"Heh, kamu mau mengancamku? Jangan pikir aku takut dengan ancamanmu!" There menaikkan suaranya. "Orang sepertimu mana pantas masuk ke showroom terkenal ini! Jika ada miliarder yang melihatmu, lalu mereka tidak jadi beli mobil, apa kamu mau tanggung jawab?"
Davin mendengus gusar. "Aku mau beli mobil. Aku tidak ingin berdebat."
"Tempat ini tidak cocok untukmu! Kalau mau cari mobil, cepat cari di toko barang bekas! Kali aja kamu nemu mobil bekas yang bisa dibeli." There berhenti sejenak sembari menahan tawa. "Eh lupa, vespa butut saja harus kredit, apalagi mobil!"
Menyesal karena masuk ke showroom ini, Davin tidak nafsu lagi melihat-lihat mobil di sana. Namun mobil putih di depannya terlalu menarik. Pemuda tampan itu tidak bisa meninggalkannya begitu saja.
"Dasar sales rendahan! Selalu memandang orang dari tampilan fisiknya saja!"
"Kamu mengejekku? Tidak masalah. Nyatanya kamu memang miskin. Buat beli baju sama celana aja nggak bisa, bayar vespa butut juga kredit, apalagi beli mobil-mobil mewah ini!"
"Ingat, jabatanmu hanya karyawan. Kamu tidak berhak mengusirku dari sini, tidak pula merendahkanku layaknya kamu yang berkuasa. Bosmu pasti marah begitu tahu kalau kamu merendahkan customer."
"Ya bos pasti setuju begitu tahu customernya itu gembel sepertimu!"
"Aku tidak punya waktu lagi. Cepat katakan berapa harga Valkyrie ini!" Davin mengeluarkan dompetnya dari saku belakang. "Di dompet itu ada kartu hitam khusus bersepuhkan emas. Kartu itu bisa membeli sepuluh mobil putih ini bersamaan!"
"Hahaha ... ini sudah pagi, cepat bangun dari mimpi-mimpimu!"
"Kamu hanya buang-buang waktu." Davin semakin marah mendengar ucapan There. "Kalau bukan saran dari Melvin, aku sudah keluar dari perusahaan ini."
There hanya bisa tertawa.
"Cepat katakan di mana bosmu!" Davin meminta.
"Bertemu bos? Dia pasti marah melihatmu masuk ke tempat mulia ini. Bos sangat sibuk, kamu tidak bisa memperkirakan waktu pulangnya. Dasar miskin, sukanya buang-buang waktu! Pulang saja kamu! Uangmu mending buat beli nasi bungkus!”
Davin hanya diam. Dia akhirnya paham kenapa kakeknya menyuruhnya pergi ke showroom dan memilih mobil yang paling mewah.
Memang ya, orang-orang sok kaya... suka memandang fisik.
Dia juga heran kenapa dia dihina seperti ini. Padahal, Melvin sudah bilang kalau Tuan Muda Nayama akan datang lalu membeli mobil itu secara tunai. Apa mereka tidak tahu, yang mereka hina adalah tamu paling istimewa showroom?
There memanggil salah seorang SPG yang nampaknya merupakan anak baru di showroom ini.
“Kerja itu yang becus! Gembel kayak gini tuh ga perlu disambut, buang saja dia! Baju saja kumal, tubuh juga bau, mana mungkin orang kayak gitu punya banyak duit!” There memaki SPG bernama Icha.
"Maafkan saya, Kak"
"Enak saja cuma minta maaf ... kamu yang harus tanggung jawab!
“Karena kamu yang mengizinkan gembel ini masuk, kamu juga yang harus tanggung jawab! Bawa dia keliling melihat mobil, siapa tahu mau beli... maksudnya mau ngehayal buat beli! Hahaha!”
Icha mengajak Davin naik ke lantai dua, tempat mobil sport mewah dipajang. Icha tahu, Davin bukan sembarang orang. Kalaupun Davin memang pengemis, tidak mungkin dia tetap santai setelah dimaki-maki tiga SPG tadi.
Mendengar penjelasan semua spesifikasi mobil di lantai dua showroom, Davin sepertinya tidak tertarik.
