Kedua mata Annisa ditutup oleh Zidane. Annisa berjalan ke mobil dengan dituntun oleh Zidane. Sepanjang perjalanan, Annisa tidak berhenti bertanya pada Zidane. “Mas, kamu mau bawa aku ke mana, sih? Kenapa juga harus tutup mata segala?” Entah sudah berapa kali Annisa mengulang pertanyaan yang sama. “Tenang, aku nggak akan bawa kamu ke tempat yang menakutkan. Kamu kalem aja duduk.” Annisa tidak bisa tenang, apalagi kalem kalau matanya terus ditutup seperti ini. Ia tidak sabar mau melihat apa yang akan ditunjukkan Zidane pada dirinya. Setelah Annisa ditutup matanya selama 30 menit, Zidane menuntun Annisa berjalan. “Awas kakinya hati-hati, ada kotoran kucing,” ujar Zidane mengusili istrinya. Annisa panik, ia berjinjit sembari melangkah. Zidane menahan tawanya. “Sekarang kita mau lewat kolam buaya,” interupsi Zidane. “Mas ....” Annisa menghentikan langkahnya. Ia ragu untuk melangkah. “Ayo, Sayang, kok, berhenti?” tanya Zidane. “Mas bawa aku ke mana, sih? Ak
“Kamu kenapa, sih, Mas? Kelihatannya pusing banget. Masalah kantor kan sudah selesai oleh Zidane. Sekarang apa lagi yang kamu pusingkan?” tanya Vivi yang melihat Alfian terus memijit kepalanya sendiri. “Aku masih memikirkan kenapa harus sahabatku sendiri yang melakukan kejahatan itu, Sayang. Mengapa tidak James saja? Orang yang aku percaya, sudah aku anggap seperti saudara. Berkhianat kepadaku. Pada perusahaan yang telah aku rintis. Niatnya untuk apa? Untuk menikahkan anaknya dengan Zidane, Mah. Alasan yang kurang masuk akal hanya untuk menghancurkan perusahaanku,” jawab Alfian menumpahkan semua kekesalannya. Sebagai istri, Vivi menenangkan suaminya. “Mas ... sekarang masalahnya kan sudah selesai. Sudahlah yang penting Diki akan mendapatkan hukuman setimpal.” “Kamu tahu gimana sifat aku ‘kan? Aku nggak bisa nggak mikirin yang ganggu pikiran aku. Masalah kecil saja aku pikirkan. Ini masalah besar, Mah,” ujar Alfian. “Tapi ini sudah selesai, Pah. Diki sekarang sudah mendeka
“Kalau kamu memukul saya, akan semakin lama kamu mendekam di penjara,” ucap Alfian. Tangan Diki yang sudah ancang-ancang kembali turun. Ia juga mengendurkan tangannya yang menarik kerah baju Alfian. “Kenapa tidak jadi memukul? Apa karena takut selamanya mendekam di sini? Bukankah kehidupanmu akan lebih baik jika tidak bertemu dengan orang-orang? Harga dirimu sudah tidak ada lagi. Aku hanya mengingatkan.” Diki menoleh ke arah lain. Ia baru sadar kalau dirinya telah menghancurkan semuanya. Martabat yang telah dibangun sudah runtuh, kepercayaan orang-orang telah patah, keluarganya juga demikian. Diki kemudian mengangkat kepalanya. Ia menatap pada sahabat yang telah ia khianati. “Pengkhianat akan selamanya pengkhianat. Saya telah puas mendengar semua perkataanmu yang tidak mengandung penyesalan sama sekali. Baguslah, semoga tenang di dalam jeruji.” Alfian keluar dari tempat jenguk. Sipir kemudian menghampiri Diki dan mengembalikan Diki ke dalam sel. Diki masih tidak
