Satu tahun kemudian
“Farzan,” teriak suara nyaring dari luar flat. Tak hanya itu ketukan pintu bertubi-tubi juga terdengar membuat pekak telinga Farzan.
Desahan pelan keluar dari sela hidung pria bertubuh tinggi itu. Dia melirik malas ke arah pintu yang masih tertutup rapat. Farzan menghentikan aktivitasnya menyiapkan keperluan untuk dibawa ke Menteng Dalam. Hari ini ia akan menginap di rumah keluarga Harun.
Setiap kali mendengar suara itu, Farzan selalu seperti ini. Ketenangannya selama satu tahun tinggal di apartemen menjadi terusik karena kehadiran Nadzifa.
Gadis itu sering bertandang ke flat hampir setiap hari. Dia juga kerap masuk tanpa izin dari Farzan. Parahnya lagi, Nadzifa menjadikan flat-nya sebagai tempat menumpahkan keluh kesah seraya meneguk bir.
“Farzaaaaan,” panggilnya lagi meniru suara Tarzan.
“Astaghfirullah,” bisik Farzan sambil mengelus dada sendiri.
Seperti itulah reaksinya ketika mendengar teriakan ala Tarzan dari Nadzifa. Beruntung gadis itu hanya tetangga seberang flat, bukan gebetan atau pacarnya.
“Iya sebentar, Mbak,” sahut Farzan enggan.
Dia melangkah gontai menuju pintu. Begitu pintu terbuka, mata elang Farzan menangkap sosok yang sedang nyengir kuda sembari memperlihatkan kantong berisi makanan.
“Waktunya makan siang. Lo pasti belum makan. Nih gue beliin mie goreng Aceh. Enak deh,” celoteh Nadzifa memasuki flat.
“Aku rencananya mau makan siang di rumah, Mbak,” sahut Farzan mengekor dari belakang.
Sesuai dengan permintaan dari Nadzifa, Farzan diminta untuk tidak memanggil dirinya sendiri dengan sebutan ‘saya’. Katanya terlalu formal dan menggelikan. Ck!
Nadzifa melirik dengan ekor mata sambil berdecak. “Ya udah sih, makan lagi aja entar. Lagian Cikarang – Jakarta ‘kan lumayan jauh. Pasti lo lapar lagi entar.”
“Tapi, Mbak—”
“Nggak ada tapi. Ini kalau nggak dimakan mubazir loh. Gue ‘kan nggak kenal siapa-siapa di sini,” sela Nadzifa mengambil sendok dari tempatnya.
Satu tahun berkeliaran di flat ini, Nadzifa sudah menganggap flat milik Farzan seperti miliknya sendiri. Astaga! Untung dia tidak tidur juga di sana.
“Nih makan,” katanya menyerahkan mie goreng khas daerah Nanggroe Aceh Darussalam itu.
Farzan mengangkat bahu, kemudian duduk dengan pasrah di kursi. Percuma berdebat dengan Nadzifa, jika pada akhirnya kalah. Gadis itu keras kepala bukan main. Sekali lagi, beruntung dia bukan gebetan, pacar apalagi calon istri.
Amit-amit, kalau kata Farzan.
“Balik sore dong besok?” tanya gadis itu ketika Farzan menyuap mie goreng yang dibawanya.
“Tergantung,” jawab Farzan mengunyah mie goreng. Ternyata rasanya enak, dia suka dengan mie yang kaya bumbu dan rempah ini.
“Tergantung apanya?” selidik Nadzifa kepo.
Farzan tidak menjawab pertanyaan gadis itu. Dia malah menyuap lagi satu sendok hingga habis.
“Nanti aku bawakan makanan buat Mbak kalau udah balik,” katanya setelah mie goreng tandas, “belum pernah coba masakan Kak Arini, ‘kan? Rasanya enak banget.”
Nadzifa menumpu dagu di atas kedua tangan yang bertautan. “Lo sering banget muji Kak Arini. Sayang banget ya sama dia?”
