Akhirnya dengan berat hati, keesokan paginya aku menatap kepergian Mas Roni dengan untaian do'a. Begitu pun Mas Roni, berkali-kali dia mencium kepala Kania seakan sangat berat berpisah darinya.
"Sudah dong, Kania. Jangan nangis terus! Kapan ayahmu berangkat bekerja kalau begini terus," Ibu mertua mendecih sebal. Kania yang memang takut kepada ibu, memilih bersembunyi di belakang ku. "Ayah pergi dulu ya, Nia. Jadi anak yang baik, nurut sama ibu dan nenek," ujar Mas Roni kembali mencium Kania. Ia menyelipkan uang selembar merah di saku Kania. "Mas pergi dulu, ya! Jaga diri baik-baik. Insyaallah setiap gajian mas akan kirim untuk kebutuhan kalian berdua," Mas Roni mengecup keningku mesra. Ada debaran halus ketika mendapat perlakuan yang sangat jarang aku dapatkan itu. Ah, semoga saja suamiku beneran berubah. Aamiin. "Nggak usah mesra-mesraan juga kali. Cepetan berangkat keburu siang!" Ibu mertua nampak nggak suka. Mas Roni melambaikan tangannya ke arah kami sampai mobil menghilang di tikungan. Mas Roni pergi bekerja numpang mobil wanita cantik yang mengaku bos nya itu. "Seandainya saja istri Roni itu Linda. Aku pasti sangat bahagia dan bangga memiliki menantu seperti dia, sudah cantik, baik, banyak duit pula. Nggak kayak kamu bisanya nyusahin aja!" cetus ibu mertua tanpa peduli perasaanku. "Kenapa, nggak suka? Emang gitu kenyataannya," Ibu mertua mencebik kesal saat melihatku menatapnya. Tanpa menjawab ocehannya, aku menuntun Kania masuk ke dalam rumah. "Eh, mau kemana kamu? Main nyelonong aja!" Ujar ibu sewot. "Dengar ya! Sampai Roni mengirim uang bulanan untuk kamu dan anakmu, kamu tidak boleh makan apapun di rumah ini. Karena semua yang ada disini ibu yang beli. Semuanya pake duit ibu. Jangan mimpi kamu bisa makan enak disini. Enak aja, udah dikasih numpang gratis masih mau makan gratis pula!" Ucapnya sambil berlalu pergi. Aku hanya menarik nafas dalam, mengeluarkan beban hati yang terasa sangat berat. Bagaimana aku bertahan di rumah ini. Rasanya belum tentu aku sanggup lama-lama disini. Sehari saja rasanya berat banget, apalagi nggak ada celah sedikitpun untukku membela diri. "Ibu kenapa? Ibu jangan sedih ya meskipun nenek marah-marah terus, ada Nia yang sayang sama Ibu, kok," putriku mengusap lenganku. Hingga tak terasa, airmata kembali menggenang di pelupuk mata ini. 'Ah, Kania. Maafkan ibumu yang terlalu rapuh,' hatiku berbisik. "Nggak kok, Sayang! Yuk masuk, hari ini ibu harus bekerja di rumah Bu Santi," ucapku sambil mencium pipi Kania. Alhamdulillah, meskipun hari ini masih cuti ke sekolah, aku mendapat pekerjaan di rumah Bu Santi. Sehingga aku punya alasan untuk keluar dari rumah ini. "Nia boleh ikut, Bu?" putriku menatapku polos. "Tentu saja, Nak!" kembali aku mencium putriku gemas. Segera aku mendandani Kania secantik mungkin, meskipun dengan pakaian sederhana. "Putri ibu cantik sekali," ucapku puas melihat Kania yang tumbuh semakin cantik. "Ayok, Nak! Berangkat," aku