Tiga bulan kemudian
Farzan menyusun kardus berisikan barang-barangnya di dekat dinding. Dia menghitung jumlah, memastikan tidak ada yang tertinggal ketika dibawa nanti. Sebenarnya tidak banyak yang ia bawa dari rumah, hanya tiga kardus besar dan dua kardus kecil. Tak lupa juga satu koper berukuran besar berisikan pakaian.
“Yakin mau pindah, Dek?” tanya Arini duduk di pinggir tempat tidur Farzan.
“Iya, Kak. Capek kalau bolak balik Jakarta-Cikarang setiap hari. Apalagi kalau harus masuk hari Sabtu. Nggak ada waktu istirahat,” jawab Farzan seraya memasukkan peritilan barang yang akan diangkut ke dalam ransel.
Benarkah itu yang menjadi alasan sebenarnya Farzan memutuskan pindah ke Cikarang dan tinggal di apartemen? Tentu tidak pemirsa. Pemuda itu tidak ingin terus-terusan bertemu dengan Arini, takut khilaf. Ditambah lagi tidak kuat melihatnya bermesraan dengan Brandon. (Duh, sabar yaa, Zan.)
“Trus siapa yang masak buat kamu? Kakak nggak bisa delivery makanan,” komentar Arini masih khawatir dengan adik iparnya.
“Duh Mami ini. Kayak Abang baru pergi jauh aja,” timpal Alyssa geleng-geleng kepala. Netra hitam kecilnya mengerling ke arah Farzan. “Ke Zürich aja Mami mau lepasin Abang. Ini ke Cikarang ‘kan deket, masih bisa disamperin kalau kangen.”
Farzan mengalihkan pandangan kepada Alyssa yang berdiri di dekat pintu sejak tadi.
“Tetap aja Mami kepikiran, Al.”
Pemuda itu melangkah ke dekat Arini, lantas berlutut di sampingnya. Dia meraih jemari kakak iparnya itu dengan menatap lembut.
“Kakak jangan pikirin aku. Udah biasa ini hidup mandiri.” Farzan memandang mata cokelat Arini satu per satu. “Aku udah gede, Kak. Don’t worry ya.”
Arini menarik napas berat dengan bibir melengkung ke bawah. “Makanya cepet cari calon pendamping, biar Kakak nggak khawatir lagi.”
“Dih Mami ujung-ujungnya bahas jodoh lagi. Kasihan ‘kan Abang jadi terbebani.” Lagi-lagi Al berkomentar.
Gadis itu melangkah ke dekat Farzan yang sudah berdiri lagi. Dia menepuk pelan pundak pamannya.
“Aku boleh dong main ke sana kalau lagi libur.” Alyssa nyengir kuda sambil menaik-naikkan kedua alis.
“Aman, Dek. Nanti kita jalan-jalan juga di sana.”
Alyssa tersenyum manis dengan mata berkedip cepat. “Tuh, Mi. Jangan larang aku ke Cikarang ya?”
“Asal perginya sama supir dan sampai di sana VC, harus ada Abang biar Mami percaya.” Arini menyipitkan mata ke arah Al.
Gadis itu memberengut dengan bibir berkerut.
“Makanya, udah dilarang ke klub malam masih bandel. Jadinya Mami nggak percaya lagi, ‘kan?” ujar Farzan mengusap puncak kepala keponakannya.
“Ih, Abang. Jadi ikut-ikutan deh. Itu ‘kan masa lalu, biarlah berlalu. Jangan diungkit lagi!” sungut Al setengah protes. “Bahasnya yang sekarang. Orang aku udah tobat kok.”
“Iya, tobat karena ada Fatih.” Terdengar suara setengah matang milik El mendekat.
“Apa-apaan lagi nih? Mau ngajak berantem?” cicit Alyssa kesal.
“Kenapa sih pada jahat sama aku? Sebel!” rajuknya kemudian pergi meninggalkan ketiga orang yang tertawa senang melihat ekspresi kekanak-kanakannya. Al berlalu sambil mengentakkan kaki ke lantai.
