Zidane tidak memiliki rasa hormat pada gadis yang ada di hadapannya. Menjatuhkan harga diri sebagai perempuan di depannya. Tentu Zidane bukan laki-laki yang haus belaian wanita. “Semua yang dilakukan ayahmu akan dipertanggungjawabkan. Satu lagi, saya tidak sudi untuk didekati oleh wanita sepertimu.” Zidane mendorong tubuh Nayla yang menghalangi pintu. Gila sekali, Zidane saja yang mendengar Nayla mengucapkan kata-kata tidak pantas malu. Entah apa isi pikiran gadis itu. Cinta membuat Nayla gila dan tidak bisa lagi berpikir positif. Ia menatap punggung Zidane yang menjauh. Ia pun berteriak frustasi. “Kenapa seperti ini?” tanya Nayla meremas rambutnya sendiri. Penampilan Nayla jauh sekali dari kata rapi. Rambut acak-acakan, pakaian kusut dan wajah yang make-upnya sudah luntur. Ditambah kedua mata yang sembab. Nayla pantas disebut stres dengan penampilannya yang sekarang. Langkahnya untuk mendapatkan Zidane terhenti di sini. Ia kehilangan semuanya hanya demi mendapatk
Nayla memejamkan matanya, ia mendengar suara tabrakan. Namun ia tidak merasakan sakit sama sekali. Ia belum berani membuka mata. Tangannya meraba-raba wajah dan tubuhnya. Tidak ada luka sama sekali. Perlahan ia membuka mata, tubuhnya masih utuh dan selamat. Ia membuka jendela mobilnya. Terlihat truk terjungkir menabrak mobil sedan berwarna silver. Dengan barang bawaan truk yang berserakan. Lalu lintas macet karena kecelakaan ini. Jendela mobilnya diketuk-ketuk oleh seorang polisi. Nayla masih terbayang kejadian tadi di kantor di mana ayahnya ditodong pistol oleh pihak kepolisian. Ia menarik napas panjang. Semoga saja ia tidak akan terlibat dengan pihak kepolisian atau hidupnya akan semakin rumit. Ia membuka pintu mobil. Nayla masih syok, lidahnya tidak dapat berkata-kata. “Selamat siang, apa keadaan mbak baik-baik saja?” tanya polisi itu ramah. Nayla mengangguk. “S-saya baik-baik saja, Pak.” “Boleh meminta waktunya untuk menjelaskan kejadian kecelakaan tadi, menuru
Ibu Nayla baru pulang dari acara arisan. Dia pulang lebih awal karena berita suaminya yang banyak diperbincangkan di berbagai media informasi. Wanita berumur sebaya itu menahan malu ketika teman-teman sosialita bertanya tentang kabar itu. Karena ia memang tidak dikabari oleh suaminya. Menelepon pun tak diangkat. Nayla menceritakan pada ibunya. Kalau sang ayah ditangkap polisi di kantor setelah meeting. Ia juga menceritakan kalau ia sempat diwawancarai oleh banyak wartawan. Dua wanita itu menangisi takdir yang tidak berpihak baik. Pikiran mereka sama-sama kacau. Nayla berusaha menguatkan ibunya. Karena Nayla masih bisa mengontrol sedikit pikirannya. Namun ibunya gampang stres dan kepikiran. “Kita pasti bisa melewati ini, Mah,” ujar Nayla. “Bagaimana melewati masalah besar ini, Nayla? Apa kamu tidak berpikir kalau kita juga akan kena imbasnya?” Ibu Nayla sudah berpikir jauh. Bagaimana jika suaminya mendekam di dalam penjara bertahun-tahun? Bisa saja ia membayar pengacara t
Nayla begitu syok melihat isi kotak yang terdapat bangkai ayam yang berulat. Nayla sampai mual melihat bangkai ayam tersebut. Bau tidak sedap membuatnya tidak berhenti mual. Ia yang belum makan sedari siang terasa lebih lemas. Kenapa ada orang yang iseng sekali mengirimkan bangkai ayam ke rumahnya? Nayla pergi ke wastafel untuk mencuci tangan yang tadi menyentuh kotak berisi bangkai. Belum ada sehari ia mendapati masalah ayahnya, sudah ada yang mengirimkannya bangkai hewan yang menjijikan. Bagaimana dengan besok? Apa Nayla akan dikirimkan bangkai hewan lainnya atau dikirim hewan-hewan berbahaya. Kepala Nayla terasa pening. Bibirnya terlihat pucat pasi. Ia seperti orang yang sedang sakit keras. Nayla melanjutkan jalannya menuju warung untuk membeli mie instan. Dengan langkah ringkihnya, ia berjalan kira-kira sepuluh meter untuk sampai di warung. Ibu-ibu yang kebetulan juga sedang membeli bahan makanan melihat ke arah Nayla dengan tatapan tak ramah. Nayla memberanikan di
