Nayla begitu syok melihat isi kotak yang terdapat bangkai ayam yang berulat. Nayla sampai mual melihat bangkai ayam tersebut. Bau tidak sedap membuatnya tidak berhenti mual. Ia yang belum makan sedari siang terasa lebih lemas. Kenapa ada orang yang iseng sekali mengirimkan bangkai ayam ke rumahnya? Nayla pergi ke wastafel untuk mencuci tangan yang tadi menyentuh kotak berisi bangkai. Belum ada sehari ia mendapati masalah ayahnya, sudah ada yang mengirimkannya bangkai hewan yang menjijikan. Bagaimana dengan besok? Apa Nayla akan dikirimkan bangkai hewan lainnya atau dikirim hewan-hewan berbahaya. Kepala Nayla terasa pening. Bibirnya terlihat pucat pasi. Ia seperti orang yang sedang sakit keras. Nayla melanjutkan jalannya menuju warung untuk membeli mie instan. Dengan langkah ringkihnya, ia berjalan kira-kira sepuluh meter untuk sampai di warung. Ibu-ibu yang kebetulan juga sedang membeli bahan makanan melihat ke arah Nayla dengan tatapan tak ramah. Nayla memberanikan di
Sinar matahari yang menembus sela-sela jendela menyilaukan mata yang masih butuh istirahat. Kelopak mata gadis itu bergerak. Ia perlahan membuka matanya. Kepalanya terasa berat. Ia melihat sekitar kamarnya. Kemudian menghela napas panjang. Apa akan ada kejutan besar untuk dirinya? Nayla tidak bersemangat untuk turun dari ranjangnya. Ia malas sekali semenjak kemarin. “Apa masalah ini akan selalu membuntutiku terus?” tanyanya pada diri sendiri. Ia keluar dari kamar, semalam ia berhasil tidur saat jam menunjukkan waktu dini hari. Ia juga terganggu oleh dua laki-laki yang berniat jahat padanya. Nayla berjalan ke arah jendela depan rumahnya. Mulut Nayla terbuka lebar saat melihat kaca jendelanya telah pecah. Ia kemudian membuka pintu. Melihat ke jendela lainnya yang sama memiliki kaca yang tak berbentuk. “Oh my God.” Semalam dua orang itu terlalu niat mengganggu waktu istirahatnya. Nayla pun berjalan ke garasi. Ia membuka mobil dan mencari ponselnya. Sudah banyak pes
Nayla membawa belanjaannya yang begitu berat. Ia kesusahan membawa banyak plastik di tangannya. Pikiran Nayla yang hendak meminta tolong pada Zidane dan Annisa untuk membebaskan ayahnya ia urungkan. Ia tidak mau mengemis pada Annisa. Nayla merasa kalah kalau harus menjatuhkan harga diri di depan Annisa. Nayla tidak mau terlihat lemah. Cukup Nayla memohon-mohon pada Zidane dan dihempas begitu saja. Kalau ia memohon pada Annisa. Ia yakin kalau Annisa akan bersikap sok baik padanya dan mencari muka di depan Zidane. Lalu Zidane akan merasa kagum dengan Annisa. Bayangan yang Nayla tidak akan terjadi. Lebih baik ia memikirkan sendiri saja sampai stres sekalipun. Ia memasukkan belanjaan ke dalam mobil. Kiranya sudah cukup belanjaan yang telah ia beli. Nayla segera pulang. Ia bernapas lega ketika sampa di rumah dengan selamat. Tidak ada hambatan sama sekali. Nayla tetap membawa belanjaannya sendiri. Semua pekerja di rumahnya sudah dipecat karena gaji asisten rumah tangganya memb
