"Kok makanannya cuma diaduk gitu, Nak?" aku melirik ke arah Kania putri satu-satunya,
"Nia pingin makan dengan ayam goreng, Bu!" wajah cantiknya berubah sendu, "Pagi begini mana ada ayam goreng, Nak! Ibu belum sempat belanja!" jawabku menghiburnya, "Tuh... Mamanya ridho sempat kok belanja, Bu! Wanginya aja tercium enak sekali, apalagi rasanya!" Kania menelan air liurnya. Mendengar ocehan putriku hati ini mencelos seketika. Dengan mengusap sudut mata ini aku mendekati Kania sambil mengelus pucuk kepalanya lembut. "Mungkin mamanya Ridho beli ayamnya kemarin sore, Nak! Sekarang Nia habiskan dulu makannya! Ibu janji kalau gajian nanti Ibu akan belikan Nia ayam yang banyak!" ucapku menahan getir berusaha tersenyum, "Hore! Janji ya, Bu! Nia udah bosan makan cuma dengan sambal atau garam," celoteh riang putriku sukses membuat ulu hati ini berdenyut nyeri. Ini memang akhir bulan, tak ada sedikitpun uang di dompetku. Mas Roni suamiku masih berselimut mimpi di kamar. Tak sedikitpun rasa risau padanya bagaimana biaya Kania sehari-hari. Didikan orangtuanya yang memanjakan Mas Roni dari kecil membuatnya tumbuh menjadi laki-laki malas. "Ayok, Nak! Kita berangkat!" ajakku pada Kania yang bersiap menggendong tas kecilnya. "Laras! Mau kemana kamu! Kalau mau pergi tuh sarapan buat suami harus sudah tersedia di meja!" suara Mas Roni dari arah dapur berteriak kencang, "Ayok, Nia! Cepat naik!" aku bersiap membonceng Kania lalu mengayuh kencang sepeda tuaku. "Dasar istri nggak berguna!" teriak Mas Roni di pintu depan sambil melempar batu ke arahku. "Aduh!" aku menjerit pelan tatkala batu sebesar genggaman tangan dewasa mengenai betisku. "Laras! Tunggu!" tiba-tiba laju sepedaku dihadang Bu Imas pemilik kontrakan. "Laras! Kamu nggak lupa kan kalau hari ini jatuh tempo bayar kontrakan? Dua bulan kamu belum bayar! Saya nggak mau tau, harus lunas sore ini atau kamu pergi dari kontrakan saya! Masih banyak orang yang antre pingin ngontrak disana!" "Kamu bukannya bersyukur eh malah keenakan nggak bayar! Rugi tau!" Bu Imas bicara lantang sambil menunjuk muka ku. "Iya, Bu!" aku menjawab pelan. Malu juga rasanya karena ada beberapa tetangga yang sengaja berhenti sambil bisik-bisik melihat ke arahku. "Bagus! Ingat kalau sampai telat lagi, keluar cari kontrakan lain!" Bu Imas kembali melotot ke arahku. Dengan lunglai, aku kembali mengayuh sepeda menuju tempatku bekerja juga Kania sekolah. Sebuah sekolah dasar negeri yang berjarak sekitar satu kilometer dari kontrakan. Beruntung Kania bisa sekolah disini atas izin dari kepsek karena melihat aku sebagai tenaga honorer disini. Sehingga seragam Kania didapatnya secara percuma. "Bu, kontrakan itu apa? Kenapa harus bayar kepada ibu galak itu?" Kania bertanya setelah turun dari sepeda, "Sudah, Nia sekarang masuk sekolah dulu ya! Jangan suka mendengarkan yang tidak-tidak!" aku tersenyum mengecup pipinya yang tirus. --------------------------------------- Jam satu siang, jadwal pelajaran siswa semuanya selesai. Aku dan guru honorer yang lainnya berkumpul menunggu saat-saat gajian. Sedangkan Kania bermain di lapangan bersama dua orang anak guru lainnya. "Bu Laras!" giliran namaku dipanggil. Dengan wajah sumringah, aku menerima amplop coklat