mengeluarkan sepeda bututku dari samping rumah. "Wah-wah, tuan putri mau kemana nih?" Ibu mertua menatap kami tajam sambil berkacak pinggang. "Laras mau kerja, Bu!" jawabku sambil mendekati ibu. Bermaksud mencium punggung tangannya. "Ish, ngapain dekat-dekat! Jangan berani sentuh kulit ibu ya. Ibu nggak mau ketularan miskin kayak kamu," ucapannya membuatku urung mendekat. Dengan mengucap salam, aku mengayuh sepeda bututku menuju rumah Bu Santi. Sesekali aku mengajak Kania bernyanyi untuk membuatnya senang. **** Sore hari, pekerjaan di rumah Bu Santi akhirnya selesai juga. Setelah mendapat upah kerja, aku segera pamit pada tuan rumah. Aku nggak bisa lama-lama kerja di luar. Sebentar lagi, jam makan malam di rumah mertua. Aku harus menyiapkan makanan untuk mereka nanti. "Laras, ini lauk untuk Kania. Dibawa ya," Bu Santi memberiku bungkusan plastik berisi nasi dan lauk. "Alhamdulillah, makasih, Bu." Jawabku senang. Setidaknya ada makanan untuk hari ini. Sedangkan uang upah kerja bisa aku tabung sedikit demi sedikit untuk mengontrak rumah kembali. Aku pun segera pamit kepada Bu Santi. "Bu, bolehkah Kania minta es krim? Yang murah aja, Bu!" rengek putriku. "Boleh, Nia. Nanti kita mampir di warung sebentar ya!" ucapku sambil tertawa. "Asyik, makasih, Bu!" Kania bersorak bahagia. Kami pun melewati perjalanan pulang dengan bahagia. Apalagi saat Kania berjingkrak kegirangan mendapatkan es krim meskipun seharga lima ribu rupiah. "Wah-wah-wah! Ingat pulang juga kamu, Laras! Jam berapa ini? Kamu mau bikin ibu sama iparmu mati kelaparan?" Ibu mertua menarik tanganku kasar saat aku menginjakkan kaki di teras rumah. "Maaf, Bu! Laras baru selesai bekerja," jawabku. "Cepat masak. Awas kalau Indri pulang makanan belum siap!" hardik Ibu mertua. "Kania sekarang banyak uang, ya? Beli es krim segala. Jajan aja di gedein, sama mertua nggak ada ingatnya sama sekali," cebik ibu mertua sambil berlalu ke luar rumah. Disana sudah ada teman-teman arisan ibu mertua. Ibu-ibu rempong tukang gosip sana-sini. "Alhamdulillah, akhirnya pergi juga," gumamku pelan sambil menuntun Kania masuk ke dalam rumah. Kali ini, aku menyuruh Kania main di dekatku. Aku nggak mau tiba-tiba Mas Heri masuk dan berbuat seperti kemarin. "Wangi sekali makanannya. Kamu memang cocok banget jadi pembantu, Laras!" suara Mbak Indri mengagetkanku yang tengah menata meja makan. Ternyata kakak iparku itu datang bersama istrinya. Baguslah, setidaknya dia nggak akan berani ganggu lagi. "Jangan gitu dong, Sayang. Biar bagaimanapun Laras adalah adikmu juga," ucap Mas Heri sambil merangkul pundak mbak Indri. "Indri benar Heri. Memang si Laras tuh cocoknya ya jadi babu. Sesuai tampangnya. Nggak usah belain dia segala," celetuk ibu mertua. Ah, malas sekali meladeni mereka. Aku segera menuntun Kania masuk ke dalam kamar, membiarkan mereka menikmati masakanku sesuka hati.Satu bulan sudah setelah Mas Roni pamit bekerja di