“Annisa bilang padaku kalau aku sudah tidak pantas hidup lagi, Tan. Aku benar-benar hancur. Memang aku yang salah. Aku mencintai suami dari sahabatku. Aku tidak punya kendali atas perasaanku. Aku bodoh sekali. Harusnya aku memang tidak egois dengan perasaanku. Aku memang tidak pantas hidup. Aku hanya parasit.” Nayla menumpahkan air matanya. Vivi yang melihat Nayla menangis meraung. Perasaannya ikut hanyut. Merasa rapuh melihat Nayla yang kini tidak memiliki siapa-siapa. “Aku ingin mati sekarang juga kalau Tuhan berkehendak. Aku lelah. Fisikku, batinku, semuanya,” ucap Nayla putus asa. “Jangan berkata seperti itu, Nay. Kamu masih memiliki tante, tante sudah menganggap kamu sebagai anak tante. Memang seharusnya kamu yang menjadi menantu tante. Istri Zidane memang kurang ajar. Tante tidak akan membiarkan dia melukai hatimu. Akan tante laporkan pada Zidane. Bagaimana aku bisa menerima menantu seperti dia. Hijabnya saja yang panjang menutupi dada. Namun akhlak dan otaknya pendek
Nayla menatap ayahnya yang memakai pakaian orange. Wajah ayahnya sangat kusut dan tidak terawat. Pak Diki berjalan menghampirinya Nayla. Pak Diki merentangkan kedua tangannya hendak memeluk Nayla. Namun Nayla mundur satu langkah. Ia menggelengkan kepalanya seraya meneteskan air mata. “Tidak, aku tidak mau dipeluk Papah,” ucapnya. Pak Diki sangat terluka. Anaknya menolak dipeluk olehnya. Ia melihat luka yang begitu besar dari mata Nayla. Pak Diki pun duduk di seberang anaknya. Tidak ada yang memulai pembicaraan. Nayla menundukkan kepala dengan air mata yang terus mengalir deras. Ia tidak kuat melihat kondisi ayahnya yang menyedihkan. “Nak,” panggil Pak Diki. Nayla yang dipanggil oleh ayahnya dengan sebutan ‘Nak’ semakin deras menangis. Entahlah, dada Nayla sesak sekali. Kondisi saat ini membuat Nayla gampang sekali menangis. “Bagaimana kabarmu dan kabar mamah?” tanya Pak Diki. Nayla akhirnya mengangkat kepalanya. Ia menatap sang ayah dengan kedua mata yang mem
Nayla pulang diantar oleh Yogi lagi. Ia tidak mengatakan apa pun sepanjang peradaban. Pikirannya terlalu berisik. Nayla hanya menatap nanar ke depan. Yogi membiarkan Nayla merenung. Tidak mau menggangu Nayla yang terlihat banyak pikiran. Sesekali Yogi mendengar suara helaan napas panjang dari mulut Nayla. Yogi menawarkan pada Nayla untuk makan di luar. Namun Nayla menolaknya. Yogi pun membelikan makanan saja dan menyuruh Nayla untuk makan di dalam mobil. Sayangnya makanan itu juga dicueki oleh Nayla. Tidak sekalipun disentuh oleh tangan Nayla. Yogi terus menjalankan mobilnya. Sampai di rumah sakit, Nayla masih tetap duduk di jok mobil. “Nay,” panggil Yogi. Nayla masih sibuk dengan dunianya sendiri. Setelah bahunya digoyangkan, Nayla pun tersadar. Ia melihat rumah sakit dari kaca mobil. “Astaga, sudah sampai ternyata,” ucapnya panik. Ia menoleh pada Yogi. “Maaf, ya, Mas. Aku benar-benar tidak sadar. Terima kasih sudah mau mengantarkan aku bertemu dengan ayahku dan
Nayla telah menemukan tempat di mana yang mobilitasnya lebih rendah dan masyarakatnya sibuk dengan sendiri-sendiri. Nayla mengurus semua keperluan yang penting-penting saja. Asal nanti Nayla dan ibunya bisa hidup tenang tanpa ada gangguan. Dar mulai tiket, surat pindah, Nayla mengurusnya sendiri. Ia benar-benar tidak mau diketahui oleh siapa pun. Jadi Nayla memutuskan untuk melakukan semuanya sendiri. Niat Nayla adalah meninggalkan apa yang ada di kota ini tanpa terkecuali. Kira-kira tiga hari tela berlalu. Nayla sudah mengatur banyak berkas yang diperlukan untuk dirinya pindah. Nayla tidak dikunjungi oleh siapa pun. Entah itu Yogi atau ibu Zidane. Nayla selalu menolak ketika mereka mengirimkan pesan akan datang menjenguk. Nayla hanya menjawab kalau ibunya sedang perlu istirahat dan tidak bisa diganggu. Untungnya kedua orang itu percaya padanya. Kondisi ibunya saat ini sudah bisa dikatakan sembuh. Walaupun tidak sembuh total. Dokter memperingati Nayla untuk terus menj