Pemuda itu menelan ludah mendengar perkataan Nadzifa. Dia meneguk air putih hingga habis.
“Pasti sayang lah ya. Secara dia yang rawat lo dari kecil,” lontarnya lagi kemudian.
Farzan hanya tersenyum singkat. Tangannya meraih serbet, lalu menyeka sudut bibir.
Mata hitam lebar Nadzifa mematut lama Farzan. Dia mengamati pemuda itu beberapa saat.
“Gue udah kenal sama lo setahun, tapi kenapa sih nggak pernah lihat lo bawa cewek ke sini? Nggak pernah juga dengerin curhatan lo tentang cewek yang ditaksir.” Nadzifa menarik napas pendek sebelum berkata lagi. “Lo nggak belok, ‘kan?”
Farzan auto tersedak begitu Nadzifa mengucapkan kalimat terakhir. Dia tidak habis pikir kenapa orang-orang yang kenal dengannya, berpikiran kalau dirinya tidak normal alias tidak menyukai perempuan.
“Aku normal kok, Mbak.”
“Trus kenapa nggak pernah cerita tentang gebetan atau bawa pacar ke sini?” Mata hitam Nadzifa menyipit seketika. “Paling cuma Bramasta yang sering bolak-balik ke sini.”
“Belum ada yang menarik perhatian,” tanggap Farzan singkat.
Nadzifa berdecak sambil geleng-geleng kepala. “Sumpah deh. Lo beda banget sama Mas lo. Satunya playboy dan satunya lagi enggak. Salut!”
“Jangan bahas masa lalu masku lagi, Mbak,” protes Farzan keberatan.
“Sorry deh.” Nadzifa memukul pelan bibir sendiri. “Mulut ini kalau udah bahas cowok yang suka mainin perasaan cewek, nggak bisa direm.”
Farzan menuangkan air ke gelas, kemudian meminumnya. Sementara Nadzifa kembali mengamati pemuda itu. Tilikan matanya beralih lagi melihat dagu yang dihiasi belahan milik Farzan berlepotan dengan bumbu mie goreng.
“Tapi lo seriusan normal, ‘kan?” ulangnya lagi masih belum yakin.
Farzan mengangguk singkat.
“Masa sih?” Nadzifa masih ragu.
Pemuda itu menatap malas gadis yang duduk berhadapan dengannya.
Nadzifa berdiri, lalu membungkukkan sedikit tubuh ke depan. Dia memegang dagu Farzan dan menaikkannya sedikit ke atas. Setelah itu, ia memberi kecupan singkat di tempat yang dilumuri bumbu. Lidah gadis itu menyeka sisa bumbu yang ada di sana.
“Apa yang lo rasakan? Itu lo berdiri nggak?” bisiknya menyeringai seraya mengedipkan mata.
***
Kepala Farzan mendadak pusing setelah apa yang terjadi antara dirinya dan Nadzifa empat jam yang lalu. Dia tak pernah menyangka gadis itu berani menjilat dagunya, meski tujuannya hanya bercanda. Jangan ditanya lagi bagaimana reaksi pemuda itu.
“Mbak apa-apaan sih? Sekarang keluar dari flat saya dan jangan datang lagi ke sini!!” tegasnya membuat Nadzifa terkejut bukan main.
Gadis itu ternyata membangunkan harimau yang sedang tidur, sehingga mengaum seakan ingin mencabik-cabik tubuhnya hingga tak berbentuk. Melihat bagaimana marahnya Farzan, Nadzifa segera pergi meninggalkan flat itu membawa rasa malu.
Hingga saat ini mereka saling diam, tanpa ada komunikasi meski hanya lewat aplikasi chat.
Pada awalnya Farzan ingin pulang ke Menteng Dalam dengan menggunakan motor. Namun apa yang telah terjadi tadi siang membuat kepalanya terasa ingin pecah, sehingga ia menggunakan taksi online. Dia sampai menggerutu dan memaki Nadzifa setelah gadis itu pergi.
