Davin menunduk, pecahan cincin di tangannya jatuh. Dia tidak menyangka Claudia akan berhianat dan memanfaatkan kepolosannya. Claudia lebih memilih harta dari pada cinta dan kesetiaan.
Pecahan cincin itu berserakan di lantai, padahal Davin sudah menyiapkannya untuk melamar Claudia, tapi hatinya terlanjur hancur seperti pecahan kaca. Rapuh.
Tak lama, datang lah Kevin, sepupu Claudia sembari membawa tiga bodyguard berbadan kekar.
Jbak!
Jbuk!
Prak!
Tiga bodyguard itu memukuli Davin hingga darah mengalir dari bibir kirinya. Davin terus bertahan, melingkarkan tangannya di atas kepala, aset berharga yang dia miliki.
Kevin menyeret Davin ke lantai dua agar keributan itu tidak terdengar oleh para tamu. Claudia dan keluarganya ikut ke atas, menaiki tangga seperti orang sombong.
“Kevin, kenapa Kamu memukuliku?” tanya Davin begitu sampai di lantai dua.
“Kevin? Berani Kamu memanggilku Kevin, ha?” bentak Kevin yang langsung melayangkan satu pukulan di wajah Davin. “Aku bukan temanmu lagi. Aku adalah bos mu, CEO perusahaan tempatmu bekerja!”
“Levy, Kamu tidak ingin bergabung dengan kami?” tanya Kevin.
Kevin dan Levy bergantian memukuli Davin hingga dia terkapar tak berdaya. Bajunya robek, juga memar di sekujur tubuh. Davin berteriak kesakitan.
“Asal kamu tahu, Claudia tidak pantas dengan orang miskin sepertimu. Bagaimana mungkin Kamu bisa membeli rumah ini padahal Kamu hanya cleaning service dan tukang cuci piring? Jaga ucapanmu, dasar orang miskin!” Kevin meludahi Davin tepat di wajahnya.
Levy mendekat, melempar segebok uang seratus ribu di wajah Davin. “Sekarang Kamu sadar akan perbedaan kita?”
“Bedebah, aku tidak butuh uang, cuih...” Davin meludahi wajah Levy dan membuat lelaki kekar itu marah. Hampir saja sepatu kulit itu meratakan wajah Davin jika Claudia tidak melarang Levy.
“Sudahlah, Sayang, dia sudah lemah, kalau dia mati kita juga yang harus tanggung jawab.”
“Lalu kita apakan dia?” tanya Levy.
“Kita buang saja di taman dekat gerbang perumahan,” balas Madame Sherlyn.
Kevin menyuruh tiga bodyguard keluarga Latusia mengikat tangan dan kaki Davin dan Levy mengambil peti yang ada di gudang lantai tiga.
Davin dimasukkan ke sana dengan posisi tangan dan kaki terikat. Tak lupa, mulutnya disumpal dengan lakban agar dia tidak bisa berontak.
Para tamu heran, apa yang dibawa Kevin dan Levy, mereka dengan mudahnya menjawab, “hanya sampah, kami memasukkannya ke dalam peti agar pesta kalian tidak terganggu dengan bau-bau busuk.”
Sesampainya di taman luar, Levy mengangkat Davin, membantingnya hingga punggung pria itu menabrak pohon. Beberapa menit kemudian, hujan mengguyur kota Jakarta.
Puncak kesialan Davin ketika sebuah mobil sedan hitam parkir di ujung taman. Segerombol lelaki datang dan menyetrum Davin.
“Maafkan kami, Tuan Muda,” ujar salah satu lelaki itu.
…
“Di mana aku?” teriak Davin begitu sadar dari pingsannya.
“Ahhh,” dia merintih, tubuhnya serasa remuk karena dipukuli tadi siang.
Teriakan itu terdengar oleh penghuni rumah. Seorang lelaki tua menggunakan kursi roda datang dan tersenyum pada Davin, menyuruh dua pengawalnya untuk melepas ikatan di tangan dan kaki Davin.
“Selamat datang kembali, Cucuku,” ujar lelaki tua itu.
“Kenapa harus sekarang, Kek? Sudah ribuan kali aku menolak, dan kenapa kakek tetap memaksaku?”
