Farzan mencari pakaian yang akan dikenakan dari lemari. Dia baru saja mandi selepas kembali dari bekerja. Hari ini ia pulang terlambat, karena ada meeting dadakan menjelang waktu kerja berakhir.
Ketika akan mengenakan baju kaus, ponselnya berdering. Dengan semangat pemuda itu melangkah menuju nakas dan mengambil handphone dari sana. Senyum terurai di paras tampannya ketika melihat nama yang tertera di layar ponsel. Apalagi si penelepon menggunakan video call. Farzan segera memasang baju kaus, sehingga menutupi tubuh berototnya.
“Assalamualaikum, Kakak Cantik,” sapanya setelah wajah cantik Arini terpampang di ponsel.
Pemuda itu segera beranjak menuju meja makan, lalu meletakkan ponsel di sana. Dia menarik kursi dan duduk di sana.
“Waalaikumsalam, Dek,” balas Arini dengan wajah mengerucut, “kamu kok jarang telepon sekarang?”
Kening Farzan mengernyit saat mengingat kapan terakhir kali menelepon Arini.
“Bukannya kemarin sore aku telepon kakak ya? Kakak lu ….” Pria itu langsung tersentak menyadari penyakit Arini pasti sedang kambuh.
“Maaf, Kak. Aku … kemarin lagi sibuk, jadi belum bisa telepon. Biasa ada produk baru lagi yang mau launching di perusahaan,” sambungnya tak ingin membuat Arini bersedih.
“Ya walau sibuk tetap sempatkan telepon, Dek.” Arini memberi tatapan menuntut.
“Iya, sekali lagi maaf ya Ibu Peri. Jangan marah, nanti tambah tua,” gurau Farzan membuat mata kakak iparnya menyipit.
“Kamu ini persis kayak Mas, pintar banget merayu,” balas wanita itu berdecak.
Farzan hanya tersenyum tipis menanggapi perkataan sang Kakak Ipar.
“Kabar Mama dan Papa gimana, Kak?” Farzan mengalihkan pembicaraan.
“Alhamdulillah sehat. Mama suruh kamu pulang weekend ini, Dek. Kangen katanya.”
“Insyaa Allah aku usahakan pulang kalau nggak lembur.”
Arini terdiam menatap layar ponsel.
“Kenapa, Kak?” Farzan khawatir jika penyakit wanita yang sangat dicintainya bertambah parah.
Kepala yang dihiasi rambut panjang hitam lebat itu menggeleng. “Cuma inget sama Mommy kamu aja. Kamu masih suka telepon Mommy, ‘kan?”
Farzan menarik napas berat, lantas menggeleng dengan enggan. “Bulan lalu, aku pernah ketemu sama Mommy, Kak,” ungkapnya.
Seperti biasa dia tidak bisa menyimpan rahasia apapun dari Arini. Hanya ada satu rahasia yang disimpannya rapat-rapat dari wanita itu, apalagi jika bukan rasa cintanya.
Wajah Arini tampak semringah. “Oya? Trus gimana?”
“Kakak kenapa sih nggak suruh Mommy balik lagi ke Uluwatu?” Farzan malah mengajukan pertanyaan.
“Ayu bilang mau lepasin kangen dulu sama kamu, makanya Kakak pesenin apartemen untuk dua minggu.”
“Hah? Dua minggu? Bukannya seminggu?”
Arini menggeleng cepat.
“Kenapa sih Kakak baik banget sama Mommy?”
Air muka Arini berganti sendu melihat ke arah kamera. “Kakak ini seorang Ibu, Dek. Jadi bisa bayangin gimana rasanya jauh dari anak. Kasihan, ‘kan?”
Jemari Farzan mengepal di atas meja. Tuduhan yang dilontarkan Ayu saat mereka bertemu terakhir kali, kembali terngiang di telinga. Sungguh tega wanita yang telah melahirkannya itu berkata yang tidak-tidak tentang Arini.
“Aku minta maaf, Kak,” lirih Farzan menahan sesak di dada.
“Eh, pinta maaf kenapa?” Raut wajah Arini tampak khawatir.