bayaran untuk keringatku selama satu bulan ini. "Terimakasih, Bu!" aku tersenyum membayangkan Kania memakan ayam goreng kesukaannya. Setelah memasukkan amplop coklat ke dalam tas, aku memanggil Kania lalu mengajaknya pulang. "Bu, kita mau kemana?" Kania kebingungan saat sepeda yang kami tumpangi berbelok ke warung. "Sebentar ya, Nia! Kita ke warung dulu!" jawabku singkat. Gegas aku membeli beras sepuluh kilogram, daging ayam satu kilo, juga bumbu alakadarnya serta minyak goreng. Aku ingin melihat putriku makan dengan lahap nanti siang. "Ayok pulang!" aku menuntun tangan mungilnya untuk kembali naik sepeda. Sampai akhirnya kami tiba di rumah kontrakan. "Cepat juga kamu pulang, Laras!" Mas Roni berkacak pinggang di pintu depan, "Biasanya juga aku pulang jam segini, Mas!" jawabku sambil masuk ke dalam rumah diikuti Kania. "Mana tas kamu?" Mas Roni merangsek masuk ke dalam kamar, "Mau ngapain, Mas?" aku berdecak kesal padanya, "Minta uang, dari pagi asem rasanya mau ngopi!" jawabnya tanpa beban sambil menengadahkan tangan, "Astaghfirullah, Mas! Kamu tau kan gajiku hanya sedikit! Belum bayar kontrakan!" jawabku makin kesal, "Halah itungan banget! Cepetan mana? Nanti juga kalau suamimu ini kerja kamu juga yang nikmati!" jawabnya disertai tangannya yang menyambar tas kerjaku, "Laras! Roni!" Suara Bu Imas terdengar masuk ke dalam rumah. "Mana uang kontrakan bulan ini dan kemarin, cepetan bayar!" Bu Imas dengan angkuhnya duduk di kursi butut yang hanya ada satu, itupun pemberian sekolah karena sudah nggak layak pakai. "Berisik amat sih, Bu! Tuh tanya aja sama si Laras! Yang kerja dia!" jawab Mas Roni berlalu pergi. Di tangannya terselip tiga lembar uang merah, "Mas, kasih uangnya ke Bu Imas!" aku berlari mengejar Mas Roni keluar. Sayang, tubuhku ditahan Bu Imas dengan muka merah padam. "Kamu mau kabur juga?" tangannya yang besar memegang bahuku kuat. "Nggak, Bu!" aku menunduk, terlihat Kania bersembunyi di balik pintu kamar ketakutan, "Mana uangnya! Lama banget!" Bu Imas kembali menggertak. "I-iya, Bu!" jawabku bergetar merogoh amplop coklat dari dalam tas. "Lelet amat!" ujar Bu Imas. Secepat kilat amplop coklat itu telah berpindah ke tangannya. "Cuma segini? Kamu tau kan tunggakan kamu sebesar delapan ratus ribu rupiah!" Bu Imas melotot ke arahku, bola matanya seolah mau keluar dari matanya, "Hanya itu sisa uangku, Bu! Tolong sisain sedikit buat jajan Kania!" ucapku memelas, "Apa katamu? Bukannya dilunasin malah minta dibalikin! Jangan mimpi kamu!" Bu Imas berdiri dengan angkuhnya, "Dengar Laras, kalau sore ini vang sisanya belum ada, pergi kamu dari kontrakan saya!" Bu Imas menunjuk mukaku sebelum membanting pintu dengan kasar.Aku terpaku menatap kepergian Bu Laras. Airmata yang sedari tadi ku tahan, akhirnya mengalir begitu saja.'Bagaimana aku bertahan hidup tanpa uang sepeserpun sekarang?' pikiranku dipenuhi berbagai pertanyaan yang tak ada jawabnya."Ibu kenapa menangis? Bukannya tadi bilang mau masak ayam untuk nia?" Kania putriku menarik ujung baju yang bahkan belum sempat aku ganti.Dengan terpaksa, aku memberikan senyuman untuk putriku, "sebentar ibu ganti baju dulu ya! Abis itu kita masak sama-sama." Tanpa menunggu jawaban Kania, aku berlalu ke dalam kamar. Mengganti baju dinas ku dengan daster lusuh yang entah sudah berapa tahun nggak pernah ganti.Menatap diri di cermin sambil menghapus airmata yang kembali mengalir deras. Mencoba menguatkan hati demi Kania seorang.Aku segera menuju dapur yang hanya dipisah oleh sekat tipis dari triplek bekas. Segera ku racik bumbu untuk ayam goreng. Tak lupa juga aku menanak nasi satu liter. Hari ini biarlah aku memasak lebih banyak, biar Kania bisa nambah ber