“Kakek sudah tua dan kakek rasa, sebentar lagi kakek akan meninggal. Dan Kamu adalah satu-satunya keturunan Nayama yang masih hidup. Kakek akan mewariskan semuanya padamu.”
“Nayama?” Davin terkejut bukan main. Nayama adalah perusahaan keluarganya, penguasa pangsa pasar di seluruh daratan Asia, tak terkecuali Indonesia.
Dalam makna lain, Davin akan menjadi orang terkaya nomor satu di Asia apabila dia mau menerima warisan dari kakeknya yang sudah tua.
“Kenapa harus aku? Masih banyak orang yang lebih pantas, Melvin contohnya. Dia jauh lebih pantas memimpin Nayama dari pada aku,” balas Davin.
“Sesuai tradisi keluarga, hanya keturunan lah yang bisa mewarisi Nayama, dan kakek tidak sanggup lagi mengemban amanat ini.” Juta minta bodyguardnya mengambil dua secangkir kopi tubruk seduh kasar.
Davin tertunduk cukup lama, masih memikirkan apakah dia pantas mengemban puncak kekuasaan setelah bertahun-tahun pergi dari istana mewah ini.
"Sial, kenapa harus secepat ini aku jadi orang kaya lagi!? Aku belum puas hidup miskin. Masih banyak pelajaran hidup yang belum aku kuasai. Kesabaran dan kebijaksaanku belum cukup mumpuni untuk memimpin perusahaan sebesar Nayama."
Di satu sisi, Davin ragu atas penawaran ini. Namun, di sisi lain, dia sudah muak dengan perlakuan Claudia dan Keluarga Latusia, dan ingin balas dendam. Hanya itu satu-satunya cara agar dia bisa membalas perlakuan Claudia dan Levy.
Dengan segala pertimbangan, Davin meneguhkan hati, menegapkan badan, dan berucap dengan penuh keyakinan.
“Baiklah, Kek, akan kuterima warisan ini. Aku berjanji akan mengemban amanat ini sebaik mungkin,” ucap Davin mantap.
“Tunggu di sini, akan kuberikan sesuatu padamu.”
Melvin, ajudan pribadi Davin membawa sebuah kartu kecil yang sangat berharga bagi seluruh keluarga Nayama, kartu debit hitam beralaskan emas dengan saldo tak terhingga. Davin sempat heran, kenapa saldonya tidak ditulis dengan angka.
Memberanikan diri bertanya pada ajudannya, Davin seketika tersentak.
"Saldonya tidak terhingga?" Davin masih belum percaya dengan jawaban Melvin. "Maksudmu aku bisa membeli barang apapun yang aku mau?"
"Benar, Tuan, semua barang bisa dibeli dengan kartu itu, termasuk perusahaan sekalipun!"
Tercengang.
Hanya itu yang bisa dirasakan Davin. Memperoleh kekayaan mutlak dalam waktu singkat adalah idaman setiap orang, bukan? Beberapa detik, pria itu ternganga, tidak percaya dengan apa yang terjadi.
Bahagia dan haru bercampur menjadi satu. Davin berjalan menuju balkon lantai empat. Berteriak sangat kencang di balkon rumah kakeknya, pemuda tampan itu meluapkan semua emosi yang terpendam dalam satu kalimat.
“Aku, Davin Nayama, akan membalas perbuatan hina kalian!!!”
Awal menjabat jadi Tuan Muda Nayamatidaklah mudah. Davinsegera dihadapkan persoalan rumit; menangani defisit yang terjadi di beberapa anak perusahaan. Belum lagi harus menandatangani tumpukan berkas. Membacanya satu per satu, Davinnampak mulai jenuh. Ingatan akan balas dendam kembali membangkitkan semangatnya untuk jadi orang terkaya di Asia. Tiga hari pertama dilalui Davindengan membereskan surat-surat yang berkaitan dengan admininstrasi perusahaan. Dia terpaksa tinggal lebih dulu di istana mewah milik kakeknya. Ditemani Melvin, ajudan pribadi Davin, dia pergi ke lantai atas untuk menandatangani surat perjanjian. “Perkenalkan, Tuan, Saya Melvin, saya resmi menjadi ajudan pribadi Anda. Jika Tuan butuh apa-apa, silakan telepon saya. Jam tangan itu dilengkapi peralatan khusus, Tuan bisa menelepon saya kapanpun dan dimana pun,” kata Melvin sembari membungkuk. “Terima kasih, Melvin, dirimu tetap sopan seperti dulu, tidak berubah."