Sinar matahari yang menembus sela-sela jendela menyilaukan mata yang masih butuh istirahat. Kelopak mata gadis itu bergerak. Ia perlahan membuka matanya. Kepalanya terasa berat. Ia melihat sekitar kamarnya. Kemudian menghela napas panjang. Apa akan ada kejutan besar untuk dirinya? Nayla tidak bersemangat untuk turun dari ranjangnya. Ia malas sekali semenjak kemarin. “Apa masalah ini akan selalu membuntutiku terus?” tanyanya pada diri sendiri. Ia keluar dari kamar, semalam ia berhasil tidur saat jam menunjukkan waktu dini hari. Ia juga terganggu oleh dua laki-laki yang berniat jahat padanya. Nayla berjalan ke arah jendela depan rumahnya. Mulut Nayla terbuka lebar saat melihat kaca jendelanya telah pecah. Ia kemudian membuka pintu. Melihat ke jendela lainnya yang sama memiliki kaca yang tak berbentuk. “Oh my God.” Semalam dua orang itu terlalu niat mengganggu waktu istirahatnya. Nayla pun berjalan ke garasi. Ia membuka mobil dan mencari ponselnya. Sudah banyak pes
Nayla membawa belanjaannya yang begitu berat. Ia kesusahan membawa banyak plastik di tangannya. Pikiran Nayla yang hendak meminta tolong pada Zidane dan Annisa untuk membebaskan ayahnya ia urungkan. Ia tidak mau mengemis pada Annisa. Nayla merasa kalah kalau harus menjatuhkan harga diri di depan Annisa. Nayla tidak mau terlihat lemah. Cukup Nayla memohon-mohon pada Zidane dan dihempas begitu saja. Kalau ia memohon pada Annisa. Ia yakin kalau Annisa akan bersikap sok baik padanya dan mencari muka di depan Zidane. Lalu Zidane akan merasa kagum dengan Annisa. Bayangan yang Nayla tidak akan terjadi. Lebih baik ia memikirkan sendiri saja sampai stres sekalipun. Ia memasukkan belanjaan ke dalam mobil. Kiranya sudah cukup belanjaan yang telah ia beli. Nayla segera pulang. Ia bernapas lega ketika sampa di rumah dengan selamat. Tidak ada hambatan sama sekali. Nayla tetap membawa belanjaannya sendiri. Semua pekerja di rumahnya sudah dipecat karena gaji asisten rumah tangganya memb
Ibu Nayla yang tengah istirahat mendengar suara cicitan yang begitu berisik. Tangannya juga terasa geli seperti ada sesuatu yang bergerak-gerak. Ia yang merasa diganggu pun membuka matanya. Kedua bola mata ibu Nayla melotot dan badannya langsung tersentak ketika melihat banyak tikus yang berjalan-jalan di atas kasurnya. Tubuhnya begitu geli melihat hewan menjijikan itu. Ia berteriak kencang. Dengan segera ia turun dari ranjang. Di lantai kamarnya juga terdapat banyak sekali tikus yang entah datangnya dari mana. Ia bergidik geli melihat tikus-tikus itu. Sebuah dasi berlumuran darah dibawa kabur oleh tikus-tikus itu. Ia langsung berjalan keluar dari kamarnya. Mengapa tiba-tiba sekali kamarnya menjadi markas tikus? Ia berjalan ke arah dapur untuk mengambil minum. Dahinya berkeringat karena pengaruh obat tadi. Tubuhnya sudah terasa ringan karena beristirahat sejenak. Tubuhnya masih bergidik geli karena takut melihat puluhan tikus. Seekor tikus tiba-tiba meloncat dari atas ga
“Halo, Mas Yogi,” ucap Nayla yang menelepon Yogi untuk membantu dirinya. Nayla meremas tangannya, ia sebenarnya tidak yakin menghubungi laki-laki itu. Namun di antara kontak yang disimpan di dalam ponselnya, entah kenapa Nayla memilih untuk menghubungi dia. “Iya, halo, Nay. Ada apa?” jawab Yogi dari balik ponsel. “Mas, aku boleh minta bantuan kamu? Ibu aku tiba-tiba nggak sadarkan diri, Mas. Tadi kami juga hampir diusir oleh warga. Aku nggak tahu harus minta bantuan ke siapa lagi,” jelas Nayla. Yogi diam sejenak. Pasalnya ini masih jam kantor. “Nay, aku usahakan ke situ secepatnya.” Nayla tersenyum, akhirnya ada orang yang mau membantu dirinya juga, tanpa membawa-bawa kesalahan ayahnya. “Terima kasih, Mas. Aku tunggu di sini.” Sambungan telepon dimatikan. Nayla senang sekali ada yang masih mau membantu. Ia sadar selama ini tidak memiliki hubungan baik dengan siapa pun. Dengan Annisa pun sekarang ia gengsi. Pasti nanti Zidane akan melarangnya keras. Nayla mencob