Jakarta. Berbagai perlakuan buruk pun aku terima dari mertua dan juga iparku. Begitu pun dengan Kania, putriku tak sedikitpun menerima kasih sayang di rumah besar ini. "Ibu, kapan ayah pulang?" tanya Kania saat kami pulang dari sekolah. "Ibu juga nggak tau, Nak! Nanti kita telpon ayah di rumah ya!" ucapku menghibur Kania. "Janji ya, Bu!" "Iya, Nia," aku berusaha meyakinkan Kania. "Horeee, makasih Bu!" Kania memelukku erat. Aku hanya tersenyum kecut mengingat jarangnya Mas Roni menelpon kami. Menanyakan keberadaan Kania pun sangat jarang."Apa aku coba telpon Mas Roni sekarang aja ya? Ini baru jam setengah satu. Harusnya mas Roni masih istirahat," aku bergumam sendirian.Akhirnya, aku menepikan sepedaku terlebih dahulu. Mengajak Kania duduk di pos ronda. Mencoba menghubungi suamiku, ayah yang dirindukan Kania."Halo," suara mas Roni di seberang sana."Halo, Ayah. Ini Kania, ayah kapan pulang? Nia kangen sama ayah." Rengek putriku
"Apa? Ngontrak? Punya uang darimana kamu?" Ibu mertua marah mendengar keinginanku ngontrak."Dia bisnis kali, Bu!" terdengar Mas Heri menengahi."Bisnis apa yang menghasilkan duit cepat dan banyak, Mas?" Mbak Indri mengedipkan matanya pada ibu."Oh, ibu ngerti. Jadi kamu selama sebulan ini pamit kerja itu ju al diri, ya? Wah, nggak nyangka. Ada juga yang tertarik sama kamu hingga pakai jasamu! Memangnya berapa ta rif mu sekali main?" Ibu mertua langsung menghakimi. Sementara mbak Indri tertawa puas."Astaghfirullah, Bu. Aku masih punya harga diri, aku masih punya iman. Aku selama ini bekerja dari rumah ke rumah. Bukan ju al diri!" aku berdiri tak terima dengan tuduhan hina ini."Alah, kalau benar kerja begitu. Ngapain pingin ngontrak segala?" Ibu masih tidak percaya."Aku nggak mau merepotkan ibu dengan menumpang disini." Jawabku masih berusaha untuk tidak menyinggung perasaan ibu mertua."Dengar ya, Laras. Kamu boleh keluar dari rumah ini setelah melunasi sewa kos kamu bulan lalu sam
Dua bulan sudah aku tinggal di rumah mertua. Selama ini pula aku terus membesarkan hati Kania agar tidak menjadi rendah diri dan pesimis. Kania ku harus menjadi wanita yang tangguh dan mandiri nantinya. Ajakan tak pantas dari Mas Heri pun kerap aku dapatkan. Namun, rupanya Alloh SWT masih sayang kepadaku. Berbagai upaya Mas Heri selalu gagal dan tak berkutik jika berhadapan dengan istri maupun ibunya."Mas Roni, kapan kamu akan kembali?" bisikku pelan dikeheningan malam. Hanya malam yang membuat aku tenang. Tenang mengadukan semuanya kepada Dia, Sang Pencipta. Dari sanalah kekuatanku untuk terus bertahan dan berjuang demi Kania seorang selalu terpupuk kuat.Begitu pun dengan kesabaranku. Demi baktiku sama suami, aku mencoba bertahan sampai sekarang di rumah ini. Menunggu keputusan bersama suami."Laras! Bangun!" Suara Ibu mertua membuatku kaget. Tumben beliau memanggil namaku dini hari begini. "Bantu Ibu bawa barang-barang masuk ke dalam rumah, cepat!" teriaknya."Barang-barang?
