dan Farzan yang tahu. Haha!Tidak banyak percakapan berarti yang tercipta di antara keduanya. Hanya pembahasan seputar aktivitas Farzan selama satu bulan ini. Selesai sarapan, pria itu memutuskan untuk pergi ke rumah sakit, mengunjungi Brandon sebelum berangkat ke kantor.Alhasil di sinilah ia berada, bersama dengan Nadzifa. Ya, gadis itu juga ingin ikut mengunjungi calon kakak iparnya. Ehmmm … ehmmm ….“Loh pagi-pagi udah ada di sini,” seru Brandon terkejut melihat kedatangan Farzan dan
Nadzifa mengalihkan pandangan ke sisi kiri ruangan. Dia pura-pura tidak mendengar apa yang dikatakan Farzan barusan. Padahal hatinya sekarang meronta-ronta kegirangan. “Zi?” Farzan masih menanti jawaban darinya. Gadis itu memutar kepala ke arah Farzan dalam gerakan slow motion lagi. “Emang … harus dijawab ya?” Farzan menganggukkan kepala. “Kalau nggak mau gimana?” Dia memberi tatapan malas, bertolak belakang dengan isi hatinya. “Aku nggak mau pulang sampai kamu jawab,” ancam Farzan tersenyum manis. (Ya ampun, cowok tersenyum manis.) Mata hitam lebar Nadzifa membesar seketika. “Zan, ini udah malam. Kamu mau nginap di sini?” “Kita udah pernah tidur satu ranjang sebelumnya, Zi,” goda Farzan. Nadzifa semakin melongo mendengar perkataan Farzan. Matanya terpejam erat ketika kepala bergerak ke kiri dan kanan. “Nggak bisa! Pulang gih sana, nanti jadi gunjingan orang. Dosa loh bikin orang ghibah,” usirnya mengib