“Aku minta maaf mewakili Mommy.”
“Emang Mommy kamu salah apa sama Kakak?” Arini dan kelembutan hatinya.
Farzan kembali menghela napas berat, sehingga dadanya terasa sesak.
“Cuma minta maaf aja, Kak.”
“Dek? Kakak tahu kamu nyimpan sesuatu. Ayo cerita!”
“Nanti aja aku cerita kalau udah pulang ya,” kata Farzan menatap sendu layar ponsel.
“Beneran ya? Pokoknya cerita sama Kakak, jangan simpan sendiri. Ngerti?” tegas Arini dengan sebelah alis naik.
Senyum kembali menghias wajah yang dilengkapi dengan rahang tegas itu. Mata elang Farzan berkedip pelan.
“Farzan,” panggil suara perempuan diiringi ketukan pintu.
Pemuda itu mendongakkan kepala melihat ke arah pintu masuk berada. Decakan pelan terdengar ketika Farzan tahu siapa yang berdiri di balik pintu.
“Kenapa, Dek?” Arini bingung sendiri.
“Itu … Neighbour from hell datang,” jawab Farzan memelankan suara.
“Neighbour from hell?”
“Iya, orangnya cerewet banget. Nggak bisa diam. Suka gangguin juga tuh,” celoteh Farzan sebal.
“Cewek?” tebak Arini.
Farzan garuk-garuk kepala yang tak gatal sama sekali. “Iya.”
Senyum usil terbit di paras wanita paruh baya itu. “Samperin gih. Kali aja bisa jadi pacar. Eh, tapi ingat nggak boleh berdua di dalam flat. Paham?!”
“Farzan.” Suara sedikit cempreng milik Nadzifa kembali terdengar. Kali ini dengan volume naik satu angka dari tadi.
“Cuma teman aja, Kak. Lagian ketuaan,” ujar Farzan beralasan.
“Nanti sambung lagi ya, Kak. Bikin gaduh nih di luar. Berisik.”
Arini manggut-manggut masih dengan raut usil. “Ingat pesan Kakak ya. Jangan berdua di dalam flat.”
“Iya, Kakak Sayang. Assalamualaikum,” pungkas pemuda itu sebelum panggilan berakhir.
Lagi-lagi embusan napas pendek meluncur begitu saja dari sela bibirnya. Kaki melangkah malas menuju pintu.
“Kenapa, Mbak? Saya ‘kan udah bilang, jangan ketuk pintu,” cicit Farzan tidak semangat.
“Sorry, kebiasaan gue gitu. Males pencet-pencet bel,” balas Nadzifa melihat ke dalam flat Farzan. Tanpa izin, gadis itu langsung menyelonong masuk ke dalam.
“Mbak suka banget sih masuk tanpa izin?” protes Farzan melangkah cepat menyusul Nadzifa.
Gadis bertubuh semampai itu menaikkan kedua tangan yang membawa dua kantong kresek. “Gue bawa makanan. Trus temenin gue minum,” tuturnya santai tanpa beban.
“Alkohol lagi?” Pemuda itu menunjukkan tampang jijik.
Mata hitam lebar itu membesar seiringan dengan bahu terangkat ke atas. “Apa lagi? Kepala gue mumet banget, sumpah.”
Selama satu minggu ini, Nadzifa selalu mengganggu Farzan. Bukannya ketenangan yang didapatkan dengan pindah ke apartemen, dia malah diganggu oleh tetangga yang disebut berasal dari neraka ini.
“Mbak, please. Jangan jadikan flat saya tempat minum-minum. Bisa tamat riwayat saya kalau Kakak ipar saya tahu,” lontar Farzan keberatan.
Nadzifa sudah duduk di atas meja makan, lalu mengeluarkan dua porsi nasi goreng seafood yang dibeli entah di mana.
“Kakak ipar lo galak banget ya, sampai ketakutan kayak gitu?!” tunjuk Nadzifa tepat di wajah Farzan.
“Nggak juga sih. Cuma dari kecil saya diwanti-wanti sama Kak Arini buat jauh-jauh dari alkohol.”