“Lagi bad mood, Dek?” seloroh El tak dihiraukan adiknya.
“Lagi dapet mungkin, El. Jadi sensitif.” Arini menengahi agar kedua anak-anaknya tidak bertengkar. Wanita itu menggamit tangan meminta El duduk di samping kanan. Dia menarik tangan Farzan agar duduk juga di sebelah kiri.
Suasana menjadi hening ketika Arini terdiam beberapa saat. Kedua mata indah itu terpejam ketika tarikan napas panjang terdengar dari hidungnya.
“Dengarkan Kakak dan Mami baik-baik,” tutur Arini meraih tangan El dan Farzan bersamaan.
“Kita memang nggak tahu kapan, tapi yang jelas kondisi Mami pasti akan menurun seiring berjalannya waktu.” Arini menoleh ke kanan, kemudian ke kiri. Sementara kedua pemuda itu menundukkan kepala, seakan tahu apa yang ingin disampaikannya.
“Al satu-satunya perempuan di rumah ini. Kalian yang akan menjaganya nanti.” Mata cokelat lebar Arini berkedip cepat, menghalau air mata yang ingin keluar.
Farzan menaikkan pandangan melihat mata Arini yang mulai basah. Dia tidak suka dengan keadaan ini. Terutama diingatkan lagi dengan penyakit kakak iparnya. Pemuda itu bahagia melihat Arini ceria, tanpa menunjukkan penyakit yang diderita.
“Mami dan Kakak minta tolong banget sama El dan Farzan. Tolong awasi Al baik-baik. Jangan sampai dia salah jalan lagi,” pinta Arini tercekat.
El mengangguk cepat, begitu juga dengan Farzan.
“Kamu, Dek.” Arini melirik Farzan yang duduk sisi kiri. “Kalau misal nanti perusahaan butuh banget kehadiran kamu, balik ya? El masih belum bisa handle perusahaan sendirian.”
Elfarehza manggut-manggut setuju dengan yang dikatakan sang Ibu. “Bener banget, Mi. Ini aja kepalaku udah pusing belajar manajemen perusahaan,” keluhnya.
“Maaf, Kak. Untuk hal ini aku nggak bisa janji,” ucap Farzan keberatan.
Arini menggeleng singkat. “Kali ini kamu harus janji sama Kakak.”
“Sekarang kamu bebas mau kerja di mana aja, tapi once perusahaan butuh kamu, please balik lagi,” tegas Arini menatap serius adik iparnya.
Farzan menarik napas berat, karena tidak bisa menyanggah permintaan Arini. Bayangan bagaimana senangnya Ayu nanti, melintas di pikiran. Dia tidak suka jika ibu kandungnya memanfaatkan kedudukan Farzan kelak.
***
Pandangan mata elang Farzan bergerak mengitari apartemen studio yang kini ditempati. Pada awalnya Arini sudah memilihkan apartemen dengan dua kamar, namun dia ingin apartemen tipe studio. Katanya agar tidak repot membersihkan nanti.
“Padahal dulu Mas tinggal di apartemen yang punya dua kamar loh, Dek,” ujar Arini pada saat itu, “tapi ada Bi Ijah sih yang bersih-bersih ke sana.”
Wanita paruh baya itu tersenyum mengenang saat pertemuan kembali dengan Brandon. “Tapi kadang apartemennya juga kotor sih.”
Ketika mendengar semua cerita tentang masa lalu mereka, Farzan hanya bisa menarik napas berat. Pemuda itu bisa melihat binar cinta yang tidak pernah padam untuk Brandon di mata Arini.
“Lumayan juga nih apartemen Abang,” komentar Alyssa setelah berjalan mengitari flat berukuran sedang itu. Gadis itu baru saja kembali dari area tempat tidur yang dibatasi tirai berwarna abu-abu.
