165. KERIBUTAN DI PAGI HARI (Bagian B)Ya, Kak Ika dan Kak Nuri merupakan sahabat sejak kecil, kebetulan rumah mereka berada di kampung yang sama. Dan berjodoh pula dengan dua orang lelaki yang memang bersaudara.Untung saja, Kakak Iparku itu tidak mempunyai sifat seperti Kak Nuri. Kalau sampai itu terjadi, bisa-bisa kami bertengkar setiap saat dan membuat hubungan persaudaraan aku dan Bang Usman merenggang."Tanya saja sama mereka ini, kok bisa-bisanya pagi-pagi begini sudah membuat keributan, dan mengganggu tidur kita!" ujar Wak Nurma semakin ketus sambil menunjuk aku dan Bulek Rosma."Loh, kok jadi kami yang salah, Kak?" tanya Bulek tidak terima.Aku masih diam dan tidak menanggapi, dengan santai aku menggoreng bahan-bahan yang aku butuhkan untuk membuat sambal terasi yang diminta oleh Bulek Rosma. Tidak memperdulikan suara-suara sumbang yang berdengung indah di belakangku, suara Kak Nuri dan juga Wak Nurma masih mendominasi percakapan."Ya Bulek seharusnya mengerti, dong. Aku dan
Menantu Tegas, Ipar Panas, Mertua Lemas166. KELUARGA KAK IKA (Bagian A)"Oi!"Wak Nurma berhenti berjalan dan langsung menatapku dengan pandangan tajam, dia berbalik dan berdiri menghadapku dari jarak sekitar tiga meter."Apa kamu bilang tadi?" tanyanya pelan. "Oi? Sejak kapan keponakan Uwak menjadi tidak sopan seperti ini?" ujarnya lagi dengan nada marah."Hah?" tanyaku pura-pura tidak tahu. Maksud Uwak apa kataku lagi.Wak Nurma masih diam, dia melotot menyeramkan ke arahku. Namun aku tidak peduli dan malah berlagak cuek."Oi, Aksa. Ngapain ke sini Tante belum siap masak, loh. Mama kamu kemana?" tanyaku pelan.Semua orang yang ada di ruangan ini langsung menoleh ke belakang dan di ambang pintu sana terlihatlah keponakanku yang begitu imut tengah mengucek kedua matanya dengan jari-jemarinya yang kecil nan mungil."Kenapa sayang? Kamu haus?" tanyaku pada Aksa.Aku mendekat dan langsung menggendongnya, aku segera duduk di kursi dan ikut membawanya untuk duduk ke atas pangkuanku."Mam
167. KELUARGA KAK IKA (Bagian B)Bang Galuh terlihat berjalan ke arahku, di belakangnya terlihat Bang Usman yang mengekor. "Nunggu kalian, mau makan bareng. Belum makan, kan?" tanyaku pelan."Belum," jawab Bang Galuh manja.Dia langsung duduk di sampingku dan menyandarkan kepalanya di bahuku, sedangkan Bang Usman sudah fokus pada ponselnya dan ikut duduk di kananku.Wajahnya terlihat menakutkan, rahangnya mengeras dan juga matanya menyorot tajam ke arah ponsel."Kenapa, Bang?" tanyaku pelan."Nggak ada apa-apa," sahutnya tak kalah pelan. "Aksa mana, Dek?" tanyanya padaku."Di dalam, aku kasih main ponselku. Lihat youtube," sahutku. "Udah mandi, udah aku suapin makan juga," laporku lagi."Makasih, ya," ujar Bang Usman dengan tulus."Biasalah," kataku sambil mengibaskan tanganku, pertanda tidak masalah. "Memang Kak Ika ke mana?" tanyaku heran."Hahhhhhh …."Bang Usman malah menarik nafas dengan amat panjang, aku langsung meluhat ke arah Bang Galuh untuk meminta penjelasan.Tapi sayang,
Menantu Tegas, Ipar Panas, Mertua Lemas168. NGEYEL (Bagian A)Aku yang hendak maju untuk melabrak orang-orang di depan sana, sontak berhenti saat merasakan tanganku di tarik oleh seseorang.Saat aku menoleh, aku bisa melihat Bang Galuh yang menggeleng pelan. Pertanda agar aku tidak melanjutkan kegaduhan ini.Tapi bagaimana bisa aku tetap sabar? Sedangkan di depan sana, aku bisa melihat dengan mata kepalaku sendiri, kalau masakanku sudah dihabiskan oleh Bang Diky, Kak Nuri, serta Wak Nurma.Masakan yang susah payah aku buat, dengan niat untuk dinikmati bersama-sama dengan suamiku dan yang lainnya malah sudah habis. Sepanci sayur asam yang aku masak, kini tinggal kuahnya saja. Bahkan sambal terasi yang susah payah aku ulek dengan cobek, tinggal kenangan.Ya Allah, bolehkah aku berkata kasar? "Bagaimana bisa kalian menghabiskan semuanya? Sedangkan kami belum makan!" ujar Bulek Rosma lagi.Dia terlihat benar-benar tengah menahan amarah saat ini, aku bisa melihat kalau Bulek Rosma seper
