Ada adegan 21 ya.Fani tersedu menangis di pusara anak kembarnya, tampak sekali tempat ini dirawat, karena sangat bersih, tapi dan sudah ada bunga segar di atasnya."Maaf Ibu baru datang," ucapnya pelan sambil terisak pilu. Munos memeluk pundak Fani, menguatkannya."Kembar, lihat sekarang, Ibu sudah ada di dekat kita, Bapak menepati janjikan?" gumam Munos pada pusara anaknya. Fani menatap wajah suaminya."Bapak tidak akan membiarkan ibu pergi lagi dari kita," lanjut Munos lagi, kini Fani mengeratkan pelukannya pada Munos. ****"Bapak lapar Bu, sedang ingin makan sate padang."" Pedes lho Pak, bukannya Bapak ga bisa makan pedes," sahut Fani disela-sela kegiatannya memandikan Abi di dalam ember besar."Sedikit aja Bu, Bapak lagi pingin, nih liat air liurnya sampe pengen netes." "Korang ngidam aja Pak." Fani tertawa melihat tingkah suaminya.Selesai memandikan putranya, Fani berjalan dengan sedikit pincang masuk ke dalam kamar Abi, memakainkannya baju dengan sabar dan telaten."Biar s
Fani sedang sibuk di dapur, membuatkan makan siang untuk suaminya, Munos. Sayur daun katuk dan sambel goreng hati sapi, lengkap dengan bakwan goreng. Heran sih sebenarnya, siapa yang nanti meyusui bayi, siapa pula yang getol makan sayur daun katuk. Biarlah, mungkin nanti Munos mau bergantian menyusui bayi mereka. HeheheheFani terkekeh dalam lamunnya, bila mengingat kebiasaan Munos beberapa hari ini. Menu makan siang request dari Munos dan Fani wajib mengantarkannya ke hotel siang ini. Alhamdulillah sudah tiga hari ini Munos lebih segar, mualnya juga berkurang, sehingga sudah tiga hari ini juga mulai kembali bekerja. Perasaan Fani sedikit lega, karena suaminya yang bersikap manja berlebihan, sedikit mereda. Paling tidak, sekarang Fani tidak disuruh telanjang terus saat berduaan di kamar saat malam hari.Di sinilah Fani berdiri di loby gedung hotel megah, dengan tangannya membawa satu tas bekal makanan berukuran sedang. Yah, ini adalah tempat dulu ia pernah berdiri di depan sana se
"Pak, habis makan, Mmm...ibu mau itu ya," cicit Fani malu, namun matanya menarik titik lokasi benda tumpul itu berada. Munos kaget tak percaya, hampir empat bulan menikah, inilah pertama kali istrinya yang meminta."Dengan senang hati Permaisuri." Munos mengangguk bersemangat, dilonggarkannya sedikit dasinya, lengan kemeja abu tuanya, lalu ia gulung sampai siku."Ayo kita makan dulu Bu," serunya dengan cekatan membuka bekal makanan yang dibawakan Fani. Setengah jam kemudian, Munos dan Fani telah selesai makan. "Sudah tidak enneg, Pak?" tanya Fani sembari merapikan tempat bekal yang ia bawa tadi."Sudah tidak Bu, obat ennegnya udah ada di sini." Munos meraih tubuh Fani tak sabar."Mmm Pak," panggil Fani sambil membelai wajah suaminya. "Ya sayang." masih dengan tatapan memuja."Boleh tidak kita melakukannya di sana?" Munos terjengkit kaget Mendengar ucapan Fani, Kepalanya menggeleng keras. "Jangan sayang di sini saja," tolak Munos, bagaimana pun ia tak mau istrinya berada dalam ka
Awal hari yang penuh semangat untuk seorang Fani yang baru saja terpuruk karena patah hati. Memutuskan untuk mencari pekerjaan yang lain. Agar tidak satu kantor dengan lelaki yang ia cintai adalah hal terbaik yang ia lakukan. Jika tetap berada di tempat kerja yang sama, ia takut akan menjadi pelakor. Lelaki itu yang bernama Bambang baru saja menikah dengan seorang wanita yang sangat cantik, kaya, dan juga terpelajar. Yah, walaupun usianya jauh di atas Bambang, tetapi lelaki itu tetap memilih wanita itu. Apalah dia yang hanya wanita sederhana yang lulusan D2 yang wajahnya juga biasa saja. Pasti takkan dipilih oleh lelaki itu.Harum nasi goreng buatan sang ibu membuat rasa laparnya seketika memuncak. Sedikit bergegas memasang sanggul yang menurutnya sangat merepotkan ini. Bahkan dari malam ia terus belajar menyanggul rambut melalui you tube, tetapi hasilnya belum terlalu rapi. Pagi ini ia dipanggil untuk melakukan training di sebuah hotel mewah di Jakarta, sebagai resepsionis. Hari per