Farzan bersandar lesu di jok belakang taksi. Dia berusaha menepis bayangan kejadian empat jam yang lalu, tapi sia-sia.
Kenapa kepikiran sih? gumamnya dalam hati. Kepalanya menggeleng cepat.
Selang sepuluh menit kemudian, perhatian Farzan tersita ketika kendaraan jenis sedan itu berhenti di depan pagar tinggi kediaman keluarga Harun. Sudah saatnya turun dan bertemu dengan keluarganya di dalam. Hari ini akhir pekan, sudah pasti semua berkumpul di rumah sekarang.
“Assalamualaikum,” ucap Farzan begitu memasuki rumah.
Menjelang salat Isya kediaman keluarga Harun tampak lengang. Farzan mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan yang sepi. Barangkali Brandon, Elfarehza dan Sandy sudah berangkat ke masjid untuk menunaikan salat Isya.
Dia melirik ke kamar Brandon dan Arini, tapi pintunya tertutup rapat. Karena lantai bawah sepi, Farzan memutuskan naik ke lantai dua menuju kamarnya. Ternyata di atas juga tidak ada orang.
“Tumben Al dan Kak Arini nggak ada,” bisiknya pada diri sendiri.
Rasa rindu kepada Arini seakan tidak bisa dibendung lagi. Dia ingin segera bertemu dengan wanita yang dicintainya, karena sudah lama tidak berkunjung ke sini.
Pemuda itu berencana mandi terlebih dahulu, kemudian salat. Namun keinginan itu diurungkan. Farzan memutuskan untuk menunaikan salat Isya terlebih dahulu, setelah itu baru mandi.
Fisiknya lelah sekali hari ini. Begitu pulang dari pabrik, dia diganggu dengan kehadiran Nadzifa. Apa yang terjadi tadi siang juga menambah penat hati dan pikirannya.
Setelah mengambil wudu, Farzan menunaikan salat Isya dengan khusyuk. Dia beristighfar berkali-kali sebelum takbir, agar bayangan kejadian tadi siang tidak lagi hinggap di pikiran.
Begitu menunaikan salat, ia bersiap-siap untuk mandi. Guyuran air sepertinya mampu menenangkan pikiran yang lelah. Farzan melangkah menuju pintu yang terbuka sejak tadi, berniat menutupnya dengan tangan menenteng tas berisi pakaian ganti.
“Mas?” Farzan terkejut melihat kehadiran Brandon di depan kamarnya.
Wajah kakaknya tampak kurang bersahabat. Seperti ada sesuatu yang mengganggu pria berusia empat puluh lima tahun itu.
“Baru sampai?” tanya Brandon.
“Iya. Aku mau mandi dulu. Tadi dari pabrik langsung pulang,” jawab Farzan setengah berbohong. Tentu saja ia tidak benar-benar dari pabrik.
“Nanti aja. Mas mau ngomong sebentar,” ujar Brandon dengan raut wajah serius.
Pemuda itu mengamati paras kakaknya dengan saksama. Dia merasa ada hal penting yang ingin dibicarakan.
“Di sini, Mas?”
Bran menggeleng. “Di ruang kerja,” sahutnya singkat.
Tanpa menunggu respons dari adiknya, Brandon langsung turun ke lantai bawah. Farzan menyusul di belakang, setelah meletakkan lagi tas ransel yang ada di tangannya.
“Duduk,” suruh Bran mengerling ke sofa panjang setelah berada di ruang kerja.
Dengan patuh, Farzan duduk di sofa menunggu kakaknya menyampaikan apa yang ingin dikatakan. Dia semakin penasaran.
“Mas mau tanya sesuatu, kamu jawab dengan jujur.” Brandon membuka pembicaraan.
Farzan mengangguk pelan di sela jantung yang berdebar. Dia berusaha memusatkan pikiran dengan apa yang akan disampaikan Brandon.