"Jam berapa akadnya dilaksanakan? Nanti ibu bersama kakakmu akan menyesuaikan kedatangan kami kesana agar tak malu-maluin,""Baju seragam keluarga yang kamu kirim udah sampai. Tinggal Indri yang belum mencobanya. Hanya saja, masa besanan sama orang kaya kita datang nggak pake mobil,""Nah gitu dong, baru namanya anak ibu. Kalau kamu udah transfer uangnya ibu mau cari mobilnya sekarang juga," Ibu mertua entah dengan siapa ber telpon ria. Kelihatannya bahagia sekali.Aih, kenapa aku jadi nguping begini? Gara-gara Mas Roni nggak bisa di telpon sih. Kukira masalah sinyal sampe aku harus mengendap-endap kayak kucing mau nyuri ikan. Eh, taunya emang ganti nomor dia. Ngeselin banget emang. Mana dengar omongan ibu mertua di telpon bikin jiwa detektif aku meronta-ronta. Untuk menghilangkan penat, aku keluar dari rumah. Mumpung Kania lagi tidur siang. Jadi bisa kutinggalkan barang sejenak. Sengaja aku pilih jalan belakang, agar tak kena teguran atau makian dari ibu dan ipar."Hey Bu ibu dengar
"Bu, keluarkan kami dari sini!" aku berteriak sekencang mungkin sambil menggedor pintu keras. "Ibu, sudahlah jangan bicara sama mereka lagi. Mereka bukan keluarga kita, Bu. Mulai sekarang Ibu jangan hormati mereka lagi," Kania menatapku tajam. Sorot matanya tergambar kebencian untuk ibu mertua. "Janji ya, Bu. Mulai sekarang hanya ada kita berdua," putriku memelukku erat. Airmatanya mengalir hangat terasa. Ya Allah, anak sekecil ini saja sudah bisa merasakan sakit hati. Bahkan mungkin trauma yang akan dia bawa seumur hidupnya nanti. "Iya, Nak. Mulai saat ini, hanya ada kita berdua," jawabku mengecup pipi Kania penuh kasih. Begitu juga Kania, dengan telaten dia mengelus semua luka lebam di wajah dan tubuhku akibat pukulan ibu mertua. "Nia sayang Ibu," putriku merebahkan kepalanya di pangkuanku. Kembali aku menitikkan airmata. Bukan karena perlakuan mertua yang kejam, tapi memikirkan hati Kania yang harus tersakiti di usia sekecil ini. "Ayok, Indri, kita selesaikan persiapan nika
"Kenapa sih, Bu? Kenapa Ibu selalu aja nyalahin aku?" Suara Laras terdengar bergetar, nyaris pecah. Matanya berkilat dengan amarah yang ia tahan mati-matian. Ia berdiri di ruang tamu rumah Erlin, ibu mertuanya, yang sejak tadi terus memojokkannya tanpa ampun.Erlin, wanita paruh baya dengan dandanan mencolok, hanya mendengus sambil memainkan gelang emas di pergelangan tangannya. "Laras, kamu itu harus sadar diri. Udah jadi istri Roni, tapi apa yang kamu bawa buat keluarga ini? Gaji guru honorer itu enggak cukup buat ngidupin anakmu, apalagi bantu Roni!" Nada bicaranya sinis, menusuk seperti pisau yang diputar di luka.Laras mengepalkan tangan di samping tubuhnya. "Saya udah kerja keras, Bu. Apa Ibu pikir gampang buat saya ngurus Kania sendirian, sementara Roni..." Ia menoleh tajam ke arah suaminya, yang hanya duduk santai di sofa. "...cuma bisa ongkang-ongkang kaki?"Roni mendengus kecil, seolah tak terpengaruh oleh ucapan istrinya. Dengan santai ia menyela, "Laras, jangan kebanyakan
"Kalau kamu memang enggak mau terima perempuan itu, Laras, lebih baik kamu pergi dari rumah ini!" Erlin berdiri sambil menunjuk pintu depan dengan wajah penuh amarah. Suaranya menggema di ruang tamu yang kecil, membuat dinding terasa bergetar. Laras menatap ibu mertuanya dengan mata berkilat. Tangannya gemetar, tapi ia tidak ingin terlihat lemah. Di sampingnya, Kania berdiri memegang ujung bajunya erat-erat, wajah kecilnya bingung melihat pertengkaran itu. "Bu, ini rumah saya juga. Saya sudah bertahun-tahun tinggal di sini. Kalau saya pergi, di mana saya dan Kania harus tinggal?" Laras berusaha tetap tenang, meskipun dadanya terasa sesak. Erlin memutar bola matanya, lalu mendekat dengan langkah cepat. "Jangan sok drama, Laras! Rumah ini dibangun oleh keluarga kami. Kamu itu cuma numpang! Kalau enggak mau nurut sama keputusan keluarga, ya silakan angkat kaki!""Keputusan keluarga?" Laras mendengus, lalu menatap Erlin tajam. "Keluarga mana, Bu? Dari awal saya menikah dengan Roni, say