Nadzifa mengambil sendok yang tergantung di tempat sendok dan garpu. Dia meletakkan satu di depan Farzan, lalu mengambil satu lagi untuk dirinya.
“Kirain galak banget. Lo ketakutan banget soalnya,” ledek Nadzifa menahan tawa.
“Nih makan. Lo pasti belum makan.” Gadis itu membuka bungkus nasi goreng untuk Farzan.
“Itu halal kok. Walau suka minum alkohol, tapi gue masih jaga makanan yang masuk ke perut,” celoteh Nadzifa mengeluarkan dua kaleng bir dari kantong.
Farzan hanya bisa geleng-geleng kepala melihat dua kaleng bir bertengger indah di atas meja makannya.
“Kenapa sih Mbak sering banget minum begituan? Nggak takut organ dalam rusak?” Sebenarnya pemuda itu ingin menanyakan apakah Nadzifa tidak takut dosa, tapi diurungkan.
Mata hitam lebar itu melihat nasi goreng seafood yang siap dilahap. Dia menyuap satu sendok terlebih dahulu, sebelum menjawab pertanyaan Farhan.
“Gue ‘kan udah bilang sebelumnya, kalau kepala gue mumet alias pusing. Gue minum habis makan kok, jadi perut masih aman terkendali,” tanggapnya setelah menelan habis nasi goreng yang dikunyah barusan. Dia mengelus perut yang rata itu lalu menepuknya pelan.
“Bukannya kalau minum alkohol jadi tambah pusing?” Farzan mengerling singkat sebelum memakan nasi goreng.
“Siapa bilang? Pikiran jadi enteng tahu. Melayang ke mana-mana, masalah langsung hilang.” Nadzifa mengangkat tangan, lalu mengibaskan tangan seakan membuang sesuatu.
Farzan menahan tawa mendengar jawaban gadis itu.
“Kok ketawa sih?”
“Habis jawaban Mbak itu mengada-ada.”
Kening berukuran lebar itu mengernyit heran. Dia meletakkan sendok di atas meja saat menuntut penjelasan dari Farzan.
“Kalau masalah langsung hilang, kenapa Mbak minum lagi setelah itu?” Farzan jadi ikut-ikutan meletakkan sendok, lantas menyangga dagu dengan punggung tangan.
“Ya karena ada lagi masalah lain.”
“Masalah lain atau masalah yang sama?” selidik pemuda itu menyeringai.
Nadzifa mengalihkan pandangan kepada nasi goreng yang ada di depan. Tangannya meraih sendok tadi dan menyuap lagi satu sendok nasi goreng lengkap dengan cumi-cumi yang diiris kecil.
“Pasti masalah yang sama lagi, ‘kan?” tebak Farzan tersenyum penuh kemenangan.
Gadis itu mengangguk pelan membenarkan perkataannya.
“Makanya, Mbak. Kalau ada masalah itu larilah ke Tuhan. Salat, ngaji dan banyak berdoa kalau Mbak muslim. Atau pergi ke gereja, klenteng dan vihara kalau Mbak bukan muslim,” papar Farzan geleng-geleng kepala.
“Dengan ibadah, pasti perasaan Mbak jadi lebih tenang. Masalah yang dihadapi juga bisa menemukan solusinya,” lanjutnya lagi.
Nadzifa mengunyah malas nasi goreng yang baru saja masuk ke mulut. “Lo persis kayak nyokap gue,” desisnya pelan.
“Itu yang sering diajarkan Kak Arini sama saya. Kalau ada masalah ngadu sama Allah, jangan mencari pelampiasan ke tempat lain, apalagi dengan alkohol. Nggak bakalan ada solusinya,” ungkap Farzan tersenyum mengingat bagaimana raut wajah Arini ketika menasihatinya.
“Kakak ipar lo perhatian banget.”
Farzan mengangguk membenarkan. “Baik dan penyayang juga. Makanya Mas saya cinta banget sama Kak Arini,” gumamnya.