Davin lebih tertarik dengan sepasang sejoli yang tadi berjalan di depannya. Mereka mencari mobil Bucatti, tapi tidak ada yang warnanya merah. Menoleh memandang Davin yang berdiri di lantai dua, perempuan di ujung jalan mendekati Davin.
"Hmm, lumayan tampan juga untuk ukuran gembel," kata Wayne, berdiri di samping pacarnya. "Badan tegap dan bibir menawan, kamu merupakan idaman semua wanita."
"Jangan begitu, Sayang, kita kan hampir menikah. Tolong jaga perasaanku juga!" Yudi merengek seperti anak kecil. Hal tersebut membuat Davin mual.
Wayne melirik kekasihnya dan tersenyum singkat. "Sayang, aku tetap mencintaimu. Ironi saja melihat lelaki tampan tapi tidak punya harta sama sekali. Sekarang dunia sudah modern. Apa-apa harus dibeli dengan uang. Mana mau aku sama cowok macam dia!"
Keributan itu didengar manajer dan supervisior showroom yang sedang meeting di ruangan khusus lantai dua. Saat itulah manajer showroom melihat Davin dari atas sampai bawah.
Entah siapa yang memanggil, There tiba-tiba berdiri di belakang Davin, siap menjilat manajer agar bisa naik gaji.
"Pak Nara, orang ini ngotot membeli Valkyrie termahal kita! Lihat saja pakaiannya, apa dia terlihat mampu beli Valkyrie itu? Jangankan Valkyrie, mobil rongsokan saja belum tentu dia beli karena dia tidak punya uang."
Davin memandangi lelaki bernama Nara dari atas sampai bawah. Dahinya berkerut, ternyata ini lelaki yang namanya sering disebut Melvin.
Sebaliknya, Nara memastikan ulang pesan singkat yang tadi dikirim Melvin bahwa tuannya berangkat ke sana sendirian. Ciri-cirinya, dia pakai baju usang compang-camping. Melvin juga memberitahu Nara kalau tuannya lebih suka bertingkah layaknya gembel dari pada orang kaya.
Nara menelan ludah, lalu bertanya pada Davin. "A-apakah Anda yang bernama Davin?"
"Ya benar, itu aku. Kenapa memangnya?" Davin membusungkan dadanya, menunjukkan bahwa dia lah yang berkuasa di sini. "Salesmu semuanya sampah! Hanya sales muda ini yang sabar menjelaskan spesifikasi tiap mobil di sini. Jika kamu direkturnya, aku ingin tiga sales tidak tahu diri itu dipecat!"
Mendengar ucapan Davin, ekspresi terkejut Nara tidak bisa ditutupi. Jantungnya berdegup gencang karena takut Davin mencabut hak jual mobil-mobil mewah ini atas nama Nayama.
Nara menatap tajam ke arah There, tapi perempuan itu seakan tidak peduli. Emosinya makin memuncak kala melihat bekas tamparan There di pipi kiri Davin.
"There, aku tunggu dirimu di ruang direktur!"