Flat yang didominasi warna putih dan abu-abu tua itu tidak terlalu besar. Hanya ada sofa minimalis yang berada di tengah ruangan, berhadapan dengan televisi yang menggantung di dinding. Di sampingnya terdapat tempat tidur yang hanya dibatasi tirai. Tak jauh dari sana berada sebuah dapur minimalis.
“Aku nanti kalau udah kerja pengin tinggal di apartemen juga dong, Mi. Pengin mandiri juga kayak Abang,” imbuh El ikutan ingin mandiri.
“Emang Abang sanggup pisah sama Mami?” ledek Alyssa jail, mengingat El sangat dekat dengan Arini.
“Abang udah gede, Al. Jangan ngeledek lagi deh,” balas El dengan wajah mengerucut.
“Ini kok jadi berantem sih?” Arini melihat El dan Al bergantian. Dia kembali mengalihkan paras kepada Farzan yang tertawa melihat tingkah kedua ponakannya. “Kalau kamu kangen masakan Kakak, kabari ya?”
Pemuda itu mengangguk dengan seulas senyum di bibir. “Pasti, Kak. Aku bisa pulang juga kok.”
Mereka kemudian membantu Farzan meletakkan barang-barang yang tadi dibawa. Karena barang yang dibawa tidak banyak, Farzan tidak menggunakan jasa pindahan.
“Pulang sekarang, Mi?” tanya El setelah semua beres.
Arini melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 15.00. “Yuk, sebentar lagi Papi pulang dari kantor.”
Mereka berempat keluar dari flat, lalu turun ke lobi. Farzan mengantarkan Arini dan kedua ponakannya.
“Jaga diri baik-baik ya, Dek. Kabari kalau ada apa-apa,” kata Arini sebelum naik ke mobil.
“Iya, Kak. Kakak jangan khawatirkan aku. Jaga kesehatan juga. Jangan lupa minum obat,” tutur Farzan tersenyum kecut.
Arini membelai lembut pinggir wajah adik iparnya, sehingga membuat darah pemuda itu berdesir lagi. Sebuah kecupan singkat diberikan di keningnya.
“Kakak pulang dulu ya. Assalamualaikum,” pamit Arini diikuti dengan El dan Al.
“Waalaikum salam,” sahut Farzan melambaikan tangan.
Setelah mobil Honda tipe sedan keluaran terbaru itu menghilang di balik pagar gedung, Farzan memutar tubuh bersiap memasuki lobi lagi. Sorot mata elangnya berhenti ketika melihat seorang perempuan berjalan tidak stabil menuju pintu masuk gedung.
“Mbak Nadzifa?” gumamnya tidak yakin.
Ketika sosok itu mendekat, wajahnya semakin jelas. Keraguan yang sempat hinggap, kini berganti keyakinan.
“Farzan?” sapa Nadzifa dengan wajah mengernyit.
Farzan mengangguk cepat. “Mbak nggak apa-apa?” tanyanya melihat sesuatu yang aneh pada Nadzifa.
“Harusnya minta maaf, karena udah abaikan chat dan telepon gue,” sungut gadis itu tidak nyambung.
Tangan kanan Nadzifa naik ke atas meremas bagian perut yang terasa sakit. Tubuhnya condong ke depan ketika rasa sakit semakin menjadi.
Naluri kemanusiaan Farzan kembali terpanggil. Terlepas dari ketidak sukaannya terhadap Nadzifa, tetap saja ia mengulurkan tangan agar bisa membantunya.
“Mbak tinggal di mana? Biar saya antar,” tawar Farzan tidak tega.
Nadzifa mengerling ke atas gedung. “Flat nomor 510.”
Mata elang Farzan terbelalak mendengar perkataan Nadzifa. “510?”
Gadis itu mengangguk singkat dengan wajah mengernyit lagi. “Kenapa?”
“Saya tinggal di depannya, Mbak. Flat 505.”
Mata hitam lebar Nadzifa menyipit ketika tubuhnya kembali tegak. Senyum terurai di sudut bibir berisinya.
