Setahun Kemudian.Munos tengah duduk sarapan bersama dengan kedua orangtuanya, sekarang hari sabtu dan Munos tidak berangkat ke kantor. Bu Sundari membuatkan mie goreng lengkap dengan sambal goreng kentang ati sapi dan acar. Munos menatap masakan kesukaannya yang sama persis dengan Fani. Ah..bagaimana kabarnya Fani dan Abi hampir sebelas bulan sudah tidak pernah berkomunikasi lagi, karena nomor ponsel Fani yang tidak pernah aktif. Ingin rasanya mengunjungi Fani dan Abi, rasa rindu itu membuncah, namun Munos harus tahu diri, jika Fani enggan berhubungan dengannya."Kok bengong, Nak?" tanya Bu Sundari yang memperhatikan Munos, sedari tadi hanya memandangi makanan yang tertata di atas piringnya." Eh..iya, Ma. ""Sedang memikirkan apa?" tanya papanya."Mmm...tak ada, Pa," kilahnya kini sembari menyendokkan nasi ke dalam mulutnya."Bagaimana perkenalanmu dengan Lusi?" "Biasa aja, Pa! Tak ada yang istimewa." sahutnya malas."Dengan Laura? Anaknya Pak Bimo!"tanya papa Munos lagi."Sama, b
Kondangan yukk maak! Fani menatap takjub, ballroom hotel yang telah disulap menjadi tempat pernikahan yang begitu megah. Dulu saat ia bekerja sebagai resepsionis di hotel Munos. Fani pernah membayangkan bagaimana rasanya menjadi sepasang pengantin berbahagia menikmati acara di ballroom hotel mewah. Hiasan bunga disepanjang jalan menuju pelaminan, aroma yang menyeruak begitu memabukkan siapapun yang berada di dalamnya. Air matanya menggenang, bila teringat kembali peristiwa, hampir dua setengah tahun lalu. dimana ia juga menikah disini, dalam keadaan terpaksa, semua begitu indah namun menyesakkan. Kini ia kembali duduk di pelaminan megah ini, berdampingan dengan lelaki yang sama, lelaki yang dulu menikahinya dengan terpaksa. Fani melirik sekilas lelaki itu yang kini sudah resmi menjadi suaminya kembali. Lelaki yang saat ini betapa begitu melebarkan senyumnya kepada setiap tamu yang mengucapkan selamat. Usianya tak lagi muda, beberapa helai rambut putih mengintip dari balik topi peci
Setelah acara semua selesai Fani dan Munos masuk di kamar VVIP utama. Kamar yang sudah dihias begitu cantik dan mempesona. Banyak kelopak bunga mawar yang bertebaran di atas ranjang pengantinnya. Lengkap dengan hiasan sepadang handuk bentuk angsa yang ditata bentuk hati. Munos melihat Fani yang sedikit canggung saat berduaan saja dengannya di kamar. Sangat maklum. Munos memutuskan ia akan mandi terlebih dahulu. Meninggalkan Fani untuk meredakan rasa canggungnya. Munos keluar dengan hanya memakai handuk yang dililitkan di pinggangnya. Fani melotot kaget, wajahnya bersemu merah. Masih dengan pakaian pernikahan lengkap Fani mencoba melepaskan satu persatu hiasan di kepalanya yang dilapisi hijab. Munos dengan sengaja menghampiri Fani, berdiri di depan istrinya yang malu-malu."Ish...kenapa harus berdiri disitu, Pak?" gerutu Fani sambil mengalihkan pandangannya, tak berani menatap Munos dengan tampilan seperti itu. Jantungnya saja serasa maraton, Fani takut dia tidak bisa menguasai kejol
Munos bangun dengan tubuh segar, setelah semalam puas tertidur memeluk istrinya hingga shubuh, sesekali senyumnya terbit mengingat kejadian konyol semalam. Sehabis mandi Munos langsung melaksanakan sholat shubuh, hampir setengah enam karena dia terlalu pulas tidur semalaman. Tidur paling berkualitas yang hampir dua tahun ini tak ia rasakan lagi.Munos membuka pintu kamar dan sudah menyaksikan pemandangan yang sangat indah di ujung sana. Wanitanya sedang memasak sarapan dan anaknya sedang duduk di babychair asik memakan roti. Wanitanya memakai baju kaos besar dengan dipadukan celana motif kotak-kotak warna biru berbahan katun. Rambutnya masih digelung dengan handuk, lehernya putih begitu menggoda ingin segera digigit. Munos berjalan mendekati Fani yang masih serius membuat bihun goreng dan ayam goreng cryspy untuk sarapan keluarganya. Mumpung ayah dan ibu mertuanya menginap. Tetapi mereka belum keluar kamar.Munos melingkarkan kedua lengannya di pinggang Fani, menempatkan dagunya di p