“Pantesan seorang playboy sekelas Brandon Harun bisa berubah sedrastis itu,” decit Nadzifa tersenyum miring, “Arini terlalu baik untuk kakak lo, Farzan.”
Sorot mata elang Farzan menatap tidak suka dengan perkataan Nadzifa barusan.
“Sorry, gue nggak bermaksud jelek-jelekin abang lo. Cuma nggak nyangka aja dia bisa dapat istri sebaik itu.” Dia tergelak sebentar. “Tahu nih, gue jadi sesi kalau udah bahas playboy. Jadi inget sama almarhumah tante.”
Farzan meletakkan sendok, lantas menyandarkan punggung di kursi. Kedua tangannya saling berimpitan di depan dada.
“Setiap orang punya masa lalu, Mbak. Nggak selamanya orang itu berbuat salah. Ada masanya dia berubah.”
Bibir atas Nadzifa terangkat sedikit ke atas. “Bisa jadi berubah, setelah makan korban. Ya nggak?” sorot mata hitamnya menatap dingin kepada Farzan.
Bersambung....
Satu tahun kemudian“Farzan,” teriak suara nyaring dari luar flat. Tak hanya itu ketukan pintu bertubi-tubi juga terdengar membuat pekak telinga Farzan.Desahan pelan keluar dari sela hidung pria bertubuh tinggi itu. Dia melirik malas ke arah pintu yang masih tertutup rapat. Farzan menghentikan aktivitasnya menyiapkan keperluan untuk dibawa ke Menteng Dalam. Hari ini ia akan menginap di rumah keluarga Harun.Setiap kali mendengar suara itu, Farzan selalu seperti ini. Ketenangannya selama satu tahun tinggal di apartemen menjadi terusik karena kehadiran Nadzifa.Gadis itu sering bertandang ke flat hampir setiap hari. Dia juga kerap masuk tanpa izin dari Farzan. Parahnya lagi, Nadzifa menjadikan flat-nya sebagai tempat menumpahkan keluh kesah seraya meneguk bir.“Farzaaaaan,” panggilnya lagi meniru suara Tarzan.“Astaghfirullah,” bisik Farzan sambil mengelu
Sorot mata Farzan menegang seketika. Begitu juga dengan tubuhnya. Wajah pemuda itu berubah pasi, karena sang Kakak telah mengetahui apa yang terjadi antara dirinya dan Arini dua tahun yang lalu.Bayangan bagaimana panasnya mereka berciuman saat itu kembali terlintas. Farzan sangat menikmati setiap sentuhan Arini di bibirnya. Masih terasa bagaimana manis bibir wanita itu dan juga aroma segar yang terendus ketika mereka berciuman.Ketika itulah ia menyadari perasaan yang seharusnya tidak pernah ada, muncul di hatinya. Farzan mengakui bahwa ia menyayangi Arini bukan hanya sebatas Kakak, tapi sebagai seorang wanita. Jika saja wanita itu bukan istri dari Brandon, kakaknya, maka ia pasti akan merebutnya.“Apa yang kalian berdua lakukan dua tahun yang lalu?” ulang Brandon lagi menyentakkan Farzan.Suasana menjadi hening ketika Brandon menunggu jawaban Farzan. Hanya terdengar tarikan napas berat dari sela hidung mancung pemuda itu. Mata elang itu terp
Tiga hari kemudianFarzan pulang cepat hari ini. Tidak banyak pekerjaan yang dilakukan, sehingga bisa keluar dari pabrik tepat pukul empat sore.Seperti biasa, derap langkahnya begitu cepat ketika berjalan di lobi apartemen menuju lift. Tak perlu menunggu lama, kotak besi itu terbuka sehingga ia bisa memasukinya. Tubuh tinggi Farzan bersandar di dinding lift.Sorot mata elangnya menatap nanar pantulan diri di pintu lift yang kini tertutup. Tidak ada siapa-siapa di dalam, hanya dirinya yang tampak tidak bersemangat sama sekali.Semenjak mendapat ultimatum dari Brandon, Farzan tidak berhenti memikirkan solusi agar bisa mengatasi masalah yang dihadapi. Hingga saat ini ia belum menemukan jalan keluar.Begitu pintu lift terbuka, Farzan langsung melangkah ke luar. Dia berjalan dengan kepala tertunduk menuju flat. Lagi-lagi pandangannya terpaku ke arah flat Nadzifa yang masih tertutup rapat. Tiga hari ini, gadis itu tida