"Heh, kamu mau mengancamku? Jangan pikir aku takut dengan ancamanmu!" There menaikkan suaranya. "Orang sepertimu mana pantas masuk ke showroom terkenal ini! Jika ada miliarder yang melihatmu, lalu mereka tidak jadi beli mobil, apa kamu mau tanggung jawab?" Davinmendengus gusar. "Aku mau beli mobil. Aku tidak ingin berdebat." "Tempat ini tidak cocok untukmu! Kalau mau cari mobil, cepat cari di toko barang bekas! Kali aja kamu nemu mobil bekas yang bisa dibeli." There berhenti sejenak sembari menahan tawa. "Eh lupa, vespa butut saja harus kredit, apalagi mobil!" Menyesal karena masuk ke showroom ini, Davintidak nafsu lagi melihat-lihat mobil di sana. Namun mobil putih di depannya terlalu menarik. Pemuda tampan itu tidak bisa meninggalkannya begitu saja. "Dasar sales rendahan! Selalu memandang orang dari tampilan fisiknya saja!" "Kamu mengejekku? Tidak masalah. Nyatanya kamu memang miskin. Buat beli baju sama celana aja nggak bisa, ba
There masuk ke ruang direktur. Wajahnya berubah musam, seperti habis makan buah sirsak yang belum matang sepenuhnya. Entah hukuman apa yang akan diberikan Nara hingga membuat perempuan itu jera. Merasa tidak enak dengan Davinyang dihina bawahannya sendiri, Nara segera minta maaf. "Saya tidak menyangka There akan melakukannya lagi. Dua kali teguran dan surat peringatan dilayangkan, tapi perempuan itu tak kunjung berubah. Sekali lagi saya minta maaf atas kelakuan tidak sopan salah satu sales di sini." Davinmengernyitkan dahi. "Kenapa kamu begitu sopan? Bukankah orang kaya suka menilai dari tampilan fisiknya saja?" "Direktur adalah cerminan semua pegawainya. Saya tidak mau perilaku buruk itu jadi tradiri di showroom ini. Kami tidak pernah membedakan pelanggan yang masuk. Karena motto kami, pelanggan adalah raja." "Bagus. Lalu bagaimana dengan perempuan tadi?" "There maksud Anda?" Pertanyaan Nara hanya dijawab anggukan oleh Dav
Davinsiap pergi ke perusahaan mantan kekasihnya.Meski sudah resmi jadi pewaris terkaya semua aset Nayama, Davintidak mau identitasnya terungkap begitu saja. Dia ingin balas dendam pada Claudia dan semua orang yang telah merendahkannya.Jika identitasnya terungkap lebih cepat, balas dendam tidak dapat dilakukan.Baru beberapa langkah meninggalkan villa mewahnya, telepon Davinkembali berdering. Kali ini dari Melvin. "Halo, ada keperluan apa menelepon pagi-pagi begini?""Tuan Besar Juta meminta Anda datang ke sini.""Mendadak sekali. Apa tidak bisa pertemuannya ditunda siang atau agak sorean nanti? Aku ada urusan di luar villa. Aku harus pergi ke Indalunauntuk membalas perbuatan Claudia.""Sebentar, Tuan, saya coba rayu Tuan Besar, semoga berkenan menggeser jam pertemuannya sampai nanti sore." Melvin tidak menutup teleponnya, sengaja agar Davinmendengar langsung percakapannya dengan Juta. "Anda bisa dengar sendiri
Davin coba membiarkan Kuncoro berkicau. Dia tidak mau menunjukkan siapa dia sebenarnya. Yang dia inginkan hanya membeli villa ini, lalu pulang dan istirahat sejenak. Namun hal ini tidak bisa dibiarkan lebih lama lagi. Kuncoro semakin menghina Davin, bahkan tak segan menyebutnya miliarder papan bawah yang tidak bisa bersanding dengan anggota Klan Perak dan Klan Emas. Merasa tidak senang dengan hinaan Kuncoro, Davin mengeluarkan dompet, lalu membanting kartu hitam dengan simbol elang di atasnya. Plak! Kartu itu membungkam Kuncoro, dia tidak bisa berkata apa-apa lagi. Tubuhnya gemetar hebat melihat sepuh emas yang ada di bagian kiri bawah kartu. “An-Anda Tuan Muda Davin? Tanya Kuncoro terbata-bata. “Hmm?” Davin memandang Kuncoro remeh, sudah belasan tahun dia hidup dalam hinaan dan cacian. Kini waktunya membalas siapapun yang berani merendahkan martabatnya. “Jangankan villa Phoenix, seluruh aset Heaven Garden bisa aku beli dalam s