"Nggak ada lagi tempat buat kamu di sini, Laras! Kamu sama anakmu pergi sekarang juga!" Suara Erlin menggema di halaman depan rumah. Wajahnya memerah, penuh kemarahan, sementara tangannya menunjuk gerbang dengan tegas.Laras menggenggam erat tangan Kania yang berdiri di sampingnya. Gadis kecil itu menunduk, memeluk boneka lusuhnya dengan wajah ketakutan. "Bu Erlin, tolong... ini udah malam. Kami nggak punya tempat tujuan. Kasihan Kania," kata Laras dengan suara bergetar."Itu bukan urusan saya! Kamu pikir saya mau ngurusin kamu sama anakmu terus? Udah, pergi aja ke mana kek! Jangan ganggu hidup kami lagi!"Erlin melambaikan tangannya seperti mengusir lalat, sementara di belakangnya, Roni hanya berdiri diam tanpa sepatah kata. "Ron, tolong bilangin ibu kamu. Ini anakmu juga, Kania butuh tempat tinggal," Laras mencoba mencari belas kasihan dari lelaki yang dulu pernah ia panggil suami.Tapi Roni hanya menggaruk kepala, menunduk seolah-olah tak ingin terlibat. "Udah, Ras. Jangan bikin ri
"Kamu itu terlalu keras kepala, Laras!" Suara Nilam menggema di dalam kafe kecil yang sepi. Laras menatap sahabatnya dengan alis bertaut. Matanya menyipit, jelas tidak suka dengan nada menekan yang digunakan Nilam."Aku nggak keras kepala," Laras membalas datar. "Aku cuma tahu batasanku."Nilam mendengus. Ia meletakkan cangkir kopinya dengan kasar di meja. "Batasan? Laras, kamu udah terlalu lama ngebatasin diri sendiri! Sampai kapan mau terus begini?"Laras menghela napas. Pembicaraan ini lagi. Setiap kali mereka bertemu, topik ini selalu muncul. Seolah-olah ada magnet yang menarik mereka ke arah yang sama, ke arah yang penuh dengan ketidakpastian dan ketakutan."Kalau ini soal Arman, aku nggak mau bahas.""Tapi aku mau!" Nilam menyela cepat. "Dengar ya, Ras. Nggak gampang ketemu laki-laki baik di dunia ini. Apalagi yang mau bantu kamu tanpa pamrih. Kamu tahu sendiri Arman itu bukan orang sembarangan. Dia punya segalanya. Tapi tetap aja dia peduli sama kamu. Masa kamu nggak ngerasain
"Kamu harus ngerti keadaan, Laras! Ini bukan buat Roni aja, tapi buat keluarga kita juga!"Suara Erlin menggema di ruang tamu rumahnya yang sempit. Matanya menatap tajam ke arah Laras, yang berdiri tegak dengan wajah pucat. Rasa cemas dan marah berkumpul di dadanya, membuatnya sulit bernapas."Apa maksud Ibu?" Laras menahan gemetar di suaranya, tapi kedua tangannya sudah mengepal di sisi tubuhnya. Ia berusaha menahan emosi yang ingin meledak."Roni itu butuh istri yang bisa ngurus keluarga ini, bisa bantu ekonomi, bisa—"Laras tertawa sinis, memotong ucapan mertuanya. "Bisa nyenengin kalian semua, maksudnya?"Plak!Tangan Erlin melayang cepat, menampar pipi Laras dengan keras. Suaranya memecah keheningan, dan Laras tertegun dengan rasa sakit yang mendalam."Kamu jangan kurang ajar, ya!" Erlin melotot, napasnya memburu. "Selama ini keluarga kita udah cukup sabar sama kamu! Ngasih makan kamu, nerima kamu! Sekarang, Roni mau nikah lagi, kamu harus ngerti! Kalau nggak mau, silakan pergi d