“Apa yang terjadi antara kamu dan Iin dua tahun yang lalu?”
Mata hitam Farzan melebar ketika mendengar pertanyaan kakaknya. Seketika saliva memenuhi rongga mulut, perlahan masuk ke tenggorokan.
Bersambung....
Sorot mata Farzan menegang seketika. Begitu juga dengan tubuhnya. Wajah pemuda itu berubah pasi, karena sang Kakak telah mengetahui apa yang terjadi antara dirinya dan Arini dua tahun yang lalu.Bayangan bagaimana panasnya mereka berciuman saat itu kembali terlintas. Farzan sangat menikmati setiap sentuhan Arini di bibirnya. Masih terasa bagaimana manis bibir wanita itu dan juga aroma segar yang terendus ketika mereka berciuman.Ketika itulah ia menyadari perasaan yang seharusnya tidak pernah ada, muncul di hatinya. Farzan mengakui bahwa ia menyayangi Arini bukan hanya sebatas Kakak, tapi sebagai seorang wanita. Jika saja wanita itu bukan istri dari Brandon, kakaknya, maka ia pasti akan merebutnya.“Apa yang kalian berdua lakukan dua tahun yang lalu?” ulang Brandon lagi menyentakkan Farzan.Suasana menjadi hening ketika Brandon menunggu jawaban Farzan. Hanya terdengar tarikan napas berat dari sela hidung mancung pemuda itu. Mata elang itu terp
Tiga hari kemudianFarzan pulang cepat hari ini. Tidak banyak pekerjaan yang dilakukan, sehingga bisa keluar dari pabrik tepat pukul empat sore.Seperti biasa, derap langkahnya begitu cepat ketika berjalan di lobi apartemen menuju lift. Tak perlu menunggu lama, kotak besi itu terbuka sehingga ia bisa memasukinya. Tubuh tinggi Farzan bersandar di dinding lift.Sorot mata elangnya menatap nanar pantulan diri di pintu lift yang kini tertutup. Tidak ada siapa-siapa di dalam, hanya dirinya yang tampak tidak bersemangat sama sekali.Semenjak mendapat ultimatum dari Brandon, Farzan tidak berhenti memikirkan solusi agar bisa mengatasi masalah yang dihadapi. Hingga saat ini ia belum menemukan jalan keluar.Begitu pintu lift terbuka, Farzan langsung melangkah ke luar. Dia berjalan dengan kepala tertunduk menuju flat. Lagi-lagi pandangannya terpaku ke arah flat Nadzifa yang masih tertutup rapat. Tiga hari ini, gadis itu tida
Dua bulan menjelang pernikahan AlyssaHari ini adalah acara lamaran Alyssa, keponakan Farzan yang paling kecil. Gadis itu memutuskan menikah di usia muda yaitu dua puluh tahun. Dia memiliki kisah cinta yang unik. Bayangkan Al dilamar oleh calon suaminya ketika masih kelas dua SMA.Semakin mendekati hari pernikahan Alyssa, membuat Farzan uring-uringan. Sepuluh bulan ini dilalui dengan penuh perjuangan. Berbagai cara dilakukan untuk mencari wanita yang cocok dijadikan calon istri, tapi hasilnya selalu nihil.Mengenai Nadzifa, gadis itu menghilang bagai ditelan bumi. Tidak ada kabar apa-apa darinya sejak sepuluh bulan terakhir. Dia juga tidak muncul di flat yang biasa ditempati.Farzan mulai khawatir dengan Nadzifa, karena kondisinya yang masih labil. Meski berusia lebih tua sembilan tahun darinya, pola pikir gadis itu masih belum matang. Cenderung kekanak-kanakan. Itulah yang membuatnya cemas.“Mungkin nggak sih Mbak N