"Bu, kenapa ibu gendut itu melempar barang kita keluar? Itu kan rumah kita," Kania menatapku sambil berlinang airmata. "Itu bukan rumah kita, Nia. Ayok bantu ibu beresin ini semua," jawabku pelan. Sakit rasanya diusir seperti binatang seperti sekarang ini. Apalagi kalau melihat Kania memeluk boneka berbi kesayangannya sambil terus terisak, "Setelah ini kita mau tidur dimana, Bu?" "Kita akan ke rumah nenek," jawabku pasti. Meskipun aku sendiri nggak yakin mertuaku itu mau menerima kehadiranku dan Kania atau tidak."Tapi nenek galak sama nia, Bu!" Kania menundukkan kepalanya. Raut sedih makin tergambar jelas di wajah cantiknya."Insyaallah nenek sayang kok sama Nia. Nia hanya perlu menuruti apa kata nenek nanti ya!" aku berusaha membesarkan hati Kania, meskipun hati kecilku menjerit. Aku sadar, ucapanku hanya penghibur keraguan. Bahkan dari pertama aku menjadi menantu di keluarga itu, tak sedikitpun ibu mertua memperlakukanku dengan baik.Menjelang magrib semua barang-barang ku selesa
Suara kokok ayam dini hari membangunkanku dari mimpi. Aku menoleh kesamping, menatap wajah polos Kania yang terlelap. Ku usap kepalanya penuh cinta, lalu ku kecup sambil melapazkan do'a untuknya.Aku menuju kamar mandi yang tak jauh dari kamarku. Aku ambil air wudhu, lalu dengan khusyuk aku memohon pertolongan kepada Sang Pemberi Kehidupan, Alloh SWT. Aku adukan semua kerisauan hati dan beban yang terasa berat ini hanya kepadaNya. Dalam kondisi seperti ini, aku hanya memiliki Dia, Sang Pemberi Kehidupan. Tak ada sanak saudara di kota ini. Bahkan kedua orangtuaku di kampung sudah meninggal tak lama setelah aku menikah dengan Mas Roni.Menunggu waktu subuh, aku mulai membereskan sebagian barang-barangku. Hingga terdengar adzan subuh berkumandang, pekerjaanku separuhnya selesai.Aku membangunkan Kania untuk sholat subuh berjamaah. Meskipun Kania masih kecil, bukan alasan bagiku untuk tidak melatih kedisiplinan kepadanya. Apalagi dalam hal ibadah. "Hari ini sekolahnya libur dulu, ibu su
Akhirnya dengan berat hati, keesokan paginya aku menatap kepergian Mas Roni dengan untaian do'a. Begitu pun Mas Roni, berkali-kali dia mencium kepala Kania seakan sangat berat berpisah darinya."Sudah dong, Kania. Jangan nangis terus! Kapan ayahmu berangkat bekerja kalau begini terus," Ibu mertua mendecih sebal.Kania yang memang takut kepada ibu, memilih bersembunyi di belakang ku. "Ayah pergi dulu ya, Nia. Jadi anak yang baik, nurut sama ibu dan nenek," ujar Mas Roni kembali mencium Kania. Ia menyelipkan uang selembar merah di saku Kania. "Mas pergi dulu, ya! Jaga diri baik-baik. Insyaallah setiap gajian mas akan kirim untuk kebutuhan kalian berdua," Mas Roni mengecup keningku mesra. Ada debaran halus ketika mendapat perlakuan yang sangat jarang aku dapatkan itu. Ah, semoga saja suamiku beneran berubah. Aamiin."Nggak usah mesra-mesraan juga kali. Cepetan berangkat keburu siang!" Ibu mertua nampak nggak suka. Mas Roni melambaikan tangannya ke arah kami sampai mobil menghilang d
