Yogi mengatakan maaf pada Nayla karena ia telah ditelepon untuk kembali ke kantornya. “Maaf, Nay, kayanya aku nggak bisa nemenin kamu saat ini. Aku udah ditelepon anak kantor. Nanti kalau ada apa-apa tinggal kabari aku saja,” ujar Yogi berpamitan pada Nayla. Senyum Nayla yang tadi mengembang mulai kembali menciut. “Oh ya udah, Mas. Maaf ganggu waktu kerja kamu.” Yogi sedikit tidak enak pada Nayla. Namun ia tidak bisa kalau meninggalkan pekerjaannya. Terpaksa Yogi meninggalkan Nayla sendiri di rumah sakit. Nayla menatap punggung Yogi yang semakin jauh. Baru saja ia senang ada yang mau menemani dirinya. Namun ternyata secepat ini. Nayla kembali sendiri, menatap bayangannya. Memang harus siap sendiri. Nayla tidak bisa bergantung pada orang lain untuk memikirkan dirinya. Karena bagi siapa pun, apalagi Yogi, dirinya tidak berarti. Nayla bangun dari duduknya, ia berjalan ke arah pintu IGD. Ia menunggu dokter keluar dari dalam ruangan itu. Menyenderkan punggungnya pada pin
“Ya, aku anakmu. Aku Nayla, Mah. Aku datang ke sini bawa makanan kesukaanmu. Nanti kita juga mau nonton film. Mamah mau nonton film baru apa? Aku bisa memutarkannya untukmu.” Maya yang tadi mau tersulut emosi pun langsung mereda. Ia tadi ingin marah-marah karena Nayla adalah anaknya dengan Diki. Maya sedang sensitif yang berhubungan dengan suaminya. Ekspresi Maya kembali normal. Alisnya tidak menukik seperti tadi. Ia menerima sandwich buah yang diberikan oleh Nayla. Nayla melihat sikap ibunya yang seperti anak kecil. Maya juga jadi sering mengobrol sendiri dan menjawabnya sendiri. Keberadaan Nayla tidak dianggap oleh Maya. Nayla terluka melihat ibunya yang keadaannya jauh dari kata baik-baik saja. Kalau yang sakit adalah fisik ibunya, Nayla mungkin tidak akan seterluka ini. Nayla pun keluar dari ruangan ibunya. Ia mengeluarkan ponsel. Kemudian mengirimkan pesan pada Yogi. [Ibuku terkena depresi, Mas. Aku hancur] Nayla memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku. Kemu
Yogi yang mendapat kabar bahwa ibu Nayla terkena depresi merasa prihatin dengan sahabat mantannya itu. Ia kemudian berpikir untuk mengirim pesan pada Annisa untuk mengabarkan soal Nayla. Yogi tidak bermaksud apa-apa mengirim pesan pada Annisa. Ia sudah move on dari dia. Ia hanya ingin Nayla ada yang menemani. Dirinya terdorong untuk mengirimkan pesan pada sang mantan. [Assalamualaikum, Annisa. Maaf ganggu kamu, aku dengar ibu Nayla dirawat di rumah sakit karena depresi] Yogi mengirim pesan tersebut. Setelah itu ia menyimpan ponsel ke saku. Ia baru akan pulang ke rumahnya dari kantor. *** Rumah dengan suasana tenang begitu nyaman. Seorang wanita berhijab tengah membaca novel islami dengan mata yang fokus. Ponsel yang ada di sampingnya berbunyi. Membuat fokusnya terpecah. Ting! Annisa melihat siapa yang mengirimkan pesan pada dirinya. Ia mengerutkan keningnya. Tumben sekali Yogi mengiriminya pesan. Ia pun membuka pesan tersebut. Irisnya terbuka lebar. Novel yang ad
Annisa sakit hati sekali mendengar kata-kata yang keluar dari ucapan Nayla. Orang yang ia percaya sebagai sahabatnya malah menuduh dirinya yang tidak-tidak. Annisa tidak menyangka kalau Nayla memiliki sifat yang buruk padanya. Niat hati ingin menemani, ia malah dimaki-maki. Suaminya memang yang membuka kedok ayah Nayla di kantor. Itu semua dilakukan oleh Zidane karena bersifat profesional dalam bekerja. Annisa pun membawa kembali parsel yang ditolak oleh Nayla. Ia berjalan menyusuri lorong rumah sakit dengan berjalan menunduk. Ia memikirkan ucapan Nayla yang mengatakan kalau dirinya merebut semua yang Nayla miliki. Ia tidak tahu maksudnya. Annisa tidak tahu apa yang ia rebut dari Nayla. Annisa terus bertanya-tanya sepanjang jalan pulang. Jadi hubungan persahabatan dengan Nayla sampai ini saja?*** Nayla di dalam ruangan ibunya memperhatikan Maya yang berbaring istirahat. Ia menghela napas panjang. Kemudian duduk di sofa yang tersedia. Nayla juga merebahkan tubuhnya di
