“Kamu kenapa, sih, Mas? Kelihatannya pusing banget. Masalah kantor kan sudah selesai oleh Zidane. Sekarang apa lagi yang kamu pusingkan?” tanya Vivi yang melihat Alfian terus memijit kepalanya sendiri. “Aku masih memikirkan kenapa harus sahabatku sendiri yang melakukan kejahatan itu, Sayang. Mengapa tidak James saja? Orang yang aku percaya, sudah aku anggap seperti saudara. Berkhianat kepadaku. Pada perusahaan yang telah aku rintis. Niatnya untuk apa? Untuk menikahkan anaknya dengan Zidane, Mah. Alasan yang kurang masuk akal hanya untuk menghancurkan perusahaanku,” jawab Alfian menumpahkan semua kekesalannya. Sebagai istri, Vivi menenangkan suaminya. “Mas ... sekarang masalahnya kan sudah selesai. Sudahlah yang penting Diki akan mendapatkan hukuman setimpal.” “Kamu tahu gimana sifat aku ‘kan? Aku nggak bisa nggak mikirin yang ganggu pikiran aku. Masalah kecil saja aku pikirkan. Ini masalah besar, Mah,” ujar Alfian. “Tapi ini sudah selesai, Pah. Diki sekarang sudah mendeka
“Kalau kamu memukul saya, akan semakin lama kamu mendekam di penjara,” ucap Alfian. Tangan Diki yang sudah ancang-ancang kembali turun. Ia juga mengendurkan tangannya yang menarik kerah baju Alfian. “Kenapa tidak jadi memukul? Apa karena takut selamanya mendekam di sini? Bukankah kehidupanmu akan lebih baik jika tidak bertemu dengan orang-orang? Harga dirimu sudah tidak ada lagi. Aku hanya mengingatkan.” Diki menoleh ke arah lain. Ia baru sadar kalau dirinya telah menghancurkan semuanya. Martabat yang telah dibangun sudah runtuh, kepercayaan orang-orang telah patah, keluarganya juga demikian. Diki kemudian mengangkat kepalanya. Ia menatap pada sahabat yang telah ia khianati. “Pengkhianat akan selamanya pengkhianat. Saya telah puas mendengar semua perkataanmu yang tidak mengandung penyesalan sama sekali. Baguslah, semoga tenang di dalam jeruji.” Alfian keluar dari tempat jenguk. Sipir kemudian menghampiri Diki dan mengembalikan Diki ke dalam sel. Diki masih tidak
“Annisa bilang padaku kalau aku sudah tidak pantas hidup lagi, Tan. Aku benar-benar hancur. Memang aku yang salah. Aku mencintai suami dari sahabatku. Aku tidak punya kendali atas perasaanku. Aku bodoh sekali. Harusnya aku memang tidak egois dengan perasaanku. Aku memang tidak pantas hidup. Aku hanya parasit.” Nayla menumpahkan air matanya. Vivi yang melihat Nayla menangis meraung. Perasaannya ikut hanyut. Merasa rapuh melihat Nayla yang kini tidak memiliki siapa-siapa. “Aku ingin mati sekarang juga kalau Tuhan berkehendak. Aku lelah. Fisikku, batinku, semuanya,” ucap Nayla putus asa. “Jangan berkata seperti itu, Nay. Kamu masih memiliki tante, tante sudah menganggap kamu sebagai anak tante. Memang seharusnya kamu yang menjadi menantu tante. Istri Zidane memang kurang ajar. Tante tidak akan membiarkan dia melukai hatimu. Akan tante laporkan pada Zidane. Bagaimana aku bisa menerima menantu seperti dia. Hijabnya saja yang panjang menutupi dada. Namun akhlak dan otaknya pendek
Nayla menatap ayahnya yang memakai pakaian orange. Wajah ayahnya sangat kusut dan tidak terawat. Pak Diki berjalan menghampirinya Nayla. Pak Diki merentangkan kedua tangannya hendak memeluk Nayla. Namun Nayla mundur satu langkah. Ia menggelengkan kepalanya seraya meneteskan air mata. “Tidak, aku tidak mau dipeluk Papah,” ucapnya. Pak Diki sangat terluka. Anaknya menolak dipeluk olehnya. Ia melihat luka yang begitu besar dari mata Nayla. Pak Diki pun duduk di seberang anaknya. Tidak ada yang memulai pembicaraan. Nayla menundukkan kepala dengan air mata yang terus mengalir deras. Ia tidak kuat melihat kondisi ayahnya yang menyedihkan. “Nak,” panggil Pak Diki. Nayla yang dipanggil oleh ayahnya dengan sebutan ‘Nak’ semakin deras menangis. Entahlah, dada Nayla sesak sekali. Kondisi saat ini membuat Nayla gampang sekali menangis. “Bagaimana kabarmu dan kabar mamah?” tanya Pak Diki. Nayla akhirnya mengangkat kepalanya. Ia menatap sang ayah dengan kedua mata yang mem