Satu bulan sudah setelah Mas Roni pamit bekerja di Jakarta. Berbagai perlakuan buruk pun aku terima dari mertua dan juga iparku. Begitu pun dengan Kania, putriku tak sedikitpun menerima kasih sayang di rumah besar ini. "Ibu, kapan ayah pulang?" tanya Kania saat kami pulang dari sekolah. "Ibu juga nggak tau, Nak! Nanti kita telpon ayah di rumah ya!" ucapku menghibur Kania. "Janji ya, Bu!" "Iya, Nia," aku berusaha meyakinkan Kania. "Horeee, makasih Bu!" Kania memelukku erat. Aku hanya tersenyum kecut mengingat jarangnya Mas Roni menelpon kami. Menanyakan keberadaan Kania pun sangat jarang."Apa aku coba telpon Mas Roni sekarang aja ya? Ini baru jam setengah satu. Harusnya mas Roni masih istirahat," aku bergumam sendirian.Akhirnya, aku menepikan sepedaku terlebih dahulu. Mengajak Kania duduk di pos ronda. Mencoba menghubungi suamiku, ayah yang dirindukan Kania."Halo," suara mas Roni di seberang sana."Halo, Ayah. Ini Kania, ayah kapan pulang? Nia kangen sama ayah." Rengek putriku
"Apa? Ngontrak? Punya uang darimana kamu?" Ibu mertua marah mendengar keinginanku ngontrak."Dia bisnis kali, Bu!" terdengar Mas Heri menengahi."Bisnis apa yang menghasilkan duit cepat dan banyak, Mas?" Mbak Indri mengedipkan matanya pada ibu."Oh, ibu ngerti. Jadi kamu selama sebulan ini pamit kerja itu ju al diri, ya? Wah, nggak nyangka. Ada juga yang tertarik sama kamu hingga pakai jasamu! Memangnya berapa ta rif mu sekali main?" Ibu mertua langsung menghakimi. Sementara mbak Indri tertawa puas."Astaghfirullah, Bu. Aku masih punya harga diri, aku masih punya iman. Aku selama ini bekerja dari rumah ke rumah. Bukan ju al diri!" aku berdiri tak terima dengan tuduhan hina ini."Alah, kalau benar kerja begitu. Ngapain pingin ngontrak segala?" Ibu masih tidak percaya."Aku nggak mau merepotkan ibu dengan menumpang disini." Jawabku masih berusaha untuk tidak menyinggung perasaan ibu mertua."Dengar ya, Laras. Kamu boleh keluar dari rumah ini setelah melunasi sewa kos kamu bulan lalu sam
Dua bulan sudah aku tinggal di rumah mertua. Selama ini pula aku terus membesarkan hati Kania agar tidak menjadi rendah diri dan pesimis. Kania ku harus menjadi wanita yang tangguh dan mandiri nantinya. Ajakan tak pantas dari Mas Heri pun kerap aku dapatkan. Namun, rupanya Alloh SWT masih sayang kepadaku. Berbagai upaya Mas Heri selalu gagal dan tak berkutik jika berhadapan dengan istri maupun ibunya."Mas Roni, kapan kamu akan kembali?" bisikku pelan dikeheningan malam. Hanya malam yang membuat aku tenang. Tenang mengadukan semuanya kepada Dia, Sang Pencipta. Dari sanalah kekuatanku untuk terus bertahan dan berjuang demi Kania seorang selalu terpupuk kuat.Begitu pun dengan kesabaranku. Demi baktiku sama suami, aku mencoba bertahan sampai sekarang di rumah ini. Menunggu keputusan bersama suami."Laras! Bangun!" Suara Ibu mertua membuatku kaget. Tumben beliau memanggil namaku dini hari begini. "Bantu Ibu bawa barang-barang masuk ke dalam rumah, cepat!" teriaknya."Barang-barang?