"Bu Laras, tolong revisi laporan ini. Ada beberapa data yang kurang sesuai." Suara sekretaris kantor, Bu Rini, terdengar tegas. Laras menatap berkas yang baru saja ia serahkan, lalu mengangguk cepat. Tangannya sedikit gemetar saat mengambil kembali kertas itu. Rasa cemas dan ketidakpastian menyelimuti pikirannya. "Baik, Bu. Saya perbaiki sekarang." Bu Rini mengangguk tanpa senyum, lalu kembali fokus pada pekerjaannya. Laras menelan ludah, menatap layar komputer dengan cemas. Ini baru hari ketiga ia bekerja sebagai asisten pribadi Arman, dan rasanya ia masih sangat jauh dari kata terbiasa. Setiap detik di kantor ini terasa seperti pertaruhan, dan ia tidak ingin mengecewakan atasan barunya. Ia memang sudah berusaha semaksimal mungkin, tetapi dunia kerja kantoran jauh berbeda dengan dunia mengajarnya dulu. Ada banyak istilah baru yang harus ia pahami, banyak prosedur yang belum ia kuasai. Rasa nostalgia melanda saat ia mengingat kelas-kelas yang pernah ia ajar, di mana ia bisa ber
"Kamu pikir gampang, Laras?! Dunia ini kejam, nggak ada yang bantu orang tanpa pamrih!"Laras terdiam, tangannya mengepal di balik meja kayu tua di warung kecil tempat ia dan Nilam duduk. Suara Heri masih terngiang di telinganya, meski lelaki itu sudah pergi beberapa menit lalu. Kata-kata Heri itu seperti belati yang menusuk jiwanya, menyisakan perasaan ketidakpastian yang menggelayuti pikirannya."Nanti juga kamu bakal tahu sendiri, Laras. Orang kaya tuh nggak ada yang benar-benar tulus," lanjut Heri tadi, dengan senyum meremehkan sebelum ia berlalu. Kekecewaan dan kemarahan bercampur menjadi satu dalam diri Laras, membuatnya merenungkan kembali semua yang telah terjadi dalam hidupnya.Laras menarik napas panjang. Matanya mengarah ke Kania yang duduk di ujung meja, sibuk memainkan sedotan di gelas plastik kosongnya. Bocah itu tampak lelah, tapi tidak mengeluh. Laras mengagumi semangat Kania yang tak kunjung padam, meski mereka telah melalui banyak kesulitan. Ia ingin sekali memberika
"Nggak ada lagi tempat buat kamu di sini, Laras! Kamu sama anakmu pergi sekarang juga!" Suara Erlin menggema di halaman depan rumah. Wajahnya memerah, penuh kemarahan, sementara tangannya menunjuk gerbang dengan tegas.Laras menggenggam erat tangan Kania yang berdiri di sampingnya. Gadis kecil itu menunduk, memeluk boneka lusuhnya dengan wajah ketakutan. "Bu Erlin, tolong... ini udah malam. Kami nggak punya tempat tujuan. Kasihan Kania," kata Laras dengan suara bergetar."Itu bukan urusan saya! Kamu pikir saya mau ngurusin kamu sama anakmu terus? Udah, pergi aja ke mana kek! Jangan ganggu hidup kami lagi!"Erlin melambaikan tangannya seperti mengusir lalat, sementara di belakangnya, Roni hanya berdiri diam tanpa sepatah kata. "Ron, tolong bilangin ibu kamu. Ini anakmu juga, Kania butuh tempat tinggal," Laras mencoba mencari belas kasihan dari lelaki yang dulu pernah ia panggil suami.Tapi Roni hanya menggaruk kepala, menunduk seolah-olah tak ingin terlibat. "Udah, Ras. Jangan bikin ri