Yogi terus menghubungi nomor Nayla berkali-kali. Sejak ia terakhir kali menelepon Nayla. Dia sudah tidak bisa lagi menghubungi Nayla. “Kenapa dia tidak bisa lagi dihubungi?” tanyanya. Jam sudah menunjukkan pukul empat sore. Dari siang ia sudah mencoba menghubungi Nayla. Namun nomor telepon Nayla sudah tidak aktif. Yogi pun bergegas untuk menemui Nayla di rumah sakit. Sudah tiga hari ia menahan diri untuk tidak bertemu dengan Nayla. Ia membawa mobilnya dengan kecepatan tinggi. Perasaannya mendadak tidak enak. Entah apa yang terjadi pada Nayla, yang jelas Yogi merasa ada yang tidak beres. Sampai di rumah sakit. Kakinya melangkah ke ruang rawat ibu Nayla. Ia berjalan cepat. Sudah tidak sabar bertemu dengan Nayla. Rindunya telah menggebu-gebu karena tiga hari tak melihat senyuman Nayla. Terakhir kali melihat Nayla, saat ia mengantar dia pulang menjenguk ayahnya. Yogi mengetuk pintu ruang rawat Maya. Namun tak kunjung dibuka. Seorang suster yang berjalan menghampiri Yogi.
“Kamu pasti bohong, kan?” Zidane berusaha untuk tidak percaya dengan kebenaran itu. Namun, binar mata Rizky yang tidak berkedip sedikit pun itu menghancurkan pengharapannya. “Saya punya buktinya, Pak. Orang suruhan Pak Alfian telah mengaku kepada kita. Bahkan saya sudah memberikan sejumlah uang yang nominalnya lebih besar dari yang ia terima agar pria itu mau membuka mulutnya,” jelas Rizky sambil mengutak atik layar IPADnya kemudian memberikannya kepada Zidane untuk dilihat pria itu. Zidane menggebrak meja lagi. Darahnya berdesir. Dadanya terasa sakit seperti ada pisau yang menusuk di sana. “Apa motifnya?” tanya Zidane lagi. Tangan lebarnya meraup wajah kasarnya. Rambut tipis telah tumbuh di dagu dan kumisnya akibat ia belum punya waktu untuk mencukur. “Perusahaan Alfian ingin menekan perusahaan ini agar anjlok dan tunduk di bawah kekuasaan mereka. rencana mereka ingin membeli separuh saham milik kita. Maka dari itu mereka sengaja menciptakan rumor palsu tentang perusahaan ini.” Z
Setelah mengetahui kebenaran kalau selama ini Annisalah yang membantu perusahaan ayahnya ketika hampir bangkut membuat Zidane semakin bersemangat untuk bekerja dan tidak boleh berleha-leha lagi. Zidane sangat berterimakasih kepada istrinya itu yang masih mau membantu perusahaan milik mertuanya meski Annisa belum mendapatkan restu sama sekali dari mereka. Cara satu-satunya yang bisa Zidane lakukan untuk membalas semua kebaikan istrinya meskipun tidak bisa semua kebaikan istrinya yang bisa ia balas adalah dengan memastikan pekerjaan di kantor bisa beres semua tanpa ada kesalahan sedikit pun. Zidane tidak boleh membebani Annisa lagi, istrinya itu belum cukup pulih benar. Selama kehamilan ini, keadaan Annisa selalu dipantau oleh dokter spesialis kandungannya. Dokter juga menyarankan Zidane untuk bisa menjadi suami siaga. Maka dari itu, sebisa mungkin ia tidak akan membawa pekerjaan ke rumah karena selama di rumah fokusnya harus penuh ke istrinya itu. Tumpukan berkas di meja Zidane dari