Farzan membelai lembut belakang kepala Nadzifa ketika masih menumpahkan tangis dalam pelukannya. Dia bisa melihat gadis itu tidak sedang baik-baik saja. Tampak jelas dari wajah yang kusut.“Gue harus gimana, Zan? Nyokap udah pergi untuk selama-lamanya,” ungkap Nadzifa membuat Farzan terkejut.Pria itu memegang bahu Nadzifa kemudian mendorongnya sedikit ke belakang, sehingga tubuh kembali berjarak.“Maksud, Mbak?” tanya Farzan memandang wajah kuyu gadis itu.“Nyokap gue meninggal satu bulan yang lalu,” jawabnya kembali terisak.“Innalillahi wa inna ilaihi raaji’uun,” ucap Farzan.Tilikan mata elangnya melihat ke lorong apartemen. “Sekarang Mbak tenang dulu, sebaiknya kita ngobrol di dalam.”Dengan patuh Nadzifa ikut memasuki flat yang ditempati Farzan.Farzan tidak lagi mempermasalahkan kejadian tahun lalu. Menurutnya sekarang Nadzifa butuh tempa
Mata hitam lebar Nadzifa berkedip pelan. Perlahan bibir berisi penuh itu terbuka. Kening yang tadi berkerut berangsur normal. Tak lama dia terbahak sekeras-kerasnya.“Lo mau nikah sama gue?” tanya Nadzifa di sela tawa yang belum reda. Saking lama tertawa, matanya mengeluarkan air.Farzan mengangguk dengan raut wajah serius. “I-iya kenapa, Mbak? Ada yang lucu?”Tawa gadis itu mereda seketika. Dia mengamati Farzan lekat. Tidak ada gelagat bercanda dari caranya berbicara sekarang. Apalagi semenjak kenal dengan pria itu, Nadzifa tidak pernah sekali pun melihatnya bercanda.Farzan yang dikenalnya adalah pria yang kaku dan jarang tertawa. Mustahil juga jika bergurau dengan hal serius seperti ini.Apa mungkin dia kasihan sama gue? duga Nadzifa dalam hati.Ah, nggak mungkin juga. Atau ini ada berkaitan dengan masalah pribadinya? sambungnya lagi masih membatin.“Sorry, habis tiba-tiba aj
Farzan mengangguk tanpa ragu. Dia menatap serius paras Nadzifa yang masih memancarkan rona merah, akibat hasrat yang sempat terpancing tadi. Beruntung mereka sama-sama belum pernah merasakan surga dunia, sehingga bisa menghentikannya sebelum melangkah lebih jauh.Gadis itu mengusap keras kening. Dia menggigit ujung kuku ibu jari seraya menggelengkan kepala.“Nggak! Ini gawat. Kalau kita nikah sebelum ponakan lo nikah, namanya dadakan.” Nadzifa melihat lagi kepada Farzan.“Nanti dikira hamil duluan. Gimana dong? Tahu sendiri hidup gue selama ini gimana? Clubbing, alkohol. Nggak bisa. Gue nggak mau,” cecarnya keberatan.Farzan melihatnya dengan tatapan curiga.“Apa maksud lo lihatin gue kayak gitu? Gue ini masih virgin ya. PE-RA-WAN,” tutur Nadzifa berusaha meyakinkan Farzan, “masih segelan loh. Jangan mikir macam-macam deh.”“Tapi Mbak ahli banget tuh,” komentar pri
Farzan uring-uringan di dalam kamar. Sejak tadi malam ia terus memutar otak agar bisa memberi alasan yang diterima Brandon, tapi tetap tidak berhasil. Pria paruh baya itu kekeh meminta dirinya menikah sebelum Alyssa. Hal itu jelas tidak mungkin, karena Nadzifa enggan menikah dalam waktu dekat.Satu-satunya jalan saat ini adalah membujuk gadis itu, agar mau menikah satu bulan lagi. Farzan menganggukkan kepala sebelum keluar dari flat.Tiba di depan flat Nadzifa, dia berdiri sejenak sebelum menekan bel. Farzan berdoa semoga Tuhan melembutkan hati gadis itu.Tak lama setelah bel berbunyi, pintu berwarna abu-abu tua itu terbuka.“Good morning, Calon Imam,” sapa Nadzifa tersenyum manis.Farzan auto merinding mendengar sapaan itu. Dia mengusap pelan tengkuk seraya mengalihkan pandangan ke tempat lain.“Nggak perlu salah tingkah kayak gitu sama calon makmum,” goda gadis itu menyeringai.Nadz