"Kalau kamu memang enggak mau terima perempuan itu, Laras, lebih baik kamu pergi dari rumah ini!" Erlin berdiri sambil menunjuk pintu depan dengan wajah penuh amarah. Suaranya menggema di ruang tamu yang kecil, membuat dinding terasa bergetar. Laras menatap ibu mertuanya dengan mata berkilat. Tangannya gemetar, tapi ia tidak ingin terlihat lemah. Di sampingnya, Kania berdiri memegang ujung bajunya erat-erat, wajah kecilnya bingung melihat pertengkaran itu. "Bu, ini rumah saya juga. Saya sudah bertahun-tahun tinggal di sini. Kalau saya pergi, di mana saya dan Kania harus tinggal?" Laras berusaha tetap tenang, meskipun dadanya terasa sesak. Erlin memutar bola matanya, lalu mendekat dengan langkah cepat. "Jangan sok drama, Laras! Rumah ini dibangun oleh keluarga kami. Kamu itu cuma numpang! Kalau enggak mau nurut sama keputusan keluarga, ya silakan angkat kaki!""Keputusan keluarga?" Laras mendengus, lalu menatap Erlin tajam. "Keluarga mana, Bu? Dari awal saya menikah dengan Roni, say
"Kenapa sih, Bu? Kenapa Ibu selalu aja nyalahin aku?" Suara Laras terdengar bergetar, nyaris pecah. Matanya berkilat dengan amarah yang ia tahan mati-matian. Ia berdiri di ruang tamu rumah Erlin, ibu mertuanya, yang sejak tadi terus memojokkannya tanpa ampun.Erlin, wanita paruh baya dengan dandanan mencolok, hanya mendengus sambil memainkan gelang emas di pergelangan tangannya. "Laras, kamu itu harus sadar diri. Udah jadi istri Roni, tapi apa yang kamu bawa buat keluarga ini? Gaji guru honorer itu enggak cukup buat ngidupin anakmu, apalagi bantu Roni!" Nada bicaranya sinis, menusuk seperti pisau yang diputar di luka.Laras mengepalkan tangan di samping tubuhnya. "Saya udah kerja keras, Bu. Apa Ibu pikir gampang buat saya ngurus Kania sendirian, sementara Roni..." Ia menoleh tajam ke arah suaminya, yang hanya duduk santai di sofa. "...cuma bisa ongkang-ongkang kaki?"Roni mendengus kecil, seolah tak terpengaruh oleh ucapan istrinya. Dengan santai ia menyela, "Laras, jangan kebanyakan
"Bu, keluarkan kami dari sini!" aku berteriak sekencang mungkin sambil menggedor pintu keras. "Ibu, sudahlah jangan bicara sama mereka lagi. Mereka bukan keluarga kita, Bu. Mulai sekarang Ibu jangan hormati mereka lagi," Kania menatapku tajam. Sorot matanya tergambar kebencian untuk ibu mertua. "Janji ya, Bu. Mulai sekarang hanya ada kita berdua," putriku memelukku erat. Airmatanya mengalir hangat terasa. Ya Allah, anak sekecil ini saja sudah bisa merasakan sakit hati. Bahkan mungkin trauma yang akan dia bawa seumur hidupnya nanti. "Iya, Nak. Mulai saat ini, hanya ada kita berdua," jawabku mengecup pipi Kania penuh kasih. Begitu juga Kania, dengan telaten dia mengelus semua luka lebam di wajah dan tubuhku akibat pukulan ibu mertua. "Nia sayang Ibu," putriku merebahkan kepalanya di pangkuanku. Kembali aku menitikkan airmata. Bukan karena perlakuan mertua yang kejam, tapi memikirkan hati Kania yang harus tersakiti di usia sekecil ini. "Ayok, Indri, kita selesaikan persiapan nika
"Jam berapa akadnya dilaksanakan? Nanti ibu bersama kakakmu akan menyesuaikan kedatangan kami kesana agar tak malu-maluin,""Baju seragam keluarga yang kamu kirim udah sampai. Tinggal Indri yang belum mencobanya. Hanya saja, masa besanan sama orang kaya kita datang nggak pake mobil,""Nah gitu dong, baru namanya anak ibu. Kalau kamu udah transfer uangnya ibu mau cari mobilnya sekarang juga," Ibu mertua entah dengan siapa ber telpon ria. Kelihatannya bahagia sekali.Aih, kenapa aku jadi nguping begini? Gara-gara Mas Roni nggak bisa di telpon sih. Kukira masalah sinyal sampe aku harus mengendap-endap kayak kucing mau nyuri ikan. Eh, taunya emang ganti nomor dia. Ngeselin banget emang. Mana dengar omongan ibu mertua di telpon bikin jiwa detektif aku meronta-ronta. Untuk menghilangkan penat, aku keluar dari rumah. Mumpung Kania lagi tidur siang. Jadi bisa kutinggalkan barang sejenak. Sengaja aku pilih jalan belakang, agar tak kena teguran atau makian dari ibu dan ipar."Hey Bu ibu dengar