Zidane masih tak percaya dengan apa yang dilihatnya barusan. Ternyata isi amplop cokelat besar itu adalah dokumen penting yang tertera bahwa Annisa telah mengalirkan dana miliaran rupiah ke perusahaan Alfian. Zidane baru menyadari bahwa orang yang telah membeli saham perusahaan Alfian ketika perusahaan itu hampir bangkrut adalah Annisa."Bagaimana bisa aku nggak tahu Kia melakukan ini di belakangku?" gumam Zidane seraya mengembus napas lirih. Ia agak sedikit marah karena waktu itu ia sudah melarang Annisa melakukan itu sebab tak mau dianggap sebagai suami yang memanfaatkan kekayaan sang istri. Kedua mata Zidane masih fokus membaca isi dokumen secara runut. Dari mulai lembaran pertama hingga ke lembaran selanjutnya. Saking fokusnya ia tak menyadari jika sudah menghabiskan waktu hampir lima belas menit. "Astaga! Aku ke kamar 'kan niatnya mau cari obatnya Kia." Zidane menepuk keningnya pelan. Ia pun kembali memasukkan lembaran-lembaran itu ke amplop dan menaruhnya di tempat semula. Ama
Zidane sejenak tertegun sambil memandang ke arah jendela ruang kantornya. Waktu sudah hampir petang sebab eksistensi matahari sebentar lagi akan digantikan oleh bulan. Sesekali ia mengembus napas kasar sebab memikirkan masalah yang tengah melanda perusahaannya. Suasana di ruangan kantor itu juga terasa sangat gelap dan sunyi, hanya terdengar denting jam dinding. Zidane sengaja tak menghidupkan lampu karena ia lebih senang berpikir dalam keadaan minim cahaya. Menurutnya itu bisa lebih membuat pikirannya rileks. Seperti yang diperintahkan oleh Zidane tadi, Rizky sudah menyuruh admin publishing untuk mengunggah sertifikat uji kelayakan produk milik perusahaan. Setelah sertifikat itu di-upload banyak pihak yang berkomentar dan komen negatif mulai sedikit terkikis. Untung saja mereka bertindak cepat, kalau tidak perusahaan akan mengalami kerugian lebih besar. "Saya juga sudah menangani beberapa artikel buruk mengenai produk kita, Pak. Semuanya akan dihapus secara bertahap," terang Rizky
“Annisa!!!” Zidane berteriak seperti orang kesetanan begitu sampai di rumah. Pria itu mencari istrinya ke setiap sudut rumah dengan perasaan campur aduk. Begitu melihat Annisa di dapur, ia langsung berlari dan memeluknya. “Kamu kenapa tumben pulang cepat?” tanya Annisa bingung begitu ia memisahkan diri dari pelukan Zidane. “Tangan kamu kenapa ini?” Zidane manatap tangan Annisa dengan penuh kekhawatiran begitu melihat tangan kanan Annisa yang penuh dengan luka gores. “Oh ini, tadi nggak sengaja kena duri mawar.” Tatapan Zidane kini beralih ke arah Vivi. “Mama nyuruh Annisa untuk melakukan ini semua kan? Iya kan? Jawab pertanyaan aku.” Vivi langsung memasang tampang masam. Kedua tangannya ia lipat di depan dada. “Istrimu yang ngadu ya? Mama cuma mau membantu Annisa semua nggak malas-malasan saja di kamar. Ternyata istri kamu ini adalah wanita yang lemah. Baru segini saja sudah mengeluh,” sindir Vivi. “Mama!!! Sudah berapa kali Zidane bilang kalau Annisa ini tidak boleh terlalu cap
Annisa terpaksa bangun dari istirahat siangnya begitu mendengar suara pintu kamar yang diketuk. Sejak tadi pagi tubuhnya letih sekali sehingga memutuskan untuk tidur setelah mengantarkan Zidane berangkat bekerja. Sudah beberapa hari Annisa dan Zidane memutuskan untuk tinggal di rumah Vivi dan Alfian demi mengupayakan agar Vivi bisa sembuh lebih cepat. Meskipun kurang nyaman, tapi Annisa mencoba untuk bertahan sekuat mungkin di rumah besar dan megah ini. Andaikan hubungan Annisa dengan Mama mertuanya tidak seburuk ini, mungkin ia akan betah untuk tinggal. Selama berada di sini, Annisa merasa waktu berjalan sangat lambat dibandingkan dengan waktu yang ia habiskan di rumahnya sendiri. Pun dengan Zidane yang akhir-akhir ini sering pulang terlambat dari kantor menambah kurangnya semangat Annisa dalam menjalani harinya. Annisa bisa saja meminta Zidane untuk kembali saja ke rumah mereka, tapi itu akan menambah buruk hubungannya dengan Vivi. Ditambah lagi Annisa tidak ingin mertuannya jatu