“Kayaknya kita jodoh deh, Farzan. Tuhan selalu pertemukan kita di saat yang nggak terduga.” Nadzifa tersenyum lebar. “Welcome to my world, My Neighbour.”
Tuhan Maha Baik. Dia permudah urusan gue dengan keluarga lo, batin Nadzifa senang di sela perut yang terasa sakit ketika tamu bulanan datang.
Bersambung....
Suara alarm terdengar nyaring memekakkan telinga ketika subuh menjelang. Jika saja di sini adalah pedesaan, maka akan terdengar bunyi ayam jantan berkokok. Sayangnya kamar ini berada di gedung apartemen yang tinggi, sehingga tidak ada ayam jantan yang bertengger hanya sekedar untuk membangunkan penduduk. Tangan yang cukup berotot itu bergerak meraba atas nakas, tempat ponsel berada. Sepasang netra elang berwarna hitam perlahan terbuka, mencari tahu pukul berapa sekarang. Ah, seharusnya tidak begitu juga karena dia tahu persis jam berapa alarm diterapkan. Farzan langsung mengubah posisi menjadi duduk, karena sebentar lagi waktu subuh tiba. Dengan masih terkantuk, ia berusaha berdiri kemudian melangkah menuju kamar mandi untuk menggosok gigi. “Kalau mau salat Subuh jangan lupa gosok gigi, Dek. Mau ketemu sama manusia aja kita nggak pede kalau belum gosok gigi, apalagi ketemu sama Allah.” Nasihat yang kerap dilontarkan Arini, selalu terpatri di dalam ingatannya.
Nadzifa dan Farzan berdiri di depan flat masing-masing sebelum berpisah. Kucing kesayangan gadis itu sudah dikuburkan di tanah kosong belakang gedung apartemen. Jangan ditanyakan lagi bagaimana sedihnya ia saat kucing jenis persia himalaya tersebut menjelang dikubur.“Thanks banget ya udah bantuin,” ucap Nadzifa tersenyum singkat, “jangan tolak bantuan gue. Habis ganti pakaian, gue ke flat lo.”Awalnya Farzan keberatan, tapi Nadzifa kekeh untuk membantu. Gadis itu merasa bersalah, karena sudah mengganggunya pagi-pagi.“Oke. Nanti pencet bel aja, jangan ketuk-ketuk. Berisik,” tanggap Farzan.Gadis berambut panjang itu tertawa singkat. “Iya, bawel.”“Astaga, lo bener-bener kayak Nyokap gue deh,” sambungnya geleng-geleng kepala.Setelah itu Farzan memasuki flat untuk berganti pakaian. Ujung kaki celana katun bermotif kotak yang dikenakan terkena tana
Farzan mencari pakaian yang akan dikenakan dari lemari. Dia baru saja mandi selepas kembali dari bekerja. Hari ini ia pulang terlambat, karena ada meeting dadakan menjelang waktu kerja berakhir.Ketika akan mengenakan baju kaus, ponselnya berdering. Dengan semangat pemuda itu melangkah menuju nakas dan mengambil handphone dari sana. Senyum terurai di paras tampannya ketika melihat nama yang tertera di layar ponsel. Apalagi si penelepon menggunakan video call. Farzan segera memasang baju kaus, sehingga menutupi tubuh berototnya.“Assalamualaikum, Kakak Cantik,” sapanya setelah wajah cantik Arini terpampang di ponsel.Pemuda itu segera beranjak menuju meja makan, lalu meletakkan ponsel di sana. Dia menarik kursi dan duduk di sana.“Waalaikumsalam, Dek,” balas Arini dengan wajah mengerucut, “kamu kok jarang telepon sekarang?”Kening Farzan mengernyit saat mengingat kapan
