Hujan gerimis merundung ibu kota Jakarta sedari Shubuh. Fani yang biasanya sudah berangkat ke pasar untuk berbelanja. Pagi ini tidak berangkat. Untung saja masih ada persediaan udang dan sayur di kulkas. Hari ini memang jadwalnya Fani untuk berbelanja ke pasar tepatnya, seminggu sekali. Di rumah hanya ada Fani dan Abi, Munos sudah berangkat ke hotel. Sedangkan ibu mertuanya baru akhir pekan nanti menginap lagi. Bu Sundari sempat menawarkan Fani untuk memiliki pembantu, namun Fani menolak, ia ingin sendiri mengurus rumah tangganya.Siang ini Fani hendak mengganti bola lampu di dapur, Fani biasa mengerjakannya dulu saat masih bersama Septiyan, jadi bukan pekerjaan yang sulit. Disaat Munos tak berani mengganti tabung gas, maka Fani bisa mengerjakannya. Setrikaan yang koslet yang Munos tidak bisa membetulkannya, maka Fani bisa mengerjakannya. Fani pernah menggerutu pada suaminya."Bapak, Bapak. Kok ya bisanya cuma nyosor saja!" gerutuan Fani yang disambut dengan tawa renyah Munos, lalu me
Munos memeluk Fani dengan erat. Memberi kekuatan pada istrinya, bahwa semua pasti baik-baik saja.Empat hari di rumah sakit. Hari ini Fani diperbolehkan pulang. Selama Fani dirawat, Munos tidak berangkat ke hotel, benar-benar menemani Fani di rumah sakit. Mengurusnya dengan sabar dan telaten. Munos tengah merapikan pakaian yang akan dibawa pulang, memasukkannya ke dalam tas besar. Fani menatapnya dengan seksama. Betapa saat ini dia beruntung dengan adanya Munos di sisinya. "Paak ...!" panggil Fani yang kini duduk di pinggir ranjang. Munos menoleh lalu tersenyum manis."Ada apa, Sayang?" Munos mendekat, duduk di samping Fani. Menatap wajah lemah istrinya. Fani mengambil jemari Munos. Mencium punggung tangannya. "Terimakasih, Pak," ucap Fani tulus. Ia kini menatap wajah suaminya yang semakin dewasa, karena beberapa rambut putih sudah mulai tumbuh subur di kepalanya."Maafkan saya yang selalu merepotkan Bapak," ucapnya lagi. Munos tersenyum menangkup kedua pipi istrinya dengan tangannya
Ada adegan 21 ya.Fani tersedu menangis di pusara anak kembarnya, tampak sekali tempat ini dirawat, karena sangat bersih, tapi dan sudah ada bunga segar di atasnya."Maaf Ibu baru datang," ucapnya pelan sambil terisak pilu. Munos memeluk pundak Fani, menguatkannya."Kembar, lihat sekarang, Ibu sudah ada di dekat kita, Bapak menepati janjikan?" gumam Munos pada pusara anaknya. Fani menatap wajah suaminya."Bapak tidak akan membiarkan ibu pergi lagi dari kita," lanjut Munos lagi, kini Fani mengeratkan pelukannya pada Munos. ****"Bapak lapar Bu, sedang ingin makan sate padang."" Pedes lho Pak, bukannya Bapak ga bisa makan pedes," sahut Fani disela-sela kegiatannya memandikan Abi di dalam ember besar."Sedikit aja Bu, Bapak lagi pingin, nih liat air liurnya sampe pengen netes." "Korang ngidam aja Pak." Fani tertawa melihat tingkah suaminya.Selesai memandikan putranya, Fani berjalan dengan sedikit pincang masuk ke dalam kamar Abi, memakainkannya baju dengan sabar dan telaten."Biar s
Fani sedang sibuk di dapur, membuatkan makan siang untuk suaminya, Munos. Sayur daun katuk dan sambel goreng hati sapi, lengkap dengan bakwan goreng. Heran sih sebenarnya, siapa yang nanti meyusui bayi, siapa pula yang getol makan sayur daun katuk. Biarlah, mungkin nanti Munos mau bergantian menyusui bayi mereka. HeheheheFani terkekeh dalam lamunnya, bila mengingat kebiasaan Munos beberapa hari ini. Menu makan siang request dari Munos dan Fani wajib mengantarkannya ke hotel siang ini. Alhamdulillah sudah tiga hari ini Munos lebih segar, mualnya juga berkurang, sehingga sudah tiga hari ini juga mulai kembali bekerja. Perasaan Fani sedikit lega, karena suaminya yang bersikap manja berlebihan, sedikit mereda. Paling tidak, sekarang Fani tidak disuruh telanjang terus saat berduaan di kamar saat malam hari.Di sinilah Fani berdiri di loby gedung hotel megah, dengan tangannya membawa satu tas bekal makanan berukuran sedang. Yah, ini adalah tempat dulu ia pernah berdiri di depan sana se