Dua bulan menjelang pernikahan AlyssaHari ini adalah acara lamaran Alyssa, keponakan Farzan yang paling kecil. Gadis itu memutuskan menikah di usia muda yaitu dua puluh tahun. Dia memiliki kisah cinta yang unik. Bayangkan Al dilamar oleh calon suaminya ketika masih kelas dua SMA.Semakin mendekati hari pernikahan Alyssa, membuat Farzan uring-uringan. Sepuluh bulan ini dilalui dengan penuh perjuangan. Berbagai cara dilakukan untuk mencari wanita yang cocok dijadikan calon istri, tapi hasilnya selalu nihil.Mengenai Nadzifa, gadis itu menghilang bagai ditelan bumi. Tidak ada kabar apa-apa darinya sejak sepuluh bulan terakhir. Dia juga tidak muncul di flat yang biasa ditempati.Farzan mulai khawatir dengan Nadzifa, karena kondisinya yang masih labil. Meski berusia lebih tua sembilan tahun darinya, pola pikir gadis itu masih belum matang. Cenderung kekanak-kanakan. Itulah yang membuatnya cemas.“Mungkin nggak sih Mbak N
Farzan membelai lembut belakang kepala Nadzifa ketika masih menumpahkan tangis dalam pelukannya. Dia bisa melihat gadis itu tidak sedang baik-baik saja. Tampak jelas dari wajah yang kusut.“Gue harus gimana, Zan? Nyokap udah pergi untuk selama-lamanya,” ungkap Nadzifa membuat Farzan terkejut.Pria itu memegang bahu Nadzifa kemudian mendorongnya sedikit ke belakang, sehingga tubuh kembali berjarak.“Maksud, Mbak?” tanya Farzan memandang wajah kuyu gadis itu.“Nyokap gue meninggal satu bulan yang lalu,” jawabnya kembali terisak.“Innalillahi wa inna ilaihi raaji’uun,” ucap Farzan.Tilikan mata elangnya melihat ke lorong apartemen. “Sekarang Mbak tenang dulu, sebaiknya kita ngobrol di dalam.”Dengan patuh Nadzifa ikut memasuki flat yang ditempati Farzan.Farzan tidak lagi mempermasalahkan kejadian tahun lalu. Menurutnya sekarang Nadzifa butuh tempa
Mata hitam lebar Nadzifa berkedip pelan. Perlahan bibir berisi penuh itu terbuka. Kening yang tadi berkerut berangsur normal. Tak lama dia terbahak sekeras-kerasnya.“Lo mau nikah sama gue?” tanya Nadzifa di sela tawa yang belum reda. Saking lama tertawa, matanya mengeluarkan air.Farzan mengangguk dengan raut wajah serius. “I-iya kenapa, Mbak? Ada yang lucu?”Tawa gadis itu mereda seketika. Dia mengamati Farzan lekat. Tidak ada gelagat bercanda dari caranya berbicara sekarang. Apalagi semenjak kenal dengan pria itu, Nadzifa tidak pernah sekali pun melihatnya bercanda.Farzan yang dikenalnya adalah pria yang kaku dan jarang tertawa. Mustahil juga jika bergurau dengan hal serius seperti ini.Apa mungkin dia kasihan sama gue? duga Nadzifa dalam hati.Ah, nggak mungkin juga. Atau ini ada berkaitan dengan masalah pribadinya? sambungnya lagi masih membatin.“Sorry, habis tiba-tiba aj