Satu tahun kemudian“Farzan,” teriak suara nyaring dari luar flat. Tak hanya itu ketukan pintu bertubi-tubi juga terdengar membuat pekak telinga Farzan.Desahan pelan keluar dari sela hidung pria bertubuh tinggi itu. Dia melirik malas ke arah pintu yang masih tertutup rapat. Farzan menghentikan aktivitasnya menyiapkan keperluan untuk dibawa ke Menteng Dalam. Hari ini ia akan menginap di rumah keluarga Harun.Setiap kali mendengar suara itu, Farzan selalu seperti ini. Ketenangannya selama satu tahun tinggal di apartemen menjadi terusik karena kehadiran Nadzifa.Gadis itu sering bertandang ke flat hampir setiap hari. Dia juga kerap masuk tanpa izin dari Farzan. Parahnya lagi, Nadzifa menjadikan flat-nya sebagai tempat menumpahkan keluh kesah seraya meneguk bir.“Farzaaaaan,” panggilnya lagi meniru suara Tarzan.“Astaghfirullah,” bisik Farzan sambil mengelu
Sorot mata Farzan menegang seketika. Begitu juga dengan tubuhnya. Wajah pemuda itu berubah pasi, karena sang Kakak telah mengetahui apa yang terjadi antara dirinya dan Arini dua tahun yang lalu.Bayangan bagaimana panasnya mereka berciuman saat itu kembali terlintas. Farzan sangat menikmati setiap sentuhan Arini di bibirnya. Masih terasa bagaimana manis bibir wanita itu dan juga aroma segar yang terendus ketika mereka berciuman.Ketika itulah ia menyadari perasaan yang seharusnya tidak pernah ada, muncul di hatinya. Farzan mengakui bahwa ia menyayangi Arini bukan hanya sebatas Kakak, tapi sebagai seorang wanita. Jika saja wanita itu bukan istri dari Brandon, kakaknya, maka ia pasti akan merebutnya.“Apa yang kalian berdua lakukan dua tahun yang lalu?” ulang Brandon lagi menyentakkan Farzan.Suasana menjadi hening ketika Brandon menunggu jawaban Farzan. Hanya terdengar tarikan napas berat dari sela hidung mancung pemuda itu. Mata elang itu terp
Tiga hari kemudianFarzan pulang cepat hari ini. Tidak banyak pekerjaan yang dilakukan, sehingga bisa keluar dari pabrik tepat pukul empat sore.Seperti biasa, derap langkahnya begitu cepat ketika berjalan di lobi apartemen menuju lift. Tak perlu menunggu lama, kotak besi itu terbuka sehingga ia bisa memasukinya. Tubuh tinggi Farzan bersandar di dinding lift.Sorot mata elangnya menatap nanar pantulan diri di pintu lift yang kini tertutup. Tidak ada siapa-siapa di dalam, hanya dirinya yang tampak tidak bersemangat sama sekali.Semenjak mendapat ultimatum dari Brandon, Farzan tidak berhenti memikirkan solusi agar bisa mengatasi masalah yang dihadapi. Hingga saat ini ia belum menemukan jalan keluar.Begitu pintu lift terbuka, Farzan langsung melangkah ke luar. Dia berjalan dengan kepala tertunduk menuju flat. Lagi-lagi pandangannya terpaku ke arah flat Nadzifa yang masih tertutup rapat. Tiga hari ini, gadis itu tida