"Jam berapa akadnya dilaksanakan? Nanti ibu bersama kakakmu akan menyesuaikan kedatangan kami kesana agar tak malu-maluin,""Baju seragam keluarga yang kamu kirim udah sampai. Tinggal Indri yang belum mencobanya. Hanya saja, masa besanan sama orang kaya kita datang nggak pake mobil,""Nah gitu dong, baru namanya anak ibu. Kalau kamu udah transfer uangnya ibu mau cari mobilnya sekarang juga," Ibu mertua entah dengan siapa ber telpon ria. Kelihatannya bahagia sekali.Aih, kenapa aku jadi nguping begini? Gara-gara Mas Roni nggak bisa di telpon sih. Kukira masalah sinyal sampe aku harus mengendap-endap kayak kucing mau nyuri ikan. Eh, taunya emang ganti nomor dia. Ngeselin banget emang. Mana dengar omongan ibu mertua di telpon bikin jiwa detektif aku meronta-ronta. Untuk menghilangkan penat, aku keluar dari rumah. Mumpung Kania lagi tidur siang. Jadi bisa kutinggalkan barang sejenak. Sengaja aku pilih jalan belakang, agar tak kena teguran atau makian dari ibu dan ipar."Hey Bu ibu dengar
"Bu, keluarkan kami dari sini!" aku berteriak sekencang mungkin sambil menggedor pintu keras. "Ibu, sudahlah jangan bicara sama mereka lagi. Mereka bukan keluarga kita, Bu. Mulai sekarang Ibu jangan hormati mereka lagi," Kania menatapku tajam. Sorot matanya tergambar kebencian untuk ibu mertua. "Janji ya, Bu. Mulai sekarang hanya ada kita berdua," putriku memelukku erat. Airmatanya mengalir hangat terasa. Ya Allah, anak sekecil ini saja sudah bisa merasakan sakit hati. Bahkan mungkin trauma yang akan dia bawa seumur hidupnya nanti. "Iya, Nak. Mulai saat ini, hanya ada kita berdua," jawabku mengecup pipi Kania penuh kasih. Begitu juga Kania, dengan telaten dia mengelus semua luka lebam di wajah dan tubuhku akibat pukulan ibu mertua. "Nia sayang Ibu," putriku merebahkan kepalanya di pangkuanku. Kembali aku menitikkan airmata. Bukan karena perlakuan mertua yang kejam, tapi memikirkan hati Kania yang harus tersakiti di usia sekecil ini. "Ayok, Indri, kita selesaikan persiapan nika
"Jam berapa akadnya dilaksanakan? Nanti ibu bersama kakakmu akan menyesuaikan kedatangan kami kesana agar tak malu-maluin,""Baju seragam keluarga yang kamu kirim udah sampai. Tinggal Indri yang belum mencobanya. Hanya saja, masa besanan sama orang kaya kita datang nggak pake mobil,""Nah gitu dong, baru namanya anak ibu. Kalau kamu udah transfer uangnya ibu mau cari mobilnya sekarang juga," Ibu mertua entah dengan siapa ber telpon ria. Kelihatannya bahagia sekali.Aih, kenapa aku jadi nguping begini? Gara-gara Mas Roni nggak bisa di telpon sih. Kukira masalah sinyal sampe aku harus mengendap-endap kayak kucing mau nyuri ikan. Eh, taunya emang ganti nomor dia. Ngeselin banget emang. Mana dengar omongan ibu mertua di telpon bikin jiwa detektif aku meronta-ronta. Untuk menghilangkan penat, aku keluar dari rumah. Mumpung Kania lagi tidur siang. Jadi bisa kutinggalkan barang sejenak. Sengaja aku pilih jalan belakang, agar tak kena teguran atau makian dari ibu dan ipar."Hey Bu ibu dengar
Dua bulan sudah aku tinggal di rumah mertua. Selama ini pula aku terus membesarkan hati Kania agar tidak menjadi rendah diri dan pesimis. Kania ku harus menjadi wanita yang tangguh dan mandiri nantinya. Ajakan tak pantas dari Mas Heri pun kerap aku dapatkan. Namun, rupanya Alloh SWT masih sayang kepadaku. Berbagai upaya Mas Heri selalu gagal dan tak berkutik jika berhadapan dengan istri maupun ibunya."Mas Roni, kapan kamu akan kembali?" bisikku pelan dikeheningan malam. Hanya malam yang membuat aku tenang. Tenang mengadukan semuanya kepada Dia, Sang Pencipta. Dari sanalah kekuatanku untuk terus bertahan dan berjuang demi Kania seorang selalu terpupuk kuat.Begitu pun dengan kesabaranku. Demi baktiku sama suami, aku mencoba bertahan sampai sekarang di rumah ini. Menunggu keputusan bersama suami."Laras! Bangun!" Suara Ibu mertua membuatku kaget. Tumben beliau memanggil namaku dini hari begini. "Bantu Ibu bawa barang-barang masuk ke dalam rumah, cepat!" teriaknya."Barang-barang?
