Menantu Tegas, Ipar Panas, Mertua Lemas168. NGEYEL (Bagian A)Aku yang hendak maju untuk melabrak orang-orang di depan sana, sontak berhenti saat merasakan tanganku di tarik oleh seseorang.Saat aku menoleh, aku bisa melihat Bang Galuh yang menggeleng pelan. Pertanda agar aku tidak melanjutkan kegaduhan ini.Tapi bagaimana bisa aku tetap sabar? Sedangkan di depan sana, aku bisa melihat dengan mata kepalaku sendiri, kalau masakanku sudah dihabiskan oleh Bang Diky, Kak Nuri, serta Wak Nurma.Masakan yang susah payah aku buat, dengan niat untuk dinikmati bersama-sama dengan suamiku dan yang lainnya malah sudah habis. Sepanci sayur asam yang aku masak, kini tinggal kuahnya saja. Bahkan sambal terasi yang susah payah aku ulek dengan cobek, tinggal kenangan.Ya Allah, bolehkah aku berkata kasar? "Bagaimana bisa kalian menghabiskan semuanya? Sedangkan kami belum makan!" ujar Bulek Rosma lagi.Dia terlihat benar-benar tengah menahan amarah saat ini, aku bisa melihat kalau Bulek Rosma seper
169. NGEYEL (Bagian B)Suara Bang Galuh terdengar di sela-sela langkahku, dia mengejarku hingga ke kamar.Aku tidak menghiraukan panggilannya dan malah mempercepat langkah kakiku, merasa kesal luar biasa dengan tingkah laku Wak Nurma dan juga anak-anaknya.Sesampainya di kamar aku langsung menghapuskan tubuhku ke atas tempat tidur, dan mataku langsung bisa melihat Bang Galuh yang memasuki kamar sambil memelototi aku."Dek, kamu kok nggak sopan begitu, sih?" katanya sambil ikut menghempaskan tubuhnya di sampingku.Mataku memicing tajam melihatnya, sehingga Bang Galuh bergerak tidak nyaman di tempat duduknya karena melihat pandanganku yang seolah mau menelannya hidup-hidup."Nggak sopan? Nggak sopan Abang bilang?" tanyaku mendengus. "Yang nggak sopan itu ya mereka, bukan aku!" kataku lagi."Tapi kan, nggak harus marah-marah, Dek," balasnya lembut."Abang lebih membela mereka, daripada aku? Aku istri Abang loh," kataku mengingatkan.Aku mendengus kesal, merasa terkhianati luar biasa deng
Menantu Tegas, Ipar Panas, Mertua Lemas170. KELUARGA SOMPLAK (Bagian A)Aku dan Bang Usman berpandangan dan kemudian kompak menatap wajah Wak Nurma yang saat ini sedang tersenyum senang, entah apa yang dipikirkannya sehingga bisa tersenyum selebar itu.Padahal dia baru saja mengucapkan kata-kata yang sangat tidak masuk akal, menjual tanah? Hah, lucu sekali. Tanah yang bukan miliknya, dan dia mau menjualnya dengan sangat santai. Apa dia tidak berpikir? Kalau aku dan Bang Usman jelas tidak akan mengizinkan hal itu."Maksud Uwak apa?" tanyaku pelan.Aku sudah tidak berminat untuk melanjutkan makan, lontong sayur yang biasanya menjadi favoritku teronggok begitu saja di atas meja makan.Tanganku bersedekap di dada, dan menatap wajahnya dengan pandangan tajam. Atmosfer di ruangan ini tiba-tiba berubah dengan sangat drastis.Lebih dingin dan juga terasa sangat pengap, Bulek Rosma terlihat membereskan meja makan. Makanannya juga tidak habis, dia pasti merasa tidak nyaman dengan ucapan yang
171. KELUARGA SOMPLAK (Bagian B)"Wah, wah, ini dia. Bagaimana aku bisa santai kalau milik kami, mau di rebut seenaknya?" tanyaku mulai terpancing emosi."Dek!" Bang Galuh memegang tanganku dan menggeleng pelan."Milik kalian? Sudah jelaskan? Ibuku bilang itu punya nenek, dan kebetulan suratnya atas nama Ibumu," kata Bang Diky semakin nyolot."Ya Allah, Bang. Kalau nggak tahu apa-apa, ya mbok jangan komentar," kataku heran."Maksud kamu apa, hah?" tanyanya dengan nada keras.Aku hanya tersenyum kecil sambil menyandarkan tubuhku ke sandaran kursi, dan langsung menatap Bang Diky yang tengah emosi dengan pandangan mengejek."Abang bahkan tidak tahu kalau tanah itu sudah dibayar oleh Ibuku, yang tahu ya aku dan Bang Usman. Kami yang ada di sana saat transaksi jual beli itu terjadi," kataku lagi.Bang Diky terlihat menoleh ke arah Wak Nurma dan menatap Ibunya itu untuk meminta pertolongan, apalagi aku bisa melihat tangan Kak Nuri yang mencubit kecil pinggang Bang Diky."Bisa saja kalian bo