Dua bulan menjelang pernikahan AlyssaHari ini adalah acara lamaran Alyssa, keponakan Farzan yang paling kecil. Gadis itu memutuskan menikah di usia muda yaitu dua puluh tahun. Dia memiliki kisah cinta yang unik. Bayangkan Al dilamar oleh calon suaminya ketika masih kelas dua SMA.Semakin mendekati hari pernikahan Alyssa, membuat Farzan uring-uringan. Sepuluh bulan ini dilalui dengan penuh perjuangan. Berbagai cara dilakukan untuk mencari wanita yang cocok dijadikan calon istri, tapi hasilnya selalu nihil.Mengenai Nadzifa, gadis itu menghilang bagai ditelan bumi. Tidak ada kabar apa-apa darinya sejak sepuluh bulan terakhir. Dia juga tidak muncul di flat yang biasa ditempati.Farzan mulai khawatir dengan Nadzifa, karena kondisinya yang masih labil. Meski berusia lebih tua sembilan tahun darinya, pola pikir gadis itu masih belum matang. Cenderung kekanak-kanakan. Itulah yang membuatnya cemas.“Mungkin nggak sih Mbak N
Farzan membelai lembut belakang kepala Nadzifa ketika masih menumpahkan tangis dalam pelukannya. Dia bisa melihat gadis itu tidak sedang baik-baik saja. Tampak jelas dari wajah yang kusut.“Gue harus gimana, Zan? Nyokap udah pergi untuk selama-lamanya,” ungkap Nadzifa membuat Farzan terkejut.Pria itu memegang bahu Nadzifa kemudian mendorongnya sedikit ke belakang, sehingga tubuh kembali berjarak.“Maksud, Mbak?” tanya Farzan memandang wajah kuyu gadis itu.“Nyokap gue meninggal satu bulan yang lalu,” jawabnya kembali terisak.“Innalillahi wa inna ilaihi raaji’uun,” ucap Farzan.Tilikan mata elangnya melihat ke lorong apartemen. “Sekarang Mbak tenang dulu, sebaiknya kita ngobrol di dalam.”Dengan patuh Nadzifa ikut memasuki flat yang ditempati Farzan.Farzan tidak lagi mempermasalahkan kejadian tahun lalu. Menurutnya sekarang Nadzifa butuh tempa
Lima bulan kemudianBunyi ciuman terdengar jelas di sebuah kamar kondominium mewah yang berada di kawasan Marina, Singapura. Suara desahan menjadi penutup penyatuan sepasang suami istri yang entah berapa kali melakukannya hingga siang ini. Keduanya saling berbagi tatapan dan senyuman dalam posisi duduk berhadap-hadapan.Nadzifa segera turun dari pangkuan Farzan, kemudian masuk ke dalam selimut. Napas memburu keluar dari hidung seiringan dengan jantung yang berdebar cepat. Farzan juga ikut masuk ke balik selimut, sebelum menarik tubuh istrinya merapat.“Mentang-mentang libur, aku nggak dibolehin keluar kamar,” sungut Nadzifa mencubit hidung mancung suaminya.Farzan tersenyum lebar seraya menatap gemas wajah Nadzifa yang masih memancarkan rona merah. “Habis kamu bikin aku nagih. Top banget deh.”Nadzifa berdecak seraya menyipitkan mata. “Segitunya kamu.”Meski usia wanita itu tidak lagi muda
Farzan duduk di ruang kunjungan tahanan berhadap-hadapan dengan Ayu. Di sampingnya ada Nadzifa yang menemani pria itu menemui sang Ibu. Rahang tegasnya tampak mengeras menahan luapan amarah yang tertahan. Dia malu dengan perbuatan wanita yang telah melahirkannya itu.“Aku pikir Mommy udah berubah sejak keluar dari penjara waktu itu,” ujar Farzan memecah keheningan ruangan yang dikelilingi dinding berwarna abu-abu itu. Dia menundukkan kepala, seakan enggan melihat Ayu.“Kamu yang bikin Mommy begini, Zan,” balas wanita tua itu menyalahkan putranya.Sorot mata Farzan terlihat tajam ketika pandangannya terangkat. Sklera netra elangnya memerah digenangi air mata.“Mommy salahkan aku?” tanya Farzan dengan kedua tangan mengepal erat di atas paha.Nadzifa langsung meraih tangan suaminya, berusaha menenangkan.“Coba waktu itu kamu mau kerja di perusahaan dan jamin hidup Mommy.