There masuk ke ruang direktur. Wajahnya berubah musam, seperti habis makan buah sirsak yang belum matang sepenuhnya. Entah hukuman apa yang akan diberikan Nara hingga membuat perempuan itu jera. Merasa tidak enak dengan Davinyang dihina bawahannya sendiri, Nara segera minta maaf. "Saya tidak menyangka There akan melakukannya lagi. Dua kali teguran dan surat peringatan dilayangkan, tapi perempuan itu tak kunjung berubah. Sekali lagi saya minta maaf atas kelakuan tidak sopan salah satu sales di sini." Davinmengernyitkan dahi. "Kenapa kamu begitu sopan? Bukankah orang kaya suka menilai dari tampilan fisiknya saja?" "Direktur adalah cerminan semua pegawainya. Saya tidak mau perilaku buruk itu jadi tradiri di showroom ini. Kami tidak pernah membedakan pelanggan yang masuk. Karena motto kami, pelanggan adalah raja." "Bagus. Lalu bagaimana dengan perempuan tadi?" "There maksud Anda?" Pertanyaan Nara hanya dijawab anggukan oleh Dav
Davinsiap pergi ke perusahaan mantan kekasihnya.Meski sudah resmi jadi pewaris terkaya semua aset Nayama, Davintidak mau identitasnya terungkap begitu saja. Dia ingin balas dendam pada Claudia dan semua orang yang telah merendahkannya.Jika identitasnya terungkap lebih cepat, balas dendam tidak dapat dilakukan.Baru beberapa langkah meninggalkan villa mewahnya, telepon Davinkembali berdering. Kali ini dari Melvin. "Halo, ada keperluan apa menelepon pagi-pagi begini?""Tuan Besar Juta meminta Anda datang ke sini.""Mendadak sekali. Apa tidak bisa pertemuannya ditunda siang atau agak sorean nanti? Aku ada urusan di luar villa. Aku harus pergi ke Indalunauntuk membalas perbuatan Claudia.""Sebentar, Tuan, saya coba rayu Tuan Besar, semoga berkenan menggeser jam pertemuannya sampai nanti sore." Melvin tidak menutup teleponnya, sengaja agar Davinmendengar langsung percakapannya dengan Juta. "Anda bisa dengar sendiri
Davin coba membiarkan Kuncoro berkicau. Dia tidak mau menunjukkan siapa dia sebenarnya. Yang dia inginkan hanya membeli villa ini, lalu pulang dan istirahat sejenak. Namun hal ini tidak bisa dibiarkan lebih lama lagi. Kuncoro semakin menghina Davin, bahkan tak segan menyebutnya miliarder papan bawah yang tidak bisa bersanding dengan anggota Klan Perak dan Klan Emas. Merasa tidak senang dengan hinaan Kuncoro, Davin mengeluarkan dompet, lalu membanting kartu hitam dengan simbol elang di atasnya. Plak! Kartu itu membungkam Kuncoro, dia tidak bisa berkata apa-apa lagi. Tubuhnya gemetar hebat melihat sepuh emas yang ada di bagian kiri bawah kartu. “An-Anda Tuan Muda Davin? Tanya Kuncoro terbata-bata. “Hmm?” Davin memandang Kuncoro remeh, sudah belasan tahun dia hidup dalam hinaan dan cacian. Kini waktunya membalas siapapun yang berani merendahkan martabatnya. “Jangankan villa Phoenix, seluruh aset Heaven Garden bisa aku beli dalam s
Kuncoro mulai khawatir jika Setiawan ingin membeli Phoenix, padahal villa mewah itu baru saja dibeli oleh miliarder paling kaya se-Asia. Sesuai dugaan Kuncoro, Setiawan mengutarakan maksud kedatangannya untuk membeli Phoenix! “Empat tahun aku menabung untuk membeli villa impian ini...” Setiawan tidak tahu jika Davin sudah membeli villa itu dan melunasinya saat itu juga. Kuncoro tidak bergeming, dia diam cukup lama, hingga mengatakan apa yang sebenarnya terjadi. “Maaf, Tuan, villa ini sudah dibayar lunas oleh seseorang. Baru sepuluh menit yang lalu. Dia datang menggunakan Lamborghini Aventador merah.” “APA!” Setiawan terkejut. “Maaf, Tuan, tapi aku tidak berbohong. Villa itu sudah dibeli oleh seseorang. Bahkan dia membayarnya tunai tanpa cicilan.” Setiawan terbelalak hebat. “Sudah terjual katamu? Villa itu sangat mahal. Miliarder sepertiku saja harus menabung hampir empat tahun agar bisa membelinya. Dan kau ingin membohongiku dengan ber