Hujan gerimis merundung ibu kota Jakarta sedari Shubuh. Fani yang biasanya sudah berangkat ke pasar untuk berbelanja. Pagi ini tidak berangkat. Untung saja masih ada persediaan udang dan sayur di kulkas. Hari ini memang jadwalnya Fani untuk berbelanja ke pasar tepatnya, seminggu sekali. Di rumah hanya ada Fani dan Abi, Munos sudah berangkat ke hotel. Sedangkan ibu mertuanya baru akhir pekan nanti menginap lagi. Bu Sundari sempat menawarkan Fani untuk memiliki pembantu, namun Fani menolak, ia ingin sendiri mengurus rumah tangganya.Siang ini Fani hendak mengganti bola lampu di dapur, Fani biasa mengerjakannya dulu saat masih bersama Septiyan, jadi bukan pekerjaan yang sulit. Disaat Munos tak berani mengganti tabung gas, maka Fani bisa mengerjakannya. Setrikaan yang koslet yang Munos tidak bisa membetulkannya, maka Fani bisa mengerjakannya. Fani pernah menggerutu pada suaminya."Bapak, Bapak. Kok ya bisanya cuma nyosor saja!" gerutuan Fani yang disambut dengan tawa renyah Munos, lalu me
Munos memeluk Fani dengan erat. Memberi kekuatan pada istrinya, bahwa semua pasti baik-baik saja.Empat hari di rumah sakit. Hari ini Fani diperbolehkan pulang. Selama Fani dirawat, Munos tidak berangkat ke hotel, benar-benar menemani Fani di rumah sakit. Mengurusnya dengan sabar dan telaten. Munos tengah merapikan pakaian yang akan dibawa pulang, memasukkannya ke dalam tas besar. Fani menatapnya dengan seksama. Betapa saat ini dia beruntung dengan adanya Munos di sisinya. "Paak ...!" panggil Fani yang kini duduk di pinggir ranjang. Munos menoleh lalu tersenyum manis."Ada apa, Sayang?" Munos mendekat, duduk di samping Fani. Menatap wajah lemah istrinya. Fani mengambil jemari Munos. Mencium punggung tangannya. "Terimakasih, Pak," ucap Fani tulus. Ia kini menatap wajah suaminya yang semakin dewasa, karena beberapa rambut putih sudah mulai tumbuh subur di kepalanya."Maafkan saya yang selalu merepotkan Bapak," ucapnya lagi. Munos tersenyum menangkup kedua pipi istrinya dengan tangannya
Ada adegan 21 ya.Fani tersedu menangis di pusara anak kembarnya, tampak sekali tempat ini dirawat, karena sangat bersih, tapi dan sudah ada bunga segar di atasnya."Maaf Ibu baru datang," ucapnya pelan sambil terisak pilu. Munos memeluk pundak Fani, menguatkannya."Kembar, lihat sekarang, Ibu sudah ada di dekat kita, Bapak menepati janjikan?" gumam Munos pada pusara anaknya. Fani menatap wajah suaminya."Bapak tidak akan membiarkan ibu pergi lagi dari kita," lanjut Munos lagi, kini Fani mengeratkan pelukannya pada Munos. ****"Bapak lapar Bu, sedang ingin makan sate padang."" Pedes lho Pak, bukannya Bapak ga bisa makan pedes," sahut Fani disela-sela kegiatannya memandikan Abi di dalam ember besar."Sedikit aja Bu, Bapak lagi pingin, nih liat air liurnya sampe pengen netes." "Korang ngidam aja Pak." Fani tertawa melihat tingkah suaminya.Selesai memandikan putranya, Fani berjalan dengan sedikit pincang masuk ke dalam kamar Abi, memakainkannya baju dengan sabar dan telaten."Biar s
Fani sedang sibuk di dapur, membuatkan makan siang untuk suaminya, Munos. Sayur daun katuk dan sambel goreng hati sapi, lengkap dengan bakwan goreng. Heran sih sebenarnya, siapa yang nanti meyusui bayi, siapa pula yang getol makan sayur daun katuk. Biarlah, mungkin nanti Munos mau bergantian menyusui bayi mereka. HeheheheFani terkekeh dalam lamunnya, bila mengingat kebiasaan Munos beberapa hari ini. Menu makan siang request dari Munos dan Fani wajib mengantarkannya ke hotel siang ini. Alhamdulillah sudah tiga hari ini Munos lebih segar, mualnya juga berkurang, sehingga sudah tiga hari ini juga mulai kembali bekerja. Perasaan Fani sedikit lega, karena suaminya yang bersikap manja berlebihan, sedikit mereda. Paling tidak, sekarang Fani tidak disuruh telanjang terus saat berduaan di kamar saat malam hari.Di sinilah Fani berdiri di loby gedung hotel megah, dengan tangannya membawa satu tas bekal makanan berukuran sedang. Yah, ini adalah tempat dulu ia pernah berdiri di depan sana se