Sepasang netra elang mengerjap ketika mencoba untuk terbuka. Pandangannya turun ke arah sesosok tubuh yang lelap dalam dekapan. Farzan tersenyum ketika melihat Nadzifa tidur seperti bayi. Begitu tenang dan imut dengan bibir sedikit terbuka. Beruntung tidak ada air liur yang keluar. Haha!Dia menarik napas sebentar, sebelum mengeratkan lagi pelukan. Terasa kelembutan yang baru dirasakan tadi malam. Juga kehangatan yang disalurkan oleh tubuh Nadzifa. Pagi ini Farzan merasakan perubahan dalam hidupnya.Sebuah kecupan diberikan di kening Nadzifa beberapa detik, membuat tubuh semampai itu menggeliat kecil di dalam pelukannya. Perlahan tapi pasti kepala gadis itu, ah bukan, wanita itu terangkat seiringan dengan kelopak mata yang terbuka.Nadzifa memicingkan mata ketika ingat dirinya sekarang sudah resmi menjadi istri dari Farzan Harun. Pria yang berusia sembilan tahun lebih muda darinya. Dia menenggelamkan wajah tepat di dada bidang pria itu.“Aku banguni
Seluruh keluarga Harun dibuat panik gara-gara pernikahan dadakan Farzan dan Nadzifa. Begitu juga dengan Brandon yang baru saja pulang dari rumah sakit. Beruntung menjelang sore semua berjalan sesuai dengan rencana. Tinggal menunggu akad nikah dilaksanakan.Paman Nadzifa juga bisa hadir untuk menikahkan keponakan yang jarang berjumpa. Semesta seakan memberi kelancaran baik dari segi dokumen, penghulu sampai pakaian yang akan dikenakan oleh Nadzifa dan Farzan untuk akad nikah.Jangan ditanyakan lagi bagaimana gugup Farzan sekarang. Pria itu tampak gagah mengenakan setelan beskap berwarna putih gading. Sebuah peci berwarna senada menutupi rambut model layered miliknya.“Penghulu udah datang tuh, Zan,” info Bramasta yang sejak tadi sibuk sendiri, pasca diberitahukan tentang pernikahan Farzan. Pria berkacamata itu langsung minta izin pulang dari kantor lebih awal.Farzan menganggukkan kepala, kemudian berdiri. Dia menarik napas dan mengemb
“Mas Brandon benar, Kak. Ada yang ingin menyingkirkan Mas Brandon. Orang itu adalah Tante Ayu.”Perkataan yang diucapkan Nadzifa barusan menyurutkan niat Farzan untuk memasuki ruang perawatan yang baru saja ditinggalkannya beberapa menit lalu. Dia baru saja mendapatkan telepon dari Pak Habib mengenai reschedule jadwal meeting dengan klien. Senyum yang terurai di wajah tampan itu hilang ketika mendengar nama ibunya disebut.“Mommy?” gumamnya dengan kening berkerut.Farzan memilih menguping pembicaraan ketiga orang yang ada di dalam ruang perawatan VIP tersebut. Semakin lama ia berdiri di sana, amarah yang dirasakan semakin memuncak. Dia tidak menyangka sang Ibu bisa melakukan tindakan rendah seperti itu, hanya demi seonggok harta.“Tolong rahasiakan ini dari Farzan ya? Dia pasti marah banget kalau tahu Ayu yang celakai Mas Brandon.” Terdengar suara Arini memohon kepada Nadzifa. “Farzan it