Farzan mengangguk tanpa ragu. Dia menatap serius paras Nadzifa yang masih memancarkan rona merah, akibat hasrat yang sempat terpancing tadi. Beruntung mereka sama-sama belum pernah merasakan surga dunia, sehingga bisa menghentikannya sebelum melangkah lebih jauh.Gadis itu mengusap keras kening. Dia menggigit ujung kuku ibu jari seraya menggelengkan kepala.“Nggak! Ini gawat. Kalau kita nikah sebelum ponakan lo nikah, namanya dadakan.” Nadzifa melihat lagi kepada Farzan.“Nanti dikira hamil duluan. Gimana dong? Tahu sendiri hidup gue selama ini gimana? Clubbing, alkohol. Nggak bisa. Gue nggak mau,” cecarnya keberatan.Farzan melihatnya dengan tatapan curiga.“Apa maksud lo lihatin gue kayak gitu? Gue ini masih virgin ya. PE-RA-WAN,” tutur Nadzifa berusaha meyakinkan Farzan, “masih segelan loh. Jangan mikir macam-macam deh.”“Tapi Mbak ahli banget tuh,” komentar pri
Farzan uring-uringan di dalam kamar. Sejak tadi malam ia terus memutar otak agar bisa memberi alasan yang diterima Brandon, tapi tetap tidak berhasil. Pria paruh baya itu kekeh meminta dirinya menikah sebelum Alyssa. Hal itu jelas tidak mungkin, karena Nadzifa enggan menikah dalam waktu dekat.Satu-satunya jalan saat ini adalah membujuk gadis itu, agar mau menikah satu bulan lagi. Farzan menganggukkan kepala sebelum keluar dari flat.Tiba di depan flat Nadzifa, dia berdiri sejenak sebelum menekan bel. Farzan berdoa semoga Tuhan melembutkan hati gadis itu.Tak lama setelah bel berbunyi, pintu berwarna abu-abu tua itu terbuka.“Good morning, Calon Imam,” sapa Nadzifa tersenyum manis.Farzan auto merinding mendengar sapaan itu. Dia mengusap pelan tengkuk seraya mengalihkan pandangan ke tempat lain.“Nggak perlu salah tingkah kayak gitu sama calon makmum,” goda gadis itu menyeringai.Nadz
Lima bulan kemudianBunyi ciuman terdengar jelas di sebuah kamar kondominium mewah yang berada di kawasan Marina, Singapura. Suara desahan menjadi penutup penyatuan sepasang suami istri yang entah berapa kali melakukannya hingga siang ini. Keduanya saling berbagi tatapan dan senyuman dalam posisi duduk berhadap-hadapan.Nadzifa segera turun dari pangkuan Farzan, kemudian masuk ke dalam selimut. Napas memburu keluar dari hidung seiringan dengan jantung yang berdebar cepat. Farzan juga ikut masuk ke balik selimut, sebelum menarik tubuh istrinya merapat.“Mentang-mentang libur, aku nggak dibolehin keluar kamar,” sungut Nadzifa mencubit hidung mancung suaminya.Farzan tersenyum lebar seraya menatap gemas wajah Nadzifa yang masih memancarkan rona merah. “Habis kamu bikin aku nagih. Top banget deh.”Nadzifa berdecak seraya menyipitkan mata. “Segitunya kamu.”Meski usia wanita itu tidak lagi muda
Farzan duduk di ruang kunjungan tahanan berhadap-hadapan dengan Ayu. Di sampingnya ada Nadzifa yang menemani pria itu menemui sang Ibu. Rahang tegasnya tampak mengeras menahan luapan amarah yang tertahan. Dia malu dengan perbuatan wanita yang telah melahirkannya itu.“Aku pikir Mommy udah berubah sejak keluar dari penjara waktu itu,” ujar Farzan memecah keheningan ruangan yang dikelilingi dinding berwarna abu-abu itu. Dia menundukkan kepala, seakan enggan melihat Ayu.“Kamu yang bikin Mommy begini, Zan,” balas wanita tua itu menyalahkan putranya.Sorot mata Farzan terlihat tajam ketika pandangannya terangkat. Sklera netra elangnya memerah digenangi air mata.“Mommy salahkan aku?” tanya Farzan dengan kedua tangan mengepal erat di atas paha.Nadzifa langsung meraih tangan suaminya, berusaha menenangkan.“Coba waktu itu kamu mau kerja di perusahaan dan jamin hidup Mommy.