Dua minggu setelah membeli villa Phoenix, Davin diminta pergi ke ibukota untuk mengurus salah satu anak cabang Nayama. Pemuda itu bosan terus-menerus duduk di kantor memeriksa catatan keuangan perusahaan. Sesekali dia keluar mencari makan, atau sekedar jalan-jalan dengan pakaian ala kadarnya. Kadang kala ada karyawan yang menghina Davin karena naik lift petinggi perusahaan. Ada juga yang meneriakinya sebagai cleaning service tidak tahu diri. Dia memilih diam. Mereka memang layak diberhentikan, tapi tidak saat ini. “Pantas perusahaan mengalami defisit, hampir tidak ada kedisiplinan di sini. Hormat dan wibawa hanya dilihat dari jabatan dan pakaian luarnya saja.” Davin gusar, dia masuk ruangan dan memanggil sekretaris pribadinya. Seorang gadis muda masuk ke ruangan, wajahnya terlampau rupawan untuk ukuran fresh graduate. “Kamu sekretaris perusahaan ini?” tanya Davin. Selama dua minggu dia tinggal di perusahaan, dia tidak sekalipun minta b
Mall Gajah adalah salah satu pusat toko emas terkemuka di ibukota. Letaknya sekitar lima belas menit dari bandara dan stasiun. Beberapa pelancong seringkali mampir di mall ini sebatas mencari buah tangan mewah saat pulang nanti. “28 Oktober, ini hari spesialku. Ahh Melvin lama sekali, apa dia lupa ini sudah pukul dua siang!?” Davin menendang kaleng hingga menggelinding ke tengah jalan. Saat mendongak, dia melihat sebuah gedung megah yang lumayan tinggi. Terlalu lelah mengurusi kasus penggelapan dana di perusahaan, Davin pergi ke salah satu toko emas di pusat kota. Dia ingat, hari ini adalah hari ulang tahun Vanessa, kekasih barunya Davin setelah putus dengan Claudia. Entah bagaimana ceritanya Davin luluh kala Viona menawarinya dengan kata-kata mutiara. Meski sudah dicampakkan ketika ingin melamar gadis itu, Davin masih menaruh rasa yang cukup dalam. Kali ini Davin jalan sendirian tanpa ditemani Melvin, ajudan pribadinya. Dia dipandang remeh oleh beber
Pemilik toko emas itu ternyata teman lama Davin waktu masih kerja sebagai kuli bangunan di pinggiran ibukota. Travis waktu itu sudah hidup mapan, punya toko emas sendiri, sedangkan Davin masih menyamar sebagai orang miskin. Keduanya mulai akrab ketika mereka bertemu di sebuah warung makan sederhana. Travis yang waktu itu terlihat stress, dihampiri Davin, lalu ditanyai permasalahan yang sedang menimpanya akhir-akhir ini. “Kenapa nggak makan? Ada masalah kerjaan? Matamu merah, pasti tidak tidur semalaman.” Davin coba ramah kepada Travis hingga akhirnya pria itu mau cerita apa yang sebenarnya terjadi. Travis tidak habis pikir, salah satu tangan kanannya berhianat dan menilap uang ratusan juta. Padahal uang itu rencananya digunakan sebagai modal usaha untuk membangun toko cabang yang lebih besar lagi. Davin memosisikan diri sebagai sahabat, dia memberi berbagai macam saran, bahkan tak segan meminjamkan uang hasil kuli bangunannya untuk membelikan Tr
Davin, yang sedang patah hati karena cintanya ditolak Claudia, memutuskan menyendiri selama beberapa hari. Di waktu bersamaan, dia menemukan seorang gadis menangis di tengah jalan. "Kamu kenapa?" tanya Davin. "Ti-tidak." Perempuan itu bernama Viona, dia lumayan cantik, pakaiannya juga mewah. Menenangkan tangis sekaligus memberi pelukan gadis itu, Davin berhasil mengambil hati Viona, hingga keduanya sempat berbincang intens tiga hari berturut-turut. Viona mengajak Davin pacaran, kencan, bahkan menghadiri beberapa pesta yang diadakan teman-teman Viona. Namun, Davin tidak tahu, semua itu dilakukan Viona agar dia tidak malu pergi sendirian ke pesta, sementara pacar aslinya, Robby, sedang ada pekerjaan di luar negeri selama dua minggu. Dengan kata lain, Davin dimanfaatkan sebagai pacar gadungan. Dan anehnya, Davin menerima begitu saja. Lebih-lebih, Davin sedang dirundu kesedihan karena cintanya ditolak Claudia. Kini, semua i