Ibu Nayla yang tengah istirahat mendengar suara cicitan yang begitu berisik. Tangannya juga terasa geli seperti ada sesuatu yang bergerak-gerak. Ia yang merasa diganggu pun membuka matanya. Kedua bola mata ibu Nayla melotot dan badannya langsung tersentak ketika melihat banyak tikus yang berjalan-jalan di atas kasurnya. Tubuhnya begitu geli melihat hewan menjijikan itu. Ia berteriak kencang. Dengan segera ia turun dari ranjang. Di lantai kamarnya juga terdapat banyak sekali tikus yang entah datangnya dari mana. Ia bergidik geli melihat tikus-tikus itu. Sebuah dasi berlumuran darah dibawa kabur oleh tikus-tikus itu. Ia langsung berjalan keluar dari kamarnya. Mengapa tiba-tiba sekali kamarnya menjadi markas tikus? Ia berjalan ke arah dapur untuk mengambil minum. Dahinya berkeringat karena pengaruh obat tadi. Tubuhnya sudah terasa ringan karena beristirahat sejenak. Tubuhnya masih bergidik geli karena takut melihat puluhan tikus. Seekor tikus tiba-tiba meloncat dari atas ga
“Halo, Mas Yogi,” ucap Nayla yang menelepon Yogi untuk membantu dirinya. Nayla meremas tangannya, ia sebenarnya tidak yakin menghubungi laki-laki itu. Namun di antara kontak yang disimpan di dalam ponselnya, entah kenapa Nayla memilih untuk menghubungi dia. “Iya, halo, Nay. Ada apa?” jawab Yogi dari balik ponsel. “Mas, aku boleh minta bantuan kamu? Ibu aku tiba-tiba nggak sadarkan diri, Mas. Tadi kami juga hampir diusir oleh warga. Aku nggak tahu harus minta bantuan ke siapa lagi,” jelas Nayla. Yogi diam sejenak. Pasalnya ini masih jam kantor. “Nay, aku usahakan ke situ secepatnya.” Nayla tersenyum, akhirnya ada orang yang mau membantu dirinya juga, tanpa membawa-bawa kesalahan ayahnya. “Terima kasih, Mas. Aku tunggu di sini.” Sambungan telepon dimatikan. Nayla senang sekali ada yang masih mau membantu. Ia sadar selama ini tidak memiliki hubungan baik dengan siapa pun. Dengan Annisa pun sekarang ia gengsi. Pasti nanti Zidane akan melarangnya keras. Nayla mencob
Yogi mengatakan maaf pada Nayla karena ia telah ditelepon untuk kembali ke kantornya. “Maaf, Nay, kayanya aku nggak bisa nemenin kamu saat ini. Aku udah ditelepon anak kantor. Nanti kalau ada apa-apa tinggal kabari aku saja,” ujar Yogi berpamitan pada Nayla. Senyum Nayla yang tadi mengembang mulai kembali menciut. “Oh ya udah, Mas. Maaf ganggu waktu kerja kamu.” Yogi sedikit tidak enak pada Nayla. Namun ia tidak bisa kalau meninggalkan pekerjaannya. Terpaksa Yogi meninggalkan Nayla sendiri di rumah sakit. Nayla menatap punggung Yogi yang semakin jauh. Baru saja ia senang ada yang mau menemani dirinya. Namun ternyata secepat ini. Nayla kembali sendiri, menatap bayangannya. Memang harus siap sendiri. Nayla tidak bisa bergantung pada orang lain untuk memikirkan dirinya. Karena bagi siapa pun, apalagi Yogi, dirinya tidak berarti. Nayla bangun dari duduknya, ia berjalan ke arah pintu IGD. Ia menunggu dokter keluar dari dalam ruangan itu. Menyenderkan punggungnya pada pin
“Ya, aku anakmu. Aku Nayla, Mah. Aku datang ke sini bawa makanan kesukaanmu. Nanti kita juga mau nonton film. Mamah mau nonton film baru apa? Aku bisa memutarkannya untukmu.” Maya yang tadi mau tersulut emosi pun langsung mereda. Ia tadi ingin marah-marah karena Nayla adalah anaknya dengan Diki. Maya sedang sensitif yang berhubungan dengan suaminya. Ekspresi Maya kembali normal. Alisnya tidak menukik seperti tadi. Ia menerima sandwich buah yang diberikan oleh Nayla. Nayla melihat sikap ibunya yang seperti anak kecil. Maya juga jadi sering mengobrol sendiri dan menjawabnya sendiri. Keberadaan Nayla tidak dianggap oleh Maya. Nayla terluka melihat ibunya yang keadaannya jauh dari kata baik-baik saja. Kalau yang sakit adalah fisik ibunya, Nayla mungkin tidak akan seterluka ini. Nayla pun keluar dari ruangan ibunya. Ia mengeluarkan ponsel. Kemudian mengirimkan pesan pada Yogi. [Ibuku terkena depresi, Mas. Aku hancur] Nayla memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku. Kemu