Kuncoro mulai khawatir jika Setiawan ingin membeli Phoenix, padahal villa mewah itu baru saja dibeli oleh miliarder paling kaya se-Asia. Sesuai dugaan Kuncoro, Setiawan mengutarakan maksud kedatangannya untuk membeli Phoenix! “Empat tahun aku menabung untuk membeli villa impian ini...” Setiawan tidak tahu jika Davin sudah membeli villa itu dan melunasinya saat itu juga. Kuncoro tidak bergeming, dia diam cukup lama, hingga mengatakan apa yang sebenarnya terjadi. “Maaf, Tuan, villa ini sudah dibayar lunas oleh seseorang. Baru sepuluh menit yang lalu. Dia datang menggunakan Lamborghini Aventador merah.” “APA!” Setiawan terkejut. “Maaf, Tuan, tapi aku tidak berbohong. Villa itu sudah dibeli oleh seseorang. Bahkan dia membayarnya tunai tanpa cicilan.” Setiawan terbelalak hebat. “Sudah terjual katamu? Villa itu sangat mahal. Miliarder sepertiku saja harus menabung hampir empat tahun agar bisa membelinya. Dan kau ingin membohongiku dengan ber
Dua minggu setelah membeli villa Phoenix, Davin diminta pergi ke ibukota untuk mengurus salah satu anak cabang Nayama. Pemuda itu bosan terus-menerus duduk di kantor memeriksa catatan keuangan perusahaan. Sesekali dia keluar mencari makan, atau sekedar jalan-jalan dengan pakaian ala kadarnya. Kadang kala ada karyawan yang menghina Davin karena naik lift petinggi perusahaan. Ada juga yang meneriakinya sebagai cleaning service tidak tahu diri. Dia memilih diam. Mereka memang layak diberhentikan, tapi tidak saat ini. “Pantas perusahaan mengalami defisit, hampir tidak ada kedisiplinan di sini. Hormat dan wibawa hanya dilihat dari jabatan dan pakaian luarnya saja.” Davin gusar, dia masuk ruangan dan memanggil sekretaris pribadinya. Seorang gadis muda masuk ke ruangan, wajahnya terlampau rupawan untuk ukuran fresh graduate. “Kamu sekretaris perusahaan ini?” tanya Davin. Selama dua minggu dia tinggal di perusahaan, dia tidak sekalipun minta b
Mall Gajah adalah salah satu pusat toko emas terkemuka di ibukota. Letaknya sekitar lima belas menit dari bandara dan stasiun. Beberapa pelancong seringkali mampir di mall ini sebatas mencari buah tangan mewah saat pulang nanti. “28 Oktober, ini hari spesialku. Ahh Melvin lama sekali, apa dia lupa ini sudah pukul dua siang!?” Davin menendang kaleng hingga menggelinding ke tengah jalan. Saat mendongak, dia melihat sebuah gedung megah yang lumayan tinggi. Terlalu lelah mengurusi kasus penggelapan dana di perusahaan, Davin pergi ke salah satu toko emas di pusat kota. Dia ingat, hari ini adalah hari ulang tahun Vanessa, kekasih barunya Davin setelah putus dengan Claudia. Entah bagaimana ceritanya Davin luluh kala Viona menawarinya dengan kata-kata mutiara. Meski sudah dicampakkan ketika ingin melamar gadis itu, Davin masih menaruh rasa yang cukup dalam. Kali ini Davin jalan sendirian tanpa ditemani Melvin, ajudan pribadinya. Dia dipandang remeh oleh beber