Nayla pulang diantar oleh Yogi lagi. Ia tidak mengatakan apa pun sepanjang peradaban. Pikirannya terlalu berisik. Nayla hanya menatap nanar ke depan. Yogi membiarkan Nayla merenung. Tidak mau menggangu Nayla yang terlihat banyak pikiran. Sesekali Yogi mendengar suara helaan napas panjang dari mulut Nayla. Yogi menawarkan pada Nayla untuk makan di luar. Namun Nayla menolaknya. Yogi pun membelikan makanan saja dan menyuruh Nayla untuk makan di dalam mobil. Sayangnya makanan itu juga dicueki oleh Nayla. Tidak sekalipun disentuh oleh tangan Nayla. Yogi terus menjalankan mobilnya. Sampai di rumah sakit, Nayla masih tetap duduk di jok mobil. “Nay,” panggil Yogi. Nayla masih sibuk dengan dunianya sendiri. Setelah bahunya digoyangkan, Nayla pun tersadar. Ia melihat rumah sakit dari kaca mobil. “Astaga, sudah sampai ternyata,” ucapnya panik. Ia menoleh pada Yogi. “Maaf, ya, Mas. Aku benar-benar tidak sadar. Terima kasih sudah mau mengantarkan aku bertemu dengan ayahku dan
Nayla telah menemukan tempat di mana yang mobilitasnya lebih rendah dan masyarakatnya sibuk dengan sendiri-sendiri. Nayla mengurus semua keperluan yang penting-penting saja. Asal nanti Nayla dan ibunya bisa hidup tenang tanpa ada gangguan. Dar mulai tiket, surat pindah, Nayla mengurusnya sendiri. Ia benar-benar tidak mau diketahui oleh siapa pun. Jadi Nayla memutuskan untuk melakukan semuanya sendiri. Niat Nayla adalah meninggalkan apa yang ada di kota ini tanpa terkecuali. Kira-kira tiga hari tela berlalu. Nayla sudah mengatur banyak berkas yang diperlukan untuk dirinya pindah. Nayla tidak dikunjungi oleh siapa pun. Entah itu Yogi atau ibu Zidane. Nayla selalu menolak ketika mereka mengirimkan pesan akan datang menjenguk. Nayla hanya menjawab kalau ibunya sedang perlu istirahat dan tidak bisa diganggu. Untungnya kedua orang itu percaya padanya. Kondisi ibunya saat ini sudah bisa dikatakan sembuh. Walaupun tidak sembuh total. Dokter memperingati Nayla untuk terus menj
Yogi terus menghubungi nomor Nayla berkali-kali. Sejak ia terakhir kali menelepon Nayla. Dia sudah tidak bisa lagi menghubungi Nayla. “Kenapa dia tidak bisa lagi dihubungi?” tanyanya. Jam sudah menunjukkan pukul empat sore. Dari siang ia sudah mencoba menghubungi Nayla. Namun nomor telepon Nayla sudah tidak aktif. Yogi pun bergegas untuk menemui Nayla di rumah sakit. Sudah tiga hari ia menahan diri untuk tidak bertemu dengan Nayla. Ia membawa mobilnya dengan kecepatan tinggi. Perasaannya mendadak tidak enak. Entah apa yang terjadi pada Nayla, yang jelas Yogi merasa ada yang tidak beres. Sampai di rumah sakit. Kakinya melangkah ke ruang rawat ibu Nayla. Ia berjalan cepat. Sudah tidak sabar bertemu dengan Nayla. Rindunya telah menggebu-gebu karena tiga hari tak melihat senyuman Nayla. Terakhir kali melihat Nayla, saat ia mengantar dia pulang menjenguk ayahnya. Yogi mengetuk pintu ruang rawat Maya. Namun tak kunjung dibuka. Seorang suster yang berjalan menghampiri Yogi.
Yogi menghubungi Annisa untuk bertanya kabar Nayla. [Sa, kamu tahu di mana Nayla?] Annisa yang sedang fokus pada layar monitor komputernya pun menoleh pada ponsel yang berbunyi. Nama Yogi tertera pada notifikasi. Annisa pun membuka pesan tersebut. Ia bingung dengan pesan yang Yogi kirimkan padanya. Ia saja sudah putus komunikasi sejak ia bertemu dengan Nayla saat ia menjenguk dan berakhir diusir. [Di rumah sakit ‘kan?] Annisa hanya tahu kalau Nayla masih berada di rumah sakit. [Nggak, Nay. Ibu Nayla sudah sembuh. Dia tadi pagi sudah meninggalkan rumah sakit dan rumahnya sudah dijual. Bukan Nayla lagi yang menempati rumahnya] Annisa terkejut membaca pesan dari Yogi yang mengabarkan kalau sahabatnya telah pergi meninggalkan kota ini. Annisa pun tidak tahu apa-apa soal Nayla. Yogi mengirimkan lagi pesan padanya. [Kalau ada kabar dari Nayla tolong hubungi aku, ya, Sa] Annisa mengiyakan. Ia juga tidak tahu nanti akan mendapatkan kabar baik atau tidak dari Nayla.