"Apa? Ngontrak? Punya uang darimana kamu?" Ibu mertua marah mendengar keinginanku ngontrak."Dia bisnis kali, Bu!" terdengar Mas Heri menengahi."Bisnis apa yang menghasilkan duit cepat dan banyak, Mas?" Mbak Indri mengedipkan matanya pada ibu."Oh, ibu ngerti. Jadi kamu selama sebulan ini pamit kerja itu ju al diri, ya? Wah, nggak nyangka. Ada juga yang tertarik sama kamu hingga pakai jasamu! Memangnya berapa ta rif mu sekali main?" Ibu mertua langsung menghakimi. Sementara mbak Indri tertawa puas."Astaghfirullah, Bu. Aku masih punya harga diri, aku masih punya iman. Aku selama ini bekerja dari rumah ke rumah. Bukan ju al diri!" aku berdiri tak terima dengan tuduhan hina ini."Alah, kalau benar kerja begitu. Ngapain pingin ngontrak segala?" Ibu masih tidak percaya."Aku nggak mau merepotkan ibu dengan menumpang disini." Jawabku masih berusaha untuk tidak menyinggung perasaan ibu mertua."Dengar ya, Laras. Kamu boleh keluar dari rumah ini setelah melunasi sewa kos kamu bulan lalu sam
Satu bulan sudah setelah Mas Roni pamit bekerja di Jakarta. Berbagai perlakuan buruk pun aku terima dari mertua dan juga iparku. Begitu pun dengan Kania, putriku tak sedikitpun menerima kasih sayang di rumah besar ini. "Ibu, kapan ayah pulang?" tanya Kania saat kami pulang dari sekolah. "Ibu juga nggak tau, Nak! Nanti kita telpon ayah di rumah ya!" ucapku menghibur Kania. "Janji ya, Bu!" "Iya, Nia," aku berusaha meyakinkan Kania. "Horeee, makasih Bu!" Kania memelukku erat. Aku hanya tersenyum kecut mengingat jarangnya Mas Roni menelpon kami. Menanyakan keberadaan Kania pun sangat jarang."Apa aku coba telpon Mas Roni sekarang aja ya? Ini baru jam setengah satu. Harusnya mas Roni masih istirahat," aku bergumam sendirian.Akhirnya, aku menepikan sepedaku terlebih dahulu. Mengajak Kania duduk di pos ronda. Mencoba menghubungi suamiku, ayah yang dirindukan Kania."Halo," suara mas Roni di seberang sana."Halo, Ayah. Ini Kania, ayah kapan pulang? Nia kangen sama ayah." Rengek putriku
Akhirnya dengan berat hati, keesokan paginya aku menatap kepergian Mas Roni dengan untaian do'a. Begitu pun Mas Roni, berkali-kali dia mencium kepala Kania seakan sangat berat berpisah darinya."Sudah dong, Kania. Jangan nangis terus! Kapan ayahmu berangkat bekerja kalau begini terus," Ibu mertua mendecih sebal.Kania yang memang takut kepada ibu, memilih bersembunyi di belakang ku. "Ayah pergi dulu ya, Nia. Jadi anak yang baik, nurut sama ibu dan nenek," ujar Mas Roni kembali mencium Kania. Ia menyelipkan uang selembar merah di saku Kania. "Mas pergi dulu, ya! Jaga diri baik-baik. Insyaallah setiap gajian mas akan kirim untuk kebutuhan kalian berdua," Mas Roni mengecup keningku mesra. Ada debaran halus ketika mendapat perlakuan yang sangat jarang aku dapatkan itu. Ah, semoga saja suamiku beneran berubah. Aamiin."Nggak usah mesra-mesraan juga kali. Cepetan berangkat keburu siang!" Ibu mertua nampak nggak suka. Mas Roni melambaikan tangannya ke arah kami sampai mobil menghilang d