"Pak, habis makan, Mmm...ibu mau itu ya," cicit Fani malu, namun matanya menarik titik lokasi benda tumpul itu berada. Munos kaget tak percaya, hampir empat bulan menikah, inilah pertama kali istrinya yang meminta."Dengan senang hati Permaisuri." Munos mengangguk bersemangat, dilonggarkannya sedikit dasinya, lengan kemeja abu tuanya, lalu ia gulung sampai siku."Ayo kita makan dulu Bu," serunya dengan cekatan membuka bekal makanan yang dibawakan Fani. Setengah jam kemudian, Munos dan Fani telah selesai makan. "Sudah tidak enneg, Pak?" tanya Fani sembari merapikan tempat bekal yang ia bawa tadi."Sudah tidak Bu, obat ennegnya udah ada di sini." Munos meraih tubuh Fani tak sabar."Mmm Pak," panggil Fani sambil membelai wajah suaminya. "Ya sayang." masih dengan tatapan memuja."Boleh tidak kita melakukannya di sana?" Munos terjengkit kaget Mendengar ucapan Fani, Kepalanya menggeleng keras. "Jangan sayang di sini saja," tolak Munos, bagaimana pun ia tak mau istrinya berada dalam ka
Awal hari yang penuh semangat untuk seorang Fani yang baru saja terpuruk karena patah hati. Memutuskan untuk mencari pekerjaan yang lain. Agar tidak satu kantor dengan lelaki yang ia cintai adalah hal terbaik yang ia lakukan. Jika tetap berada di tempat kerja yang sama, ia takut akan menjadi pelakor. Lelaki itu yang bernama Bambang baru saja menikah dengan seorang wanita yang sangat cantik, kaya, dan juga terpelajar. Yah, walaupun usianya jauh di atas Bambang, tetapi lelaki itu tetap memilih wanita itu. Apalah dia yang hanya wanita sederhana yang lulusan D2 yang wajahnya juga biasa saja. Pasti takkan dipilih oleh lelaki itu.Harum nasi goreng buatan sang ibu membuat rasa laparnya seketika memuncak. Sedikit bergegas memasang sanggul yang menurutnya sangat merepotkan ini. Bahkan dari malam ia terus belajar menyanggul rambut melalui you tube, tetapi hasilnya belum terlalu rapi. Pagi ini ia dipanggil untuk melakukan training di sebuah hotel mewah di Jakarta, sebagai resepsionis. Hari per
Fani berdiri dengan sangat tegang di samping resepsionis senior yang berjaga saat ini. Semua kejadian di awal pagi tadi, sukses membuatnya tak bersemangat dan sangat canggung saat diwawancara tadi. Namun, dia harus mencoba berhusnudzon, bahwa hal seperti tadi hanyalah sebuah ujian sebelum ia benar-benar terjun bekerja di sini. Satu hal yang harus selalu ia ingat, bahwa jangan sampai ia mengulangi kesalahan yang sama. Tidak boleh ceroboh dan satu lagi yang harus ia ingat. Lelaki yang memarahinya di depan hotel dan yang ia tabrak tubuhnya tadi pagi adalah bos pemilik hotel yang bernama Munos karim. Semoga lelaki itu tidak mengingat wajahnya. Fani bermonolog sambil memandang lalu-lalang orang yang keluar masuk hotel.“Fani, senyumnya jangan kaku, seperti menahan buang air. Kenapa jadi seperti ngeden gitu senyumnya?” tegur Ratih;resepsionis yang berdiri di sampingnya.“Eh, iya Mbak Ratih. Saya akan coba tersenyum manis,” jawab Fani dengan tak enak hati.“Nih, anggap saja tamu yang ber
Fani mengembuskan napas lega. Membuka mulutnya begitu lebar, agar mendapat asupan oksigen yang cukup banyak. Bukannya simpati, Ratih, Andra, dan Mas Rahman malah menertawakannya saat ditegur tadi.“Awas loh, Fan. Kamu udah ditandai. Sayang aja Pak Munos udah mau nikah. Kalau tidak, kamu bisa mencoba menggodanya,” ujar Mbak Ratih sambil terkekeh geli.“Ish, walau saya jelek. Pak Munos bukan tipe saya, Mbak. Saya sukanya tipe lelaki lemah lembut, kayak tempe mondoan,” balas Fani dengan tawa renyahnya.Tepat pukul delapan malam, ia sudah kembali lagi berada di atas motor ojek online. Sepanjang jalan, ia terus saja memikirkan hari pertama bekerja yang sungguh sangat luar biasa. Semoga training sepekan yang ia ikuti ini bisa memberikan hasil yang baik untuknya dan juga keluarganya.Tak sabar rasanya menunggu esok. Hari kedua mencoba tutorial make up yang sudah diajarkan Mbak Andra padanya. Tiba di rumah lampu ruang depan sudah padam. Itu tandanya bapak, ibu, dan adiknya sudah tidur. Su