Fani berdiri dengan sangat tegang di samping resepsionis senior yang berjaga saat ini. Semua kejadian di awal pagi tadi, sukses membuatnya tak bersemangat dan sangat canggung saat diwawancara tadi. Namun, dia harus mencoba berhusnudzon, bahwa hal seperti tadi hanyalah sebuah ujian sebelum ia benar-benar terjun bekerja di sini. Satu hal yang harus selalu ia ingat, bahwa jangan sampai ia mengulangi kesalahan yang sama. Tidak boleh ceroboh dan satu lagi yang harus ia ingat. Lelaki yang memarahinya di depan hotel dan yang ia tabrak tubuhnya tadi pagi adalah bos pemilik hotel yang bernama Munos karim. Semoga lelaki itu tidak mengingat wajahnya. Fani bermonolog sambil memandang lalu-lalang orang yang keluar masuk hotel.“Fani, senyumnya jangan kaku, seperti menahan buang air. Kenapa jadi seperti ngeden gitu senyumnya?” tegur Ratih;resepsionis yang berdiri di sampingnya.“Eh, iya Mbak Ratih. Saya akan coba tersenyum manis,” jawab Fani dengan tak enak hati.“Nih, anggap saja tamu yang ber
Fani mengembuskan napas lega. Membuka mulutnya begitu lebar, agar mendapat asupan oksigen yang cukup banyak. Bukannya simpati, Ratih, Andra, dan Mas Rahman malah menertawakannya saat ditegur tadi.“Awas loh, Fan. Kamu udah ditandai. Sayang aja Pak Munos udah mau nikah. Kalau tidak, kamu bisa mencoba menggodanya,” ujar Mbak Ratih sambil terkekeh geli.“Ish, walau saya jelek. Pak Munos bukan tipe saya, Mbak. Saya sukanya tipe lelaki lemah lembut, kayak tempe mondoan,” balas Fani dengan tawa renyahnya.Tepat pukul delapan malam, ia sudah kembali lagi berada di atas motor ojek online. Sepanjang jalan, ia terus saja memikirkan hari pertama bekerja yang sungguh sangat luar biasa. Semoga training sepekan yang ia ikuti ini bisa memberikan hasil yang baik untuknya dan juga keluarganya.Tak sabar rasanya menunggu esok. Hari kedua mencoba tutorial make up yang sudah diajarkan Mbak Andra padanya. Tiba di rumah lampu ruang depan sudah padam. Itu tandanya bapak, ibu, dan adiknya sudah tidur. Su
Fani menjadi salah satu karyawan yang sangat beruntung. Dari delapan orang pelamar yang ditraining, Fani diterima sebagai karyawan kontrak. Ada tiga orang yang terpilih. Yaitu dirinya, Samuel, dan juga Seli. Fani betugas di bagian resepsionis dan dua teman lainnya di bagian yang lain. Semakin hari, semakin baik Fani belajar menjadi seorang resepsionis yang professional dan cekatan. Dia juga semakin mahir berdandan dengan make up tipis, tetapi tetap anggun dengan sanggul cantik setiap harinya. Tutur bahasanya juga semakin halus, berikut kemampuan bahasa Inggrisnya. Saat ini Fani memilih kembali ngekos di dekat hotel. Hanya perlu berjalan kaki sepuluh menit dari rumah kosnya menuju hotel. Walau biaaya kos cukup tinggi karena berada di pusat kota, tetapi itu lebih baik daripada ia harus pulang pergi. Jika dapat shift malam, maka akan sangat kerepotan jadinya.Seperti malam ini, ia kebagian jaga dari pukul delapan malam sampai pukul tujuh pagi. Ritme kerja yang baru ia lakoni ini, mema
Wanita itu menggelengkan kepala dengan air mata yang bercucuran dengan sangat deras. Saat melihat celah lalai lelaki di depannya, Fani bermaksud berlari turun dari ranjang, tetapi dengan cepat Munos mencekal tangan Fani dan menghempaskannya kembali ke atas ranjang.Secepat itu juga Munos menindih tubuh lemah Fani dengan tubuh besarnya. Wanita itu semakin kalang-kabut ketakutan. Terus saja ia memukul badan Munos dengan kedua tangannya. Ingin sekali ia menendang lelaki bajungan ini, tetapi tidak bisa karena kedua kakinya terkunci.“Aku sangat menginginkanmu, Risti. Ayo, kita membuat anak,” bisik Munos yang sudah mencium leher Fani dengan rakus.“Pak, saya Fani, bukan Risti, tolong jangan apa-apakan saya,” rintih Fani penuh permohonan, tetapi sayang. Munos sudah gelap mata dan dengan garangnya ia merobek pakaian Fani, hingga menyisakan bra saja dan rok. Dengan gemas Munos mulai mencicipi tubuh wanita yang kesadarannya hampir hilang.“Jangan, Pak. Jangan!” terjadilah hal menyedihkan di