Farzan berusaha meyakinkan Arini bahwa dirinya bukan Brandon. Secara fisik mereka memang tampak mirip. Bedanya hanya di bagian mata, rahang, alis dan model rambut. Bandingkannya dengan Brandon seusia Farzan ya, bukan Brandon yang sekarang. Haha!Pria itu mengeluarkan ponsel dari saku celana, kemudian mencari foto Brandon di sana. Dia memperlihatkan layar gadget itu kepada Arini.“Ini Mas Brandon, Kak. Aku Farzan,” katanya menunjuk foto Brandon dan dirinya yang diambil dua tahun yang lalu.Arini mematut foto itu lama, sebelum mengalihkan pandangan lagi kepada Farzan. “Farzan adik kesayangan Kakak?”Farzan mengangguk cepat dengan sorot mata sendu.“Itu siapa, Zan?” Arini mengajukan pertanyaan ketika tilikan matanya beralih kepada gadis yang berdiri tak jauh dari sana. Gadis yang sejak tadi kebingungan dengan keadaan ini.“Oh, ya. Kenalkan ini … pacar aku, Kak,” ungkap Farzan menar
Lima bulan kemudianBunyi ciuman terdengar jelas di sebuah kamar kondominium mewah yang berada di kawasan Marina, Singapura. Suara desahan menjadi penutup penyatuan sepasang suami istri yang entah berapa kali melakukannya hingga siang ini. Keduanya saling berbagi tatapan dan senyuman dalam posisi duduk berhadap-hadapan.Nadzifa segera turun dari pangkuan Farzan, kemudian masuk ke dalam selimut. Napas memburu keluar dari hidung seiringan dengan jantung yang berdebar cepat. Farzan juga ikut masuk ke balik selimut, sebelum menarik tubuh istrinya merapat.“Mentang-mentang libur, aku nggak dibolehin keluar kamar,” sungut Nadzifa mencubit hidung mancung suaminya.Farzan tersenyum lebar seraya menatap gemas wajah Nadzifa yang masih memancarkan rona merah. “Habis kamu bikin aku nagih. Top banget deh.”Nadzifa berdecak seraya menyipitkan mata. “Segitunya kamu.”Meski usia wanita itu tidak lagi muda
Farzan duduk di ruang kunjungan tahanan berhadap-hadapan dengan Ayu. Di sampingnya ada Nadzifa yang menemani pria itu menemui sang Ibu. Rahang tegasnya tampak mengeras menahan luapan amarah yang tertahan. Dia malu dengan perbuatan wanita yang telah melahirkannya itu.“Aku pikir Mommy udah berubah sejak keluar dari penjara waktu itu,” ujar Farzan memecah keheningan ruangan yang dikelilingi dinding berwarna abu-abu itu. Dia menundukkan kepala, seakan enggan melihat Ayu.“Kamu yang bikin Mommy begini, Zan,” balas wanita tua itu menyalahkan putranya.Sorot mata Farzan terlihat tajam ketika pandangannya terangkat. Sklera netra elangnya memerah digenangi air mata.“Mommy salahkan aku?” tanya Farzan dengan kedua tangan mengepal erat di atas paha.Nadzifa langsung meraih tangan suaminya, berusaha menenangkan.“Coba waktu itu kamu mau kerja di perusahaan dan jamin hidup Mommy.