“Mas Brandon benar, Kak. Ada yang ingin menyingkirkan Mas Brandon.” Nadzifa menarik napas panjang, sebelum melanjutkan perkataannya. “Orang itu adalah Tante Ayu.”Mata cokelat besar Arini melebar seketika. Bibirnya ternganga ketika mendengar nama Ayu disebut. Kepalanya langsung menggeleng cepat.“Nggak mungkin itu ulah Ayu. Dia ‘kan lagi di Uluwatu.” Arini tidak percaya begitu saja meski yang mengatakannya Nadzifa.“Ayu tinggal di Jakarta tiga bulan ini, In. Kita udah dibohongi mentah-mentah sama dia,” ujar Brandon meyakinkan.Pandangan Arini berpindah kepada suaminya. “Bran, kita yang carikan rumah buat dia di Uluwatu biar nggak ngerecokin Papa. Nggak mungkin dia ke sini.”Brandon meraih tangan Arini, lalu menggenggamnya erat. “Faktanya gitu, In. Dia ada di Jakarta.”Arini mendesah keras dengan napas terasa sesak. Dia ingat pernah mencarikan apartemen untuk Ayu di
Farzan dan Nadzifa saling berpandangan dalam waktu yang lama. Mereka menyelami perasaan masing-masing. Keduanya tidak pernah menyangka hubungan yang semula hanya pura-pura, kini menjadi serius. Bahkan benih cinta juga tumbuh mekar di hati mereka.“Aku … mau, Zan,” desis Nadzifa setelah menemukan binar cinta di mata Farzan untuknya.“Mau apa?” tanya Farzan bingung.“Masa nggak tahu sih?” sungut gadis itu dengan wajah mengerucut.“Ya aku nggak tahu maksud kamu apa?”“Mau nikah sama kamu secepatnya,” gumamnya berlalu dari hadapan Farzan, kemudian pergi menemui El dan Al yang masih berada di depan pintu.“Mau nikah secepatnya?” ulang Farzan hanya terdengar olehnya. Dia tersenyum lebar, sehingga bibir bagian atas itu nyaris tak terlihat. Kakinya melangkah ringan ke dekat Nadzifa.“Ngapain sih mojok di sana berdua? Nggak asyik banget. Untung Si Fatih nggak
Pagi-pagi sekali selesai menunaikan salat Subuh, Farzan sudah berangkat ke ruko tempat Nadzifa saat ini berada. Ternyata gadis itu lebih sering menghabiskan waktu di sana selama ini. Dia tidak mau tinggal di apartemen, khawatir akan berjumpa dengan Farzan.Seperti permintaannya kemarin, Farzan disuguhi satu porsi nasi goreng buatan Nadzifa. Entah kenapa sekarang terasa semakin lezat. Apa mungkin karena ia mulai bucin dengan gadis itu? Hanya Tuhan dan Farzan yang tahu. Haha!Tidak banyak percakapan berarti yang tercipta di antara keduanya. Hanya pembahasan seputar aktivitas Farzan selama satu bulan ini. Selesai sarapan, pria itu memutuskan untuk pergi ke rumah sakit, mengunjungi Brandon sebelum berangkat ke kantor.Alhasil di sinilah ia berada, bersama dengan Nadzifa. Ya, gadis itu juga ingin ikut mengunjungi calon kakak iparnya. Ehmmm … ehmmm ….“Loh pagi-pagi udah ada di sini,” seru Brandon terkejut melihat kedatangan Farzan dan
Nadzifa mengalihkan pandangan ke sisi kiri ruangan. Dia pura-pura tidak mendengar apa yang dikatakan Farzan barusan. Padahal hatinya sekarang meronta-ronta kegirangan. “Zi?” Farzan masih menanti jawaban darinya. Gadis itu memutar kepala ke arah Farzan dalam gerakan slow motion lagi. “Emang … harus dijawab ya?” Farzan menganggukkan kepala. “Kalau nggak mau gimana?” Dia memberi tatapan malas, bertolak belakang dengan isi hatinya. “Aku nggak mau pulang sampai kamu jawab,” ancam Farzan tersenyum manis. (Ya ampun, cowok tersenyum manis.) Mata hitam lebar Nadzifa membesar seketika. “Zan, ini udah malam. Kamu mau nginap di sini?” “Kita udah pernah tidur satu ranjang sebelumnya, Zi,” goda Farzan. Nadzifa semakin melongo mendengar perkataan Farzan. Matanya terpejam erat ketika kepala bergerak ke kiri dan kanan. “Nggak bisa! Pulang gih sana, nanti jadi gunjingan orang. Dosa loh bikin orang ghibah,” usirnya mengib