Yogi yang mendapat kabar bahwa ibu Nayla terkena depresi merasa prihatin dengan sahabat mantannya itu. Ia kemudian berpikir untuk mengirim pesan pada Annisa untuk mengabarkan soal Nayla. Yogi tidak bermaksud apa-apa mengirim pesan pada Annisa. Ia sudah move on dari dia. Ia hanya ingin Nayla ada yang menemani. Dirinya terdorong untuk mengirimkan pesan pada sang mantan. [Assalamualaikum, Annisa. Maaf ganggu kamu, aku dengar ibu Nayla dirawat di rumah sakit karena depresi] Yogi mengirim pesan tersebut. Setelah itu ia menyimpan ponsel ke saku. Ia baru akan pulang ke rumahnya dari kantor. *** Rumah dengan suasana tenang begitu nyaman. Seorang wanita berhijab tengah membaca novel islami dengan mata yang fokus. Ponsel yang ada di sampingnya berbunyi. Membuat fokusnya terpecah. Ting! Annisa melihat siapa yang mengirimkan pesan pada dirinya. Ia mengerutkan keningnya. Tumben sekali Yogi mengiriminya pesan. Ia pun membuka pesan tersebut. Irisnya terbuka lebar. Novel yang ad
“Kamu pasti bohong, kan?” Zidane berusaha untuk tidak percaya dengan kebenaran itu. Namun, binar mata Rizky yang tidak berkedip sedikit pun itu menghancurkan pengharapannya. “Saya punya buktinya, Pak. Orang suruhan Pak Alfian telah mengaku kepada kita. Bahkan saya sudah memberikan sejumlah uang yang nominalnya lebih besar dari yang ia terima agar pria itu mau membuka mulutnya,” jelas Rizky sambil mengutak atik layar IPADnya kemudian memberikannya kepada Zidane untuk dilihat pria itu. Zidane menggebrak meja lagi. Darahnya berdesir. Dadanya terasa sakit seperti ada pisau yang menusuk di sana. “Apa motifnya?” tanya Zidane lagi. Tangan lebarnya meraup wajah kasarnya. Rambut tipis telah tumbuh di dagu dan kumisnya akibat ia belum punya waktu untuk mencukur. “Perusahaan Alfian ingin menekan perusahaan ini agar anjlok dan tunduk di bawah kekuasaan mereka. rencana mereka ingin membeli separuh saham milik kita. Maka dari itu mereka sengaja menciptakan rumor palsu tentang perusahaan ini.” Z
Setelah mengetahui kebenaran kalau selama ini Annisalah yang membantu perusahaan ayahnya ketika hampir bangkut membuat Zidane semakin bersemangat untuk bekerja dan tidak boleh berleha-leha lagi. Zidane sangat berterimakasih kepada istrinya itu yang masih mau membantu perusahaan milik mertuanya meski Annisa belum mendapatkan restu sama sekali dari mereka. Cara satu-satunya yang bisa Zidane lakukan untuk membalas semua kebaikan istrinya meskipun tidak bisa semua kebaikan istrinya yang bisa ia balas adalah dengan memastikan pekerjaan di kantor bisa beres semua tanpa ada kesalahan sedikit pun. Zidane tidak boleh membebani Annisa lagi, istrinya itu belum cukup pulih benar. Selama kehamilan ini, keadaan Annisa selalu dipantau oleh dokter spesialis kandungannya. Dokter juga menyarankan Zidane untuk bisa menjadi suami siaga. Maka dari itu, sebisa mungkin ia tidak akan membawa pekerjaan ke rumah karena selama di rumah fokusnya harus penuh ke istrinya itu. Tumpukan berkas di meja Zidane dari