Sepasang netra elang mengerjap ketika mencoba untuk terbuka. Pandangannya turun ke arah sesosok tubuh yang lelap dalam dekapan. Farzan tersenyum ketika melihat Nadzifa tidur seperti bayi. Begitu tenang dan imut dengan bibir sedikit terbuka. Beruntung tidak ada air liur yang keluar. Haha!Dia menarik napas sebentar, sebelum mengeratkan lagi pelukan. Terasa kelembutan yang baru dirasakan tadi malam. Juga kehangatan yang disalurkan oleh tubuh Nadzifa. Pagi ini Farzan merasakan perubahan dalam hidupnya.Sebuah kecupan diberikan di kening Nadzifa beberapa detik, membuat tubuh semampai itu menggeliat kecil di dalam pelukannya. Perlahan tapi pasti kepala gadis itu, ah bukan, wanita itu terangkat seiringan dengan kelopak mata yang terbuka.Nadzifa memicingkan mata ketika ingat dirinya sekarang sudah resmi menjadi istri dari Farzan Harun. Pria yang berusia sembilan tahun lebih muda darinya. Dia menenggelamkan wajah tepat di dada bidang pria itu.“Aku banguni
Seluruh keluarga Harun dibuat panik gara-gara pernikahan dadakan Farzan dan Nadzifa. Begitu juga dengan Brandon yang baru saja pulang dari rumah sakit. Beruntung menjelang sore semua berjalan sesuai dengan rencana. Tinggal menunggu akad nikah dilaksanakan.Paman Nadzifa juga bisa hadir untuk menikahkan keponakan yang jarang berjumpa. Semesta seakan memberi kelancaran baik dari segi dokumen, penghulu sampai pakaian yang akan dikenakan oleh Nadzifa dan Farzan untuk akad nikah.Jangan ditanyakan lagi bagaimana gugup Farzan sekarang. Pria itu tampak gagah mengenakan setelan beskap berwarna putih gading. Sebuah peci berwarna senada menutupi rambut model layered miliknya.“Penghulu udah datang tuh, Zan,” info Bramasta yang sejak tadi sibuk sendiri, pasca diberitahukan tentang pernikahan Farzan. Pria berkacamata itu langsung minta izin pulang dari kantor lebih awal.Farzan menganggukkan kepala, kemudian berdiri. Dia menarik napas dan mengemb
“Mas Brandon benar, Kak. Ada yang ingin menyingkirkan Mas Brandon. Orang itu adalah Tante Ayu.”Perkataan yang diucapkan Nadzifa barusan menyurutkan niat Farzan untuk memasuki ruang perawatan yang baru saja ditinggalkannya beberapa menit lalu. Dia baru saja mendapatkan telepon dari Pak Habib mengenai reschedule jadwal meeting dengan klien. Senyum yang terurai di wajah tampan itu hilang ketika mendengar nama ibunya disebut.“Mommy?” gumamnya dengan kening berkerut.Farzan memilih menguping pembicaraan ketiga orang yang ada di dalam ruang perawatan VIP tersebut. Semakin lama ia berdiri di sana, amarah yang dirasakan semakin memuncak. Dia tidak menyangka sang Ibu bisa melakukan tindakan rendah seperti itu, hanya demi seonggok harta.“Tolong rahasiakan ini dari Farzan ya? Dia pasti marah banget kalau tahu Ayu yang celakai Mas Brandon.” Terdengar suara Arini memohon kepada Nadzifa. “Farzan it