169. NGEYEL (Bagian B)Suara Bang Galuh terdengar di sela-sela langkahku, dia mengejarku hingga ke kamar.Aku tidak menghiraukan panggilannya dan malah mempercepat langkah kakiku, merasa kesal luar biasa dengan tingkah laku Wak Nurma dan juga anak-anaknya.Sesampainya di kamar aku langsung menghapuskan tubuhku ke atas tempat tidur, dan mataku langsung bisa melihat Bang Galuh yang memasuki kamar sambil memelototi aku."Dek, kamu kok nggak sopan begitu, sih?" katanya sambil ikut menghempaskan tubuhnya di sampingku.Mataku memicing tajam melihatnya, sehingga Bang Galuh bergerak tidak nyaman di tempat duduknya karena melihat pandanganku yang seolah mau menelannya hidup-hidup."Nggak sopan? Nggak sopan Abang bilang?" tanyaku mendengus. "Yang nggak sopan itu ya mereka, bukan aku!" kataku lagi."Tapi kan, nggak harus marah-marah, Dek," balasnya lembut."Abang lebih membela mereka, daripada aku? Aku istri Abang loh," kataku mengingatkan.Aku mendengus kesal, merasa terkhianati luar biasa deng
Menantu Tegas, Ipar Panas, Mertua Lemas170. KELUARGA SOMPLAK (Bagian A)Aku dan Bang Usman berpandangan dan kemudian kompak menatap wajah Wak Nurma yang saat ini sedang tersenyum senang, entah apa yang dipikirkannya sehingga bisa tersenyum selebar itu.Padahal dia baru saja mengucapkan kata-kata yang sangat tidak masuk akal, menjual tanah? Hah, lucu sekali. Tanah yang bukan miliknya, dan dia mau menjualnya dengan sangat santai. Apa dia tidak berpikir? Kalau aku dan Bang Usman jelas tidak akan mengizinkan hal itu."Maksud Uwak apa?" tanyaku pelan.Aku sudah tidak berminat untuk melanjutkan makan, lontong sayur yang biasanya menjadi favoritku teronggok begitu saja di atas meja makan.Tanganku bersedekap di dada, dan menatap wajahnya dengan pandangan tajam. Atmosfer di ruangan ini tiba-tiba berubah dengan sangat drastis.Lebih dingin dan juga terasa sangat pengap, Bulek Rosma terlihat membereskan meja makan. Makanannya juga tidak habis, dia pasti merasa tidak nyaman dengan ucapan yang
171. KELUARGA SOMPLAK (Bagian B)"Wah, wah, ini dia. Bagaimana aku bisa santai kalau milik kami, mau di rebut seenaknya?" tanyaku mulai terpancing emosi."Dek!" Bang Galuh memegang tanganku dan menggeleng pelan."Milik kalian? Sudah jelaskan? Ibuku bilang itu punya nenek, dan kebetulan suratnya atas nama Ibumu," kata Bang Diky semakin nyolot."Ya Allah, Bang. Kalau nggak tahu apa-apa, ya mbok jangan komentar," kataku heran."Maksud kamu apa, hah?" tanyanya dengan nada keras.Aku hanya tersenyum kecil sambil menyandarkan tubuhku ke sandaran kursi, dan langsung menatap Bang Diky yang tengah emosi dengan pandangan mengejek."Abang bahkan tidak tahu kalau tanah itu sudah dibayar oleh Ibuku, yang tahu ya aku dan Bang Usman. Kami yang ada di sana saat transaksi jual beli itu terjadi," kataku lagi.Bang Diky terlihat menoleh ke arah Wak Nurma dan menatap Ibunya itu untuk meminta pertolongan, apalagi aku bisa melihat tangan Kak Nuri yang mencubit kecil pinggang Bang Diky."Bisa saja kalian bo
Menantu Tegas, Ipar Panas, Mertua Lemas172. HARTA WARISAN (Bagian A)"APA?!" Wak Nurma, Bang Diky, dan Kak Nuri, kompak berteriak histeris.Wah, wah, mereka benar-benar keluarga yang harmonis sekali. Sangat kompak di bidang apapun, memojokkan orang lain, mencemooh, dan mau merebut harta orang lain.Kompak sekali!Mata mereka melotot ke arahku, dan juga langsung menatapku dengan tajam. Namun aku sama sekali tidak gentar!Dan membalas tatapan mereka dengan pandangan yang tajamnya melebihi omongan tetangga, aku tidak takut shay!"Apa maksud kamu?!" tanya Wak Nurma naik pitam."Kurang jelas, Wak? Kan, sudah kubilang tadi. Dengarkan baik-baik karena aku tidak akan mengulanginya lagi," kataku sambil tersenyum lebar.Mereka kembali melotot marah saat melihat senyumku yang amat lebar, harga diri mereka pasti terasa seperti diinjak-injak.Sudah susah payah menuntut harta, eh malah tidak berjalan sesuai dengan yang mereka harapkan. Kasihan!"ELLEN!" Bang Diky dan Wak Nurma kompak berteriak ka