Zidane masih tak percaya dengan apa yang dilihatnya barusan. Ternyata isi amplop cokelat besar itu adalah dokumen penting yang tertera bahwa Annisa telah mengalirkan dana miliaran rupiah ke perusahaan Alfian. Zidane baru menyadari bahwa orang yang telah membeli saham perusahaan Alfian ketika perusahaan itu hampir bangkrut adalah Annisa."Bagaimana bisa aku nggak tahu Kia melakukan ini di belakangku?" gumam Zidane seraya mengembus napas lirih. Ia agak sedikit marah karena waktu itu ia sudah melarang Annisa melakukan itu sebab tak mau dianggap sebagai suami yang memanfaatkan kekayaan sang istri. Kedua mata Zidane masih fokus membaca isi dokumen secara runut. Dari mulai lembaran pertama hingga ke lembaran selanjutnya. Saking fokusnya ia tak menyadari jika sudah menghabiskan waktu hampir lima belas menit. "Astaga! Aku ke kamar 'kan niatnya mau cari obatnya Kia." Zidane menepuk keningnya pelan. Ia pun kembali memasukkan lembaran-lembaran itu ke amplop dan menaruhnya di tempat semula. Ama
Zidane sejenak tertegun sambil memandang ke arah jendela ruang kantornya. Waktu sudah hampir petang sebab eksistensi matahari sebentar lagi akan digantikan oleh bulan. Sesekali ia mengembus napas kasar sebab memikirkan masalah yang tengah melanda perusahaannya. Suasana di ruangan kantor itu juga terasa sangat gelap dan sunyi, hanya terdengar denting jam dinding. Zidane sengaja tak menghidupkan lampu karena ia lebih senang berpikir dalam keadaan minim cahaya. Menurutnya itu bisa lebih membuat pikirannya rileks. Seperti yang diperintahkan oleh Zidane tadi, Rizky sudah menyuruh admin publishing untuk mengunggah sertifikat uji kelayakan produk milik perusahaan. Setelah sertifikat itu di-upload banyak pihak yang berkomentar dan komen negatif mulai sedikit terkikis. Untung saja mereka bertindak cepat, kalau tidak perusahaan akan mengalami kerugian lebih besar. "Saya juga sudah menangani beberapa artikel buruk mengenai produk kita, Pak. Semuanya akan dihapus secara bertahap," terang Rizky
“Annisa!!!” Zidane berteriak seperti orang kesetanan begitu sampai di rumah. Pria itu mencari istrinya ke setiap sudut rumah dengan perasaan campur aduk. Begitu melihat Annisa di dapur, ia langsung berlari dan memeluknya. “Kamu kenapa tumben pulang cepat?” tanya Annisa bingung begitu ia memisahkan diri dari pelukan Zidane. “Tangan kamu kenapa ini?” Zidane manatap tangan Annisa dengan penuh kekhawatiran begitu melihat tangan kanan Annisa yang penuh dengan luka gores. “Oh ini, tadi nggak sengaja kena duri mawar.” Tatapan Zidane kini beralih ke arah Vivi. “Mama nyuruh Annisa untuk melakukan ini semua kan? Iya kan? Jawab pertanyaan aku.” Vivi langsung memasang tampang masam. Kedua tangannya ia lipat di depan dada. “Istrimu yang ngadu ya? Mama cuma mau membantu Annisa semua nggak malas-malasan saja di kamar. Ternyata istri kamu ini adalah wanita yang lemah. Baru segini saja sudah mengeluh,” sindir Vivi. “Mama!!! Sudah berapa kali Zidane bilang kalau Annisa ini tidak boleh terlalu cap
Annisa terpaksa bangun dari istirahat siangnya begitu mendengar suara pintu kamar yang diketuk. Sejak tadi pagi tubuhnya letih sekali sehingga memutuskan untuk tidur setelah mengantarkan Zidane berangkat bekerja. Sudah beberapa hari Annisa dan Zidane memutuskan untuk tinggal di rumah Vivi dan Alfian demi mengupayakan agar Vivi bisa sembuh lebih cepat. Meskipun kurang nyaman, tapi Annisa mencoba untuk bertahan sekuat mungkin di rumah besar dan megah ini. Andaikan hubungan Annisa dengan Mama mertuanya tidak seburuk ini, mungkin ia akan betah untuk tinggal. Selama berada di sini, Annisa merasa waktu berjalan sangat lambat dibandingkan dengan waktu yang ia habiskan di rumahnya sendiri. Pun dengan Zidane yang akhir-akhir ini sering pulang terlambat dari kantor menambah kurangnya semangat Annisa dalam menjalani harinya. Annisa bisa saja meminta Zidane untuk kembali saja ke rumah mereka, tapi itu akan menambah buruk hubungannya dengan Vivi. Ditambah lagi Annisa tidak ingin mertuannya jatu