“Mas Brandon benar, Kak. Ada yang ingin menyingkirkan Mas Brandon.” Nadzifa menarik napas panjang, sebelum melanjutkan perkataannya. “Orang itu adalah Tante Ayu.”Mata cokelat besar Arini melebar seketika. Bibirnya ternganga ketika mendengar nama Ayu disebut. Kepalanya langsung menggeleng cepat.“Nggak mungkin itu ulah Ayu. Dia ‘kan lagi di Uluwatu.” Arini tidak percaya begitu saja meski yang mengatakannya Nadzifa.“Ayu tinggal di Jakarta tiga bulan ini, In. Kita udah dibohongi mentah-mentah sama dia,” ujar Brandon meyakinkan.Pandangan Arini berpindah kepada suaminya. “Bran, kita yang carikan rumah buat dia di Uluwatu biar nggak ngerecokin Papa. Nggak mungkin dia ke sini.”Brandon meraih tangan Arini, lalu menggenggamnya erat. “Faktanya gitu, In. Dia ada di Jakarta.”Arini mendesah keras dengan napas terasa sesak. Dia ingat pernah mencarikan apartemen untuk Ayu di
Farzan dan Nadzifa saling berpandangan dalam waktu yang lama. Mereka menyelami perasaan masing-masing. Keduanya tidak pernah menyangka hubungan yang semula hanya pura-pura, kini menjadi serius. Bahkan benih cinta juga tumbuh mekar di hati mereka.“Aku … mau, Zan,” desis Nadzifa setelah menemukan binar cinta di mata Farzan untuknya.“Mau apa?” tanya Farzan bingung.“Masa nggak tahu sih?” sungut gadis itu dengan wajah mengerucut.“Ya aku nggak tahu maksud kamu apa?”“Mau nikah sama kamu secepatnya,” gumamnya berlalu dari hadapan Farzan, kemudian pergi menemui El dan Al yang masih berada di depan pintu.“Mau nikah secepatnya?” ulang Farzan hanya terdengar olehnya. Dia tersenyum lebar, sehingga bibir bagian atas itu nyaris tak terlihat. Kakinya melangkah ringan ke dekat Nadzifa.“Ngapain sih mojok di sana berdua? Nggak asyik banget. Untung Si Fatih nggak
Pagi-pagi sekali selesai menunaikan salat Subuh, Farzan sudah berangkat ke ruko tempat Nadzifa saat ini berada. Ternyata gadis itu lebih sering menghabiskan waktu di sana selama ini. Dia tidak mau tinggal di apartemen, khawatir akan berjumpa dengan Farzan.Seperti permintaannya kemarin, Farzan disuguhi satu porsi nasi goreng buatan Nadzifa. Entah kenapa sekarang terasa semakin lezat. Apa mungkin karena ia mulai bucin dengan gadis itu? Hanya Tuhan dan Farzan yang tahu. Haha!Tidak banyak percakapan berarti yang tercipta di antara keduanya. Hanya pembahasan seputar aktivitas Farzan selama satu bulan ini. Selesai sarapan, pria itu memutuskan untuk pergi ke rumah sakit, mengunjungi Brandon sebelum berangkat ke kantor.Alhasil di sinilah ia berada, bersama dengan Nadzifa. Ya, gadis itu juga ingin ikut mengunjungi calon kakak iparnya. Ehmmm … ehmmm ….“Loh pagi-pagi udah ada di sini,” seru Brandon terkejut melihat kedatangan Farzan dan
Nadzifa mengalihkan pandangan ke sisi kiri ruangan. Dia pura-pura tidak mendengar apa yang dikatakan Farzan barusan. Padahal hatinya sekarang meronta-ronta kegirangan. “Zi?” Farzan masih menanti jawaban darinya. Gadis itu memutar kepala ke arah Farzan dalam gerakan slow motion lagi. “Emang … harus dijawab ya?” Farzan menganggukkan kepala. “Kalau nggak mau gimana?” Dia memberi tatapan malas, bertolak belakang dengan isi hatinya. “Aku nggak mau pulang sampai kamu jawab,” ancam Farzan tersenyum manis. (Ya ampun, cowok tersenyum manis.) Mata hitam lebar Nadzifa membesar seketika. “Zan, ini udah malam. Kamu mau nginap di sini?” “Kita udah pernah tidur satu ranjang sebelumnya, Zi,” goda Farzan. Nadzifa semakin melongo mendengar perkataan Farzan. Matanya terpejam erat ketika kepala bergerak ke kiri dan kanan. “Nggak bisa! Pulang gih sana, nanti jadi gunjingan orang. Dosa loh bikin orang ghibah,” usirnya mengib