Menantu Tegas, Ipar Panas, Mertua Lemas172. HARTA WARISAN (Bagian A)"APA?!" Wak Nurma, Bang Diky, dan Kak Nuri, kompak berteriak histeris.Wah, wah, mereka benar-benar keluarga yang harmonis sekali. Sangat kompak di bidang apapun, memojokkan orang lain, mencemooh, dan mau merebut harta orang lain.Kompak sekali!Mata mereka melotot ke arahku, dan juga langsung menatapku dengan tajam. Namun aku sama sekali tidak gentar!Dan membalas tatapan mereka dengan pandangan yang tajamnya melebihi omongan tetangga, aku tidak takut shay!"Apa maksud kamu?!" tanya Wak Nurma naik pitam."Kurang jelas, Wak? Kan, sudah kubilang tadi. Dengarkan baik-baik karena aku tidak akan mengulanginya lagi," kataku sambil tersenyum lebar.Mereka kembali melotot marah saat melihat senyumku yang amat lebar, harga diri mereka pasti terasa seperti diinjak-injak.Sudah susah payah menuntut harta, eh malah tidak berjalan sesuai dengan yang mereka harapkan. Kasihan!"ELLEN!" Bang Diky dan Wak Nurma kompak berteriak ka
173. HARTA WARISAN (Bagian B)Kak Nuri dan Bang Diky hanya diam, namun wajah mereka terlihat memerah. Mereka pasti merasakan, kalau harga diri mereka terluka saat ini.Aku tidak pernah mengungkit apapun, aku selalu berusaha menjadi saudara yang baik.Karena aku dan bang Usman hanya berdua, aku berusaha membangun persaudaraan dengan sepupu-sepupuku.Bukannya aku tidak tahu, dan bukannya aku tidak menagih. Aku sudah terlalu sering menagih uang lima belas juta itu pada Bang Diky, namun dia delalu mempunyai alasan untuk menundanya.Sehingga aku berusaha untuk mengikhlaskannya, tapi sekarang malah di katakan aku pelit? Wah, wah, tidak bisa di percaya.Sedangkan aku selama ini diam saja, dan tidak pernah menuntut ganti pada Kak Nuri yang menghilangkan gelang emasku.Gelang yang dipinjamnya saat mau undangan ke kampung halamannya, dia mengatakan malu kalau tidak memiliki emas.Dengan senang hati aku meminjamkan gelang emasku padanya, namun apa yang terjadi?Kak Nuri sama sekali tidak amanah,
Menantu Tegas, Ipar Panas, Mertua Lemas174. KETAHUAN BELANGNYA (Bagian A)Semua orang terdiam dan menatap ke arah pintu, di sana berdiri dua sosok orang.Kak Ambar dan Kak Ika, bagaimana ceritanya mereka bisa datang bersamaan aku tidak tahu. Tapi yang jelas mereka saat ini terlihat sedang berjalan menuju ke arah kami."Kak, kapan datang?" tanyaku heran.Karena aku memang tidak ada mendengar suara langkah kakinya, ataupun tanda-tanda kedatangannya. Apa mungkin karena kami terlalu asik berdebat? "Barusan, Kakak cuma nganter lauk buat kalian makan siang. Soalnya Ibu masak rendang jengkol," katanya sambil mengangsurkan satu buah rantang alumunium.Lauk untuk makan siang? Aku otomatis melihat ke arah jam, dan di sana sudah tertera jam setengah dua belas siang.Wah, wah, ternyata perdebatan ini membuang banyak waktu. Dan aku tekankan, aku lapar! Bisa dibilang, aku tidak ada menikmati sarapan semenjak tadi. Nafsu makanku hilang akibat perkataan Wak Nurma dan Bang Diky.Apalagi mengingat s
175. KETAHUAN BELANGNYA (Bagian B)"Apa?!" pekik Kak Ika tiba-tiba.Lalu dia menatapku dan juga Bang Usman dengan pandangan yang sangat sulit diartikan, dia terlihat marah dan juga kecewa. Matanya melirik ke arahku dengan sinis, sebenarnya ada apa, sih? Batinku berteriak penasaran dengan keadaan ini."Kok bisa sih, Bang?" tanyanya dengan nada menuntut pada Bang Usman.Bang Usman sendiri kemudian mengernyit heran, keningnya melipat dalam sama seperti ekspresi yang aku keluarkan. Dia pasti tidak mengerti kenapa Kak Ika bisa seheboh ini."Memangnya kenapa, Dek?" tanyanya heran. "Ya tentu saja bisa, Ellen itu adikku! Anak Bapak dan Ibu juga, wajarlah kalau Bapak dan Ibu membelikan tanah untuknya," katanya lagi dengan nada santai."Kenapa mereka tidak membuat surat itu atas nama Abang saja?" tanyanya lagi.Ahhhhh, jadi begitu? Semua ini hanya berputar pada masalah harta saja ternyata. Aku heran dengan situasi ini, bagaimana bisa orang-orang yang tidak berhak seperti mereka ini, dengan ti