Keesokan harinya Tiara bisa bermalas-malasan di rumah karena memang sedang weekend. Tadinya ia akan pergi berkencan dengan Rizky, tapi nyatanya kekasihnya itu harus bekerja lembur sehingga rencana mereka gagal. "Ra, kamu sudah bangun belum?" panggil Rubi sambil mengetuk pintu kamar putri sulungnya. Tiara yang sudah bangun sedari tadi dan hanya main smartphone di atas kasur pun menyahuti mamanya dengan malas. "Aku udah bangun kok, Ma. Cuma lagi males aja keluar kamar. Lagian sekarang juga libur."Rubi yang berada di depan pintu kamar Tiara hanya geleng-geleng kepala sambil tersenyum. Ia paham betul putrinya itu memang suka sekali bermalas-malasan saat libur kerja. Namun, mulai saat ini ia harus segera mengubah pola hidup anaknya itu. "Sekarang kamu keluar dulu, Ra. Masa perempuan yang sudah mau dilamar orang kerjanya malas-malasan. Coba belajar untuk tetap mandi pagi dan turun dari kasur setelah bangun walaupun sedang libur," suruh Rubi. Tak berapa lama, Tiara muncul membuka pintu
Setelah berbincang dengan Zidane di kafe tadi, Rizky sedikit mempertimbangkan saran dari atasannya itu. Namun, ia masih merasa jika saat ini belum waktunya untuk menjelaskan semuanya pada Tiara. Hatinya masih meragu karena takut kekasihnya itu akan pergi jika ia menceritakan soal rencana perjodohannya. Waktu sekarang menunjukkan tepat pukul lima sore dan Rizky bersiap-siap untuk pulang. Namun, baru saja ia membuka pintu ruangannya tiba-tiba saja Tiara muncul di hadapannya sambil tersenyum manis. Wajah Rizky terlihat kusut karena sedari tadi memikirkan masalah perjodohannya. Sebagai kekasih dari Rizky, jelas Tiara bisa sangat peka jika pasangannya itu sedang menyembunyikan masalah. "Biasanya kalau aku muncul kamu langsung peluk aku terus nyengir. Nah ini kok kamu diem aja dan mukanya ditekuk gitu. Kamu ada masalah ya?" tebak Tiara sambil mengerutkan dahi dan menatap Rizky tajam. "Nggak ada kok. Aku cuma lagi capek aja soalnya kerjaan lagi numpuk," dalih Rizky. Tiara tak serta mert
Setelah menghabiskan waktu pagi bersama Annisa dengan sarapan dan berjalan-jalan di taman, Zidane pun berangkat ke kantor. Hatinya baru bisa lega saat istrinya itu sudah tidak marah lagi padanya. Sebenarnya Zidane agak khawatir meninggalkan Annisa sendiri di rumah orang tuanya, tapi Annisa meyakinkannya jika tidak akan ada masalah. Istrinya itu mengatakan jika bisa mengatasi semuanya dengan baik. Ia pun percaya karena memang harus segera berangkat ke kantor sebab pekerjaan sudah menunggu. "Aku berangkat dulu ya," pamit Zidane. "Hati-hati ya, Mas," sahut Annisa sambil mencium punggung tangan kanan suaminya. Zidane pun menaiki mobilnya menuju kantor. Ia harus segera sampai karena memang sudah telat. Untung saja tidak ada panggilan mendadak sehingga ia tak perlu terlalu terburu-buru. Lagi pula sebelumnya ia juga sudah menghubungi Rizky perihal kedatangannya yang terlambat. Baru saja sampai di kantor, Zidane langsung bergegas menuju ruangannya. Kedatangannya disambut oleh beberapa pe