Sepasang netra elang mengerjap ketika mencoba untuk terbuka. Pandangannya turun ke arah sesosok tubuh yang lelap dalam dekapan. Farzan tersenyum ketika melihat Nadzifa tidur seperti bayi. Begitu tenang dan imut dengan bibir sedikit terbuka. Beruntung tidak ada air liur yang keluar. Haha!Dia menarik napas sebentar, sebelum mengeratkan lagi pelukan. Terasa kelembutan yang baru dirasakan tadi malam. Juga kehangatan yang disalurkan oleh tubuh Nadzifa. Pagi ini Farzan merasakan perubahan dalam hidupnya.Sebuah kecupan diberikan di kening Nadzifa beberapa detik, membuat tubuh semampai itu menggeliat kecil di dalam pelukannya. Perlahan tapi pasti kepala gadis itu, ah bukan, wanita itu terangkat seiringan dengan kelopak mata yang terbuka.Nadzifa memicingkan mata ketika ingat dirinya sekarang sudah resmi menjadi istri dari Farzan Harun. Pria yang berusia sembilan tahun lebih muda darinya. Dia menenggelamkan wajah tepat di dada bidang pria itu.“Aku banguni
Seluruh keluarga Harun dibuat panik gara-gara pernikahan dadakan Farzan dan Nadzifa. Begitu juga dengan Brandon yang baru saja pulang dari rumah sakit. Beruntung menjelang sore semua berjalan sesuai dengan rencana. Tinggal menunggu akad nikah dilaksanakan.Paman Nadzifa juga bisa hadir untuk menikahkan keponakan yang jarang berjumpa. Semesta seakan memberi kelancaran baik dari segi dokumen, penghulu sampai pakaian yang akan dikenakan oleh Nadzifa dan Farzan untuk akad nikah.Jangan ditanyakan lagi bagaimana gugup Farzan sekarang. Pria itu tampak gagah mengenakan setelan beskap berwarna putih gading. Sebuah peci berwarna senada menutupi rambut model layered miliknya.“Penghulu udah datang tuh, Zan,” info Bramasta yang sejak tadi sibuk sendiri, pasca diberitahukan tentang pernikahan Farzan. Pria berkacamata itu langsung minta izin pulang dari kantor lebih awal.Farzan menganggukkan kepala, kemudian berdiri. Dia menarik napas dan mengemb
“Mas Brandon benar, Kak. Ada yang ingin menyingkirkan Mas Brandon. Orang itu adalah Tante Ayu.”Perkataan yang diucapkan Nadzifa barusan menyurutkan niat Farzan untuk memasuki ruang perawatan yang baru saja ditinggalkannya beberapa menit lalu. Dia baru saja mendapatkan telepon dari Pak Habib mengenai reschedule jadwal meeting dengan klien. Senyum yang terurai di wajah tampan itu hilang ketika mendengar nama ibunya disebut.“Mommy?” gumamnya dengan kening berkerut.Farzan memilih menguping pembicaraan ketiga orang yang ada di dalam ruang perawatan VIP tersebut. Semakin lama ia berdiri di sana, amarah yang dirasakan semakin memuncak. Dia tidak menyangka sang Ibu bisa melakukan tindakan rendah seperti itu, hanya demi seonggok harta.“Tolong rahasiakan ini dari Farzan ya? Dia pasti marah banget kalau tahu Ayu yang celakai Mas Brandon.” Terdengar suara Arini memohon kepada Nadzifa. “Farzan it