Keesokan harinya Tiara bisa bermalas-malasan di rumah karena memang sedang weekend. Tadinya ia akan pergi berkencan dengan Rizky, tapi nyatanya kekasihnya itu harus bekerja lembur sehingga rencana mereka gagal. "Ra, kamu sudah bangun belum?" panggil Rubi sambil mengetuk pintu kamar putri sulungnya. Tiara yang sudah bangun sedari tadi dan hanya main smartphone di atas kasur pun menyahuti mamanya dengan malas. "Aku udah bangun kok, Ma. Cuma lagi males aja keluar kamar. Lagian sekarang juga libur."Rubi yang berada di depan pintu kamar Tiara hanya geleng-geleng kepala sambil tersenyum. Ia paham betul putrinya itu memang suka sekali bermalas-malasan saat libur kerja. Namun, mulai saat ini ia harus segera mengubah pola hidup anaknya itu. "Sekarang kamu keluar dulu, Ra. Masa perempuan yang sudah mau dilamar orang kerjanya malas-malasan. Coba belajar untuk tetap mandi pagi dan turun dari kasur setelah bangun walaupun sedang libur," suruh Rubi. Tak berapa lama, Tiara muncul membuka pintu
Setelah berbincang dengan Zidane di kafe tadi, Rizky sedikit mempertimbangkan saran dari atasannya itu. Namun, ia masih merasa jika saat ini belum waktunya untuk menjelaskan semuanya pada Tiara. Hatinya masih meragu karena takut kekasihnya itu akan pergi jika ia menceritakan soal rencana perjodohannya. Waktu sekarang menunjukkan tepat pukul lima sore dan Rizky bersiap-siap untuk pulang. Namun, baru saja ia membuka pintu ruangannya tiba-tiba saja Tiara muncul di hadapannya sambil tersenyum manis. Wajah Rizky terlihat kusut karena sedari tadi memikirkan masalah perjodohannya. Sebagai kekasih dari Rizky, jelas Tiara bisa sangat peka jika pasangannya itu sedang menyembunyikan masalah. "Biasanya kalau aku muncul kamu langsung peluk aku terus nyengir. Nah ini kok kamu diem aja dan mukanya ditekuk gitu. Kamu ada masalah ya?" tebak Tiara sambil mengerutkan dahi dan menatap Rizky tajam. "Nggak ada kok. Aku cuma lagi capek aja soalnya kerjaan lagi numpuk," dalih Rizky. Tiara tak serta mert
Setelah menghabiskan waktu pagi bersama Annisa dengan sarapan dan berjalan-jalan di taman, Zidane pun berangkat ke kantor. Hatinya baru bisa lega saat istrinya itu sudah tidak marah lagi padanya. Sebenarnya Zidane agak khawatir meninggalkan Annisa sendiri di rumah orang tuanya, tapi Annisa meyakinkannya jika tidak akan ada masalah. Istrinya itu mengatakan jika bisa mengatasi semuanya dengan baik. Ia pun percaya karena memang harus segera berangkat ke kantor sebab pekerjaan sudah menunggu. "Aku berangkat dulu ya," pamit Zidane. "Hati-hati ya, Mas," sahut Annisa sambil mencium punggung tangan kanan suaminya. Zidane pun menaiki mobilnya menuju kantor. Ia harus segera sampai karena memang sudah telat. Untung saja tidak ada panggilan mendadak sehingga ia tak perlu terlalu terburu-buru. Lagi pula sebelumnya ia juga sudah menghubungi Rizky perihal kedatangannya yang terlambat. Baru saja sampai di kantor, Zidane langsung bergegas menuju ruangannya. Kedatangannya disambut oleh beberapa pe