Suara kokok ayam dini hari membangunkanku dari mimpi. Aku menoleh kesamping, menatap wajah polos Kania yang terlelap. Ku usap kepalanya penuh cinta, lalu ku kecup sambil melapazkan do'a untuknya.Aku menuju kamar mandi yang tak jauh dari kamarku. Aku ambil air wudhu, lalu dengan khusyuk aku memohon pertolongan kepada Sang Pemberi Kehidupan, Alloh SWT. Aku adukan semua kerisauan hati dan beban yang terasa berat ini hanya kepadaNya. Dalam kondisi seperti ini, aku hanya memiliki Dia, Sang Pemberi Kehidupan. Tak ada sanak saudara di kota ini. Bahkan kedua orangtuaku di kampung sudah meninggal tak lama setelah aku menikah dengan Mas Roni.Menunggu waktu subuh, aku mulai membereskan sebagian barang-barangku. Hingga terdengar adzan subuh berkumandang, pekerjaanku separuhnya selesai.Aku membangunkan Kania untuk sholat subuh berjamaah. Meskipun Kania masih kecil, bukan alasan bagiku untuk tidak melatih kedisiplinan kepadanya. Apalagi dalam hal ibadah. "Hari ini sekolahnya libur dulu, ibu su
"Bu, kenapa ibu gendut itu melempar barang kita keluar? Itu kan rumah kita," Kania menatapku sambil berlinang airmata. "Itu bukan rumah kita, Nia. Ayok bantu ibu beresin ini semua," jawabku pelan. Sakit rasanya diusir seperti binatang seperti sekarang ini. Apalagi kalau melihat Kania memeluk boneka berbi kesayangannya sambil terus terisak, "Setelah ini kita mau tidur dimana, Bu?" "Kita akan ke rumah nenek," jawabku pasti. Meskipun aku sendiri nggak yakin mertuaku itu mau menerima kehadiranku dan Kania atau tidak."Tapi nenek galak sama nia, Bu!" Kania menundukkan kepalanya. Raut sedih makin tergambar jelas di wajah cantiknya."Insyaallah nenek sayang kok sama Nia. Nia hanya perlu menuruti apa kata nenek nanti ya!" aku berusaha membesarkan hati Kania, meskipun hati kecilku menjerit. Aku sadar, ucapanku hanya penghibur keraguan. Bahkan dari pertama aku menjadi menantu di keluarga itu, tak sedikitpun ibu mertua memperlakukanku dengan baik.Menjelang magrib semua barang-barang ku selesa
Aku terpaku menatap kepergian Bu Laras. Airmata yang sedari tadi ku tahan, akhirnya mengalir begitu saja.'Bagaimana aku bertahan hidup tanpa uang sepeserpun sekarang?' pikiranku dipenuhi berbagai pertanyaan yang tak ada jawabnya."Ibu kenapa menangis? Bukannya tadi bilang mau masak ayam untuk nia?" Kania putriku menarik ujung baju yang bahkan belum sempat aku ganti.Dengan terpaksa, aku memberikan senyuman untuk putriku, "sebentar ibu ganti baju dulu ya! Abis itu kita masak sama-sama." Tanpa menunggu jawaban Kania, aku berlalu ke dalam kamar. Mengganti baju dinas ku dengan daster lusuh yang entah sudah berapa tahun nggak pernah ganti.Menatap diri di cermin sambil menghapus airmata yang kembali mengalir deras. Mencoba menguatkan hati demi Kania seorang.Aku segera menuju dapur yang hanya dipisah oleh sekat tipis dari triplek bekas. Segera ku racik bumbu untuk ayam goreng. Tak lupa juga aku menanak nasi satu liter. Hari ini biarlah aku memasak lebih banyak, biar Kania bisa nambah ber