Seorang lelaki dengan wajah tegas menatap monitor yang menyala menunjukkan banyak sekali bukti kejahatan dari sahabatnya. Orang terdekat yang ia selalu percaya sudah mematahkan kepercayaannya. Ia memijat kepalanya karena hari ini telah melewati hari yang sangat mengejutkan dalam kehidupannya sekaligus membuat senang karena orang yang selama ini berkhianat telah terungkap. Jari Pak Alfian menekan kembali keyboard laptop. Video di mana Diki tengah memberikan uang pada James terlihat jelas. “Ambil uang ini dan buat perusahaan Alfian hancur!” ucap Diki pada video itu. “Apa setelah perusahaan ini hancur kami hanya mendapatkan ini? Apa rencanamu kalau perusahaan ini hancur?” tanya James pada Diki. Di video itu, ada banyak para bawahan James yang ikut bekerja sama untuk berkhianat, yang saat ini juga sudah ada di balik sel. “Rencanaku meraup banyak uang dan mengurasnya sampai habis, setelah itu menikahkan anak gadisku dengan Zidane untuk menyelamatkan perusahaan ini. Setelah
Annisa terkejut dengan apa yang disiarkan di televisi. Zidane dari kemarin tidak menceritakan di balik alasan Pak Diki melakukan korupsi. Zidane hanya menjelaskan kerugian-kerugiannya saja. “Mas, kok, media nanyanya gitu, sih?” tanya Annisa. Zidane menghela nafas. Entah tahu dari mana media sampai tahu ke akar-akarnya. Apalagi itu adalah masalah pribadi yang sebenarnya tidak perlu diangkat ke publik. Annisa menunggu Zidane menjawab. Perasaannya tidak enak setelah mendengar berita. Zidane melihat wajah masam istrinya. Ia menyeruput kopi buatan Annisa terlebih dahulu. Kemudian Zidane mengangkat tangannya, mengarahkan tangan pada sudut bibir Annisa dan menariknya ke atas. “Jangan cemberut, harus senyum dulu,” ujarnya bersikap manis. Namun Annisa sedang tidak bisa untuk diajak romantis-romantisan. “Jelasin dulu.” Annisa melepaskan tangan Zidane dari ujung bibirnya. Zidane menarik napas panjang. “Mau tahu banget atau mau tahu aja?” ledeknya. Annisa mencebikkan bib
Kedua mata Annisa ditutup oleh Zidane. Annisa berjalan ke mobil dengan dituntun oleh Zidane. Sepanjang perjalanan, Annisa tidak berhenti bertanya pada Zidane. “Mas, kamu mau bawa aku ke mana, sih? Kenapa juga harus tutup mata segala?” Entah sudah berapa kali Annisa mengulang pertanyaan yang sama. “Tenang, aku nggak akan bawa kamu ke tempat yang menakutkan. Kamu kalem aja duduk.” Annisa tidak bisa tenang, apalagi kalem kalau matanya terus ditutup seperti ini. Ia tidak sabar mau melihat apa yang akan ditunjukkan Zidane pada dirinya. Setelah Annisa ditutup matanya selama 30 menit, Zidane menuntun Annisa berjalan. “Awas kakinya hati-hati, ada kotoran kucing,” ujar Zidane mengusili istrinya. Annisa panik, ia berjinjit sembari melangkah. Zidane menahan tawanya. “Sekarang kita mau lewat kolam buaya,” interupsi Zidane. “Mas ....” Annisa menghentikan langkahnya. Ia ragu untuk melangkah. “Ayo, Sayang, kok, berhenti?” tanya Zidane. “Mas bawa aku ke mana, sih? Ak
“Kamu kenapa, sih, Mas? Kelihatannya pusing banget. Masalah kantor kan sudah selesai oleh Zidane. Sekarang apa lagi yang kamu pusingkan?” tanya Vivi yang melihat Alfian terus memijit kepalanya sendiri. “Aku masih memikirkan kenapa harus sahabatku sendiri yang melakukan kejahatan itu, Sayang. Mengapa tidak James saja? Orang yang aku percaya, sudah aku anggap seperti saudara. Berkhianat kepadaku. Pada perusahaan yang telah aku rintis. Niatnya untuk apa? Untuk menikahkan anaknya dengan Zidane, Mah. Alasan yang kurang masuk akal hanya untuk menghancurkan perusahaanku,” jawab Alfian menumpahkan semua kekesalannya. Sebagai istri, Vivi menenangkan suaminya. “Mas ... sekarang masalahnya kan sudah selesai. Sudahlah yang penting Diki akan mendapatkan hukuman setimpal.” “Kamu tahu gimana sifat aku ‘kan? Aku nggak bisa nggak mikirin yang ganggu pikiran aku. Masalah kecil saja aku pikirkan. Ini masalah besar, Mah,” ujar Alfian. “Tapi ini sudah selesai, Pah. Diki sekarang sudah mendeka