“Mas Brandon benar, Kak. Ada yang ingin menyingkirkan Mas Brandon.” Nadzifa menarik napas panjang, sebelum melanjutkan perkataannya. “Orang itu adalah Tante Ayu.”Mata cokelat besar Arini melebar seketika. Bibirnya ternganga ketika mendengar nama Ayu disebut. Kepalanya langsung menggeleng cepat.“Nggak mungkin itu ulah Ayu. Dia ‘kan lagi di Uluwatu.” Arini tidak percaya begitu saja meski yang mengatakannya Nadzifa.“Ayu tinggal di Jakarta tiga bulan ini, In. Kita udah dibohongi mentah-mentah sama dia,” ujar Brandon meyakinkan.Pandangan Arini berpindah kepada suaminya. “Bran, kita yang carikan rumah buat dia di Uluwatu biar nggak ngerecokin Papa. Nggak mungkin dia ke sini.”Brandon meraih tangan Arini, lalu menggenggamnya erat. “Faktanya gitu, In. Dia ada di Jakarta.”Arini mendesah keras dengan napas terasa sesak. Dia ingat pernah mencarikan apartemen untuk Ayu di
Farzan dan Nadzifa saling berpandangan dalam waktu yang lama. Mereka menyelami perasaan masing-masing. Keduanya tidak pernah menyangka hubungan yang semula hanya pura-pura, kini menjadi serius. Bahkan benih cinta juga tumbuh mekar di hati mereka.“Aku … mau, Zan,” desis Nadzifa setelah menemukan binar cinta di mata Farzan untuknya.“Mau apa?” tanya Farzan bingung.“Masa nggak tahu sih?” sungut gadis itu dengan wajah mengerucut.“Ya aku nggak tahu maksud kamu apa?”“Mau nikah sama kamu secepatnya,” gumamnya berlalu dari hadapan Farzan, kemudian pergi menemui El dan Al yang masih berada di depan pintu.“Mau nikah secepatnya?” ulang Farzan hanya terdengar olehnya. Dia tersenyum lebar, sehingga bibir bagian atas itu nyaris tak terlihat. Kakinya melangkah ringan ke dekat Nadzifa.“Ngapain sih mojok di sana berdua? Nggak asyik banget. Untung Si Fatih nggak
Pagi-pagi sekali selesai menunaikan salat Subuh, Farzan sudah berangkat ke ruko tempat Nadzifa saat ini berada. Ternyata gadis itu lebih sering menghabiskan waktu di sana selama ini. Dia tidak mau tinggal di apartemen, khawatir akan berjumpa dengan Farzan.Seperti permintaannya kemarin, Farzan disuguhi satu porsi nasi goreng buatan Nadzifa. Entah kenapa sekarang terasa semakin lezat. Apa mungkin karena ia mulai bucin dengan gadis itu? Hanya Tuhan dan Farzan yang tahu. Haha!Tidak banyak percakapan berarti yang tercipta di antara keduanya. Hanya pembahasan seputar aktivitas Farzan selama satu bulan ini. Selesai sarapan, pria itu memutuskan untuk pergi ke rumah sakit, mengunjungi Brandon sebelum berangkat ke kantor.Alhasil di sinilah ia berada, bersama dengan Nadzifa. Ya, gadis itu juga ingin ikut mengunjungi calon kakak iparnya. Ehmmm … ehmmm ….“Loh pagi-pagi udah ada di sini,” seru Brandon terkejut melihat kedatangan Farzan dan
Nadzifa mengalihkan pandangan ke sisi kiri ruangan. Dia pura-pura tidak mendengar apa yang dikatakan Farzan barusan. Padahal hatinya sekarang meronta-ronta kegirangan. “Zi?” Farzan masih menanti jawaban darinya. Gadis itu memutar kepala ke arah Farzan dalam gerakan slow motion lagi. “Emang … harus dijawab ya?” Farzan menganggukkan kepala. “Kalau nggak mau gimana?” Dia memberi tatapan malas, bertolak belakang dengan isi hatinya. “Aku nggak mau pulang sampai kamu jawab,” ancam Farzan tersenyum manis. (Ya ampun, cowok tersenyum manis.) Mata hitam lebar Nadzifa membesar seketika. “Zan, ini udah malam. Kamu mau nginap di sini?” “Kita udah pernah tidur satu ranjang sebelumnya, Zi,” goda Farzan. Nadzifa semakin melongo mendengar perkataan Farzan. Matanya terpejam erat ketika kepala bergerak ke kiri dan kanan. “Nggak bisa! Pulang gih sana, nanti jadi gunjingan orang. Dosa loh bikin orang ghibah,” usirnya mengib